Konsep IMO muncul setelah bencana kapal Titanic. Berdasarkan standar modern, rancangan Titanic membuatnya sangat rapuh. Sekat-sekat kedap airnya tidak dipasang hingga atas lambung kapal karena para insinyur perancangnya menghitung bahwa air laut tidak akan mampu masuk ke atas kapal apabila kapal bermuatan wajar. Ketika Titanic menabrak gunung es, perhitungan ini terbukti sangat salah. Dan ketika para penumpang mulai meninggalkan kapal, terlihat jelas bahwa sekoci-sekoci penyelamat tidak cukup tersedia. Alhasil, banyak nyawa dan materi hilang dalam tragedi ini.
Pada saat itu, setiap negara memiliki peratuuran sendiri mengenai standar rancangan kapal, konstruksi dan peralatan keselamatannya. Inter-Governmental Maritime Consultative Organization (IMCO) dibentuk sebagai jawaban atas tragedi Titanic, tapi tertunda perwujudannya ketika Perang Dunia I meletus. Ketika perang berakhir, IMCO dihidupkan kembali dan menghasilkan sekumpulan peraturan mengenai
pembangunan kapal dan keselamatannya yang disebut Safety Of Life At Sea (SOLAS) atau Keselamatan Jiwa di Laut. Setiap tahun, SOLAS terus dimodifikasi dan dimodernisasi untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi dan peristiwa-peristiwa baru di laut.
IMCO pada akhirnya berubah menjadi IMO. IMO secara berkala membuat peraturan (seperti International Regulations for Preventing Collisions at Sea atau Peraturan Internasional untuk
Tahukah Anda Sejarah K3 Muncul?
Selama ini Anda selalu mendengan promosi tentang K3 dan bahkan masih ada orang yang tidak mengetahui apa itu K3 tetapi hanya ikut mengucapkan K3, K3 danK3 bahkan meneriakkan Utamakan K3 :-) .
Supaya lebih mengerti dan mengetahui tentang K3, kali ini saya posting mengenai sejarah Keseleamatan, Kesehatan Kerja (K3). Saya yakin kebanyakan dari Anda belum tahu mengapa K3 yang sekarang ini ada dan bagaimana asal mula K3 terbentuk dan sejak kapankah K3 ini diterapkan.
Sejarah perkembangan K3 mulai dari zaman pra-sejarah sampai dengan zaman modern sekarang secara ringkas adalah sebagai berikut :
a. Zaman Pra-Sejarah
Pada zaman batu dan goa (Paleolithic dan Neolithic) dimana manusia yang hidup pada zaman ini telah mulai membuat kapak dan tombak yang mudah untuk digunakan serta tidak membahayakan bagi mereka saat digunakan. Disain tombak dan kapak yang
mereka buat umumnya mempunyai bentuk yang lebh besar proporsinya pada mata kapak atau ujung tombak. Hal ini adalah untuk menggunakan kapak atau tombak tersebut tidak memerlukan tenaga yang besar karena dengan sedikit ayunan momentum yang
dihasilkan cukup besar. Disain yang mengecil pada pegangan dimaksudkan untuk tidak membahayakan bagi pemakai saat mengayunkan kapak tersebut.
b. Zaman Bangsa Babylonia (Dinasti Summeria) di Irak
Pada masa ini terutama pada masa berkuasanya Fir’aun banyak sekali dilakukan pekerjaan-pekerjaan raksasa yang melibatkan banyak orang sebagai tenaga kerja. Pada tahun 1500 BC khususnya pada masa Raja Ramses II dilakukan pekerjaan
pembangunan terusan dari Mediterania ke Laut Merah. Disamping itu Raja Ramses II juga meminta para pekerja untuk membangun “temple” Rameuseum. Untuk menjaga agar pekerjaannya lancar Raja Ramses II menyediakan tabib serta pelayan untuk menjaga kesehatan para pekerjanya.
d. Zaman Yunani Kuno
Pada zaman romawi kuno tokoh yang paling terkenal adalah Hippocrates. Hippocrates berhasil menemukan adanya penyakit tetanus pada awak kapal yang ditumpanginya.
e. Zaman Romawi
Para ahli seperti Lecretius, Martial, dan Vritivius mulai memperkenalkan adanya gangguan kesehatan yang diakibatkan karena adanya paparan bahan-bahan toksik dari lingkungan kerja seperti timbal dan sulfur. Pada masa pemerintahan Jendral Aleksander
Yang Agung sudah dilakukan pelayanan kesehatan bagi angkatan perang. f. Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan sudah diberlakukan pembayaran terhadap pekerja yang mengalami kecelakaan sehingga menyebabkan cacat atau meninggal. Masyarakat pekerja sudah mengenal akan bahaya vapour di lingkungan kerja sehingga disyaratkan
bagi pekerja yang bekerja pada lingkungan yang mengandung vapour harus menggunakan masker. g. Abad ke-16
Salah satu tokoh yang terkenal pada masa ini adalah Phillipus Aureolus Theophrastus Bombastus von Hoheinheim atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Paracelsus mulai memperkenalkan penyakit-penyakit akibat kerja terutama yang dialama oleh pekerja tambang. Pada era ini seorang ahli yang bernama Agricola dalam bukunya De Re Metallica bahkan sudah mulai melakukan upaya
pengendalian bahaya timbal di pertambangan dengan menerapkan prinsip ventilasi. h. Abad ke-18
sampai sekarang). Ramazzini melihat bahwa dokter-dokter pada masa itu jarang yang melihat hubungan antara pekerjaan dan penyakit, sehingga ada kalimat yang selalu diingat pada saat dia mendiagnosa seseorang yaitu “ What is Your occupation ?”.
ramazzini melihat bahwa ada dua faktor besar yang menyebabkan penyakit akibat kerja, yaitu bahaya yang ada dalam bahan-bahan yang digunakan ketika bekerja dan adanya gerakan-gerakan janggal yang dilakukan oleh para pekerja ketika bekerja (ergonomic
factors).
i. Era Revolusi Industri (Traditional Industrialization)
Pada era ini hal-hal yang turut mempengaruhi perkembangan K3 adalah :
Penggantian tenaga hewan dengan mesin-mesin seperti mesin uap yang baru ditemukan sebagai sumber energi.
Penggunaan mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia
Pengenalan metode-metode baru dalam pengolahan bahan baku (khususnya bidang industri kimia dan logam).
Pengorganisasian pekerjaan dalam cakupan yang lebih besar berkembangnya industri yang ditopang oleh penggunaan mesin-mesin baru.
Perkembangan teknologi ini menyebabkan mulai muncul penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pemajanan karbon dari bahan-bahan sisa pembakaran.
j. Era Industrialisasi (Modern Idustrialization)
Sejak era revolusi industri di ata samapai dengan pertengahan abad 20 maka penggnaan teknologi semakin berkembang sehingga K3 juga mengikuti perkembangan ini. Perkembangan pembuatan alat pelindung diri, safety devices. dan interlock dan alat-alat
pengaman lainnya juga turut berkembang. k. Era Manajemen dan Manjemen K3
dan faktor kondisi kerja yang tidak aman (unsafe condition). Pada era ini berkembang system automasi pada pekerjaan untuk mengatasi masalah sulitnya melakukan perbaikan terhadap faktor manusia. Namun system otomasi menimbulkan masalah-masalah manusiawi yang akhirnya berdampak kepada kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing unit pekerjaan. Sejalan dengan itu Frank Bird dari International Loss Control Institute (ILCI) pada tahun 1972 mengemukakan teori Loss Causation Model yang menyatakan bahwa factor manajemen merupakan latar belakang penyebab yang menyebabkan terjadinya kecelakaan. Berdasarkan perkembangan tersebut serta adanya kasus kecelakaan di Bhopal tahun
1984, akhirnya pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep keterpaduan system manajemen K3 yang berorientasi pada koordinasi dan efisiensi penggunaan sumber daya. Keterpaduan semua unit-unit kerja seperti safety, health dan masalah lingkungan
dalam suatu system manajemen juga menuntut adanya kualitas yang terjamin baik dari aspek input proses dan output. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya standar-standar internasional seperti ISO 9000, ISO 14000 dan ISO 18000.
l. Era Mendatang
Perkembangan K3 pada masa yang akan datang tidak hanya difokuskan pada permasalahan K3 yang ada sebatas di lingkungan industri dan pekerja. Perkembangan K3 mulai menyentuh aspek-aspek yang sifatnya publik atau untuk masyarakat luas.
Penerapan aspek-aspek K3 mulai menyentuh segala sektor aktifitas kehidupan dan lebih bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat manusia serta penerapan hak asazi manusia demi terwujudnya kualitas hidup yang tinggi. Upaya ini tentu saja lebih bayak
berorientasi kepada aspek perilaku manusia yang merupakan perwujudan aspek-aspek K3.
