• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan

(IMB) di Kota Bogor

Rizki Aulia1, Afiati Indri Wardani1

1. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia 2. Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Email : rizkiaulia93@gmail.com, afiatiindriw@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini membahas bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin mendirikan bangunan di Kota Bogor. Penelitian deskriptif ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang melalui izin mendirikan bangunan di Kota Bogor belum berjalan secara optimal. Hal ini dilihat dari dua aspek yakni pengawasan dan penertiban. Dari segi pengawasan, pelaksanaan kewenangan masih disertai dengan minimnya tanggung jawab oleh aktor yang terlibat, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aktor yang terlibat belum mampu mengendalikan kegiatan pemanfaatan ruang melalui izin mendirikan bangunan, dan koordinasi antar aktor yang terlibat belum terjalin secara intens. Dari segi penertiban, pelaksanaan kewenangan oleh aktor yang terlibat belum dijalankan dengan baik, bentuk penertiban yang dilakukan oleh aktor yang terlibat belum secara maksimal menertibkan bangunan gedung yang melanggar izin mendirikan bangunan, serta koordinasi antar aktor yang terlibat belum terjalin secara maksimal.

Kata kunci : pengendalian pemanfaatan ruang, izin mendirikan bangunan, Kota Bogor

The Spatial Planning Control through Building Permit in The City of Bogor

ABSTRACT

This research is about the spatial planning control through building permit in the city of Bogor. This descriptive study used a qualitative approach with qualitative collecting data method. The results of this study indicate that spatial planning control through the building permit in the city of Bogor is not running optimally. It is seen from two aspects namely supervision and enforcement. In terms of supervision, implementation of authority is accompanied with a lack of responsibility from actors who is involved, the form of controlling from actors who is involved have not been able to control the utilization of space through the building permit, and coordination among involved actors have not been intensely. In terms of enforcement, the implementation of authority by involved actors have not been executed properly, the form of controlling from involved actors who were not regulated violated building permit buildings optimally, as well as coordination among involved actors have not been established maximally,

Keywords : spatial planning control, building permit, Bogor City

Pendahuluan

Kota Bogor merupakan salah satu kota yang sudah memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), yaitu Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031. Peraturan daerah

(2)

tersebut salah satunya mengatur mengenai ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota, termasuk di dalamnya terdapat instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang berperan dalam mewujudkan tata ruang yang tertib ruang. Oleh karena itu, melalui RTRW Kota Bogor 2011-2031, pemerintah Kota Bogor dituntut untuk melakukan pengendalian pemanfaatan ruang supaya pemanfaatan ruang di Kota Bogor sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

Pada kenyataannya pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Bogor belum dilaksanakan secara optimal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam permasalahan pemanfaatan ruang di Kota Bogor yaitu adanya kegiatan alih fungsi lahan, pembangunan properti komersial yang tidak mengindahkan RTRW, adanya kemudahan pemberian izin pembangunan fisik, dan menjamurnya bangunan yang belum memiliki IMB, IMB yang tidak sesuai peruntukannya, serta IMB yang belum lengkap. Oleh karena itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Bogor adalah dengan melakukan pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB. Hal ini juga disebabkan oleh belum lengkapnya mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang seperti aturan zonasi, aturan insentif dan disinsentif di Kota Bogor (Materi Teknis RTRW Kota Bogor).

Adapun penerbitan IMB di Kota Bogor telah mengalami kecenderungan yang meningkat dari tahun 2010 sampai tahun 2012. Penerbitan IMB ini mengalami peningkatan yang signifikan pada tahun 2010 sampai tahun 2012, yakni sebesar 78,82 %. Sementara itu, pada tahun 2012 terdapat jumlah penerbitan IMB yang paling besar yakni sebanyak 1765 IMB. Penerbitan IMB yang meningkat setiap tahunnya ini telah mengindikasikan adanya peningkatan pertumbuhan bangunan gedung di Kota Bogor. Peningkatan pertumbuhan bangunan gedung yang pesat ini dapat memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan lahan yang kemudian dapat mempersempit ruang yang ada di Kota Bogor.

Jika melihat kemampuan lahan di Kota Bogor, dapat diketahui bahwa lahan yang paling luas adalah lahan untuk daerah resapan. Lahan tersebut mempunyai kemampuan meresapkan tanah yang cukup tinggi sehingga perlu dijaga kemampuan lahannya. Kondisi ini tidak berarti kawasan tersebut tidak dapat dikembangkan namun perlu aturan bangunan yang jelas sehingga dapat meresapkan air dengan baik. Aturan tersebut dapat berupa pengaturan KDB rendah dan dengan kewajiban membuat sumur resapan. Semua aturan tersebut pada dasarnya sudah termasuk ke dalam mekanisme IMB (Bappeda Kota Bogor, 2009). Dengan demikian, berdasarkan permasalahan yang ada, pertanyaan penelitian yang dikemukakan

(3)

dalam skripsi ini adalah : bagaimana pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor?

