• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINGKAT PENERAPAN DAN MANFAAT TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA USAHATANI LADA DI PROVINSI BANGKA BELITUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS TINGKAT PENERAPAN DAN MANFAAT TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA USAHATANI LADA DI PROVINSI BANGKA BELITUNG"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TINGKAT PENERAPAN DAN MANFAAT TEKNOLOGI PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) PADA USAHATANI LADA

DI PROVINSI BANGKA BELITUNG Oleh:

Adang Agustian dan Budiman Hutabarat

Peneliti Pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jl. Jend. A. Yani 70 Bogor 16161, Telp. (0251) 333964.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tingkat penerapan teknologi PHT pada kegiatan usahatani lada dan manfaat yang diperoleh petani terutama dalam hal peningkatan produksi dan pendapatan usahatani lada. Penelitian dilakukan pada tahun 2004, di daerah sentra produksi lada nasional sekaligus lokasi SLPHT lada yaitu di Provinsi Bangka Belitung (Babel). Data yang dikumpulkan merupakan data primer (hasil wawancara dengan petani alumni SLPHT dan non SLPHT, pedagang lada dan aparat Dinas Pertanian dan Kehutanan Babel) dan data sekunder. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil kajian diperoleh hasil sebagai berikut: (1) Tingkat penerapan ragam teknologi PHT pada petani alumni SLPHT seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan Hama Penyakit Tanaman (HPT) teratur telah dilakukan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. Sedangkan, penerapan teknologi PHT seperti pengendalian HPT dengan pestisida nabati dan menanam tanaman penutup tanah (Arachis pintoi ) hanya dilakukan oleh sekitar 5-10 persen petani; (2) Tingkat penerapan teknologi PHT tersebut bagi non SLPHT tampaknya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa imbas penerapan teknologi PHT masih relatif sangat terbatas dikalangan petani secara umum (diluar peserta) yang berkisar antara 2,5 – 27,5 persen. Persentase tertinggi dalam hal penerapan teknologi pemangkasan teratur serta dalam hal pengamatan HPT usahatani yang dilakukan secara teratur; (3) Manfaat penerapan teknologi PHT diperoleh cukup signifikan dalam hal peningkatan produksi lada. Tingkat produksi lada per hektar pada petani alumni SLPHT terpaut 39 persen di atas produksi lada yang diraih petani non SLPHT (1.148,75 kg/ha vs. 825,0 kg/ha); dan (4) Pada petani alumni SLPHT, TE usahatani lada mengalami peningkatan dibandingkan saat sebelum mengikuti SLPHT yaitu meningkat TE nya dari 0,66 menjadi 0,72. Peningkatan ini dapat disebabkan karena manajemen pengelolaan usahatani yang lebih baik.

(2)

I. PENDAHULUAN

Program PHT lahir sejak tahun 1986 yaitu dengan keluarnya Inpres No.3 tahun 1986. Esensi lahirnya program tersebut yaitu dalam rangka menciptakan sistem pertanian yang berwawasan lingkungan. Pendekatan yang digunakan dalam PHT adalah pendekatan komprehensif yang menekankan pada ekosistem yang ada dalam lingkungan tertentu, mengusahakan pengintegrasian berbagai teknik pengendalian yang kompatibel satu sama lain sedemikian rupa sehingga populasi hama dan penyakit tanaman dapat dipertahankan di bawah ambang yang secara ekonomis tidak merugikan, serta melestarikan lingkungan dan menguntungkan bagi petani.

Implementasi PHT pada tanaman perkebunan telah dilakukan sejak tahun 1997/1998. Pengembangan PHT telah dilakukan pada beberapa komoditas perkebunan rakyat seperti: kakao, lada, teh, kapas, jambu mete, dan kopi. Tujuan penerapan PHT di subsektor perkebunan adalah untuk mendorong pendekatan pengendalian OPT yang dinamis dan aman terhadap lingkungan oleh petani perkebunan rakyat melalui pemberdayaan perangkat pemerintah yang terkait dan kelompok tani. Kegiatan proyek ini pada akhirnya diharapkan berpengaruh terhadap: (1) meningkatnya hasil dan mutu produk serta pendapatan petani; (2) berkurangnya penggunaan pestisida karena diterapkannya PHT; (3) meningkatnya mutu dan bebas residu pestisida pada produk ekspor komoditi seperti lada, kopi, kakao dan teh; dan (4) mempertahankan dan melindungi kelestarian lingkungan.

Secara umum, para petani komoditas perkebunan rakyat termasuk komoditas lada menghadapi masalah antara lain, skala pemilikan lahan yang relatif sempit dan daya dukung yang rendah, lokasi usahatani yang terpencar dan kurang didukung sarana/prasarana yang baik, modal dan pengetahuan serta keterampilan yang terbatas, terutama merespons perkembangan pasar. Akibatnya, produktivitas komoditas kurang optimal dan mutu produk di bawah baku mutu. Masalah yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin paling utama dalam peningkatan produktivitas bagi petani adalah adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan belum berkembangnya kelembagaan petani dan kemitraan.