Kata SOLAS adalah singkatan dari "Safety of Life at Sea" lebih lengkapnya adalah International Convention for Safety of Life at Sea. Kalau di artikan ke dalam bahasa indonesia kurang lebih kata "SOLAS" ini artinya adalah "Keselamatan Jiwa di Laut ". Pekerjaan sebagai pelaut memiliki resiko yang cukup tinggi dan yang paling berat dan tidak bisa diduga adalah karena faktor alam. Seperti misalnya CUACA DI LAUT yang buruk, angin yang sangat kencang serta gelombang yang tinggi. Walaupun demikian faktor lain seperti peralatan mesin serta SDM juga tak kalah pentingnya berkaitan dengan keselamatan Kapal.
disetujui oleh 13 negara dalam tahun 1914, yaitu setelah terjadinya peristiwa Tenggelamnya Kapal Titanic yang terjadi pada tahun 1912.
Kalau mengingat perjalanan sejarah dari SOLAS ini sempat mengalami perubahan-perubahan. Dalam dunia pelayaran dan perkapalan ada Badan Internasional yang sangat berperan mengenai SOLAS yaitu IMCO. Kepanjangan dari IMCO (Inter-Governmental Maritime Consultative Organization), adalah suatu badan internasional (organisasi internasional), yang pada tahun 1959 sudah mengambil alih beberapa konvensi yang telah di tetapkan, termasuk di dalamnya adalah mengenai Safety of Life at Sea
(Keselamatan Jiwa di Laut) tahun 1948 dan Prevention of the Pollution of the Sea by Oil (Pencegahan Polusi di Laut oleh Minyak) tahun 1954.
Pada saat dilangsungkannya konperensi IMCO untuk yang pertama kali yaitu pada tahun 1960, Pada konferensi tersebut telah menghasilkan "International Convention on the Safety of Life at Sea" tahun 1960, dan mulai diberlakukan pada tahun 1965.
Selanjutnya dengan memperhatikan dan melihat perkembangan-perkembangan yang sudah terjadi, negara-negara yang sudah melakukan penandatangan (contracting governments), satu diantaranya adalah negara Indonesia, dan agar dapat mengembangkan keselamatan waktu dilaut agar bisa lebih baik, maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam SOLAS sering dirubah atau ditambah.
Pada waktu konperensi yang diselenggarakan oleh IMCO tersebut (Inter-Governmental Consultative Organization), sekarang dikenal dengan IMO (International Maritime Organization), telah dihasilkan dengan apa yang disebut sebagai Protokol (merupakan dokumen mengenai hal-hal yang sudah disetujui secara resmi).
Kemudian atas undangan dari IMCO, di kota London negara Inggris, mulai dari tanggal 21 Oktober tahun 1974 sampai tanggal 1 November tahun 1974 telah diselenggarakan Konperensi yang dihadiri oleh 65 utusan negara penan-datangan, itu belum termasuk peninjau yang berasal dari negara-negara yang bukan penandatangan dan peninjau dari organisasi-organisasi dari non-pemerintah.
adalah sama, artinya SOLAS tahun 1960, SOLAS untuk tahun 1974 dan SOLAS di tahun 1997 isi pokoknya sama, hanya terdapat beberapa perubahan atau penambahan saja.
Kemudian pada tahun 1948, the United Nations Maritime Conference telah menyetujui untuk membentuk sebuah badan internasional. Hal ini dimaksudkan hanya semata-mata untuk hal-hal (persoalan) kelautan dan untuk mengkoordinasi tindakan-tindakan yang diambil oleh negara-negara.
Badan internasional itu adalah IMCO (Inter-Governmental Maritime Consultative Organization), bertempat di kota London. IMCO lahir pada tahun 1958 dan mulai aktif tahun 1959. Beberapa
ketentuan-ketentuan mulai diambil alih, diantaranya ialah Safety of Life at Sea of 1948 dan Prevention of the Pollution of the Sea by Oil of 1954.
Pada tahun 1982 IMCO berubah menjadi IMO (International Maritime Organization).
Tujuan utama dari IMO diantaranya adalah untuk menentukan standar yang dapat diterima, serta membangun ketentuan internasional yang sangat berhubungan dan berkaitan dengan perkapalan, memonitor implementasinya oleh pemerintah-pemerintah, membuatnya selalu terkini (up to date) sejalan dengan kemajuan teknologi.
Peraturan Safety Of Life At Sea ( SOLAS )
Peraturan Safety Of Life At Sea (SOLAS) adalah peraturan yang mengatur keselamatan maritim paling utama. Demikian untuk meningkatkan jaminan keselamatan hidup dilaut dimulai sejak tahun 1914, karena saat itu mulai dirasakan bertambah banyak kecelakaan kapal yang menelan banyak korban jiwa dimana-mana. Pada tahap permulaan mulai dengan memfokuskan pada peraturan kelengkapan navigasi, kekedapan dinding penyekat kapal serta peralatan berkomunikasi, kemudian berkembang pada konstruksi dan peralatan lainnya.
Modernisasi peraturan SOLAS sejak tahun 1960, mengganti Konvensi 1918 dengan SOLAS 1960 dimana sejak saat itu peraturan mengenai desain untuk meningkatkan faktor
keselamatan kapal mulai dimasukan seperti :
- desain konstruksi kapal
- permesinan dan instalasi listrik
- pencegah kebakaran
- alat-alat keselamatan
- alat komunikasi dan keselamatan navigasi
Usaha penyempurnaan peraturan tersebut dengan cara mengeluarkan peraturan tambahan (amandement) hasil konvensi IMO, dilakukan berturut-turut tahun 1966, 1967, 1971 dan 1973. Namun demikian usaha untuk memberlakukan peraturan-peraturan tersebut secara Internasional kurang berjalan sesuai yang diharapkan, karena hambatan procedural yaitu diperlukannya persetujuan 2/3 dari jumlah Negara anggota untuk meratifikasi peratruran dimaksud, sulit dicapai dalam waktu yang diharapkan.
ada di dunia. Kecelakaan tanker terjadi secara beruntun pada tahun 1976 dan 1977, karena itu atas prakarsa Presiden Amerika Serikat JIMMY CARTER, telah diadakan konfrensi khusus yang menganjurkan aturan tambahan terhadap SOLAS 1974 supaya perlindungan terhadap Keselamatan Maritim kebih efektif.
Pada tahun 1978 dikeluarkan komvensi baru khusus untuk tanker yang dikenal dengan nama “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP 1978)” yang merupakan penyempurnaan dari SOLAS 1974 yang menekankan pada perencanaan atau desain dan penambahan peralatan untuk tujuan keselamatan operasi dan pencegahan pencemaran perairan.
Kemudian diikuti dengan tambahan peraturan pada tahun 1981 dan 1983 yang diberlakukan bulan September 1984 dan Juli 1986. Peraturan baru Global Matime Distress and Safety System (GMDSS) pada tahun 1990 merupakan perubahan mendasar yang dilakukan IMO pada sistim komunikasi maritim, dengan menfaatkan kemajuan teknologi di bidang komunikasi sewperti satelit dan akan diberlakukan secara bertahap dari tahun 1995 s/ 1999.
Konsep dasar adalah, Badan SAR di darat dan kapal-kapal yang mendapatkan berita kecelakaan kapal (vessel in distress) akan segera disiagakan agar dapat membantu melakukan koordinasi pelaksanaan operasi SAR.
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 22.09
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar
Dalam rangka meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan pelayaran, PBB dalam koperensinya pada tahun 1948 telah menyetujui untuk membentuk suatu badan Internasional yang khusus menangani masalah-masalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk pertama kali dengan nama Inter Govermental Maritime Consuktative Organization ( IMCO ). Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1958 organisasi tersebut baru diakui secara Internasional. Kemudian berubah nama menjadi International Maritime Organization ( IMO ) sejak tanggal, 22 Mei 1982.
Empat tahun sebelim INO diberlakukan secara Internasional yakni pada tahun 1954 Marine Pollution Convention sudah mulai diberlakukan tetapi baru pada tahun 1959 secara resmi di administrasikan dan di sebar luaskan oleh IMO.
International Maritime Organization ( IMO ) berkedudukan di London, dengan alamat 4 Albert Embankment yang merupakan satu-satunya Badan Spesialisasi PBB yang bermarkas di Inggris. Sedang Paripurna IMO disebut Assembly melakukan pertemuan tahunan satu kali dalam selang waktu dua tahun dan biasanya diadakan pada bulan September atau Oktober. Pertemuan tahunan yang diadakan yang disebut Council, anggotanya terdiri dari 32 negara yang dipilih oleh sidang Assembly dan bertindak sebagai Badan Pelaksana harian kegiatan IMO. IMO adalah Badan Organisasi yang menangani masalah teknis dan sebagian besar kegiatannya dilaksanakan oleh beberapa Komite.
The Marine Safety Committee ( MSC )
Merupakan komite yang paling senior dan khusus menangani pekerjaan yang berhubungan dengan masalah keselamatan dan teknik. Memiliki beberapa Sub committee sesuai tugas masing-masing.
Marine Environment Protection Committee ( MEPC )
Dibentuk oleh IMO Assembly pada tahun 1973 dengan tugas mengkoordinir kegiatan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang asalnya dari kapal. Sub Committee dari Bulk Chemicals merupakan juga sub committee dari MEPC kalau menyangkut masalah pencemaran.