Tinjauan Teoritis

Terdapat beberapa konsep dalam penelitian ini yaitu manajemen perkotaan, perencanaan kota, penataan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, dan perizinan. Pertama, manajemen perkotaan adalah “local governments-whether they be towns, cities, metropolitan

regions, provinces or states-typically carry out the principal responsibility for managing six inter-related urban sectors” (Leman, 1994:1). Sektor-sektor perkotaan yang saling terkait satu

sama lain dan mempengaruhi pengelolaan kota tersebut yaitu lahan perkotaan, lingkungan alam, infrastruktur, perumahan dan fasilitas sosial, pembangunan ekonomi, pelayanan sosial (Leman, 1994:1) Untuk mengelola keenam sektor perkotaan tersebut dibutuhkan adanya peran-peran aktor dalam manajemen perkotaan. Adapun aktor-aktor yang terlibat dalam manajemen perkotaan yaitu pemerintah, swasta, dan lembaga swadaya masyarakat (Leman, 1994:12).

Dalam manajemen kota, fungsi pertama yang diperlukan oleh manajer dan staf dalam adalah fungsi perencanaan (Sadyohutomo, 2008:21). Sementara itu, dua unsur penting dalam perencanaan yakni : (1) penentuan tujuan untuk hal-hal yang ingin dicapai di masa depan, (2) langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut (Kay dan Alder, 2002:65). Selain itu, menurut Sadyohutomo (2008:30), rencana (plan) adalah produk dari proses perencanaan yang dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu melalui tahap-tahap kegiatan. Setiap rencana paling tidak mempunyai 3 unsur pokok, yakni sebagai berikut : (1) Titik Tolak : Di dalam perencanaan tata ruang, titik tolak rencana adalah berupa fakta wilayah kini (exsisting condtion), yang meliputi potensi fisik wilayah, kesesuaian tanah, penggunaan tanah, kondisi ekonomi, sosial dan budaya; (2) Tujuan : sesuatu keadaan yang dicapai di masa yang akan datang. Di dalam perencanaan tata ruang, tujuan rencana adalah kondisi tata ruang yang diinginkan oleh masyarakat (bersama pemerintah); (3) Arah Rencana : pedoman untuk mencapai rencana dengan cara yang legal, efisien, dan terjangkau oleh pelaksana. Dengan demikian, perencanaan kota juga menyangkut perencanaan tata ruang yang merupakan ruang lingkup dari penataan ruang kota (Tjahjati dan Bulkin dalam Nurmandi, 2006:222).

Menurut Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju (2011:391) penaatan ruang yaitu wujud pola dan struktur ruang yang terbentuk secara alamiah dan juga sebagai wujud dari hasil proses-proses alam maupun dari hasil proses sosial akibat adanya pembelajaran (learning

(4)

proporsional oleh pemerintah dan masyarakat. Adapun kegiatan penyelenggaran penataan ruang meliputi pengaturan, pembinaan, pengawasan dan pelaksanaan. Sementara itu, pelaksanaan penataan ruang terdiri dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang (Rustiadi, Saefulhakim, dan Panuju, 2011:394).

Perencanaan tata ruang pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar terwujudnya alokasi ruang yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan keseimbangan antar wilayah (Supriyatno, 2009:72). Sementara itu, pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan baik secara vertikal maupun pemanfaatan ruang di dalam bumi. Contoh pemanfaatan ruang vertikal misalnya berupa bangunan bertingkat, baik di atas tanah maupun di dalam bumi. Untuk pemanfaatan ruang lainnya di dalam bumi, antara lain untuk jaringan utilitas (jaringan transmisi listrik, jaringan telekomunikasi, jaringan pipa air bersih) dan jaringan kereta api maupun jaringan jalan bawah tanah. Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang dietetapkan dalam rencana tata ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, air, udara dan sumber daya lain (Supriyatno, 2009:101).

Adapun pengendalian pemanfataan ruang merupakan suatu piranti manajemen pengelolaan kota yang sangat diperlukan oleh manajer kota untuk memastikan bahwa perencanaan tata ruang dan pelaksanaan pemanfaatan ruangnya telah berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya penyimpangan fungsi ruang yang tidak terkendali dan tidak terarah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang (Ibrahim, 1998:2). Dengan demikian, dalam rangka mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan Rencana Tata Ruang, maka perlu dilakukan dua tahap kegiatan yaitu sebagai berikut : (1) tahap pengawasan : usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan RTR. Kegiatan pengawasan dimaksudkan untuk mengikuti dan mendata perkembangan pelaksanaan pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh semua pihak sehingga apabila terjadi penyimpangan perencanaan yang telah ditetapkan dapat diketahui dan dilakukan upaya penyelesaiannya. Kegiatan pengawasan mencakup pelaporan dan pemantauan. Sementara itu, penertiban adalah usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan dalam bentuk pengenaan sanksi, baik hukum maupun denda atas penyimpangan RTR (Ibrahim, 1998:9-11).

Pendapat yang hampir sama mengenai kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang juga dikemukakan oleh Sadyohutomo. Menurut Sadyohutomo (2008:48) pengendalian pemanfaatan ruang merupakan upaya pengendalian yang meliputi pemantauan, evaluasi, dan

(5)

pengawasan. Upaya pengendalian diawali dengan kegiatan pemantauan terhadap penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah/ruang. Data hasil pemantauan kemudian dievaluasi apakah ada indikasi penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah. Apabila ada indikasi pelanggaran, maka dilakukan kegiatan pengawasan, yaitu dengan verifikasi. Hasil verifikasi dituangkan dalam pelaporan sebagai bahan rumusan tindakan penertiban yang diperlukan. Tindakan penertiban diserahkan kepada pihak yang berwenang dalam penegakkan hukum dan petugas ketertiban. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib ruang melalui pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang yang kemudan didukung oleh instrumen perizinan, peraturan zonasi, insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi.

Perizinan adalah salah satu instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang bertujuan untuk menjaga agar pemanfaatan ruang dapat berlangsung sesuai dengan fungsi ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang. Untuk itu perizinan pemanfaatan ruang harus dimiliki sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang (Supriyatno, 2009:107). Adapun Lea dan J.M Courtney dalam Nurmandi (2006:163) menyebutkan jenis-jenis izin untuk pengendalian tata guna lahan terdiri dari enam jenis perizinan, yakni izin gangguan, izin prinsip, izin lokasi, izin perencanaan, izin usaha, dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Sementara itu, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut (Sutedi, 2011:196). IMB akan diterbitkan setelah segala persyaratan teknis pembangunan fisik seperti rencana tata letak, bentuk arsitektur, lanskap, dan aspek lingkungan serta fisiografis untuk jenis, bentuk, fungsi, penggunaan, dan keadaan lingkungan dipenuhi (Nurmandi, 2006:162).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Creswell (2010:4), penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Penelitian kualitatif digunakan peneliti untuk mendapatkan pemahaman atau pemaknaan secara mendalam mengenai gejala sosial dengan melihat fakta-fakta alamiah yang terjadi di lapangan yang kemudian dapat diambil sebagai suatu pemahaman baru dari

(6)

fakta-fakta tersebut yakni dengan menjelaskan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu studi lapangan (field research) dan studi kepustakaan (library research). Peneliti melakukan studi lapangan melalui wawancara mendalam dan observasi, sedangkan studi kepustakaan dilakukan dengan melakukan studi terhadap bahan-bahan kepustakaan, seperti buku, jurnal, internet, serta dokumen-dokumen instansi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor. Sementara itu, teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data model Miles dan Huberman yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan menarik simpulan/verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:15).

Hasil dan Pembahasan

Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib tata ruang melalui pengawasan dan penertiban pemanfaatan ruang. Adapun untuk pengendalian pemanfaatan ruang yang sudah dilaksanakan di Kota Bogor masih berkisar pada diterapkannya mekanisme perizinan yaitu melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Hal ini disebabkan oleh Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Bogor yang masih menunggu persetujuan substantif di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Selain itu, mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang juga belum lengkap karena belum memiliki aturan zonasi, aturan insentif, dan disinsentif.

Pada bagian ini memaparkan Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor yang dibagi menjadi empat subbab utama yaitu pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB dilihat dari aspek pengawasan, pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB dilihat dari aspek penertiban, unsur masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB serta faktor yang mendukung dan menghambat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB.

Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari Pengawasan Pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari aspek pengawasan mencakup adanya kewenangan aktor-aktor yang terlibat, bentuk pengawasan dari aktor-aktor yang terlibat, dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat.

(7)

Kewenangan Aktor-Aktor yang Terlibat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari Pengawasan

1) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor

Kewenangan yang dimiliki oleh Bappeda Kota Bogor meliputi kewenangan untuk merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang Kota Bogor dan memberikan Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT). Pertama, kewenangan merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang telah diwujudkan melalui Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 2011-2031. Peraturan Daerah tersebut merupakan pedoman untuk melaksanakan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Bogor. Kedua, kewenangan untuk memberikan IPPT ini tercantum pada Peraturan Walikota Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Penandatanganan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Kota Bogor.

2) Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kota Bogor Kewenangan yang dimiliki oleh BPPTPM Kota Bogor adalah kewenangan pemrosesan dan penandatanganan perizinan IMB oleh Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kota Bogor sesuai ketentuan yang berlaku. Kewenangan pemrosesan dan penandatanganan IMB tersebut telah dilimpahkan kepada BPPTPM berdasarkan Peraturan Walikota Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Penandatanganan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan di Kota Bogor. 3) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor

Kewenangan yang dimiliki oleh Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor adalah merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang, melakukan kegiatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pemanfaatan ruang dan bangunan. Pertama, kewenangan merumuskan kebijakan perencanaan tata ruang Kota Bogor sendiri telah dituangkan ke dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 2011-2031. Kedua, kewenangan untuk melakukan kegiatan pengawasan dan pengendalian kegiatan pemanfaatan ruang dan bangunan. Kewenangan pengawasan yang dilakukan oleh Wasbangkim yaitu pengawasan IMB terhadap bangunan gedung.

4) Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bogor

Kewenangan yang dimiliki oleh Komisi C DPRD Kota Bogor adalah melakukan pengawasan pembangunan. Pengawasan pembangunan yang dilakukan oleh Komisi C DPRD Kota Bogor yaitu pengawasan infrastruktur, site plan, dan perizinan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bogor.

(8)

5) Kecamatan di Kota Bogor

Kewenangan yang dimiliki oleh Kecamatan di Kota Bogor adalah : (1) melakukan pendataan terhadap bangunan dan bangun bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tanpa izin, dan melanggar ketentuan yang berlaku, (2) memfasilitasi pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pembangunan di wilayah kerjanya. Sementara itu, kecamatan juga melakukan persetujuan dan pengesahan atas surat persetujuan tetangga.

Bentuk Pengawasan dari Aktor-Aktor yang Terlibat

Pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dapat ditinjau dari bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat. Pengawasan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat merupakan suatu usaha untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang yang ditetapkan dengan rencana tata ruang.

1) Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor

Bappeda Kota Bogor melakukan cek peruntukan ruang, pembahasan IMB, dan meninjau lokasi IPPT. Bentuk pengawasan tersebut juga memiliki permasalahan yaitu RTRW Kota Bogor yang sifatnya makro dapat menimbulkan interpretasi peruntukan ruang dan pembahasan IPPT yang sarat kepentingan. Hal ini dikarenakan belum adanya peraturan zonasi yang sifatnya mengikat pemanfaatan ruang dan adanya kerjasama antara pemohon IPPT dengan pemerintah dalam pengkajian ketentuan teknis agar IPPT yang diajukan oleh pemohon dapat terbit.

2) Badan Pelayanan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPPTPM) Kota Bogor BPPTPM Kota Bogor melakukan pengawasan dengan memeriksa berkas administrasi dan teknis serta meninjau lokasi permohonan IMB. Permasalahannya adalah adanya kesan pembiaran oleh BPPTPM ketika menemukan bangunan yang sudah berdiri sebelum IMB terbit. Hal ini dapat ditemukan BPPTPM ketika BPPTPM melakukan survei ke lokasi permohonan IMB.

3) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor

Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Wasbangkim adalah pemantauan bangunan gedung. Pemantauan bangunan gedung ini bermasalah ketika Wasbangkim tidak memiliki data yang valid mengenai jumlah bangunan yang ada di Kota Bogor baik bangunan yang memilliki IMB atau yang tidak memiliki IMB. Sementara itu, di Kota Bogor juga masih dapat ditemukan bangunan yang melanggar ketentuan IMB. Selain itu, pemantauan bangunan gedung yang tidak berkelanjutan juga menunjukkan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Wasbangkim.

(9)

4) Komisi C DPRD Kota Bogor

Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Komisi C DPRD Kota Bogor adalah melalaui inspeksi mendadak. Namun demikian, pada kenyataannya inspeksi mendadak ini belum dapat mengurangi jumlah bangunan yang melanggar di Kota Bogor. Hal ini disinyalir bahwa terdapat ketidaktegasan Komisi C DPRD Kota Bogor dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan di Kota Bogor. Untuk itu, pengawasan yang dilakukan oleh Komisi C DPRD Kota Bogor dinilai masih rendah.

5) Kecamatan di Kota Bogor

Kecamatan memiliki bentuk pengawasan berupa pengesahan surat persetujuan tetangga dan pendataan bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tanpa izin, dan melanggar ketentuan yang berlaku. Namun pada pelaksanannya, aparat kecamatan belum secara aktif melakukan pengawasan terhadap kegiatan pembangunan di masing-masing wilayahnya. Hal ini dapat dilihat dari minimnya data yang dimiliki oleh Kecamatan mengenai bangunan yang ada baik yang memiliki IMB atau yang melanggar IMB.

Koordinasi Antar Aktor-Aktor yang Terlibat

Koordinasi antar aktor-aktor dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB yang dilihat dari pengawasan pada dasarnya dimulai saat pemrosesan IPPT dan pemrosesan IMB. Berikut ini penjelasan mengenai koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat dalam pemrosesan IPPT dan IMB.

Koordinasi dalam Pemrosesan IPPT

Koordinasi dimulai ketika pembahasan IPPT dilakukan oleh perwakilan BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah). Perwakilan BKPRD mencakup perwakilan dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ), Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH), Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air, dan Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman. Sementara itu, hasil koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat pembahasan IPPT telah dituangkan dalam berita acara.

Berita acara IPPT tersebut menunjukkan bahwa sudah adanya koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat. Koordinasi ini berjalan ketika permohonan IPPT dibahas oleh tim BKPRD. Sementara itu, dengan adanya berita acara IPPT juga semakin mendorong terjalinnya koordinasi oleh tim BKPRD. Selain itu, koordinasi yang dituangkan dalam berita acara IPPT juga digunakan untuk meminimalkan adanya perbedaan informasi antara

(10)

aktor-aktor yang terlibat. Adanya koordinasi antar aktor-aktor-aktor-aktor yang terlibat dalam pembahasan IPPT ini menentukan hasil permohonan IPPT apakah ditolak atau disetujui. Pembahasan IPPT oleh tim BKPRD merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap pemanfaatan ruang. Hal ini disebabkan ketika IPPT dibahas akan dinilai apakah sudah sesuai dengan ketentuan teknis.

Koordinasi dalam Pemrosesan IMB

Koordinasi dalam pemrosesan IMB dimulai dari grass root perizinan yaitu saat pengurusan surat persetujuan tetangga yang harus diketahui oleh Ketua RT, Ketua RW, Kelurahan dan Kecamatan pada lokasi didirikannya pembangunan. Jika Ketua RT dan RW setempat telah menandatangani surat tersebut, yang sebelumnya juga sudah ditandatangani oleh warga yang lokasinya berada di sebelah kiri, kanan, depan, dan belakang dari pembangunan tersebut, maka surat diteruskan ke Kelurahan untuk disetujui oleh Lurah setempat. Pihak Kelurahan akan berkoordinasi dengan Kecamatan untuk dikeluarkannya atau disahkannya surat persetujuan izin tetangga. Pada level grass root ini sudah terjalin koordinasi, meskipun ada pemilik bangunan gedung yang membuat surat persetujuan tetangga yang lokasinya tidak terlalu berdekatan dengan pembangunan tersebut.

Surat persetujuan tetangga tersebut nantinya akan digunakan untuk memenuhi persyaratan permohonan IMB ke BPPTPM Kota Bogor. BPPTPM sebagai pihak yang mengeluarkan IMB akan berkoordinasi dengan Wasbangkim mengenai IMB yang telah terbit. Namun, yang perlu dicatat adalah pihak kecamatan dan kelurahan tidak mengetahui terbit atau tidaknya IMB oleh BPPTPM. Hal ini menggambarkan koordinasi terputus dari level Kecamatan dan Kelurahan ke aktor pelaksana perizinan yakni BPPTPM. Selain itu, kondisi ini menyebabkan tidak terpantaunya IMB oleh pihak Kecamatan dan Kelurahan setempat karena pemilik IMB tidak berkewajiban untuk melaporkan IMB yang sudah dimiliki kepada Kelurahan dan Kecamatan setempat.

Koordinasi BPPTPM dengan Wasbangkim dimulai ketika BPPTPM melimpahkan berkas IMB yang telah diterbitkan oleh BPPTPM kepada Wasbangkim. Selanjutnya, Wasbangkim akan melakukan pengawasan terhadap IMB yang telah diterbitkan. Namun demikian, yang menjadi masalah di lapangan adalah ketika Wasbangkim akan melakukan koordinasi dengan pemilik IMB yang tidak ada di lokasi pembangunan. Padahal, Wasbangkim sangat memerlukan keterangan dari pemilik bangunan atau pemilik IMB apabila pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai atau melanggar ketentuan IMB. Koordinasi yang tidak terjalin dengan pemilik bangunan pada dasarnya dapat memperlambat pengawasan

(11)

yang dilakukan oleh Wasbangkim. Hal ini juga dialami oleh aparat Kecamatan ketika menemukan bangunan yang melanggar ketentuan IMB.

Koordinasi selanjutnya adalah koordinasi antara Kecamatan dengan Wasbangkim dalam hal pendataan bangunan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, tanpa izin, dan melanggar ketentuan yang berlaku. Namun demikian, koordinasi yang terjalin antara Kecamatan dan Wasbangkim belum dilakukan secara intens. Kurangnya koordinasi antara Kecamatan dengan Wasbangkim juga dirasakan oleh aparat Kecamatan di Kota Bogor

Pengendalian Pemanfaatan Ruang Melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor dilihat dari Penertiban

Pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari aspek penertiban mencakup adanya kewenangan aktor-aktor yang terlibat, bentuk penertiban oleh aktor-aktor yang terlibat, dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat.

Kewenangan Aktor-Aktor yang terlibat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor dilihat dari Penertiban

1) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor

Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor memiliki kewenangan dalam hal penertiban bangunan gedung. Bangunan gedung yang akan ditertibkan meliputi sebagai berikut : bangunan gedung yang didirikan tanpa kepemilikan IMB, bangunan gedung yang didirikan tidak sesuai dengan IMB yang diterbitkan, dan bangunan gedung yang dimanfaatkan tidak sesuai dengan IMB.

2) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor

Kewenangan yang dimiliki oleh Satpol PP Kota Bogor adalah melakukan penyelidikan, penindakan, dan penegakan peraturan daerah. Sementara itu, pelaksanaan kegiatan penyelidikan, penindakan, dan penegakan peraturan daerah oleh Satpol PP Kota Bogor pada dasarnya mengacu kepada Peraturan Walikota Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Bangunan Gedung dan Peraturan Walikota Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pedoman Operasional Tetap (PROTAP) Satpol PP Kota Bogor.

Pelaksanaan penegakan peraturan daerah dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB adalah dengan melakukan penertiban bangunan gedung. Penertiban bangunan gedung adalah serangkaian tindakan untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung sehingga sesuai dengan ketentuan teknis, administrasi, dan perizinannya sesuai peraturan perundang-undangan.

(12)

Bentuk Penertiban dari Aktor-Aktor yang Terlibat

Penertiban yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat merupakan suatu usaha untuk mengambil tindakan agar pemanfaatan ruang yang direncanakan dapat terwujud. Tindakan penertiban ini dilakukan melalui pemeriksaan dan penyidikan atas semua pelanggaran yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (Bakar, 2008:7). Oleh karena itu, optimalisasi penertiban yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat dapat dilihat dari bentuk penertiban yang dilakukan tersebut berjalan dengan baik atau dengan kata lain tidak menemui permasalahan ketika di lapangan.

1) Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) Kota Bogor

Tindakan penertiban bangunan gedung yang dilakukan oleh Wasbangkim meliputi : pemberian teguran tertulis pertama, pemberian teguran tertulis kedua, dan pemberian teguran tertulis ketiga. Setiap penyampaian teguran tertulis nantinya akan dibuatkan tanda terima yang ditandatangani oleh pemilik bangunan. Jika teguran tertulis ketiga tidak dihiraukan oleh pemilik bangunan, maka Wasbangkim akan melimpahkan bangunan gedung yang melanggar tersebut kepada Satpol PP. Bangunan gedung yang dilimpahkan kepada Satpol PP merupakan bagunan gedung yang akan diberikan tindakan polisionil. Pada kenyataannya di lapangan, Wasbangkim mengalami kesulitan dalam memberikan teguran tertulis kepada pemilik bangunan gedung. Hal ini disebabkan oleh pemilik bangunan gedung tidak berada di lokasi pembangunan. Sementara itu, surat teguran ini merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh Wasbangkim agar pemilik bangunan dapat memperbaiki pelanggaran yang dilakukan. 2) Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bogor

Bentuk penertiban yang dilakukan Satpol PP dalam menertibkan bangunan gedung disebut sebagai tindakan polisionil. Adapun sebelum tindakan polisionil dilaksanakan oleh Satpol PP, Satpol PP memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan. Kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan dilakukan oleh Satpol PP yang memiliki kedudukan sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Prosedur penyegelan yang dilakukan Satpol PP meliputi pemberian surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga. Sementara itu, untuk jangka waktu surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga adalah tujuh hari kalender. Selain itu, Satpol PP juga akan memberitahukan waktu penyegelan kepada pemilik bangunan. Selanjutnya, tindakan penyegelan ini dapat berlanjut pada tindakan pembongkaran apabila pemilik bangunan tidak mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau tidak memperbaiki pelanggaran yang telah dilakukan. Tindakan pembongkaran dilakukan terhadap semua jenis bangunan yang melanggar, baik

(13)

bangunan dengan suatu perhitungan konstruksi maupun tanpa perhitungan konstruksi. Selain itu, bentuk penertiban bangunan gedung yang dilakukan Satpol PP Kota Bogor hanya sebatas pada tindakan penyegelan bangunan. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya anggaran untuk tindakan pembongkaran. Anggaran untuk tindakan pembongkaran tersebut dikeluarkan oleh pemilik bangunan sendiri. Hal ini diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Bangunan Gedung.

Koordinasi antar Aktot-Aktor yang Terlibat

Pengendalian pemanfaatan ruang pada hakikatnya memiliki sifat lintas sektor yang pelaksanaannya melibatkan lebih dari satu aktor. Dengan demikian, keberhasilan penertiban sangat ditentukan oleh kerjasama antar aktor-aktor yang bersangkutan, dimana koordinasi memainkan peranan yang sangat penting. (Direktorat Perkotaan, Tata ruang dan Pertanahan, Bappenas, 2006). Selain itu, masing-masing aktor yang terlibat memiliki kewenangan yang saling terkait. Oleh karena itu, diperlukan adanya koordinasi supaya pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB yang dilihat dari penertiban dapat dijalankan secara optimal.

Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman (Wasbangkim) merupakan aktor yang bersifat mengkoordinir instansi terkat penertiban bangunan gedung. Koordinasi dalam penertiban bangunan gedung ini melibatkan Wasbangkim dengan Satpol PP. Koordinasi antara Wasbangkim dengan Satpol PP memang sangat diperlukan untuk menentukan upaya atau tindakan yang akan diambil selanjutnya oleh Satpol PP. Namun demikian, pada pelaksanaannya Wasbangkim seringkali tidak menerima laporan mengenai tindak lanjut atas bangunan yang telah ditertibkan Satpol PP. Sama halnya dengan Wasbangkim, Satpol PP juga terkadang tidak menerima limpahan bangunan yang harus ditertibkan dari Wasbangkim. Adanya bangunan yang melanggar tetapi tidak dilimpahkan ke Satpol PP dapat menimbulkan kesan pembiaran terhadap bangunan yang melanggar IMB. Hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi antara Satpol PP dengan Wasbangkim.

Unsur Masyarakat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031, masyarakat memiliki hak dan kewajiban dalam urusan pengendalian pemanfaatan ruang. Hak masyarakat yaitu : berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara itu, kewajiban masyarakat yaitu : berlaku tertib dalam keikutsertaannya dalam proses perencanaan tata

(14)

ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai peraturan perundangan-undangan, mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Pada kenyataannya masyarakat di Kota Bogor belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB. Salah satu kewajiban tersebut adalah masyarakat harus memiliki IMB atas rumah tinggal yang ditempati. Adanya masyarakat yang belum memiliki IMB ini disebabkan oleh tidak adanya uang untuk mengurus IMB ke BPPTPM Kota Bogor.

Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031 juga menjelaskan mengenai peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang. Peran masyarakat tersebut adalah : (1) pengawasan terhadap pemanfaatan ruang, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang, (2) bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan pengendalian pemanfaatan ruang. Sementara itu, peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dapat disampaikan secara lisan atau tertulis kepada SKPD terkait dan Walikota. Sementara itu, untuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor dapat diketahui dari adanya laporan pengaduan mengenai bangunan-bangunan yang melanggar ketentuan IMB.

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang melalui IMB di Kota Bogor

Faktor yang mendukung pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor adalah sosialisasi IMB oleh BPPTPM, peran masyarakat dan LSM, serta sarana dan prasarana. Pertama, sosialisasi IMB yang dilakukan oleh BPPTPM kepada masyarakat ini berguna agar masyarakat mengetahui adanya kewajiban memiliki IMB apabila ingin mendirikan bangunan gedung. Sosialisasi ini dapat menyadarkan masyarakat untuk segera mengurus IMB sehingga mengurangi jumlah bangunan yang tidak memiliki IMB di Kota Bogor. Kedua, melalui peran masyarakat dan LSM terhadap pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB, maka masyarakat dan LSM dapat melakuan kontrol sosial. Peran masyarakat dan LSM dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB dapat berdampak positif terhadap pengendalian jumlah bangunan yang tidak berizin dan tidak sesuai dengan ketentuan teknis IMB.

Ketiga, sarana dan prasarana bermanfaat untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi aktor-aktor yang terlibat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor. Sarana dan prasarana dalam hal pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB biasanya digunakan untuk kegiatan pelayanan IMB, pengawasan IMB bangunan gedung dan

(15)

penertiban bangunan gedung. Sarana dan prasarana tersebut adalah mobil keliling yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan perizinan tambahan kepada masyarakat, alat meter untuk mengukur ketentuan teknis bangunan, kamera dalam rangka survei ke wilayah, alat transportasi seperti mobil dan motor dinas patroli untuk Satpol PP Kota Bogor.

Faktor yang menghambat pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor adalah keterbatasan sumber daya manusia (SDM), keterbatasan sumber daya finansial, dan belum lengkapnya peraturan hukum mengenai IMB. Pertama, keterbatasan SDM mulai dirasakan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor : (a) keterbatasan SDM pada bidang pengawasan dan pengendalian serta bidang tata ruang dialami oleh Wasbangkim baik dari segi kualitas dan kuantitas, (b) keterbatasan SDM yang dirasakan oleh Bappeda Kota Bogor hanya dari segi kuantitas SDM.

Kedua, adanya keterbatasan sumber daya finansial ini dialami oleh Satpol PP kota Bogor. Sumber daya finansial ini sangat dibutuhkan untuk melakukan tindakan pembongkaran terhadap bangunan yang melanggar IMB. Keterbatasan sumber daya finansial yang dialami Satpol PP Kota Bogor pada dasarnya disebabkan oleh tidak diaturnya komponen biaya pembongkaran pada Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2006 tentang Bangunan Gedung. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 6 Tahun 2007 tentang Bangunan Gedung, menyatakan bahwa apabila pemilik bangunan gedung tidak melakukan pembongkaran dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, pembongkarannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah atas biaya pemilik bangunan gedung. Pada kenyataannya di Kota Bogor, upaya pembongkaran sangat sulit dijalankan apabila pemilik bangunan yang harus mengeluarkan biaya untuk membongkar gedung. Ketiga, belum lengkapnya perangkat hukum ini ditandai dengan belum adanya aturan-aturan turunan dari peraturan daerah yang bersifat teknis dan detail sebagai payung hukum. Perangkat hukum yang belum lengkap adalah Peraturan Daerah tenatang Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dan peraturan zonasi, ketentuan insentif dan disinsentif. Selain itu, aturan turunan terkait dengan pengenaan denda 10% terhadap bangunan yang melanggar IMB juga belum dimiliki oleh Kota Bogor.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah :

1) Pengendalian pemanfaatan ruang melalui Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kota Bogor dapat dikatakan belum berjalan secara optimal. Hal ini dilihat dari dua aspek yakni pengawasan dan penertiban. Dari segi pengawasan : adanya pembagian tugas yang jelas

(16)

antar aktor-aktor yang terlibat masih disertai dengan minimnya tanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang diberikan, bentuk pengawasan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat belum mampu mengendalikan kegiatan pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor, dan koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat belum terjalin secara intens. Dari segi penertiban : pelaksanaan kewenangan oleh aktor-aktor yang terlibat belum dijalankan dengan baik dan masih dijumpai adanya pemasalahan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut, bentuk penertiban yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat belum secara maksimal menertibkan bangunan gedung yang melanggar IMB di Kota Bogor, serta koordinasi antar aktor-aktor yang terlibat belum terjalin secara maksimal.

2) Unsur masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB di Kota Bogor belum sepenuhnya memenuhi kewajiban mengurus IMB tetapi sudah melaksanakan perannya untuk mengawasi pemanfaatan ruang di Kota Bogor.

3) Faktor penghambat dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB antara lain keterbatasan sumber daya manusia, keterbatasan sumber daya finansial, dan belum lengkapnya perangkat hukum.

4) Faktor pendukung dalam pengendalian pemanfaatan ruang melalui IMB antara lain peran LSM dan masyarakat, sosialisasi kepada masyarakat, sarana dan prasarana.

Saran

Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut : 1) Dari segi pengawasan : (a) Pemerintah Kota Bogor perlu membuat sistem perizinan yang

bersifat online atau IMB online. Sistem online ini dapat memudahkan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh SKPD terkait, (b) aktor-aktor yang terlibat perlu meningkatkan koordinasi seperti melalui rapat yang dijalankan secara rutin.

2) Dari Segi Penertiban : (a) Pemerintah Kota Bogor perlu meningkatkan kinerja Satpol PP dengan merevisi Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2006 tentang Bangunan Gedung yang selama ini tidak mengatur mekanisme pembongkaran dan aturan pembiayaan pembongkaran bangunan gedung yang melanggar, (b) Pemerintah Kota Bogor harus segera menyusun aturan turunan terkait dengan denda 10% terhadap bangunan-bangunan yang melanggar. Aturan denda ini sebagai bentuk punishment bagi pemilik bangunan yang melanggar.

(17)

Daftar Referensi

1. Creswell, John W. (2010). Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches Third Edition. Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE

Publications, Inc.

2. Ernan Rustiadi, Sunsun Saefulhakim, dan Dyah R. Panudju. (2009). Perencanaan dan

Pengembangan Wilayah. Crestpent Press.

3. Ibrahim, Syahrul. (1998, Mei). Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Wilayah

Kabupaten Dati II. Jurnal PWK ITB Vol 9 No.2

4. Kay, Robert dan Jacqueline Alder. (2002). Coastal Planning and Management. London dan New York: Routledege

5. Leman, Edward. (1994, Februari). Urban Management : A Primer. UMP Asia

Occasional Paper. No 3

6. Miles, Matthew B., dan A Michael Huberman. (1992). Analisis Data Kualitatif : Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru (Tjetjep Rohendi Rohidi, Penerjemah). Jakarta: Universitas Indonesia Press.

7. Nurmandi, Achmad. (2006). Manajemen Perkotaan : Aktor, Organisasi, Pengelolaan

Daerah Perkotaan dan Metropolitan di Indonesia. Yogyakarta: Sinergi Publishing

8. Sadyohutomo, Mulyono. (2008). Manajemen Kota dan Wilayah : Realitas dan

Tantangan. Jakarta: PT.Bumi Aksara

9. Supriyatno, Budi. (2009). Manajemen Tata Ruang. Tangerang: CV Media Berlian. 10. Sutedi, Adrian. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran daya hambat untuk kontrol negatif pelarut aquadest terhadap kedua bakteri uji, terlihat bahwa diameter daya hambat bernilai 0 mm untuk

Suzuki Indomobil Motor

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain

milling adalah metode yang lebih baik dari pada dry milling untuk mendapatkan. produk yang lebih halus karena molekul pelarut yang teradsorpsi

PREFEITURA MUNICIPAL DE PORTEIRINHA/MG - Aviso de Licitação - Pregão Presencial nº.. Advá Mendes Silva –

[r]

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa kinerja guru dalam aspek tindak lanjut pembelajaran sebagian besar berada pada kategori tinggi (61,2%), sedangkan yang

Hasil observasi yang telah dilakukan pada ruangan, timbang terima telah dilakukan sesui dengan alur, dimana pelaksanaan timbang terima dimulai