Sesuai dengan UU No.12 tahun 1992, tentang Sistem Budidaya Tanaman dan PP No. 6 tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, bahwa perlindungan tanaman

(3)

dilaksanakan dengan menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab petani dengan bimbingan Pemerintah. Dalam upaya mendukung penyelenggaraan PHT tersebut, pemerintah menyelenggarakan pelatihan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT) bagi Petugas dan Petani. Menurut Direktorat Perlindungan Perkebunan (2001), tujuan kegiatan pelatihan tersebut adalah agar petugas dan petani memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan 4 prinsip PHT yaitu: (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya.

Selepas mengikuti SL-PHT, diharapkan petani dapat menerapkan pengetahuan PHT di kebunnya sendiri. Dengan asumsi petani mampu melakukannya, maka tingkat kehilangan hasil dapat dicegah atau dikurangi kadarnya sehingga senjang produktivitas tanaman dapat diperkecil. Selain itu mutu produk yang dihasilkan petani menjadi relatif lebih baik, sehingga petani akan mendapat produksi yang lebih tinggi sehingga menerima pendapatan usahatani yang relatif lebih tinggi lagi.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan sekaligus menganalisis tingkat penerapan teknologi PHT pada kegiatan usahatani lada dan bagaimana manfaat yang diperoleh petani khususnya dalam hal peningkatan produksi dan pendapatan usahatani lada.

II. METODE PENELITIAN 2.1. Kerangka Pemikiran

Pengendalian Hama Terpadu merupakan suatu sistem pengelolaan populasi hama yang memanfaatkan semua teknik pengendalian yang sesuai dan seserasi mungkin untuk mengurangi populasi hama dan mempertahankannya pada suatu aras yang berada di bawah aras populasi hama yang dapat mengakibatkan kerusakan ekonomi (Untung, 1997).

Definisi tersebut diatas tampaknya menjadi acuan dalam mengembangkan PHT sebelum terselenggaranya SL-PHT. Hal ini tercermin pada pengertian PHT yang dikemukakan Yusdja (1992) bahwa PHT adalah suatu sistem pengelolaan hama (dalam arti yang luas) dengan menggabungkan berbagai teknik pengendalian yang serasi dengan

(4)

menimbulkan kerugian ekonomis (ekologis dan sosial diterima), sehingga menghasilkan keuntungan ekonomis yang maksimal bagi produsen, konsumen dan melestarikan lingkungan. Dengan demikian sumberdaya pertanian dapat dimanfaatkan sepanjang masa oleh generasi-generasi yang akan datang.

Pada perkebunan rakyat, kegiatan sosialisasi PHT melalui SL-PHT telah dimulai semenjak tahun 1997 melalui beberapa tahapan yaitu: (a) pelatihan untuk Pemandu Lapang (PL); (b) Petani Try out dan Murni, dan (c) Petani tindak lanjut (petani alumni SL- PHT). Materi dasar dalam pelatihan itu sama yaitu memotivasi petani untuk melaksanakan 4 prinsp PHT, yakni: (a) budidaya tanaman sehat, (b) pelestarian dan pemanfaatan musuh alami, (c) pengamatan agroekosistem secara rutin, dan (d) petani menjadi ahli PHT dan manajer di kebunnya. Untuk menerapkan prinsip dasar tersebut petani dibekali berbagai materi yang meliputi: (a) pembibitan, (b) pemupukan, (c) pemangkasan, (d) pemetikan, dll, (e) analisis agroekosistem (OPT, musuh alami, tanaman utama, tanaman disekitarnya, abiotik/cuaca); (f) produksi agensi pengendalian hayati, (g) panen dan (h) kelembagaan petani.

Keberhasilan mengimplementasikan PHT akan berdampak positif pada penyelamatan produksi dan peningkatan kualitas lada, yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah bagi usahatani lada. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan Untung (2002) terhadap pelaksanaan PHT nasional, menunjukkan bahwa hasil nyata kegiatan PHT terjadi pada : (1) Perubahan persepsi, pengetahuan dan perilaku petani mengenai berbagai aspek pengelolaan usaha kebun untuk peningkatan produksi dan penghasilannya; (2) Perubahan dalam rasa percaya diri dan ekspresi diri terhadap kemampuannya; (3) Kesadaran dan pengertian tentang agroekosistem kebun dan pemanfaatan berbagai komponen ekosistem untuk pengendalian OPT; (4) Penurunan nyata penggunaan pestisida kimia dan peningkatan penggunaan pestisida nabati dan agensia hayati; (5) Penurunan populasi dan serangan hama dan penyakit utama di kebun petani alumni SLPHT; (6) Peningkatan produksi dan mutu hasil kebun dibandingkan sebelum PHT, dilaporkan terjadi pada komoditas teh di Jawa Barat, kopi di Malang dan kakao di Sumatera Utara; (7) Peningkatan pendapatan petani, dilaporkan terjadi di Jawa Barat pada komoditas teh.