The Technical C0-Operation Committee
Tugasnya mengkoordinir bantuan teknik dari IMO di bidang maritime terutama untuk negara berkembang. Komite teknik ini merupakan komite pertama dalam organisasi PBB yang diakui sebagai bagian dari konvensi.
Badan ini dibentuk tahun 1975 dan merupakan agen pertama PBB yang membentuk technical cooperation dalam bentuk struktur organisasi. Tujuannya adalah menyediakan program bantuan untuk setiap Negara terutama negara berkembang untuk meratifikasi dan kemudian melaksanakan peraturan yang dikeluarkan oleh IMO.
pada tahun 1983, dengan tujuan untuk mendidik dan menyediakan tenaga trampil dalam bidang keselamatan dan lingkungan maritim, dari Negara berkembang yang sudah mempunyai latar belakang pendidikan yang mencukupi di negara masing-masing.
Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh ± 300 tenaga dari berbagai negara termasuk para penterjemah ke dalam 6 bahasa yang diakui dapat digunakan berkomunikasi dalam sidang komite, yakni bahasa inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Arab, China dan 3 bahasa teknis
Tugas dan Pekerjaan IMO
Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja dilaut termasuk keselamatan pelayaran dan pencegahan serta penanggulangan pencemaran lingkungan perairan.
Seperti halnya SOLAS 74/78 diberlakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden No. 65 tahun 1980 dan MARPOL 73/78 dengan Keputusan Presiden No. 46 tahun 1986. Kedua Keputusan Presiden tersebut sudah tercakup dalam UU No. 21 tahun 1992 tentang Pelayaran.
Konvensi-konvensi IMO paling penting yang sudah dikeluarkan adalah sebagai berikut : - Safety Of Life At Sea ( SOLAS ) Convention 1974/1978
- Marine Pollution Prevention ( MARPOL ) Convention 1973/1978 - Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers
(SCTW) Convention 1978 termasuk beberapa amandements dari setiap konvensi.
Dalam ketiga konvensi tersebut digariskan peraturan keselamatan kerja di laut, pencegahan pencemaran perairan dan persyaratan pengetahuan dan ketrampilan minimum yang harus dipenuhi oleh awak kapal.
SOLAS Convention, menangani aspek keselamatan kapal termasuk konstruksi, navigasi dan komunikasi.
MARPOL Convention, menangani aspek lingkungan perairan khusus untuk pencegahan pencemaran yang asalnya dari kapal, alat apung lainnya dan usaha penanggulangannya.
STCW Convention, berisi persyaratan minimum pendidikan atau training yang harus dipenuhi oleh ABK (Anak Buah Kapal) untuk bekerja di atas kapal sebagai pelaut.
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 22.19
Senin, 09 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar
Pendahuluan:
Indonesia secara resmi menjadi anggota IMO sejak tanggal 18 Januari 1961, dan selama ini
senantiasa aktif dalam mengikuti semua kegiatan IMO. Sebagai anggota IMO yang sudah lama,
pengukuhan kedudukan Indonesia di IMO adalah menjadi anggota Dewan IMO (Member of
IMO Council) karena dalam forum sidang Dewan inilah kepentingan nasional dapat banyak
terakomodir dan ikut menentukan kebijakan-kebijakan organisasi.
Indonesia pertama kali mencalonkan dan terpilih menjadi anggota Dewan IMO pada tahun 1973,
untuk periode keanggotaan 1974 – 1975. Dua periode keanggotaan berikutnya, yaitu 1976-1977
dan 1978-1979 Indonesia masih terpilih sebagai anggota Dewan IMO. Indonesia mengalami
kegagalan mencalonkan diri pada 2 periode berikutnya yaitu periode keanggotaan 1980-1981
dan 1982-1983. Pada sidang Assembly ke 13 yaitu pada tahun 1983, Indonesia terpilih kembali
menjadi anggota Dewan IMO, dan selalu terpilih sampai saat ini (15 periode berturut-turut).
Pada pemilihan angota Dewan pada sidang Assembly ke 25 tahun 2007, ranking Indonesia naik
secara significant dibandingkan dengan tahun-than sebelumnya. Pada tahun 2005, Indonesia
hanya menempati ranking ke 8 dari 20 anggota Dewan kategori c, namun pada tahun 2007
menduduki ranking 4 (mendapat 113 suara), dan hanya terpaut 1 suara dibanding dengan ranking
ke 2 dan 3 (Bahama dan Cyprus memperoleh 114 suara). Pada sidang Assembly ke 26 tahun
2009 dukungan terhadap Indonesia lebih meningkat yaitu menjadi 132 dan menduduki peringkat
ke 3 setelah Singapura dan Cyprus. Hal ini menunjukkan kepercayaan negara lain terhadap
Indonesia makin meningkat. Dengan meningkatnya jumlah negara yang mendukung Indonesia
ini, maka tugas Indonesia di kancah internasional semakin berat karena harus menunjukkan
kemampuan dan dedikasinya terhadap organisasi secara consistent. Upaya-upaya diplomasi dan
peningkatan kinerja dibidang teknis untuk ikut serta meningkatkan keselamatan dan keamanan
maritim serta perlindungan lingkungan laut adalah merupakan tugas dan tangung jawab yang
tidak ringan bagi Indonesia. Untuk itu diperlukan kerja-sama semua pihak yang terkait, antar
kementerian, baik dalam pengaturan maupun pelaksanaan teknis.
Tidak kalah pentingnya peran para stake-holder seperti operator kapal, badan-badan usaha di
sub-sektor transportasi laut serta masyarakat luas pengguna jasa transportasi laut.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang eksistensinya telah diakui berdasarkan
ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea,
1982), pengakuan eksistensi sebagai negara maritim terbesar dalam berbagai forum internasional
masih tetap diperlukan, termasuk dalam forum Sidang Council dan Sidang Assembly di IMO.
memperoleh banyak manfaat dalam rangka menjaga keselamatan pelayaran dan perlindungan
lingkungan laut di wilayah perairan Indonesia.
Adanya perobahan terhadap peraturan2 internasional melalui instrumen2 IMO tentu saja akan
menimbulkan dampak dan konsekuensi bagi setiap negara yang meratifikasi, sehingga perlu
adanya upaya2 untuk mengantisipasi dampak perobahan tersebut, agar dapat melaksanakan
setiap konvensi yang telah diratifikasi secara penuh dan bertanggung jawab.
Sekilas tentang International Maritime Organization (IMO)
International Maritime Organization (IMO) adalah merupakan salah satu badan khusus
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah-masalah kemaritiman. Didirikan
berdasarkan Konvensi pembentukannya pada tanggal 6 Maret 1948 di Jenewa dan mulai berlaku
pada tanggal 17 Maret 1958. IMO melaksanakan sidang pertama kalinya pada tahun 1959. Pada
awal pembentukannya bernama Inter-Governomental Maritime Consultative Organization
(IMCO). Sejak tanggal 1 Mei 1982 namanya berobah menjadi International Maritime
Organization, di singkat IMO. Pada saat ini IMO bermarkas di: 4 Albert Embankment, London
SE1 7SR, United Kingdom.
Sekretariat IMO di pimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal yang di pilih setiap 4 tahun sekali,
dibantu oleh para Direktur yang memimpin setiap Devisi. Divisi pada sekretariat IMO yaitu:
1.
Maritime
Safety
Division,
2.
Marine
Environment
Protection
Division,
3.
Legal
Affairs
and
International
Relation
Division,
4.
Conference
Division,
5.
Technical
Co-operation
Division,
dan
6. Administrative Division
Pada saat ini (2010) anggota IMO terdiri dari 169 negara termasuk Indonesia, ditambah 3 negara
anggota assiciate (Associate Member).
Struktur Organisasi IMO dalam pengambilan keputusan, dilaksanakan melalui forum sidang
Assembly, sidang Council dan 5 sidang Committee, yaitu: Maritime Safety Committee (MSC),
Marine Environment Protection Committee (MEPC), Legal Committee (LEG), Technical
Cooperation Committee (TCC) dan Facilitation Committee (FAL).
1. Assembly atau Majelis IMO, merupakan lembaga tertinggi IMO (IMO highest
Governing-Body) yang terdiri dari seluruh negara anggota IMO, yang saat ini berjumlah 169 negara,
bersidang sekali dalam dua tahun pada jadwal reguler, atau Setiap saat bila dianggap perlu.
Assembly bertanggung jawab untuk menentukan program kerja, voting anggaran dan
menentukan pengaturan keuangan dalam organisasi. Assembly juga bertugas melaksanakan
pemilihan anggota Dewan (Council).
sidang
Assembly,
c. Menerima laporan dan usulan dari Committee dan organ IMO yang lain serta dari
Negara-negara anggota untuk diteruskan ke Assembly dengan beberapa masukan dan rekomendasi yang
tepat.
d. Mengusulkan dan memilih calon Sekretaris Jenderal, yang kemudian di syahkan dalam sidang
Assembly.
e. Melakukan upaya pengaturan dan kerja sama dengan berbagai organisasi di luar IMO, yang
kemudian disyahkan melalui sidang Assembly.
