• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... HALAMAN SAMPUL DALAM... LEMBAR PENGESAHAN... PERSYARATAN GELAR MAGISTER... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... HALAMAN SAMPUL DALAM... LEMBAR PENGESAHAN... PERSYARATAN GELAR MAGISTER... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT..."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

xv

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PERSYARATAN GELAR MAGISTER ... v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

RINGKASAN ... xiii

DAFTAR ISI ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 16

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 17

1.4. Tujuan Penelitian ... 17 1.4.1. Tujuan Umum ... 17 1.4.2. Tujuan Khusus ... 17 1.5. Manfaat Penelitian ... 18 1.5.1. Manfaat Teoretis ... 18 1.5.2. Manfaat Praktis ... 18 1.6. Orisinalitas Penelitian ... 18 1.7. Landasan Teoretis ... 21

(2)

xvi

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ... 27

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 27

1.8.5. Teknik Analisis ... 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN JAMINAN PRODUK HALAL ... 29

2.1. Pengertian Perlindungan Konsumen ... 30

2.1.1. Konsep Mengenai Perlindungan Konsumen... 30

2.1.2. Konsep Mengenai Asas Perlindungan Konsumen ... 33

2.1.3. Tujuan Perlindungan Konsumen ... 35

2.1.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha ... 37

2.1.5. Hak dan Kewajiban Konsumen ... 45

2.1.6. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen 49 2.1.7. Produk dan Standardisasi Produk... 55

2.2. Pengertian Jaminan Produk Halal ... 57

2.2.1. Konsep Mengenai Produk Halal dan Jaminan Produk Halal 57 2.2.2. Ruang Lingkup Jaminan Produk Halal... 58

2.2.2.1. Bahan dan Proses Produk Halal ... 58

2.2.2.2. Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal ... 63

BAB III PENJABARAN ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM JAMINAN PRODUK HALAL ... 67

(3)

xvii

Perlindungan Konsumen dalam Undang-undang Nomor 33

Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ... 71

3.1.2. Penormaan Asas-Asas Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ... 76

3.2. Jaminan Produk Halal Sebagai Bentuk Perlindungan Konsumen . 80 BAB IV SINKRONISASI ASAS PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM JAMINAN PRODUK HALAL ... 88

4.1. Pengaturan Umum Jaminan Produk Halal di Indonesia ... 88

4.1.1. Pengaturan Kehalalan Produk sebelum Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. ... 88

4.1.2. Pengaturan Kehalalan Produk dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal ... 108

4.2. Kesesuaian Asas Perlindungan Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal... 116

BAB V PENUTUP ... 120

5.1. Simpulan ... 120

5.2. Saran ... 121

(4)

xi

Permasalahan dalam penelitian tesis ini, pertama : apakah asas perlindungan konsumen telah diakomodasi menjadi norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kedua : bagaimanakah sinkronisasi asas hukum perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Metode yang dipergunakan dalam penelitian tesis ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan jenis pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Adapun teknik analisis menggunakan teknik deskripsi dan teknik evaluasi.

Hasil penelitian dalam penelitian tesis ini adalah bahwa halal merupakan kondisi yang wajib ada pada produk yang digunakan oleh masyarkat muslim karena hal itu merupakan bagian dari ibadah. Bentuk perlindungan melalui penyelenggaraan jaminan produk halal bukan diskriminasi terhadap pemeluk agama selain Islam, Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 UUD 1945 menjamin kebebasan memeluk dan menjalankan agamanya. Karena itulah maka negara harus menjamin terselenggaranya amanat pasal tersebut dengan membentuk UUJPH yang merupakan undang-undang yang mengatur lingkup perlindungan konsumen dalam bidang jaminan produk halal. Asas-asas perlindungan konsumen dalam UUPK telah diterapkan dalam UUJPH. Sebagai bagian dari sistem hukum, UUJPH telah mengatur tentang struktur, substansi, dan budaya hukum dalam penormaannya. Dan UUJPH merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang responsif karena mengakomodasi kebutuhan masyarakat muslim terhadap jaminan atas kehalalan produk dari negara. Sebagai

lex specialis, UUJPH telah sinkron dengan asas-asas perlindungan konsumen yang terdapat dalam UUPK sebagai lex generalis-nya. Demikian juga aturan-aturan pelaksana yang berkaitan dengan terselenggaranya jaminan produk halal yang telah ada sebelum UUJPH diundangkan, telah diserap dan dinormakan dalam UUJPH.

(5)

xii

consumer protection already been accommodated in Act Number 33 of 2014 concerning Halal Product Assurance; the second is, how was the synchronization of principles of consumer protection in Act Number 33 of 2014 concerning Halal Product Assurance.

The research method adopted in this research is normative law research with legal approach and conceptual approach. Law materials used are primary, secondary, and tertiary law material. Moreover, the analysis techniques are descriptive and evaluative techniques.

The findings of this study shows that ‘halal’[permitted/lawful] is a mandatory condition in all products used by Moslems, according to Islamic law. Consumer protection through Halal Product Assurance is not intended to discriminate the non-Moslems society – Article 28 E section [1] and [2], and Article 29 of Indonesian Constitution guaranteed the freedom of every person to manifest religion and worship according to their own religion or belief. That is why the country should guarantee the implementation of the Constitution by establishing the law that regulates the scope of consumer protection in Halal Product Assurance. The principles of consumer protection in Act Number 8 of 1999 on Consumer Protection had been implemented in the Law of Halal Product Assurance. As a part of legal system, the Act of Halal Product Assurance had defined the structure, material, and legal culture in its constellation. Furthermore, the law is considered as responsive to accommodate Moslem society need for assurance of the country products. As lex specialis, the law had been synchronized with the principles of consumer protection in Act Number 8 of 1999 as its lex generalis. Likewise, the implementing regulations concerning Halal Product Assurance released before the Act Number 33 of 2014 had been accommodated and adopted in the Law.

(6)

1

Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan beragam jenis dan variasi barang dan/atau jasa. Dengan dukungan teknologi dan informasi, perluasan ruang, gerak, dan arus transaksi barang dan/atau jasa telah melintasi batas-batas wilayah negara. Konsumen pada akhirnya dihadapkan pada berbagai pilihan jenis barang dan/atau jasa yang ditawarkan secara variatif.1 Kenyataan

tersebut di satu sisi menguntungkan konsumen akan tetapi di sisi lain dapat merugikan konsumen ketika tidak ada aturan tegas dan jelas mengenai perlindungan konsumen dan mekanisme perlindungannya. Sebelum tahun 1999, hukum positif di Indonesia belum mengenal istilah konsumen. Meskipun demikian, terdapat beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen dalam hukum positif Indonesia. Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu pada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.2

Hubungan hukum dengan ekonomi bukan hubungan satu arah melainkan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Kegiatan ekonomi yang tidak didukung oleh hukum akan mengakibatkan terjadinya kekacauan sebab jika para pelaku ekonomi dalam mengejar keuntungan tidak dilandasi oleh norma hukum maka akan menimbulkan kerugian bagi pelaku ekonomi lainnya. Satjipto Rahardjo

1 Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,

h. 1.

(7)

berpendapat bahwa masyarakat senantiasa berubah sehingga menuntut adanya perubahan hukum agar kesenjangan antara hukum dengan perubahan masyarakat dapat teratasi.3

Menurut Abdul Manan,4 ada berpendapat ahli yang berpendapat bahwa hukum

selalu berada di belakang kegiatan ekonomi, setiap kegiatan ekonomi dilakukan oleh seseorang pasti kegiatan itu diikuti oleh norma hukum yang menjadi landasan pelaksanaannya. Hukum yang mengikuti kegiatan ekonomi merupakan seperangkat norma yang mengatur kegiatan ekonomi dan selalu dipengaruhi oleh sistem ekonomi yang dianut oleh suatu negara. Indonesia mendasarkan kegiatan ekonominya pada Pasal 33 UUD 1945 dan beberapa aturan turunan lainnya.5 Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan dan memajukan perekonomian suatu bangsa. Aturan hukum yang dibuat harus dapat mendukung cita-cita pembangunan nasional yang dalam implementasinya dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik oleh segenap warga negara baik masyarakat umum maupun oleh aparatur negara.

Sehubungan dengan perlindungan konsumen, Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Resolusi Nomor A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) merumuskan enam kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi :6

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

3 Satjipto Rahardjo, 2014, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 200-202.

4 Abdul Manan, 2014, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Kencana

Prenadamedia Group, Jakarta, h.7.

5Ibid., h.8.

6 Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

(8)

2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen.

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi.

4. Pendidikan konsumen.

5. Tersedianya ganti rugi yang efektif.

6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dengan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut menyuarakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan kepentingan mereka.

Organisasi Konsumen Sedunia (International Organization of Consumer Union) menambahkan empat hak dasar konsumen yang harus dilindungi yaitu :7 1. Hak memperoleh kebutuhan hidup.

2. Hak memperoleh ganti rugi.

3. Hak memperoleh pendidikan konsumen.

4. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Undang-undang Jaminan Produk Halal (selanjutnya disebut dengan UU JPH) merupakan undang-undang yang baru disahkan oleh DPR pada 25 September 2014 dan ditandatangani oleh Presiden pada 17 Oktober 2014. Pasal 3 UU JPH mengatur bahwa tujuan dibentuknya undang-undang tersebut adalah :

7 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen,

(9)

a. Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian kepada ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengkonsumsi dan menggunakan produk halal;

b. Meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

UU JPH merupakan salah satu undang-undang yang memberikan jaminan perlindungan terhadap konsumen. Dengan lahirnya undang-undang ini, negara telah melaksanakan fungsinya dengan mengeluarkan regulasi sebagai pertanggungjawaban negara melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Jaminan produk halal merupakan bentuk perlindungan terhadap konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UU PK), sebagaimana ditentukan dalam penjelasan umum UU JPH bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu maka pembangunan perekonomian nasional harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan

(10)

kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen.8

Penjelasan Pasal 2 huruf (a) UU JPH menentukan bahwa undang-undang tersebut dibentuk dengan tujuan untuk melindungi masyarakat muslim. Tentu akan muncul pertanyaan mengapa UU JPH seolah diskriminatif karena hanya bertujuan melindungi masyarakat muslim sementara secara umum masyarakat Indonesia menganut beberapa agama. Dalam kerangka hidup berbangsa, hal seperti itu harus dipahami secara komprehensif dalam bingkai toleransi agar tujuan jaminan kebebasan memeluk dan menjalankan agama sebagaimana dalam konstitusi Indonesia dapat terwujud. Sebagai negara yang mengakui dan menjunjung HAM, Indonesia merespon keadaan tersebut dengan membuat instrumen perlindungan konsumen. Pasal 1 angka (1) UU PK menentukan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. Di satu sisi, produsen hanya berusaha dengan modal seminimal mungkin untuk memperoleh keuntungan besar sesuai prinsip ekonomi.9

Sebelum UU JPH dibentuk, sebagai perangkat hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK). Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo,

8 Zaeni Asyhadie, 2014, Hukum Bisnis : Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 191.

9 Janus Sidabalok, 2014, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya

(11)

perumusan UU PK mengacu pada filosofi pembangunan nasional yang secara substansial, asas dalam undang-undang tersebut dapat dikerucutkan menjadi tiga asas yaitu :10

1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya terkandung asas keamanan dan keselamatan konsumen.

2. Asas keadilan yang di dalamnya terkandung asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum.

Banyak ahli hukum berpendapat bahwa ketiga asas tersebut adalah tujuan hukum, termasuk Gustav Radbruch dan Ahmad Ali.11 Dalam UU PK, terdapat enam tujuan yang ingin diwujudkan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 yang meliputi hal-hal:

a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

10 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit, h.26.

(12)

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Keenam tujuan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga tujuan hukum. Tujuan keadilan hukum terumuskan dalam tujuan “meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen” dan “menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha”. Sedangkan tujuan kemanfaatan dapat ditemukan pada rumusan semua tujuan kecuali dalam hal “menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha”. Sedangkan tujuan kepastian hukum dirumuskan dalam tujuan “menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi”. Kesemua tujuan tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal jika didukung oleh seluruh subsistem perlindungan yang diatur dalam UU PK tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.12

Dalam penjelasan umum UU PK dijelaskan bahwa piranti hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku

(13)

usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas. Di samping itu, UU PK dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi terhadap pelanggarnya. UU PK dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.

Sementara itu, dalam penjelasan umum UU JPH dijelaskan bahwa undang-undang tersebut merupakan payung perlindungan hukum bagi produk yang digunakan/dipakai oleh masyarakat muslim. Negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat sebagai jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan agamanya. Jaminan penyelenggaraan produk halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi pelaku usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.

Merujuk pada ketentuan Pasal 29 UUD 1945 yang secara tegas tidak saja memberikan jaminan kebebasan untuk memilih dan memeluk agama sesuai

(14)

dengan keyakinannya masing-masing namun juga telah memberikan jaminan keamanan untuk melaksanakan aktivitas keagamaannya secara penuh. Dalam menerjemahkan ketentuan Pasal 29 UUD 1945, mengutip pendapat Mohammad Daud Ali tentang pendapat Hazairin, disebutkan bahwa :13

1. Dalam negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku suatu yang bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam, atau bertentangan dengan kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah Hindu bagi orang Hindu, atau bertentangan dengan kesusilaan Budha bagi orang Budha.

2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syariah Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani dan syariat Hindu bagi orang Hindu, sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

3. Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat sendiri dijalankan oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan menjadi kewajiban pribadi kepada Allah bagi orang itu yang dijalankannya sendiri menurut agama masing-masing.

Islam merupakan salah satu agama yang senantiasa terikat pada ketentuan hukumnya, dengan demikian maka umat Islam memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam aspek pangan. Islam merupakan agama yang senantiasa memegang teguh ajaran dan aturan yang ditetapkan Allah dalam setiap aspek

13 Sofyan Hasan, 2014, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif Regulasi dan Implementasi

(15)

kehidupan.14 Seperangkat norma atau kaidah yang mengatur perihal pedoman

bersikap yang didasarkan pada ajaran Islam tersebut dikenal sebagai syariat Islam. Menurut Mahmud Syaltut, syariat didefinisikan dengan pengertian sebagai berikut :

يف هسفن اهب ناسنلإا ذخأيل اهلوصأ عرشوأ الله اهعرش يتلا مظنلا يه ةعيرشلا

نوكلاب هتقلاعو ،ناسنلإا هيخأب هتقلاعو ،ملسملا هيخأب هتقلاعو ،هبرب هتقلاع

.ةايحلاب هتقلاعو

15

Artinya “syariah adalah aturan yang dibuat oleh Allah atau aturan yang dibuat oleh manusia berdasarkan aturan Allah, yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sesama muslim, sesama manusia, alam, dan kehidupannya.” Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa syariat Islam mempunyai dimensi lebih luas dari sekadar hukum Islam.16

Hukum Islam merupakan bagian dari syariat Islam. Adapun sumber hukum Islam sebagaimana ketentuan dalam Alquran, yang pertama adalah Alquran dan Sunnah Rasul. Kemudian jika suatu perkara hukum tidak didapati dalam Alquran atau Sunnah maka dapatlah menggunakan ijtihad ulil amri.17 Masyarakat awam seringkali memahami hukum Islam sebagai terjemahan dari syariat Islam atau fikih Islam. Pemahaman tersebut sangat sempit karena makna

14Ibid, h. 163.

15 Mahmud Syaltut, 2001, Al Islam : Aqidah wa Syariah, Darus Syuruq, Kairo, h. 10. 16 Muhamad Isna Wahyudi, 2014, Pembaharuan Hukum Perdata Islam, Mandar Maju,

Bandung, h. 136.

(16)

syariat tidak sekadar mencakup aspek hukum melainkan aspek keyakinan dan hubungan-hubungan kemanusiaan.18

Sama seperti pada hukum, keseluruhan kaidah dan nilai adalah suatu sistem konseptual yang mewujudkan bagian dari kehidupan rohani manusia. Kaidah-kaidah dan nilai-nilai moral adalah produk kesadaran moral manusia.19 Immanuel Kant berpendapat bahwa hukum dan moral mempunyai perbedaan. Pandangan tersebut sebagaimana pandangan positivistik yang berpendapat bahwa antara hukum dan moral harus diadakan pembedaan. Menurut Kant, kaidah hukum berkaitan dengan perilaku yang diperintahkan sedangkan kaidah moral berkaitan dengan alasan/motivasi yang mendorong seseorang melakukan sesuatu.20 Kegiatan bisnis hakikatnya tidak sekadar bertujuan memperoleh

keuntungan banyak akan tetapi harus diimbangi dengan etika berbisnis yang tidak lepas dari segi moral.21

Produk yang akan digunakan oleh masyarakat muslim di Indonesia harus terjamin kehalalannya menurut syariah. Hal ini merupakan bagian tak terpisahkan dari perlindungan dan jaminan dalam melaksanakan ibadah bagi konsumen yang memanfaatkan produk tersebut. Kehalalan suatu produk juga dapat mendorong tingkat penjualan produk secara signifikan sebab sesuai dengan kebutuhan dan harapan konsumen. Itu berarti akan menaikkan nilai ekonomis produk dan mendorong pertumbuhan ekonomi ke arah lebih baik. Dengan memberikan

18 M. Sirajuddin, 2008, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

h. 89.

19 JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum (Terjemahan oleh B. Arief Sidharta),

Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 224.

20Ibid, h. 233-234.

21 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2013, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia

(17)

jaminan kehalalan, konsumen beragama Islam tidak perlu khawatir tentang kehalalan produk yang akan digunakannya. Sementara konsumen non muslim juga tidak akan dirugikan dengan adanya UU JPH ini karena standar yang diterapkan untuk menentukan kehalalan suatu produk merupakan standar yang memenuhi unsur kesehatan. Persoalan kehalalan suatu produk tidak dapat dipandang secara mudah karena memerlukan kajian secara ilimiah yang mendalam untuk memastikan bahan baku, proses pembuatan, media bahkan hingga penyajiannya. Persoalan tersebut juga melibatkan berbagai disiplin ilmu dan keahlian khusus yang mengintegrasikan peran ulama, ahli teknologi pangan, ahli kimia, ahli gizi, dan sebagainya.

Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi umat Islam. Seiring besarnya kuantitas umat Islam di Indonesia yang berjumlah mencapai 87,18 % dari populasi 207 juta jiwa lebih22 maka dengan sendirinya pasar Indonesia

merupakan pasar konsumen muslim yang besar dan potensial. Oleh karena itu, jaminan produk halal menjadi suatu yang penting untuk mendapat perhatian dari negara.23 Menurut Abdul Manan, hukum di samping untuk menjaga ketertiban

umum, juga sebagai rambu-rambu dalam pembangunan ekonomi yang memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku ekonomi di mana pun

22 Akhsan Naim dan Hendry Syaputra, 2011, Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama,

dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010, Badan Statistik Pusat,

Jakarta, h. 10, diakses melalui http://www.bps.go.id/index.php/publikasi/719, pada tanggal 23 Agustus 2015.

(18)

mereka berada.24 Lebih konkret lagi, hukum dianggap sangat penting sebagai cara

vital untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi, hak asasi, dan demokrasi.25 Pembahasan mengenai perlindungan konsumen pada jaminan produk halal tidak terlepas dari pendekatan sosiologi hukum. Sosiologi hukum membahas tentang keberlakuan empirik atau faktual hukum. Sosiologi hukum tidak secara langsung diarahkan pada hukum sebagai sistem yang konseptual, melainkan pada kenyataan kemasyarakatan yang di dalamnya hukum mempunyai perananan. Objek sosiologi hukum pada tingkat pertama adalah kenyataan kemasyarakatan dan pada tingkat ke dua kaidah-kaidah hukum yang dengan salah satu cara memainkan peranan dalam kenyataan kemasyarakatan itu. Menurut sosiologi hukum, teori tentang hubungan kaidah hukum dengan kenyataan kemasyarakatan dapat dipelajari dengan dua cara yaitu dari menjelaskan kaidah hukum dari sudut pandang kenyataan kemasyarakatan maupun sebaliknya, menjelaskan kenyataan kemasyarakatan dari sudut pandang kaidah hukum.26 Menurut Peter Mahmud Marzuki, hukum bukan sekadar gejala sosial, melainkan suatu fenomena budaya. Sebagai fenomena budaya, hukum harus dipandang sebagai konsep budaya, yaitu sebagai konsep realitas yang dikaitkan dengan nilai-nilai yang justru harus ditampung oleh undang-undang.27

Hukum sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie dari Hans Kelsen adalah sebagai suatu sistem aturan perilaku manusia yang tidak bisa dipahami

24 Abdul Manan, Op. Cit, h. 4.

25 Hari Purwadi, 2009, Reformasi Hukum Nasional : Problem dan Prospeknya. Dalam

Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum : dari Konstruksi sampai Implementasi,

Rajawali Press, Jakarta, h. 61.

26 JJ. H. Bruggink, Op. Cit, h. 163.

27 Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Kencana Prenadamedia Group,

(19)

hanya dari satu persatu aturan melainkan harus terkait dengan aturan yang lain.28

Satjipto Rahardjo juga berpendapat demikian, setiap undang-undang merupakan bagian keseluruhan dari perundang-undangan yang saling berkaitan.29 Bila hukum dilihat sebagai suatu sistem maka sinkronisasi antarperaturan perundang-undangan merupakan hal penting untuk menghindari ketumpangtindihan. Sebagai satu kesatuan sistem hukum, sinkronisasi UU PK dan UU JPH dapat dijadikan sebagai sebuah penelitian hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, sinkronisasi aturan adalah mengkaji sampai sejauhmana suatu peraturan hukum positif telah sinkron atau serasi dengan peraturan lainnya. Penelitian hukum tentang sinkronisasi peraturan perundang-undangan terdiri atas sinkronisasi vertikal dan sinkronisasi horisontal.30 Sinkronisasi vertikal dilakukan terhadap

peraturan perundang-undangan yang tidak sejajar misalnya sinkronisasi antara peraturan pemerintah terhadap undang-undang.31 Sedangkan sinkronisasi

horisontal dilakukan terhadap peraturan yang sejajar, misal sinkronisasi antarundang-undang.32

Dinamika norma hukum menurut Maria Farida Indrati dibedakan menjadi dua yaitu dinamika norma hukum vertikal dan dinamika hukum horisontal.33 Dinamika norma hukum vertikal adalah bahwa norma hukum yang berlaku bersumber pada norma hukum di atasnya.34 Ini berarti bahwa suatu norma hukum

28 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen tentang

Hukum,Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, h. 13.

29 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h. 102.

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2013, Penelitian Hukum Normatif, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, h. 74.

31Ibid.

32Ibid., h.80.

33 Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan 1, Kanisius, Yogyakarta, h. 23. 34Ibid.

(20)

bersumber dari norma hukum tertinggi atau norma dasar. Hal ini mengisyaratkan bahwa aturan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang tingkatnya lebih tinggi, sesuai dengan asas lex superior derogat legi inferiori. Sedangkan dinamika norma hukum horisontal adalah dinamika norma hukum ke samping, dalam arti bahwa norma hukum bergerak karena suatu analogi norma tertentu terhadap norma lain dalam bidang yang sama.35 Sebagai contohnya

adalah perbandingan antarperaturan perundang-undangan yang sejajar. Dalam dinamika horisontal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. Asas tersebut berlaku pada peraturan perundang-undangan yang mempunyai kedudukan sama secara hierarkis.36

Dalam penelitian ini, UU PK dan UU JPH merupakan undang-undang yang mempunyai bidang sama yaitu mengenai perlindungan terhadap konsumen. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut mempunyai kedudukan setingkat yaitu sebagai undang-undang. Hubungan antara UU PK dan UU JPH dapat digambarkan dengan hubungan bahwa UU PK merupakan undang-undang yang bersifat umum (lex generalis) sedangkan UU JPH merupakan undang-undang yang bersifat khusus (lex specialis). Aturan yang secara khusus berperan sebagai pelengkap dan tidak bertentangan (harus sinkron) dengan aturan umumnya. Pertentangan dapat terjadi antara peraturan perundang-undangan yang bersifat umum dengan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, padahal keduanya mengatur bidang yang sama. Jika demikian yang terjadi maka peraturan

35Ibid, h. 24.

(21)

yang bersifat khusus akan mengesampingkan peraturan yang bersifat umum tersebut.37

Asas hukum merupakan unsur penting dalam peraturan hukum karena ia sebagai landasan paling luas bagi terbentuknya suatu aturan hukum. Selain itu, asas hukum mengandung nilai-nilai etis sehingga ia berfungsi sebagai jembatan antara peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.38 Agar asas hukum perlindungan konsumen dapat berlaku maka asas tersebut harus dibentuk dalam suatu norma hukum.39 Demikian halnya asas hukum mengenai jaminan produk halal, harus juga dikonkretkan dalam suatu norma agar dapat berlaku. Karena jaminan produk halal termasuk dalam ranah perlindungan konsumen, asas-asas perlindungan konsumen haruslah dapat diserap dan dinormakan dalam pengaturan mengenai jaminan produk halal.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis memandang perlu meneliti tentang “PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL”.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

37 Kusnu Goesniadhie, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum Mewujudkan Tata

Pemerintahan yang Baik, Nasa Media, Malang, h. 37.

38 Satjipto Rahardjo, Op. Cit., h.45. 39 Kusnu Goesniadhie, Op. Cit., h. 38.

(22)

1. Apakah asas perlindungan konsumen telah diakomodasi menjadi norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal?

2. Bagaimanakah sinkronisasi asas hukum perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, dipandang perlu untuk membuat batasan agar tidak keluar dari pokok permasalahan. Adapun ruang lingkup permasalahan yang dapat ditentukan adalah sebagai berikut :

a. Konsep dan ruang lingkup sinkronisasi peraturan perundang-undangan. b. Sinkronisasi asas hukum perlindungan konsumen dalam Undang-Undang

Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai :

a. Untuk meneliti prinsip perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

b. Untuk memberikan pemahaman tentang perlindungan konsumen dalam jaminan produk halal.

(23)

Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui prinsip perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal bersifat khusus untuk masyarakat muslim atau dapat diterapkan dalam masyarakat Indonesia secara luas.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoretis

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan tentang perlindungan konsumen dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

1.5.2 Manfaat Praktis

Dengan penelitian ini maka diharapkan agar dapat menjadi referensi bagi pelaku bisnis dalam memberi jaminan kehalalan produknya kepada konsumen.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Tulisan mengenai penelitian ini belum pernah ditulis atau diteliti oleh orang lain karena obyek penelitan yang berupa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan undang-undang baru. Akan tetapi penelitan mengenai Hukum Perlindungan Konsumen dan sertifikasi halal telah Penulis dapatkan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian ini, antara lain :

Pertama, penelitian tesis di Universitas Udayana dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Berkaitan Dengan Pencantuman

(24)

Ria Dewi Marheni.40 Dalam penelitian tersebut, peneliti lebih memfokuskan

dalam situs internet (website) yang domainnya berasal dari Indonesia yang ditemukan beberapa keluhan-keluhan konsumen yang mengalami kerugian akibat pelaku usaha yang tidak mau bertanggung jawab atas apa yang ditampilkan dalam

website–nya dan mengalihkan, membebaskan tanggung jawab dari barang

dan/atau jasa yang dijualnya. Pembebasan tanggung jawab tersebut lebih diperkuat dengan pencantuman disclaimer dengan bentuk klausula baku yang dibuat secara sepihak, terkadang tidak disadari oleh konsumen karena letaknya yang sulit terlihat dan menguntungkan pelaku usaha. Diperlukan pengkajian eksistensi pengaturan kriteria substansi dari klausula baku khususnya dalam bentuk disclaimer di situs internet (website) agar dapat melindungi hak-hak konsumen dalam pengaturan khusus mengenai Informasi dan Transaksi elektronik dan untuk menjamin adanya perlindungan hukum konsumen yang memanfaatkan situs internet (website) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kedua, penelitian tesis pada Universitas Diponegoro dengan judul Kesadaran Hukum Pengusaha Kecil Di Bidang Pangan Dalam Kemasan Di Kota Semarang Terhadap Regulasi Sertifikasi Produk Halal atas nama Iwan Zainul Fuad.41 Dalam penelitian tersebut, peneliti mengkaji mengenai keadaan di mana

regulasi sertifikasi produk halal di Kota Semarang belum sepenuhnya diterima oleh pelaku usaha khususnya pengusaha kecil di bidang pangan dalam kemasan.

40 Ni Putu Ria Dewi Marheni, Perlindungan Hukum terhadap Konsumen Berkaitan

dengan Pencantuman Disclaimer oleh Pelaku Usaha dalam Situs internet (Website), Universitas

Udayana, diakses melalui http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-918-843034403-ni%20putu%20ria%20dewi%20marheni%20pdf.pdf, pada tanggal 19 Maret 2015.

41 Iwan Zainul Fuad, Kesadaran Pengusaha Kecil di Bidang Pangan dalam Kemasan di

Kota Semarang terhadap Regulasi Sertifikasi Produk Halal, Universitas Diponegoro, diakses

(25)

Keadaan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, di mana pengusaha kecil di bidang pangan dalam kemasan beranggapan bahwa pengajuan/pendaftaran permohonan sertifikasi produk halal tersebut akan memakan waktu yang tidak sedikit. Hal tersebut ditambah dengan bertumpuknya aneka perijinan yang seharusnya mereka urus berkaitan dengan usahanya. Faktor ekonomi ini dikemukakan oleh 100% responden. Berikutnya adalah faktor ketakutan terhadap sanksi hukum, di mana pada umumnya pengusaha kecil di bidang pangan dalam kemasan takut bila mereka tidak mentaati suatu regulasi, maka kemungkinan usaha mereka dapat terkena masalah hukum. Faktor takut akan adanya sanksi hukum ini dikemukakan oleh 70% responden. Faktor lain adalah faktor tidak ingin menipu konsumen, dikemukakan oleh 10% responden. Kemudian faktor ketidakpercayaan terhadap MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat produk halal. Hal ini dikemukakan oleh 2 orang responden. Ketidakpercayaan mereka disebabkan MUI tidak mempunyai laboratorium sendiri dan MUI bukanlah lembaga yang terakreditasi sebagai lembaga sertifikasi produk. Selain itu mekanisme sertifikat halal yang dilakukan oleh MUI tidak menjamin kehalalan produk. Hal tersebut dikuatkan dengan analisa penulis terhadap regulasi dan praktik sertifikasi yang dilakukan MUI dan hasilnya adalah: (1) praktik sertifikasi yang dilakukan oleh MUI mengandung cacat hukum, yakni belum terakreditasinya MUI sebagai Lembaga Pemeriksa di Komite Akreditasi Nasional (KAN), sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1 butir e Keputusan Menteri Agama No. 518 Tahun 2001; (2) MUI tidak mempunyai perangkat yang memadai dalam melaksanakan sertifikasi produk halal secara

(26)

menyeuruh, hal ini terlihat dari tidak adanya laboratorium untuk menguji kehalalan suatu produk. Pemeriksaan hanya dilakukan terhadap bahan baku dan cara pengolahannya saja; (3) tidak adanya jaminan bahwa dengan diperolehnya sertifikat halal, akan menjamin kehalalan suatu produk pangan, mengingat pemeriksaan kehalalan produk yang dilakukan MUI hanya terbatas pada pemeriksaan bahan baku dan cara pengolahannya saja, sedangkan mengenai cara mendapatkannya adalah di luar pemeriksaan mereka; dan (4) tidak adanya tarif resmi yang universal (flat) sebagai biaya sertifikasi, maka hal ini mengundang kecurigaan pengusaha, khususnya pengusaha kecil di bidang pangan dalam kemasan, akan adanya mark-up dalam proses sertifikasi produk halal.

Dari kedua penelitian di atas, jelas terlihat perbedaan dengan penelitian yang penulis lakukan. Pada penelitian pertama, fokus penelitian adalah mengenai perlindungan konsumen terhadap transaksi yang dilakukan melalui internet. Sedangkan penelitian ke dua, fokus penelitiannya adalah mengenai perilaku pelaku usaha usaha terhadap regulasi labelisasi halal di Kota Semarang.

1.7 Landasan Teoretis 42

Landasan teori merupakan dasar untuk membahas permasalahan penelitian. Pengkajian suatu permasalahan hukum secara lebih mendalam memerlukan teori-teori yang berupa serangkaian asumsi, konsep, definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antarkonsep.43 Teori hukum menurut Bruggink adalah

suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual

42 Teoretis berarti berdasar pada teori; menurut teori. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,

2008, