• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGENDALIAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGENDALIAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PENGENDALIAN GELANDANGAN DAN PENGEMIS

2.1 Pengertian Ketertiban Umum, Gelandangan, dan Pengemis

Secara umum ketertiban berarti aturan yang mengatur sekelompok masyarakat kemudian menjadi kemudian menjadi tertib dan teratur. Istilah ketertiban umum berasal dari kata “tertib”, Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tertib adalah peraturan-peraturan yang harus ditaati atau dilaksanakan1. Dimana terdapat keterkaitan yang erat dengan adanya rasa aman, masyarakat merasa tenang maka timbullah masyarakat yang tertib hukum dengan segala peraturan yang berlaku dan begitu pula sebaliknya dengan adanya sikap tertib terhadap sesuatu dimana saling menghormati peraturan yang ada.

Ketertiban Umum memiliki arti suatu keadaan agar pemerintah dan masyarakat berkegiatan secara aman, tertib dan teratur, dapat di simpulkan bahwa ketertiban umum adalah suatu kondisi yang dinamis yang berjalan teratur sesuai norma dan hukum yang berlaku. Dengan kata lain hal ini menunjukan bahwa ketertiban umum sangat penting dan menetukan dalam kelancaran jalannya pemerintahan, pelaksanaan pembangunan serta pembinaan kemasyarakatan dalam suatu wilayah untuk tujuan pembangunan yang di harapkan. Menurut Peraturan Daerah No 1 Tahun 2015 Pasal 1 Angka 18 Ketertiban Umum adalah suatu keadaan dinamis yang memungkinkan Pemerintah Kota Denpasar dan Masyarakat dapat melakukan kegiatan dengan aman, tenteram, tertib dan teratur.

Gelandangan dan Pengemis menurut Parsudi Suparlan adalah, gelandangan berasal dari kata gelandang dan mendapat akhiran “an”, yang berarti selalu bergerak, tidak tetap dan berpindah-pindah. Beliau juga mengemukakan pendapatnya tentang apa yang dimaksud

1 Poerwadarminta,2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. Hal 1264 16

(2)

dengan masyarakat gelandangan adalah sejumlah orang yang bersama-sama mempunyai tempat tinggal yang relatif tidak tetap dan mata pencaharian yang relatif tidak tetap serta dianggap rendah dan hina oleh orang-orang diluar masyarakat kecil itu yang merupakan suatu masyarakat yang lebih luas. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh anggota-anggotanya serta norma-norma yang ada pada masyarakat gelandangan tersebut dianggap tidak pantas dan tidak dibenarkan oleh golongan-golongan lainnya dalam masyarakat yang lebih luas yang mencakup masyarakat kecil itu.2

Gelandangan dan pengemis disebut sebagai salah satu penyakit sosial atau penyakit masyarakat (patologi sosial). Segala bentuk tingkah laku dan gejala-gejala sosial yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma umum, adat, istiadat, hukum formal, atau tidak bisa diintegrasikan dalam pola tingkah laku umum dikategorikan sebagai penyakit sosial atau penyakit masyarakat.3 Terkadang mereka juga harus mempertaruhkan nyawa ketika

menggelandang dan mengemis di jalanan yang ramai bahkan yang paling berat adalah menghilangkan rasa malu atau menjatuhkan harga diri sendiri dengan menggelandang dan mengemis karena kegiatan tersebut selama ini di anggap masyarakat sebagai kegiatan yang memalukan dan tidak memiliki harga diri yang melakukannya.4 Mereka menjadikan mengemis sebagai pekerjaan mereka dengan berbagai macam alasan, seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan mereka karena lapangan kerja yang sempit.5

Kosakata lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan keberadaan gelandangan dan pengemis tersebut di masyarakat Indonesia adalah tunawisma.6 Apabila kita lihat dan

2 Parsudi Suparlan, 1978, Gambaran Tentang Suatu Masyarakat Gelandangan Yang Sudah Menetap,

FSUI, h. 1

3 Kartini Kartono, 2003, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, Ed. 1, Cet. 5, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, h. 4

4 Feni Sudilarsih, 2012, Kisah Suksesnya Seorang Pengemis, Penerbit Sabil, Jakarta, h 9.

5 Dimas Dwi Iriawan, 2013, Pengemis Undercover Rahasia Seputar Kehidupan Pengemis, Titik Media

Publisher, Jakarta h. 1.

6 Maghfur Ahmad, 2010, Strategi Kelangsungan Hidup Gelandangan dan Pengemis (Gepeng),Jurnal

(3)

bandingkan dengan fenomena gelandangan dan pengemis yang terjadi di luar negeri seperti Amerika Serikat, maka istilah yang populer digunakan di Amerika Serikat untuk menyebutkan gelandangan dan pengemis adalah homeless.7

Perhatian tentang permasalahan gelandangan dan pengemis secaara umum dapat dilihat pula dari pendapat atau pandangan yang disampaikan oleh Teresa Gowan yang pada pokoknya menegaska:

“There are many different cause of homelessness. Poverty and the inability to afford adequate housing are central to the cause of homelessness. These circumstances may result form a number of different experiences, including long-term or short-term unemployment, debt an other financial pressures and housing market pressures, such a rising rental and house prices an the lack of public housing. Financial difficulty is often accompanied by other personal or family problems, such as family bbreakdown, domestic violence, poor physical and metal health, substance and other addictions. The inability to cope with combinations of the problems can push individuals and families even closer to edge.8

Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa: terdapat banyak sekali penyebab adanya tunawisma. Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan dan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli tempat tinggal yang layak. Keadaan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain pengangguran dalam jangka waktu pendek dan panjang, hutang dan tekanan finasial yang lain, tekanan dari pasar perumahan seperti biaya sewa dan harga rumah yang terus meninggi dan sedikitnya jumlah rumah susun atau rumah untuk publik lain yang bisa disewa. Kesulitan finansial seringkali disertai oleh masalah pribadi dan keluarga, seperti kehancuran rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan jiwa dan raga yang buruk, ketergantungan atau kecanduan zat-zat adiktif. Ketidakmampuan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut akan menyebabkan orang-orang dan keluarga-keluarga semakin terpuruk dan rumah tangga mereka mendekati kehancuran.

7 Engkus Kuswarno, 2008, Metode Penelitian Komunikasi Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan

Pendekatan Praktis: “Manajemen Komunikasi Pengemis”, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, h. 88.

8 Teresa Gowan, 2010, Hobos, Hustlers, and Blacksliders: Homeless In San Francisco, University

(4)

Selanjutnnya Zimmerman, Larry J. dan Jessica Welch menguraikan pendapatnya sebagai berikut:

“Homelessness affects a wide range of people from different regions, of different ages

and different cultural backgrounds. Some groups, however, are particularly at risk of becoming homeless”.9

Dari pendapat tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa: masyarakat dari daerah-daerah yang berbeda-beda, dengan usia dan latar belakang budaya berbeda bisa saja menjadi tunawisma. Beberapa kelompok masyarakat bahkan sangat berisiko menjadi tunawisma.

Sementara itu Alkostar dalam penelitiannya tentang kehidupan gelandangan melihat bahwa terjadinya gelandangan dan pengemis dapat dibedakan menjadi dua faktor penyebab, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sifat-sifat malas, tidak mau bekerja, mental yang tidal kuat, adanya cacat fisik ataupun cacat psikis. Sedangkan eksternal meliputi faktor sosial, kultural, ekonomi, pendidikan, lingkungan, agama, dan letak geografis10.

2.2 Dasar Hukum Pengendalian Gelandangan dan Pengemis

Bentuk pengaturan dan pengendalian pengemis berdasarkan Pasal 1 angka (13) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum disebutkan bahwa gelandangan adalah orang yang tidak tentu tempat kediaman dan perkerjaanya, sedangkan dalam Pasal 1 angka (23), pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka (ditempat) umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan dari orang lain serta menggangu ketertiban umun.

Dalam hal ini pendekatan yang di perlukan pemerintah Kota Denpasar adalah pendekatan yang bersifat holistik, yang tidak hanya terpaku dalam kegiatan pengemis itu sendiri melainkan

9 Zimmerman, Larry J. and Jessica Welch, 2011, Displaced and Barely Visible: Archaeology and Material

Culture of Homelessness, Historical Archaeologies of Engagement, Representation, and Identity: Vol. 45. No. 1, New York, page. 67

(5)

berusaha menjangkau sumber masalah dari adanya gelandangan dan pengemis itu sendiri dengan cara di berikan pelatihan-pelatihan agar bisa di kembangkan dan di manfatkan potensi yang dimiki dengan memperhatikan kendala yang di hadapi.

Dalam penanggulangan atau penanganan masalah gelandangan dan pengemis di Indonesia, khususnya yang terjadi di Kota Denpasar, maka terdapat beberapa aturan hukum yang dapat dijadikan pedoman atau landasan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4967);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Gelandangan Dan Pengemis; 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia; Tahun 2012 No. 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5294);

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1983 Tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis;

5. Peraturan Daerah Kota Denpasar No. 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum. 6. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007

Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis;

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, gelandangan dan pengemis dikategorikan sebagai kelompok masyarakat yang mengalami disfungsi sosial atau Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial, sebagai aturan hukum tentang kesejahteraan sosial di Indonesia, maka Undang-Undang ini menekankan kegiatan pokok yaitu penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat, yaitu yang diprioritaskan kepada mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria masalah sosial antara lain kemiskinan, ketelantaran,

(6)

kecacatan, keterpencilan, keturunan sosial dan penyimpangan pelaku, korban bencana, dan atau korban tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi di tegaskan pada Pasal 2 dan 5 Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahtraan Sosial. Dalam lingkup ini gelandangan dan pengemis jelas sebagai kelompok masyarakat yang mengalami masalah kemiskinan sehingga kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial tersebut haruslah menyentuh gelandangan dan pengemis. Kemiskinan lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok seperti pangan, pakaian, rumah, dan lain-lainnya.11

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahtraan Sosial, yang mana dalam ketentuan Pasal 6 huruf (e) dan (f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 39 Tahun 2012 tersebut ditegaskan bahwa gelandangan dan pengemis patut mendapatkan rehabilitasi sosial dalam rangka kegiatan penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia. Rehabilitasi sosial ini ditujukan untuk mengembalikan keberfungsian secara fisik, mental, dan sosial, serta memberikan dan meningkatkan keterampilan bagi gelandangan pengemis, di tegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2012 bahwa rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial yang dilakukan secara persuasif adalah berupa ajakan, anjuran, dan bujukan dengan maksud untuk meyakinkan seseorang agar bersedia direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara motivatif adalah berupa dorongan, pemberian semangat, pujian, dan atau penghargaan agar seseorang tergerak secara sadar untuk direhabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial secara koersif adalah berupa tindakan pemaksaan terhadap seseorang dalam proses

(7)

rehabilitasi sosial.

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan pengemis tersebut tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, represif dan rehabilitatif yang di jelaskan sebagai berikut, Upaya preventif adalah usaha secara terorganisir yang dimaksudkan untuk mencegah timbulnya gelandangan dan pengemis di dalam masyarakat, Upaya represif adalah usaha-usaha yang terorganisir yang dimaksudkan untuk mengurangi atau meniadakan gelandangan dan pengemis, Upaya rehabilitative meliputi usaha-usaha penampungan, seleksi, penyantunan, penyaluran dan tindak lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai dengan martabat manusia sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Upaya rehabilitatif ini dilaksanakan melalui Panti Sosial.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1983 tentang Koordinasi Penanggulangan Gelandangan Dan Pengemis, penanganan penanggulangan Gelandangan dan Pengemis di koordinasi dan dilaksanakan melalui tim yang bersifat konsultatif dan koordinatif yang mempunyai tugas membantu Mentri Sosial dalam menetapkan kebijakan pemerintah mengenai Gelandangan dan Pengemis dan tim tersebet bertanggung jawab langsung kepada Mentri Sosial dan rutin membahas gelandangan dan pengemis sekurang-kurangnya sekali setiap triwulan, dan keputusan tersebut dijadikan bahan dalam merumuskan penanggulangan gelandangan dan pengemis.

Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis bahwa keberadaan gelandangan dan pengemis dipandang tidak sesuai dengan norma kehidupan Bangsa Indonesia, Pancasila, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan gejala

(8)

penyimpangan sosial yang kompleks dan ditanggulangi secara bersama, penanganan gelandangan dan pengemis wajib menghormati hak asasi manusia dan diarahkan agar gelandangan dan pengemis mencari taraf hidup dan penghidupan yang layak sebagai warga Negara Indonesia. Karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan yaitu dilakukan dengan upaya preventif, tindakan penegakan hukum, pengawasan dan pengendalian.

Khusus untuk wilayah Kota Denpasar, larangan dan saksi pidana bagi kegiatan pergelandangan dan pengemisan tersebut juga diatur di dalam Peraturan Daerah No 1 Tahun 2015 Tentang Ketertiban Umum menegaskan Setiap orang di larang melakukan kegiatan gelandangan, meminta-minta, mengemis, mengamen atau usaha sejenis, dan setiap orang di larang menyuruh orang lain termasuk anak-anak, penyandang disabilitas untuk melakukan kegiatan meminta-minta, mengemis, mengamen atau usaha sejenis. Pemerintah Kota melakukan pembinaan terhadap gelandangan, orang yang melakukan kegiatan meminta-minta, mengemis, mengamen atau usaha sejenis yang terjaring razia.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah: Meningkatkan minat belajar bahasa Indonesia melalui penggunaan media Cartoon Picture pada siswa kelas IV SD Negeri Sambiduwur 2

Functional Requirements for Bibliographic Records atau FRBR adalah hasil dari suatu studi yang bertujuan mengidentifikasi data bibliografi terpenting

This thesis entitled “The Correlation between Students’ Visual Learning Style Preference and Reading Comprehension of Tenth Grade Students at MAN Kunir Wonodadi Blitar in

belum mendapatkan hasil yang maksimal dalam mengidentifikasi dan menentukan letak atau area dari tumor otak, dan juga penelitian yang berjudul segmentasi tumor otak

Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan dengan elemen lain seperti modal, teknologi, dan uang sebab manusia itu sendiri yang

Artikel Bidang Penelitian Budidaya berupa review tentang simulasi Penggunaan Model (program komputer) WaNulCAS untuk Manajemen Tumpang Sari tanaman sela di antara

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai dana pinjaman ekonomi bergulir kelompok di Kelurahan Sail Kecamatan Tenayan Raya di dasarkan pada

Namun jika sampai usia remaja seorang anak belum mengetahui tentang ajaran agama, maka dikhawatirkan ia akan terjerumus ke dalam perilaku negatif yang tidak saja