Dewan IMO beranggotakan 40 negara anggota IMO (sejak 7 Nopember 2002). Dari ke 40
negara anggota Dewan IMO tersebut terbagi dalam 3 kategori yaitu:
a. Kategori “a”, terdiri dari 10 negara yang mewakili armada pelayaran niaga internasional
terbesar dan sebagai penyedia angkutan laut internasional terbesar,
b. Kategori “b”, terdiri dari 10 negara yang mewakili kepentingan maritime terbesar dalam
menyediakan
“International
Ship-borne
Trade”,
c. Kategori “c”, terdiri dari 20 negara yang mempunyai kepentingan khusus dalam angkutan laut
atau navigasi, dan mencerminkan perwakilan yang adil secara geografis.
Pemilihan anggota Dewan IMO dilaksanakan 2 tahun sekali, yaitu pada saat dilaksanakan sidang
Assembly. Negara-negara anggota yang ingin menjadi anggota Dewan wajib menyampaikan
surat kepercayaan (credentialletter) ke Sekretaris Jendral IMO untuk mencalonkan diri pada
kategori yang mereka inginkan. Pada saat sidang Assembly, Negara-negara yang mencalonkan
sebagai anggota Dewan IMO akan diminta untuk menyampaikan pandangan umum dan tujuan
pencalonannya, sebelum pemilihan dilaksanakan.
3. Committee, adalah bagian tubuh IMO yang mengolah aturan2 produk IMO untuk
disampaikan ke sidang Dewan. Terdapat 5 Committee yaitu:
a. Maritime Safety Committee (MSC), yaitu komite yang menangani pengaturan2 masalah
keselamatan dan keamanan pelayaran (maritime safety and security) seperti: keselamatan
navigasi, stabilitas kapal, konstruksi pembangunan kapal, komunikasi maritime, keamanan
maritime dari anccaman perompakan di laut dan sejenisnya.
b. Marine Environmet Protection Committee (MEPC), komite yang menangani pengaturan2
tentang perlindungan terhadap pencemaran laut, termasuk pencemaran udara dari kapal2 laut.
c. Legal Committee (LEG), yaitu komite yang menangani tentang pengesahan aturan2 yang
akan
diberlakukan
oleh
IMO.
d. Technical Cooperation Committee (TCC), yaitu komite yang mempunyai tugas untuk
membahas negara2 yang memerlukan bantuan teknis dalam kaitannya dengan implementasi
instrumen2
IMO.
e. Facilitation Committee (FAL), yaitu komite yang menangani masalah pengaturan
permasalahan dokumen2 yang harus dibawa oleh kapal-kapal, membantu menjembatani antar
negara dalam implementasi instrumen2 IMO sehingga tidak terjadi kerancuan serta upaya
menghindari adanya keterlambatan operasi kapal-kapal berkaitan dengan dokumentasi kapal
yang masuk wilayah negara lain.
b. Carriage of Dangerous Goods, Solid Cargoes and Containers (DSC), bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai pemadatan dan transportasi muatan berbahaya,
muatan
kering
dan
peti
kemas,
c. Fire Protection (FP), bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan mengenai
pencegahan
kebakaran
di
kapal-kapal,
d. Radio-communications and Search and Rescue (COMSAR) bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai komunikasi radio di kapal dan pengaturan tentang
SAR
(Search
and
Rescue
=
pencarian
dan
pertolongan),
e. Safety of Navigation (NAV) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai alat bantu navigasi dan alur-alur pelayaran untuk keselamatan pelayaran serta aturan
pencegahan
tubrukan
di
laut,
f. Ship Design and Equipment (DE) bertugas membahas rancangan-rancangan ketentuan
mengenai bangunan kapal dan semua peralatan di kapal berkaitan dengan keselamatan operasi
kapal,
g. Stability and Load Lines and Fishing Vessels Safety (SLF) bertugas membahas
rancangan-rancangan ketentuan mengenai perhitungan stabilitas kapal, lambung timbul, dan
ketentuan
keselamatan
kapal-kapal
penangkap
ikan,
h. Standards of Training and Watchkeeping (STW) bertugas membuat rancangan-rancangan
ketentuan mengenai pendidikan, pelatihan dan sertifikasi untuk para pelaut dan pihak-pihak yang
bekerja
pada
sector
maritim.
i. Flag State Implementation (FSI) bertugas membuat rancangan-rancangan ketentuan
mengenai pelaksanaan instrument-instrumen IMO di negara-ngara anggota IMO dan
neggara-negara bukan anggota IMO.
Oleh karena keterbatasan waktu sidang yang telah di jadwalkan, dalam sidang-sidang committee
dan sub-committee selalu dibentuk kelompok kerja (Working-Group), kelompok korespondensi
(Correspondence-Group) atau kelompok drafting (Drafting-Group). Sering kali, dilaksanakan
pula sidang-sidang antar waktu (Intersessional meeting) bilamana diperlukan (jadwal sidang
IMO tahun 2010 terlampir).
Standard of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW) 1978 dan Seafarers
Training, Certification and Watchkeeping (STCW) 1995
Sebelum pemberlakuan STCW, rambu2 internasional kompetensi bagi pelaut setingkat perwira,
dituangkan ke dalam konvensi SOLAS (Safety of Life at Sea) pada Bab V (Safety of
Navigation), dan beberapa ketentuan untuk awak kapal bukan setingkat perwira, diatur oleh
masing2 negara anggota IMO.
STCW dapat diterima oleh semua anggota IMO melalui sebuah Diplomatic Conference, dan
pada tanggal 28 April 1984, STCW 1978 diberlakukan secara penuh. Indonesia meratifikasi
STCW 1978 melalui Kepres 60 tahun 1986.
Dalam perjalanannya, STCW mengalami perobahan dari tahun ke tahun. Perobahan
(amendment) yang terbesar terjadi pada tahun 1995, dengan diadopsinya konvensi yang di
dalamnya terdapat Seafarer’s Training, Certification and Watchkeeping (STCW 1995), yang
tidak terpisahkan dengan konvensi STCW 1978.
Dengan diberlakukannya STCW 1995, diharapkan terdapat keseragaman dalam pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan kepelautan secara internasional, karena STCW 1995 tidak hanya
mengatur secara umum ketentuan batas kompetensi pelaut, namun berisi tentang kurikulum dan
sylabus yang wajib (mandatory) serta yang disarankan (recommended) dalam melaksanakan
pendidikan dan pelatihan kepelautan, yang meliputi: competence, subject area, understanding,
dan profeciency. Termasuk metode bagaimana mengukur kompetensi yang diharapkan.
Dengan keseragaman pelaksanaan diklat kepelautan tentunya diharapkan kompetensi pelaut
secara internasional dapat setara, paling tidak pada tingkat batas minimal untuk menjamin
keselamatan pengoperasian kapal dapat di ukur secara lebih baik.
Selanjutnya sidang-sidang STW masih berlangsung tiap tahun untuk mengakomodir adanya
kesulitan dan kerancuan yang mungkin timbul dalam melaksanakan STCW. Maka pada sidang
STW ke 38 tahun 2007 muncullah agenda sidang dengan judul “Comprehensive review to the
STCW” yang merupakan agenda sidang untuk merevisi STCW secara menyeluruh, mengingat
terlalu banyaknya kerancuan yang terdapat pada STCW yang ada pada saat itu. Puncak dari
revisi menyeluruh tersebut adalah pada sidang STW 41 tahun 2010 dengan diterimanya
rancangan perobahan STCW dan setuju untuk dibawa ke sidang Diplomatic Conference di
Manila pada bulan Juni 2010.
Dampak dan antisipasi indonesia terhadap amendments STCW
Sejak diberlakukannya STCW 1978 pada 28 April 1984, pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai hal untuk dapat mensejajarkan pelaut Indonesia dengan pelaut negara lain dan dapat
diterima secara internasional. Maka pada tahun 1986 pemerintah Indonesia memutuskan untuk
meratifikasi STCW 1978 dengan segala konsekuensinya.
Sampai saat ini pemerintah Indonesia sangat memperhatikan perobahan2 yang terjadi pada
STCW, termasuk upaya keras sehingga Indonesia masuk kedalam “IMO White-list” pada sidang
Assembly ke 21 bulan November 1998, dimana Indonesia termasuk salah satu negara anggota
IMO yang pertama kali masuk ke dalam “IMO White-list”.
Di dalam STCW, terdapat 3 (tiga) pihak (party) yang sangat berkompeten agar STCW dapat
dilaksanakan dengan baik yaitu: Pemerintah (Administration), Perusahaan Pelayaran (Shipping
company), dan Diklat Maritim (Education and Training Institution). Dengan perobahan2 STCW,
tentunya pihak2 tersebut di atas telah menerima dampaknya.
Pemerintah mempunyai tugas untuk merobah peraturan2 yang terkait dengan perobahan pada
STCW, agar dapat menjamin keselamatan pelayaran di dunia internasional, dan pelautnya dapat
diterima secara internasional.
Perusahaan Pelayaran memiliki tugas untuk mengawaki kapalnya sesuai dengan STCW,
sehingga memiliki kewajiban memberikan pelatihan2 tambahan kepada awak kapalnya agar
kompetensinya sesuai dengan ketentuan STCW.