(5)

sepenuhnya dapat dilakukan petani. Banyak faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhi penerapan PHT. Hal ini tidak berbeda dengan kasus-kasus penerapan teknologi baru dalam program pembangunan pertanian yang lain. Beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa dalam program pembangunan pertanian dapat diidentifikasi sejumlah petani yang hanya mengadopsi komponen-komponen tertentu dari paket teknologi yang direkomendasikan, bahkan ada indikasi bahwa sebagian petani yang semula telah melaksanakan paket teknologi baru kemudian kembali lagi pada teknologi usahatani lama.

Di samping itu, mengingat kondisi lahan perkebunan dan petani pekebun yang berskala kecil (perkebunan rakyat) maka pengorganisasian diantara petani dalam penerapan PHT merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan PHT. Pengelolaan ekosistem perkebunan dalam menekan populasi hama serta penggunaan pestisida tidak mungkin dilakukan oleh petani yang bekerja sendiri. Dengan demikian maka pengelompokkan petani dalam organisasi kelompok tani yang kompak dan bekerja secara kontinyu tentu akan lebih efisien dalam mencapai tujuan penerapan PHT.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini indikator penerapan PHT berpedoman pada 4 prinsip PHT, dan dibatasi pada kegiatan dalam hal: (1) pemberian pupuk, (2) pemangkasan tajar dan tanaman pelindung lada, (3) penanaman penutup tanah, (4) penggunaan pestisida kimia, (5) pelestarian musuh alami; (6) pengamatan hama penyakit secara teratur; dan (7) penggunaan pestisida nabati.

2.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Provinsi Bangka Belitung (Babel), dimana wilayah ini merupakan sentra produksi lada terbesar di Indonesia dan merupakan lokasi kegiatan SLPHT. Penelitian dilakukan pada tahun 2004. Data yang dikumpulkan mencakup data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara terhadap petani sampel dan pedagang sampel yang membeli lada dari petani. Total petani sampel sebanyak 80 petani, yang mencakup 40 petani alumni SLPHT dan 40 petani non SLPHT. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi dinas seperti Dinas Pertanian dan Kehutanan

(6)

(Distanhut), Dinas Perdagangan, dan lainnya. Disamping itu, juga menggunakan informasi pendukung dari hasil-hasil penelitian sebelumnya.

2.3. Analisis Data

Analisis data dan informasi yang dikumpulkan diarahkan untuk memberikan jawaban terhadap tujuan yang telah dikemukakan di atas dengan menggunakan berbagai metoda kuantitatif dan deskriptif kualitatif.

Untuk menjawab tujuan yaitu mengetahui tingkat penerapan teknologi PHT akan dilihat bobot persentase dalam setiap unsur yang merupakan bagian dari teknologi PHT. Dengan demikian, seorang petani yang menerapkan seluruh unsur teknologi PHT akan memiliki bobot persentase tertinggi, dan sebaliknya petani yang tidak menerapkan salah satu unsur pun memiliki skor terendah. Untuk menghitung tingkat penerapan (TP) digunakan rumus aljabar berikut:

TP1 = (S ui / U) * 100 %, dan TP2 = (S S uij / n * U) * 100 %, dimana:

TP= tingkat penerapan, yaitu nisbah jumlah skor teknologi PHT yang diterapkan oleh responden terhadap total petani contoh,

ui = unsur teknologi-i yang diterapkan seorang responden, uij = unsur teknologi-i yang diterapkan responden-j,

U = total unsur teknologi yang ada bagi teknologi PHT, n = jumlah responden yang menerapkan PHT,

Untuk mengkaji manfaat dalam hal peningkatan produksi akan dilihat output produksi dari hasil usahatani dan tingkat penerimaan yang diraih petani sebelum dan setelah mengikuti SLPHT. Disamping itu, juga akan dilihat seberapa jauh terdapat peningkatan efisiensi teknis pada kegiatan usahatani lada yang dilakukan sebelum dan setelah mengikuti SLPHT. Tingkat efisiensi teknis akan diidentifikasi melalui penggunaan model ekonometrik fungsi produksi “frontier” sebagai berikut:

y = f(βj Xji )e ei

di mana y = produksi yang dihasilkan petani-i,

Xi = jumlah masukan produksi yang digunakan petani-i,

(7)

ei = galat regresi untuk petani-i yang terdiri atas dua komponen, yakni vi - µi, yang mempunyai sebaran yang berbeda.

Galat v menangkap ragam galat yang disebabkan faktor-faktor yang berada di dalam produsen sendiri dan galat u merepresentasikan galat yang betul-betul berada di luar pengawasan atau pengaruh produsen. Sebaran v di asumsikan taksimetris dan setengah normal, sehingga ragam total galat adalah:

se2 = sv2 + sµ2

dengan demikian efisiensi teknis dapat diukur dari rumus berikut: ET = exp (-E[ µi / ei ])

di mana E[ µi / ei ] = (sv sµ) / se { f (ei ? / se )/[1-F(ei ? / se )] – (ei ? ) / sµ 2

}

dan ? = sµ / sv dan ragam total keluaran aktual terhadap frontiernya adalah ? = sv2 / se2, sedangkan f(*) adalah fungsi kepekatan normal baku F(*) adalah fungsi sebaran normal baku. ET ini bernilai antara 0 dan 1 dan untuk setiap petani,

ETi = E (yi * | µi, x i) / E (yi* | µi= 0, xi).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Keragaan Usahatani Lada di Lokasi Penelitian

Lada di Bangka Belitung secara umum ditanam secara monokultur, dan sebagian kecil petani ada yang menanam lada ditumpangsarikan dengan tanaman lain yang rindang (seperti buah-buahan). Populasi tanaman lada per hektarnya bervariasi antara 1.100 – 2.000 pohon per hektar. Kepadatan tanaman lada ini tergantung kemampuan petani dari segi permodalan untuk penyediaan bibit dan input lainnya serta biaya pemeliharaannya.

Pada tanaman lada, alat perambatan (tajar) yang digunakan sebagian besar petani adalah tajar mati yang berasal dari kayu atau bambu. Sebagian kecil petani telah ada yang menggunakan tajar hidup yaitu menggunakan tanaman dadap dan gamal. Harga tajar mati termurah Rp 3.000/batang, harga tajar yang berasal dari kayu dengan kualitas bagus dapat mencapai Rp 10.000/batang. Umur tajar dapat berkisar 2-3 tahun, dan selanjutnya harus diganti karena dapat keropos dan tumbang.

(8)

Rataan luas lahan analisis usahatani (persil dominan) pada penelitian ini di Provinsi Babel seluas 0,82 pada petani alumni SLPHT dan 0,79 ha pada petani non SLPHT. Rataan populasi lada per hektar di wilayah ini masing-masing 1414 dan 1108 pohon dengan umur tanaman rata-rata sekitar 4 tahun pada petani alumni SLPHT dan 3,5 tahun pada petani non SLPHT. Lada di Babel umumnya berumur pendek sekitar 6-7 tahun. Setelah umur itu, secara umum tanaman lada akan mati dan dibongkar petani serta selanjutnya akan diselingi dulu oleh tanaman pangan sebelum ditanami lada kembali. Varietas lada yang ditanam petani adalah LDL (lampung daun lebar). Dari jumlah populasi lada yang ditanam di Babel, ternyata hanya sekitar 90,71 persen (pada petani alumni SLPHT) dan 92,42 persen (pada petani non SLPHT) jumlah pohon yang produktif. Artinya, tidak seluruh populasi tanaman yang ada bisa produktif, karena sebagian tanaman ada yang rusak akibat serangan OPT dan ada juga tanamannya berupa hasil sulaman baru.

Pada petani alumni SLPHT tampak bahwa sebagian besar petani (92,50%) menggunakan tajar pada tanaman lada adalah tajar mati, dan sekitar 5 persen petani telah menggunakan tajar hidup. Pada petani non SLPHT, tajar mati digunakan oleh sekitar 87,50 persen petani, dan penggunaan tajar hidup hanya dilakukan oleh sekitar 2,5 persen petani serta sekitar 10 persen petani menggunakan campuran tajar mati dan tajar hidup. Tajar yang dianjurkan adalah tajar hidup, karena tajar akan berfungsi di samping sebagai wahana/alat perambatan tanaman lada juga dapat berfungsi sebagai pelindung tanaman lada. Tajar mati yang biasa digunakan adalah kayu, bambu atau berupa tongkat dari adukan semen, sementara untuk tajar hidup yang digunakan adalah tanaman dadap dan gamal (Gliricidae). Kelemahan tajar hidup adalah adanya unsur persaingan/perebutan hara tanaman terutama saat pemupukan tanaman.

(9)

Tabel 1. Deskripsi Aspek Teknis Pada Usahatani Lada di Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004

No. Krakteristik Petani alumni

SLPHT Petani non SLPHT 1. Rataan luas lahan analisis (ha) 0,82 0,71 2. Rataan umur tanaman dominan lada yang

diusahakan (th) 4 3,5

3. Jumlah populasi tanaman per luas lahan

analisis (pohon) 1414 1108

4. Varietas yang digunakan (%) a. LDL b. LDK c. Merapin 100,00 0,00 0,00 100,00 0,00 0,00 5. Jenis tajar yang digunakan (%):

a. Tajar hidup b. Tajar mati c. Campuran 5,00 92,50 2,50 2,50 87,50 10,00 6. Pemangkasan tanaman (%): a. Setahun sekali b. Setahun 2 kali c. Setiap bulan sekali

25,00 65,00 10,00 90,00 10,00 0,00 7. Pemetikan lada (%): a. Petik tua b. Petik muda c. Petik pilih 95,00 0,00 5,00 95,00 0,00 5,00

Selanjutnya, pada petani alumni SLPHT secara umum mereka cenderung rutin melakukan pemangkasan pemeliharaan terhadap ranting-ranting pohonnya setahun dua kali. Pada petani non SLPHT, pemangkasan tersebut hanya dilakukan setahun sekali. Kegiatan terkait usahatani lainnya yaitu pemetikan lada (panen), baik pada petani alumni SLPHT maupun non SLPHT telah melakukan petik tua terhadap buah lada yang diusahakannya. Pemanenan dengan melakukan petik tua dimaksudkan agar kualitas lada yang dihasilkan dapat lebih baik.

3.2. Analisis Tingkat Penerapan Komponen Teknologi PHT Pada Usahatani Lada Bila dilihat dari tingkat penerapan komponen teknologi PHT oleh petani seperti: (1) pemberian pupuk secara optimal (sesuai kebutuhan), (2) melakukan pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, (3) menanam tanaman penutup tanah, (4) menggunakan pestisida kimiawi tidak berlebihan, (5) mengupayakan pelestarian musuh alami, (6) melakukan pengamatan HPT pada usahatani secara teratur, serta (7) pernah

(10)

secara rataan yaitu 56,07 persen pada petani alumni SLPHT dan hanya sekitar 10,36 persen pada petani non SLPHT (Tabel 5.22). Bila dilihat per ragam teknologi yang diterapkan petani alumni SLPHT, kegiatan seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan HPT teratur telah dilaksanakan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. Sedangkan, penerapan teknologi PHT seperti pengendalian HPT dengan pestisida nabati dan menanam tanaman penutup tanah (Arachis pintoi) hanya dilakukan oleh sekitar 0-02,5 persen petani. Rendahnya penerapan ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan untuk pestisida nabati (seperti akar tuba atau gadung), serta sulitnya memperoleh tanaman Arachis pintoi di lokasi penelitian.

Tabel 2. Ragam Teknologi PHT yang Diterapkan oleh Responden Sampel Petani Lada di Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004 (persen)

Ragam Teknologi Petani alumni SLPHT Petani non SLPHT Rataan 1. Melakukan pemupukan secara

optimal (sesuai kebutuhan) 40,00 12,50 26,25 2. Melakukan pemangkasan tana-

man pelindung secara teratur 95,00 27,50 61,25 3. Menanam tanaman penutup

tanah 10,00 0,00 5,00

4. Menggunakan pestisida kimiawi

tak berlebihan 75,00 2,50 38,75

5. Mengupayakan pelestarian

musuh alami 80,00 5,00 42,50

6. Melakukan pengamatan HPT

pada usahatani secara teratur 87,50 22,50 55,0 7. Pernah melakukan pengendalian

HPT dengan pestisida nabati 5,00 2,5 3,75

(11)

Sementara itu, tingkat penerapan teknologi PHT pada petani non SLPHT tampaknya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa imbas penerapan teknologi PHT masih relatif sangat terbatas dikalangan petani secara umum (diluar peserta). Persentase penerapan teknologi dari setiap ragam teknologi tersebut berkisar antara 2,5 – 27,5 persen. Persentase tertinggi dalam hal penerapan teknologi pemangkasan teratur serta dalam hal pengamatan HPT usahatani secara teratur.

Bila dilihat dari jumlah setiap jenis teknologi yang diterapkan, terlihat pada petani alumni SLPHT sekitar 67,5 persen telah menerapkan mimimal 4 jenis ragam teknologi PHT serta sisanya di bawah 4 jenis ragam teknologi. Sebaliknya pada petani non SLPHT, terlihat jumlah jenis teknologi PHT tersebut yang diterapkan maksimal 2 jenis. Bahkan pada petani non SLPHT ini tampak 45 persen petani tidak menerapkan jenis teknologi PHT tersebut sama sekali.

Tabel 3. Persentase Ragam Penerapan Teknologi PHT Berdasarkan Jumlahnya pada Petani Lada di Lokasi Penelitian, 2004 (persen)

Ragam Teknologi Petani alumni SLPHT Petani non SLPHT Rataan 1. 0 jenis teknologi 2. 1 jenis teknologi 3. 2 jenis teknologi 4. 3 jenis teknologi 5. 4 jenis teknologi 6. 5 jenis teknologi 7. 6 jenis teknologi 8. 7 jenis teknologi 0,00 2,50 10,00 20,00 40,00 22,50 5,00 0,00 45,00 37,50 17,50 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 22,50 20,00 18,75 10,00 20,00 11,25 2,50 0,00 N 40 40 40

3.3. Manfaat Dalam Hal Peningkatan Produksi dan pendapatan Usahatani Lada Hasil penelitian analisis menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi PHT pada petani peserta (termasuk penerapan prinsip PHT) ternyata memperoleh manfaat yang cukup signifikan dalam peningkatan produksi lada usahataninya. Tampak bahwa tingkat produksi lada per hektar pada petani alumni SLPHT terpaut 39 persen di atas

(12)

produksi lada yang diraih petani non SLPHT (1.148,75 kg/ha vs. 825,0 kg/ha). Oleh karena itu, tingkat pendapatan yang diperoleh pada petani alumni SLPHT pun jauh lebih tinggi dibanding petani non SLPHT. Tingginya produksi yang dihasilkan pada petani peserta dikarenakan lebih tingginya curahan perhatian (pemeliharaan) dan input pada usahatani lada. Petani lada setelah memperoleh pengetahuan dari pelatihan SLPHT lebih mengetahui tentang praktek budidaya tanaman lada menurut anjuran dan juga dalam hal pengamatan organisme pengganggu tanaman lada. Di lain pihak, petani non SLPHT dalam praktek budidayanya umumnya lebih mengandalkan pengetahuan alaminya yang diperoleh secara turun-temurun. Sehingga dengan adanya introduksi teknologi PHT tersebut, terdapat pengaruh signifikan dalam penerapannya dan pada akhirnya berpengaruh terhadap produksi usahatani.

Secara lengkap struktur biaya dan pendapatan usahatani lada per hektar per tahun dari hasil penelitian disajikan pada Tabel 4.

3.4. Manfaat Terhadap Peningkatan Efisiensi teknis Usahatani Lada

Efisiensi teknis merupakan ukuran teknis usahatani yang dilaksanakan petani dengan ditunjukkan oleh perbandingan produksi aktual dan produksi estimasi potensial (Widodo, 1996). Efisiensi teknis bisa diukur dengan menggunakan fungsi produksi frontier. Fungsi produksi frontier adalah merupakan suatu fungsi yang menunjukkan kemungkinan produksi tertinggi yang dapat dicapai oleh petani dengan kondisi yang ada di lapangan, di mana produksi secara teknis telah efisien dan tidak ada cara lain untuk memperoleh produksi yang lebih tinggi tanpa penggunaan faktor produksi yang lebih banyak dikuasai petani. Dengan istilah lain bahwa fungsi produksi frontier dapat menunjukkan tingkat produksi potensial yang mungkin dapat dicapai oleh petani dengan manajemen yang baik. Penghitungan tingkat efisiensi teknis dalam analisis ini dilakukan dengan komputer Program Coeli Ver 4.1.

(13)

Tabel 4. Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Lada per Hektar di Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004

Petani alumni SLPHT Petani non SLPHT Sebelum Ikut SLPHT Setelah ikut

SLPHT No . Uraian Nilai Per- sen Nilai Per-sen Nilai Per- Sen A. Penerimaan: 1. Produksi (kg) 2. Nilai (Rp) 732 14.738.975 XXX XXX 1.148,75 21.197.291,67 XXX XXX 825,0 15.015.000,00 XXX XXX B. Biaya: 1. Bibit 2. Urea 3. TSP 4. KCl 5. ZA 6. NPK 7. P.Kandang 8. Pestisida padat 9. Pestisida cair 10.Herbisida 11.Tajar & tali

1.643.190,48 333.900 418.917 69.833 0,0 38.536 18.921 10.167 160.225,52 112.217 2.800.817,15 19,32 3,93 4,93 0,82 0,00 0,45 0,22 0,12 1,88 1,32 32,93 1.611.190 688.300 871.583 432.500 0,00 141.286 80.138 20.700 53.760 173.292 2.437.324 15,01 6,41 8,12 4,03 0,00 1,32 0,75 0,19 0,50 1,61 22,71 1.963.125 524.667 605.250 163.750 0,00 43.833 46.333 55.317 100.792 140.625 2.760.125 21,18 5,66 6,53 1,77 0,00 0,47 0,50 0,60 1,09 1,52 29,78 12. TK Dalam Keluarga 1.144.370 13,46 2.592.200 24,16 988.750 10,67 13. TK Luar Keluarga 1.753.933 20,62 1.613.134 15,04 1.845.075 19,90 14. Biaya lain 8.442 0,10 15.733 0,15 32.292 0,33 Total Biaya 8.505.027,5 100,0 0 10.731.140 100,0 0 9.269.934 100,0 0 C. Pendapatan 6.233.947,5 XXX 10.466.151,67 XXX 5.745.066 XXX D. R/C 1,73 XXX 1,98 XXX 1,62 XXX Sumber: Data Primer Penelitian (2004).

Hasil analisis tingkat efisiensi teknis seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Pada petani alumni SLPHT tampak bahwa TE usahatani lada mengalami peningkatan pada saat petani sebelum mengikuti SLPHT dibandingkan dengan setelah mengikuti SLPHT yaitu meningkat TE nya dari 0,66 menjadi 0,72. Peningkatan ini dapat disebabkan karena manajemen pengelolaan usahatani yang lebih baik. Pada petani alumni SLPHT, setelah mengikuti SLPHT memperoleh tambahan pengetahuan dalam pengelolaan usahatani seperti dalam hal pemberian dosis pupuk optimal, pemeliharaan tanaman, pengamatan HPT, pemanenan dan lainnya. Dari pengetahuan yang diperoleh tersebut kemudian diterapkan dalam praktek usahataninya sehingga memperoleh hasil yang lebih baik lagi dibanding periode usahatani sebelumnya.

(14)

Tabel 5. Tingkat Efisiensi Teknis pada Usahatani Lada Petani Alumni SLPHT dan Non SLPHT di Lokasi Penelitian Provinsi Bangka Belitung, 2004

Jenis petani Tingkat efisiensi teknis 1. Petani alumni SLPHT

a. Sebelum ikut SLPHT 0,66

b. Setelah ikut SLPLHT 0,72

2. Petani non SLPHT 0,68

Selanjutnya, bila dilihat TE pada petani non SLPHT yaitu sebesar 0,68, yang juga lebih rendah dibanding petani alumni SLPHT. Hal ini mengindikasikan bahwa petani yang belum mengikuti pelatihan (SLPHT) memiliki TE yang lebih rendah dibanding petani yang telah mengikuti pelatihan SLPHT. Selisih TE tersebut merupakan perubahan pengetahuan dan perilaku petani yang mengarah pada pengelolaan (manajemen) usahatani yang lebih baik (antara lain teratur dalam pemeliharaan, penggunaan input sesuai anjuran/teknologi).

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

1. Lada di Bangka Belitung secara umum ditanam secara monokultur, dan sebagian kecil petani ada yang menanam lada ditumpangsarikan dengan tanaman lain yang rindang (seperti buah-buahan). Alat perambatan (tajar) yang digunakan sebagian besar petani adalah tajar mati yang berasal dari kayu atau bambu. Sebagian kecil petani telah ada yang menggunakan tajar hidup seperti tanaman dadap dan gamal. Varietas lada yang digunakan petani adalah LDL (Lampung Daun Lebar). Rataan luas lahan analisis usahatani (persil dominan) pada penelitian ini di Provinsi Babel seluas 0,82 pada petani alumni SLPHT dan 0,79 ha pada petani non SLPHT. Rataan populasi lada per hektar di wilayah ini masing-masing 1414 dan 1108 pohon.

2. Tingkat penerapan komponen teknologi PHT pada petani secara rataan yaitu 56,07 persen pada petani alumni SLPHT dan hanya sekitar 10,36 persen pada petani non SLPHT. Dalam hal ragam teknologi yang diterapkan petani alumni SLPHT seperti pemangkasan tanaman pelindung secara teratur, penggunaan pestisida tak berlebihan, mengupayakan pelestarian musuh alami dan pengamatan HPT teratur telah dilaksanakan oleh sekitar 75 - 95 persen petani. Sedangkan, penerapan teknologi PHT

(15)

pengendalian HPT dengan pestisida nabati dan menanam tanaman penutup tanah (Arachis pintoi )hanya dilakukan oleh sekitar 5-10 persen petani. Rendahnya penerapan ini disebabkan oleh sulitnya memperoleh bahan untuk pestisida nabati (seperti akar tuba atau gadung), serta sulitnya memperoleh tanaman Arachis pintoi di lokasi penelitian.

3. Tingkat penerapan teknologi PHT tersebut bagi non SLPHT tampaknya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa imbas penerapan teknologi PHT masih relatif sangat terbatas dikalangan petani secara umum (diluar peserta). Persentase penerapan teknologi dari setiap ragam teknologi tersebut berkisar antara 2,5 – 27,5 persen. Persentase tertinggi dalam hal penerapan teknologi pemangkasan teratur serta dalam hal pengamatan HPT usahatani yang dilakukan secara teratur.

4. Manfaat dalam penerapan teknologi PHT diperoleh cukup signifikan dalam peningkatan produksi lada usahataninya. Tingkat produksi lada per hektar pada petani alumni SLPHT terpaut 39 persen di atas produksi lada yang diraih petani non SLPHT (1.148,75 kg/ha vs. 825,0 kg/ha). Oleh karena itu, tingkat pendapatan yang diperoleh pada petani alumni SLPHT pun jauh lebih tinggi dibanding petani non SLPHT. 5. Hasil analisis tingkat efisiensi teknis juga diperoleh bahwa pada petani alumni

SLPHT, TE usahatani lada mengalami peningkatan dibandingkan saat sebelum mengikuti SLPHT yaitu meningkat TE nya dari 0,66 menjadi 0,72. Peningkatan ini dapat disebabkan karena manajemen pengelolaan usahatani yang lebih baik. Pada petani alumni SLPHT, setelah mengikuti SLPHT memperoleh tambahan pengetahuan dalam pengelolaan usahatani seperti dalam hal pemberian dosis pupuk optimal, pemeliharaan tanaman, pengamatan HPT, pemanenan dan lainnya. TE pada petani non SLPHT yaitu sebesar 0,68, yang juga lebih rendah dibanding petani alumni SLPHT. Hal ini mengindikasikan bahwa petani yang belum mengikuti pelatihan (SLPHT) memiliki TE yang lebih rendah dibanding petani yang telah mengikuti pelatihan SLPHT. Selisih TE tersebut merupakan perubahan pengetahuan dan perilaku petani yang mengarah pada pengelolaan (manajemen) usahatani yang lebih baik.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perkebunan Belitung. 1997-2004. Laporan Tahunan. Tanjung Pandan.

Dinas Pertanian dan Kehutanan Babel. 2002 dan 2003. Laporan Dinas. Pangkal Pinang. Dinas Pertanian dan Kehutanan, 2003. Penggunaan Tegakan Hidup Pada Tanaman Lada.

Materi Sekolah Lapang Pengendalian (SLPHT-PR) Bangka Belitung. Bagian Proyek Pengendalian Hama Terpadu Perkebunan Rakyat (PHT-PR/IPM-SECP). Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Subagyo. 1997. Program Penelitian dan Pengembangan dan Mekanisme Perencanaan Program Penelitian. Makalah disampaikan pada Rapat Apresiasi Proyek Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan. APPI Bogor: 15-16 Mei 1997. Bogor.

Untung, K. 1997. Penerapan Prinsip-prinsip PHT pada Sub Sektor Perkebunan. Bahan Ceramah pada Apresiasi Proyek PHT Tanaman Perkebunan Rakyat. Cipanas, Jawa Barat. Maret 1997.

Wahyudi, A., 2003. Risalah Simposium Nasional. Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Pengembangan dan Implementasi PHT Perkebunan Rakyat Berbasis Agribisnis. Bogor, 17 – 18 September 2002.

Widodo, S. 1996. Ekonomi Mikro. Hand out Kuliah Pascasarjana Ekonomi Pertanian, UGM-Yogyakarta.

Yusdja Y., Rosmijati S., Supriyati, dan Winarso B. (2003) ; Analisis Dampak Sosial

Ekonomi Terhadap Adopsi Teknologi PHT Perkebunan Teh Rakyat ; Proyek Penelitian PHT Tanaman Perkebunan ; Badan Litbang Pertanian.

Yusdja, Y. et. al. 1992. Studi Base Line Aspek Sosek PHT Kerjasama PSE Badan Litbang Pertanian – Bappenas. Bogor.

Gambar

Tabel 1.  Deskripsi Aspek Teknis  Pada Usahatani  Lada di Lokasi Penelitian Provinsi Babel,  2004
Tabel 2.  Ragam Teknologi PHT yang Diterapkan oleh Responden Sampel Petani Lada di  Lokasi Penelitian Provinsi Babel, 2004 (persen)
Tabel 3.  Persentase Ragam Penerapan Teknologi PHT Berdasarkan Jumlahnya pada  Petani Lada di Lokasi Penelitian, 2004 (persen)
Tabel  4.  Struktur Biaya dan Pendapatan Usahatani Lada per Hektar di Lokasi Penelitian Provinsi Babel,  2004
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis dasar teori kultivasi adalah menonton televisi secara berlebihan dapat berdampak pada adanya kecenderungan untuk terlibat terhadap gambaran yang disajikan

Penelitian kemampuan serbuk kulit salak (Salacca Zalacca) dalam menurunkan kadar fe pada inlet limbah cair rumah tangga ipal sewon bantul dapat dilakukan

Suatu hal yang juga penting untuk dicatat adalah intoleransi yang sangat terlokalisir: Jawa Barat secara rutin muncul dalam penelitian sebagai salah satu daerah yang

Hasil penelitian Optimalisasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan oleh UPTD Dinas Pendapatan Daerah Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis masuk

2.1 arsen terlarut arsen dalam air yang dapat lolos melalui saringan membran berpori 0,45 μm 2.2 arsen total banyaknya arsen yang terlarut dan tersuspensi dalam air 2.3 kurva

Berdasarkan hasil analisis disimpulkan hal-hal sebagai berikut: (1) pelapisan silika secara in-situ dalam sintesis magnetite secara elektrokimia mampu menstabilkan partikel

Dari hasil penelitian didapatkan pengaruh edukasi kesehatan berbasis Theory of Planned Behavior terhadap penurunan nilai Interdialytic Weight Gain (IDWG) dan

Penyidikan adalah “ serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta. mengumpulkan bukti yang dengan bukti