Diklat Maritim memiliki tugas untuk melakukan perobahan2 terhadap kurikulum dan sylabus
diklat, serta meningkatkan kualitas instruktur/pengajar dan fasilitas diklatnya sesuai dengan
ketentuan
STCW.
Antisipasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan adanya
perobahan2 STCW (dan instrumen hukum IMO lainnya), adalah dengan berpartisipasi aktif pada
sidang2 yang dilaksanakan, mulai dari sidang Sub-komite, sidang-sidang komite, dan sidang2
kelompok korespondensi. Partisipasi aktif disini adalah bahwa delegasi Indonesia yang hadir
pada sidang2 IMO telah dibekali dengan materi2 sidang untuk siap berdikusi dengan delegasi
dari negara lain. Jadi tidak hanya mendengar dan mencatat hasil sidang.
Konsep dan usulan perobahan ketentuan, pada umumnya diawali pada sidang2 sub-komite. Pada
tahapan ini, apabila pemerintah Indonesia mencermati setiap agenda sidang secara sungguh2,
maka pemerintah Indonesia akan dapat berpartisipasi banyak terhadap upaya perobahan
ketentuan yang sedang dan akan di bahas, dan dapat menyampaikan usulan2 yang
menguntungkan Indonesia, serta mampu menolak usulan2 yang merugikan Indonesia, sehingga
mampu mengurangi kesulitan dalam implementasinya pada waktu perobahan tersebut
diberlakukan.
Masalah lain yang perlu menjadi perhatian Indonesia
Pada paragraph ini pemapar ingin menyampaikan beberapa hal terkait dengan perkembangan
diskusi pada sidang2 di IMO dan perkembangan di lapangan:
1. Pada sidang2 IMO sub komite STW beberapa sesi belakangan ini terdapat upaya
diadakannya Seafarers Ship’s Representative (SSR), yaitu salah satu awak kapal, yang ditunjuk
untuk mengawasi/memonitor tindakan yang dilakukan baik oleh perusahaan pelayaran maupun
pimpinan di kapal terhadap keselamatan kerja awak kapal. Diskusi ini sampai dengan sidang
STW 41 awal tahun 2010 yang lalu sudah sampai kepada drafting rancangan ketentuannya. Hal
ini akan berdampak pada diklat maritim agar menyiapkan kurikulum dan sylabus untuk calon
SSR nantinya, karena seseorang yang ditunjuk sebagai SSR wajib memiliki sertifikat yang
menunjukkan kemampuannya sebagai SSR.
jawab pemerintah Indonesia untuk menyediakan fasilitas diklat dan perangkat peraturannya, agar
para pelaut Indonesia mampu bersaing dengan pelaut asing lainnya. Sebagai contoh adalah
maraknya pengoperasian kapal2 Anchor Handling Tug Supply (AHTS) dan Dynamic Positioning
System (DPS) serta Special Purpose Ships (SPS). Kecakapan khusus perlu dimiliki oleh para
pelaut Indonesia tersebut agar mampu mengisi kesempatan2 yang ada. Hal ini dapat dilakukan
apabila dari pihak pemerintah (Administrtion) maupun diklat maritim (Education and Training
Institite) mampu mengantisipasi dan melakukan persiapan2 secara awal, mulai dari penyusunan
peraturan, penyediaan sarana dan prasarana, serta tenaga pengajar/instrukturnya.
3. Bahwa pada tahun 2008, IMO mencanangkan kampanye “Go to sea” dengan harapan
kekurangan pelaut pada saat ini dapat segera dapat diatasi. Dilain pihak, perusahaan pelayaran
enggan untuk menerima calon pelaut sebagai ‘cadet’ dengan beberapa pertimbangan finansial,
sehingga banyak ‘cadet’ di atas kapal dipekerjakan sebagai awak-kapal. Dari kesulitan mencari
kapal untuk praktek berlayar, juga ditemukan beberapa bukti bahwa terdapat beberapa taruna
diklat maritim yang terpaksa harus melakukan praktek berlayar di kapal-kapal yang tidak
memenuhi ketentuan minimal sesuai dengan sertifikat yang akan diperoleh, yaitu tidak
memenuhi fungsi-fungsi sesuai ketentuan STCW dan standard mutu (Quality Standards System)
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia. Sudah cukup lama, beberapa negara yang
menyediakan tenaga pelaut juga mengeluh dengan tidak tersedianya akomodasi yang layak untuk
‘cadet’ yang sedang melakukan praktek berlayar. Untuk mengatasi kendala yang ada, kiranya
keberadaan kapal latih untuk mendukung pencapaian pendidikan dan pelatihan kepelautan adalah
merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditunda.
Kesimpulan dan saran
1. Setiap negara yang meratifikasi suatu konvensi internasional, memiliki kewajiban untuk
melaksanakannya secara penuh (full and complete), termasuk perobahan yang terjadi atas
konvensi yang di ratifikasi (melalui proses penerimaan perobahan atau Acceptance).
2. Sebagai anggota IMO dan terlebih menjadi anggota dewan IMO, Indonesia telah
melakukan langkah2 partisdipatif dalam menyikapi perobahan peraturan internasional, namun
kiranya masih perlu lebih meningkatkan partisipasi aktif dalam penyusunan instrumen2 IMO
melalui sidang2 dan kegiatan lain terkait dengan kepentingan nasional RI (Republik Indonesia).
3. Mengingat kepentingannya, maka partisipasi aktif tidak hanya oleh pemerintah saja, tetapi
juga merupakan tanggung jawab semua pihak (negeri dan swasta) yang terkait dengan industri
maritim, serta masyarakat luas pengguna jasa anggutan laut.
4. Menyadari adanya perobahan peraturan berawal dari suatu ‘konsep’ yang diajukan dan
dibahas pada tingkat sidang sub-komite, maka Indonesia perlu memperhatikan rencana
perobahan mulai dari tingkat awal, yaitu pada sidang-sidang sub-komite, dan mengawalnya
secara konsisten agar konvensi yang kemudian diimplementasikan, dapat sejalan dengan
kepentingan nasional Indonesia.
Sumber : Tulisan dari Capt. Hadi Supriyono, MM, M.Mar
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 19.09
Amandemen Stcw 2010 : Apa Yang Perlu Anda Ketahui
Telah secara luas diketahui bahwa IMO mengadakan Konferensi Diplomatik di Manila, Filipina,
pertengahan tahun 2010 untuk membahas amandemen STCW. Banyak orang yang tidak
mengetahui pada tingkat apa revisinya dan realitas implementasinya di balik hal tersebut. Untuk
meluruskan hal-hal tersebut mari kita lihat apa yang telah terjadi langkah demi langkah.
Amandemen
STCW
Manila.
Pada 25 Juni 2010, Organisasi Maritim Internasional (IMO) serta stakeholder utama lainnya
dalam dunia industry pelayaran dan pengawakan global secara resmi meratifikasi apa yang
disebut sebagai "Amandemen Manila" terhadap Konvensi Standar Pelatihan untuk Sertifikasi
dan Tugas Jaga bagi Pelaut (STCW) dan Aturan terkait. Amandemen tersebut bertujuan untuk
membuat STCW selalu mengikuti perkembangan jaman sejak pembuatan dan penerapan
awalnya pada tahun 1978, dan amandemen selanjutnya pada tahun 1995.
Mulai
Berlakunya.
Amandemen Konvensi STCW akan diterapkan melalui prosedur penerimaan dengan pemahaman
yang telah disepakati yang mengisyaratkan bahwa perubahan tersebut sudah harus diterima
paling lambat 1 Juli 2011 KECUALI bila lebih dari 50% dari para pihak terkait STCW menolak
perubahan yang demikian. Sebagai hasilnya, Amandemen STCW ditetapkan mulai berlaku pada
tanggal
1
Januari
2012.
Tujuan
Amandemen
STCW.
Hal-hal berikut menguraikan perbaikan-perbaikan kunci yang diwujudkan melalui
Amandemen
baru,
yaitu:
pemeriksaan
medis
ulang.
3. Persyaratan revalidasi sertifikat dirasionalisasi untuk kepentingan pelaut.
4. Pengenalan metodologi pelatihan modern seperti pembelajaran jarak jauh dan pembelajaran
berbasis
web.
5. Jam istirahat bagi pelaut dikapal diselaraskan dengan persyaratan Maritime Labor Convention
ILO/MLC (Konvensi Buruh Maritim ILO) 2006, dengan maksud untuk mengurangi kelelahan.
6. Memperkenalkan persyaratan-persyaratan tambahan untuk menghindari alkohol dan
penyalahgunaan
zat
terlarang.
7. Kompetensi dan kurikulum baru harus terus diperbarui mengikuti perkembangan teknologi
modern
dan
kebutuhan
riil
dilapangan.
8. Pelatihan penyegaran dibahas dengan layak dalam konvensi.
Beberapa hal pokok terkait amandemen STCW 2010, adalah sebagai berikut :
Bab
I
Ketentuan
Umum.
• Peraturan I / 2: Hanya Pemerintah yang dapat mengeluarkan Certificate of Competency (COC)
dan menyediakan database elektronik untuk verifikasi keaslian sertifikat.
• Peraturan I / 3: Persyaratan Near Coastal Voyage dibuat lebih jelas, termasuk principal yang
mengatur pelayaran dan melakukan "kegiatan usaha" dengan Pihak yang terkait (negara bendera
dan
negara
pantai).
• Peraturan I / 4: Penilaian/pemeriksaan Port State Control (PSC) terhadap pelaut yang
melaksanakan tugas jaga dan standar keamanan - "Harus memenuhi Standar keamanan" dalam
daftar.
• Peraturan I / 6: Pedoman e-learning (pembelajaran elektronik)
• Peraturan I / 9: standar Medis diperbaharui sejalan dengan Persyaratan ILO MLC.
• Peraturan I/11: Persyaratan revalidasi dibuat lebih rasional dan termasuk persyaratan revalidasi
atas
endorsement
sertifikat
kapal
tanker.
• Peraturan I/14 : Perusahaan bertanggung jawab terhadap pelatihan penyegaran pelaut di kapal
mereka
STCW
Bab
II,
Level
Dukungan
Bab Dua adalah bagian Departemen Dek. Perubahan utama dalam Bab II adalah penambahan
Pelaut Trampil (Able Seafarers/AB) – Deck Rating. Ini terpisah dari Rating yang melaksanakan
tugas jaga Navigasi (Rating Forming Part of a Navigational Watch / RFPNW).
Berdasarkan persyaratan untuk bekerja dikapal, penting bagi pelaut untuk mendapatkan
kualifikasi RFPNW sebisa mungkin pada awal sekali dari karir mereka. Pelaut tidak secara
otomatis mendapat kualifikasi AB sampai kualifikasi RFPNW telah dipenuhi dan lisensi tersebut
harus mendapatkan sertifikat pengukuhan (endorsement) AB. Ini akan membutuhkan pelatihan
dan pengujian serta akan menjadi pasal baru yang disebut A-II / 5.
STCW
Bab
II,
Level
Operasional
dan
Manajemen.
Pada 2012 hampir semua kapal dengan bobot mati lebih dari 200 ton akan diatur di bawah
hukum yang terpisah untuk memiliki peralatan ECDIS. Secara otomatis, setiap Perwira Dek
dikapal berbobot lebih dari 200 ton akan membutuhkan pelatihan ECDIS. Akan ada dua tingkat
ECDIS, yakni operasional dan manajemen dengan tanggung jawab yang berbeda dari
masing-masingnya. Manajemen SDM yang bertugas di anjungan kapal, Pelatihan Tim Kerja dan
Kepemimpinan akan diwajibkan baik di tingkat operasional maupun manajemen.
STCW
Bab
III,
Mesin
Perubahan utama dalam Bab III adalah penambahan Pelaut Trampil bagian Mesin (Engine
Rating). Ini terpisah dari rating yang melaksanakan tugas jaga mesin. Banyak negara hanya
memiliki level rating yang melaksanakan tugas jaga (Rating Forming Part of a Enginee Watch /
RFPEW), dan untuk pelaut trampil pemula dibagian mesin disyaratkan memiliki sertifikat
RFPEW sesuai ketentuan STCW. Ini akan membutuhkan pelatihan dan pengujian dan akan
menjadi pasal baru yang disebut A-III/5.
Pasal A-III/1 akan diformat ulang dan diatur kembali. Anda tidak lagi perlu melakukan pelatihan
selama 30 bulan di kamar mesin yang disetujui. Kata-katanya sekarang akan lebih disinkronkan
dengan departemen dek dan berbunyi tiga tahun masa kerja di laut dengan satu tahun gabungan
keterampilan
bengkel
dan
enam
bulan
jaga
mesin
(engine
room
watchstanding).
Perwira Teknik Elektro (Electro Technical Officer/ETO) dan Bawahan Teknik Elektro (Electro
Technical Rating/ETR) akan ditambahkan. Manajemen SDM di Kamar Mesin, Pelatihan Tim
Kerja dan pelatihan Kepemimpinan akan diwajibkan baik di tingkat operasional maupun
manajemen.
STCW
Bab
V,
Tanker
dan
Kapal
Tanker:
Sekarang akan ada tiga kategori Awak kapal Tanker pada kapal tanker, yaitu:
•
Awak
kapal
tanker
Minyak.
•
Awak
kapal
tanker
Kimia.
•
Awak
kapal
tanker
Gas
Cair.
Selain itu, setiap kategori Awak kapal tanker akan dipisahkan atas dua tingkat, yaitu :
•
Dasar
(saat
ini
disebut
asisten).
•
Lanjutan
(saat
ini
disebut
Penanggung
Jawab
(PIC).
Yang akan menjadi perubahan besar adalah pemisahan bahan kimia dari minyak dan
masing-masing memerlukan prasyarat tersendiri untuk diawaki pada setiap jenis kapal dan pelatihan
khusus untuk masing-masingnya. Selain itu, akan ada Kursus Pemadaman Api di Kapal Tanker,
meskipun beberapa pihak memperbolehkan Program Pemadaman Api Dasar untuk menutupi
persyaratan ini. Kapal Penumpang - Akan ada konsolidasi aturan untuk kapal penumpang.
Offshore Supply Vessels (OSV)/Kapal Supply Offshore, Dynamis Positioning (DP)
Vessels/Kapal dengan Kendali Posisi Dinamis dan kapal yang beroperasi di Perairan yang
Tertutupi Es: Akan ada pasal baru yang memuat panduan terkait lisensi khusus atau persyaratan
pelatihan untuk OSV, DPV dan kapal yang beroperasi di Perairan yang Tertutupi Es.
STCW
Bab
VI,
Isu
Lingkungan
Laut:
Keselamatan Pribadi & Tanggung Jawab Sosial (Personal Safety & Social
Responsibilities/PSSR) yang dilaksanakan sebagai bagian dari Pelatihan Keselamatan Dasar
(Basic Safety Training/BST) serta tingkat operational yang memperhatikan kelestarian
lingkungan laut pada setiap tingkatan sertifikasi sesuai STCW Code A-II / 1 dan A-III / 1.
Pelatihan
Keselamatan
Dasar
(BST)
:
Cakupan PSSR akan ditambahkan beberapa subyek sebagai berikut :
•
Komunikasi.
•
Pengendalian
Kelelahan.
•
Tim
Kerja.
Subyek tambahan ini akan membuat modul PSSR lebih panjang tapi harus kurang dari satu hari
panjangnya. Tetap saja, ini akan memperpanjang program Pelatihan Keselamatan Dasar dari
yang
biasanya
lima
hari
menjadi
setidaknya
5,5
hari.
Pelatihan
Penyegaran
untuk
Keselamatan
:
Salah satu elemen kunci dari amandemen STCW 2010 tampaknya adalah penghapusan celah
yang berkaitan dengan pelatihan penyegaran. Kode (Aturan) STCW, yang kabur di area ini
menyebabkan banyak negara memilih untuk menafsirkan persyaratan "dalam waktu lima tahun"
secara longgar. Telah diputuskan bahwa program tertentu yang dapat mempengaruhi keselamatan
dan kelangsungan hidup awak kapal dan penumpang mewajibkan latihan penyegaran
pengendalian keadaan darurat / keselamatan dilaksanakan secara berkala.
Latihan penyegaran keselamatan dapat dilaksanakan dalam bentuk e-learning (pembelajaran
secara elektronis), latihan di atas kapal atau pelatihan di darat.Kursus keselamatan akan
memerlukan pelatihan penyegaran setiap lima tahun dan program pelatihannya dapat
diperpendek
dari
panjang
durasi
pelatihan
aslinya.
Latihan penyegaran dengan metode yang disetujui (di kelas atau kapal - belum ditentukan)
Amandemen
akan
mencakup
tiga
tingkat
pelatihan
keamanan
• Tingkat Satu – Kesadaran Keamanan (Semua anggota kru)
•
Tingkat
Dua
-
Petugas
Keamanan
• Tingkat Tiga – Ship Security Officer (Perwira Keamanan Kapal) - ISPS Code
Pelatihan Anti Pembajakan juga akan ditambahkan pada setiap level/tingkat.
STCW
Bab
VIII:
Tugas
Jaga.
Harmonisasi
dengan
IMO
MLC
Ketika IMO (International Maritime Organization) melakukan pengawasan atas sertifikasi
berdasarkan Konvensi STCW, ILO melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Konvensi
MLC. Ketika ILO mengadopsi "Seafarers Bill of Rights"(Hak-Hak Dasar Pelaut) bagi para
pelaut di dunia, semua pihak - pemerintah,pelaut dan pemilik kapal - memuji standar kerja baru
ini sebagai perkembangan penting bagi sektor industri dunia yang paling terglobalisasi.IMO
telah mengambil langkah penting untuk membangun perlindungan di bidang keselamatan,
sertifikasi dan polusi, tetapi sektor ini dibanjiri dengan berbagai standar ketenagakerjaan
internasional dari sejak lebih dari delapan dekade terakhir. ILO MLC 2006 memodernisasi
standar-standar
ini
untuk:
1. Konsolidasi dan memperbarui lebih dari 60 Konvensi ILO dan Rekomendasi-rekomendasinya
yang
telah
pernah
dibuat
sebelumnya.
2. Menetapkan persyaratan minimum bagi pelaut untuk bekerja pada sebuah kapal.
3. Menangani kondisi kerja, akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan dan katering, perlindungan
kesehatan, perawatan medis, perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial.
4. Mempromosikan kepatuhan bagi operator dan pemilik kapal dengan memberikan fleksibilitas
yang cukup pada pemerintah untuk menerapkan persyaratan dalam cara yang terbaik disesuaikan
dengan
undang-undang
nasional
masing-masing
negara.
5. Memperkuat mekanisme penegakan/pelaksanaan pada semua tingkatan, termasuk ketentuan
untuk prosedur keluhan yang tersedia bagi pelaut, pengawasan yang dilakukan oleh para pemilik
kapal dan nakhoda terhadap kondisi kapal-kapal mereka, yurisdiksi negara bendera dan kontrol
atas
kapal
mereka,
dan
inspeksi
negara
pelabuhan
pada
kapal
asing.
Kesimpulan
STCW ada untuk diberlakukan. Isu yang paling menarik tentang amandemen baru adalah bahwa
SCTW amandemen 2010 akan diimplementasikan lebih jauh dari MLC ILO.
Amandemen baru menggabungkan periode fase 5 tahun untuk pelaut yang sudah ada sekarang
dan pada saat yang sama mewajibkan adanya semua perubahan nyata seperti Jam Kerja &
Istirahat untuk diterapkan pada 1 Januari 2012. Jadi marilah kita persiapkan diri untuk perubahan
ini dan terus mengikuti perkembangannya.
Sumber : fm buletin kp
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 18.57
Minggu, 08 Januari 2012 Sekolah Pelayaran 0 komentar
Sertifikat Pelayaran
Saat ini untuk menjadi pelaut, seseorang harus memiliki ijazah-ijazah yang diperlukan, hal ini
menyebabkan tumbuhnya sekolah-sekolah pelayaran mulai dari tingkat SLTA sampai ke
perguruan tinggi. Yang mana dengan Tingkatan sebagai berikut :
lulusan SLTP dapat melanjutkan ke Sekolah Kejuruan Pelayaran (Setarap SLTA) dengan Sistim
Pendidikan 3 Tahun Belajar teori 1 tahun Praktek Berlayar (PROLA) yang mana lulusan dari
SKP ini mendapatkan IJasah setara SLTA dan ANT IV.
Ijazah bagi pelaut (perwira) di Indonesia terbagi atas ijazah dek dan ijazah mesin.
Ijazah Dek
Ijazah Dek dari yang tertinggi adalah:
1.
Ahli Nautika Tingkat I (ANT I) ; dulu Pelayaran Besar I (PB I), dapat menjabat Nakhoda
kapal dengan tak terbatas berat kapal dan alur pelayaran
2.
Ahli Nautika Tingkat II (ANT II) ; dulu Pelayaran Besar II (PB II), dapat menjabat:
o
Mualim I/
Chief Officer
tak terbatas berat kapal dan pelayaran;
o
Nakhoda/
Master
pada kapal kurang dari 5000 ton dengan pelayaran tak terbatas
o
Nakhoda/
Master
kapal kurang dari 7500 ton daerah pantai dan harus pengalaman
sebagai Mualim I selama 2 tahun
3.
Ahli Nautika Tingkat III (ANT III) ; dulu Pelayaran Besar III (PB III), dapat menjabat:
Mualim I/
Chief Officer
max 3000 DWT
4.
Ahli Nautika Tingkat IV (ANT IV) ; dulu Mualim Pelayaran Intersuler (MPI): Perwira
kapal-kapal antar pulau
5.
Ahli Nautika Tingkat V (ANT V) ; dulu Mualim Pelayaran Terbatas (MPT): Perwira
kapal-kapal kecil antar pulau
6.
Ahli Nautika Tingkat Dasar (ANT D)
Ijazah Mesin
Ijazah Mesin dari yang tertinggi adalah:
1.
Ahli Teknik Tingkat I (ATT I) ; dulu Ahli Mesin Kapal C (AMK C): Kepala Kamar
Mesin/
Chief Engineer
kapal tak terbatas
2.
Ahli Teknik Tingkat II (ATT II) ; dulu Ahli Mesin Kapal B (AMK B), dapat menjabat:
o
Masinis I/
Second Engineer
kapal tak terbatas
o
Kepala Kamar Mesin/
Chief Engineer
dengan tenaga mesin kurang dari 3000 KW,
pelayaran tak terbatas
3.
Ahli Teknik Tingkat III (ATT III) ; dulu Ahli mesin Kapal A (AMK A), dapat menjabat:
o
Perwira Jaga (tak terbatas)
o
Masinis I/
Second Engineer
dengan tenaga mesin kurang dari 3000 KW, pelayaran
tak terbatas
o
Kepala Kamar Mesin/
Chief Engineer
dengan tenaga mesin kurang dari 3000 KW
daerah pantai harus pengalaman 2 tahun sebagai Masinis I
4.
Ahli Teknik Tingkat IV (ATT IV) ; dulu Ahli Mesin Kapal Pelayaran Intersuler
(AMKPI): Masinis kapal-kapal antar pulau
5.
Ahli Teknik Tingkat V (ATT V) ; dulu Ahli Mesin Kapal Pelayaran Terbatas (AMKPT):
Masinis Kapal-kapal kecil antar pulau
6.
Ahli Teknik Tingkat Dasar (ATT D) awak kapal..!!
Sertifikat ketrampilan
Sertifikat ketrampilan ini merupakan sertifikat yang wajib dimiliki oleh para pelaut di samping
sertifikat formal di atas. Diantaranya adalah:
1. Basic Safety Training (BST)/Pelatihan Keselamatan Dasar
2. Advanced Fire Fighting (AFF)
3. Survival Craft & Rescue Boats (SCRB)
4. Medical First Aid (MFA)
5. Medical Care (MC)
6. Tanker Familiarization (TF)
7. Oil Tanker Training (OT)
8. Chemical Tanker Training (CTT)
9. Liquified Gas Tanker Training (LGT)
10. Radar Simulator (RS)
11. ARPA Simulator (AS)
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 18.55
Minggu, 08 Januari 2012 Sekolah Pelayaran 0 komentar
Sejarah Pendidikan Pelaut di Indonesia
Pada tahun 1957, Presiden RI pertama, Soekarno, meresmikan
Akademi Pelayaran
Indonesia
/AIP (sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) sebagai wadah pendidikan
pelaut/pelayaran secara akademis. Masa pendidikannya pada awal pertama adalah selama 3
tahun, sama dengan pendidikan Akademi lainnya setingkat dengan sarjana muda pada masa itu.
Pendidikan dihabiskan selama 2 tahun di kampus/asrama dan 1 tahun penuh melakukan praktik
atau Proyek Laut di kapal-kapal niaga pelayaran samudra .
AIP
Pendidikan di AIP menggunakan gaya semi militer, karena memang taruna-taruna AIP adalah
merupakan perwira cadangan angkatan laut. Sejak didirikan sampai kira-kira tahun 1985, hampir
semua lulusan AIP terkena wajib militer dan bertugas di kapal-kapal perang RI dengan pangkat
perwira muda Letda Angkatan Laut. Begitu juga pada awalnya semua taruna AIP mendapat
ikatan dinas untuk menutupi kurangnya perwira laut pelayaran niaga Indonesia, yang dahulu
sebagian besar masih di nakhodai oleh perwira laut Belanda. Pendidikan pelayaran di AIP
banyak dipengaruhi oleh sistim pendidikan Akademi Pelayaran Belanda maupun Kingspoint
Academy Amerika Serikat, karena memang hampir tiap tahunnya sebagian Taruna pilihan serta
para pendidik di kirim ke luar negeri untuk tugas belajar dan jalan jalan menghabiskan uang
negara indonesia.
BPLP di Semarang dan Makassar
Hingga dekade 70-80an menyusul berdirinya beberapa Pendidikan Pelayaran Negeri di
Semarang dan Makassar dengan nama Balai Pendidikan dan Latihan Pelayaran sebagai Crash
Program memenuhi kebutuhan perwira pelayaran niaga di Indonesia. Sekarang kedua lembaga
pendidikan tersebut diberi nama Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang (PIP Semarang)dan
Politeknik Ilmu Pelayaran Makassar (PIP Makassar), yang memiliki kurikulum dan standar yang
sama dengan STIP Jakarta. Penerimaan mahasiswa atau dikenal Taruna dilakukan satu pintu
melalui Badan Diklat Perhubungan Departeman Perhubungan. Lulusan mendapatkan ijazah
formal Diploma IV dengan gelar S.ST dan memiliki ijazah profesi ANT / ATT III.
Masa kejayaan pelaut Indonesia mulai sirna sejak musibah besar nasional terjadi pada tahun
1980 dengan tenggelamnya kapal KMP Tampomas II. Menyusul pemerintah Indonesia
Sumber : www.wikipedia.com
Diposkan oleh Dirhamsyah, SE di 18.46
Sabtu, 07 Januari 2012 Hukum Maritim 0 komentar
Peraturan Mengenai Marine Pollution ( MARPOL )
Sejak peluncuran kapal pengangkut minyak yang pertama GLUCKAUF pada tahun 1885 dan penggunaan pertama mesin diesel sebagai tenaga penggerak utama kapal tiga tahun kemudian, maka penomena pencemaran laut oleh minyak mulai muncul. Sebelum perang Dunia Kedua Sudah ada usaha-usaha untuk membuat peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh minyak, akan tetapi baru dimulai terpikirkan setelah terbentuk International Maritime Organization (IMO) dalam Badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Namun demikian pada saat itu usaha untuk membuat peraturan yang dapat dipatuhi oleh semua pihak dalam organisasi tersebut masih ditentang oleh banyak pihak. Baru pada tahun 1954 atas prakarsa dan pengorganisasian yang dilakukan oleh pemerintah Inggris (UK), lahirlah Oil Pollution Convention yang mencari cara untuk mencegah pembuangan campuran minyak dari pengoperasian kapal tanker dan dari kamar mesin. Cara tersebut dilakukan dengan :
- Lokasi tempat pembuangan minyak atau campuran air dan minyak yang melebihi 100 ppm diperluas sejauh 50 nautical mile dari pantai terdekat. - Negara anggota diharuskan untuk menyediakan fasilitas penampungan didarat guna menampung campuran air dan minyak.
crudel oil dan telah merubah pandangan masyarakat International dimana sejak saat itu mulai dipikirkan bersama pencegahan pencemaran secara serius.
Sebagai hasilnya adalah “ International Convention for the Prevention of Pollution from Ships “ tahun 1973 yang kemudian disempurnakan dengan TSPP ( Tanker Safety and Pollution Prevention ) Protocol tehun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL 1973/1978 yang masih berlaku sampai sekarang.
MARPOL 1973/1978 memuat 5 (lima) Annexes yakni :
Annex I - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh Minyak
Annex II - Peraturan-peraturan untuk pengawasan pencemaran oleh zat-zat cair beracun dalam jumlah besar
Annex III - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemarean oleh zat-zat berbahaya yang diangkut melalui laut dalam kemasan, atau peti atau tangki jinjing atau mobil tangki dan gerbong tangki
Annex IV - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh kotoran dari kapal Annex V - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh sampah dari kapal Annex VI - Peraturan-peraturan untuk pencegahan pencemaran udara dari kapal-kapal
Konvensi ini berlaku secara International sejak 2 Oktober 1983. Isi dan teks dari MARPOL 73/78 sangat komplek dan sulit dipahami bila tanpa ada usaha mempelajari secara intensif. Implikasi lamgsung terhadap kepentingan lingkungan Maritim dari hasil pelaksanaannya memerlukan evaluasi berkelanjutan baik oleh pemerintah maupun pihak industri suatu negara. Selanjutnya yang akan dibicarakan dalam buku ini adalah Annex 1 saja karena merupakan sumber pencemaran utama dewasa ini.
Annex 1 MARPOL 73/78 yang berisi mengenai peraturan untuk mencegah pencemaran oleh tumpahan minyak dari kapal sampai 6 juli 1993 sudah terdiri dari 26 regulation Dokumen penting yang menjadi bagian integral dari Annex 1 adalah :
Appendix I Mengenai Daftar dan jenis minyak Appendix II Bentuk format dari IOPP Certificate Appendix III Bentuk format dari Oil Record Book
Berikut adalah isi dan bentuk dari dokumen dimaksud berdasarkan MARPOL 73/78 :
a. “ List of Oil “ sesuai Appendix I MARPOL 73/78 adalah daftar dari minyak yang akan menyebabkan pencemaran apabila tumpah ke laut dimana daftar tersebut tidak akan sama dengan daftar minyak sesuai kriteria industri perminyakan,
b. “ International Oil Pollution Prevention Certificate “ ( IOPC Certificate ) untuk semua kapal dagang, dimana supplement atau lampiran mengenai “ Record of Construction and Equipment for Ship other than oil Tankers and Oil Tankers “ dijelaskan secara terpisah di dalam Appendix II MARPOL 73/78
Pada permulaan tahun 1970 an cara pendekatan yang dilakukan oleh IMO dalam membuat peraturan yang berhubungan dengan Marina Pollution pada dasarnya sama dengan sekarang, yakni melakukan kontrol yang ketat pada struktur kapal untuk mencegah jangan sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut. Dengan pendekatan demikian MARPOL 73/78 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak yang mencemari laut, tetapi kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa modifikasi oleh IMO yang menitik beratkan pencegahan hanya pada kegiatan operasi tanker pada Annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapi dengan Oil Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.
Karena itu pada peraturan MARPOL 1973/1978 dapat dibagi dalam 3 (tiga) katagori : a. Peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran
b. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran c. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut
Sumber : Buku Sekolah Elektronik SMK Nautika Kapal Penangkap Ikan Jilid 3
han di Indonesia
Jumat, 15 Oktober 2010
International Safety Management Code (ISM Code) Posted on 08.14 by Sailor
ISM Code secara singkat merupakan sistem manajemen keselamatan, mandatory dari pemerintah, ada elemen-elemen persyaratannya, sistem harus didokumentasikan dan dibuktikan, komitmen dari top manajemen, kejelasan organisasi darat & kapal, kejelasan job description darat & kapal, operasi kapal dengan ABK terlatih, memenuhi standar nasional/internasional berkaitan dengan keselamatan dan perlindungan lingkungan, siap terhadap situasi darurat, prosedur & petunjuk kerja, internal audit dan tinjauan manajemen, sertifikasi.
Biro Klasifikasi Indonesia pada International Safety Management Code (ISM Code), ( bahwa kecelakaan kapal sering terjadi karena beberapa faktor antara lain :
(2) Manajemen perusahaan yang kurang baik.
(3) Kurangnya dukungan dari perusahaan atas kebutuhan operasional kapal yang aman.
IMO (International Maritime Organization) sebagai suatu organisasi maritime internasional, dengan melihat adanya beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan kapal tersebut maka
menetapkan suatu peraturan manajemen internasional untuk mengoperasikan kapal dengan aman yaitu International Safety Management Code yang selanjutnya disebut dengan ISM Code yang wajib
diterapkan untuk semua jenis kapal,
Disisi lain Tato menyatakan bahwa ISM Code membentuk suatu standar internasional untuk manajemen dan operasi kapal yang aman dengan menetapkan aturan bagi perusahaan pelayaran sehubungan dengan keselamatan dan pencegahan polusi serta untuk penerapan Safety Management System (SMS). SMS menjadi tulang punggung bagi perusahaan pada saat ditentukan dan didokumentasikan, tugas dan aktifitas yang berkaitan dengan keselamatan dan perlindungan lingkungan, baik di darat maupun di kapal. Adanya peraturan pengoperasian kapal yang aman ISM Code tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya kecelakaan-kecelakaan kapal sehingga tidak merugikan perusahaan yang
bersangkutan dan instansi yang terkait lainnya. Untuk itu diperlukan adanya dukungan dari perusahaan atas kebutuhan operasional kapal yang aman, perlindungan terhadap lingkungan, dan manajemen perusahaan yang baik dengan mengoptimalkan implementasi ISM Code.
Untuk memverifikasi implementasi ISM Code pada perusahaan-perusahaan pelayaran telah ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia yaitu Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang mempunyai tugas sebagai berikut:
Sebagai Eksternal Auditor dalam melaksanakan verifikasi (pembuktian) pelaksanaan ISM Code
Menerbitkan Dokumen Penyesuaian Manajemen Keselamatan (Document of Compliance/DOC) untuk Perusahaan atas nama Pemerintah
Menerbitkan Sertifikat Manajemen Keselamatan (Safety management Certificate/SMC) untuk kapal atas nama Pemerintah.
Sistem Manajemen Keselamatan ini diterapkan pada semua kegiatan yang berkaitan dengan pengoperasian kapal, termasuk pengoperasian kapal secara aman dan perlindungan terhadap pencemaran, meliputi:
Pengawakan Teknik
Manajemen Keselamatan dan Nautis Manajemen Operasional
Manajemen Pengawasan/Kontrol Manajemen Kesiapan Tanggap Darurat
Standar-standar berikut ini adalah yang relevan untuk dimengerti dan diterapkan di dalam kebijakan dan prosedur yang tercantum dalam Sistem Manajemen ಕಸಳಮತನ.
ISM-Code (International Safety management Code) : Koda internasional tentang manajemen keselamatan.
SOLAS 74 (Safety Of Life at Sea 74) : Peraturan internasional tentang keselamatan jiwa di laut yang dibuat oleh organisasi maritime internasional tahun 1974.
MARPOL 73/78 (Marine Pollution 73/78) : Peraturan internasional tentang pencegahan pencemaran di laut yang dibuat oleh organisasi maritime internasional tahun 1973/1978.
COLLREGS (Collision Regulation) : Peraturan Internasional tentang tubrukan di laut. STCW 95 (Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarer) : Standar pendidikan/latihan sertifikasi dan pelaksanaan jaga bagi para pelaut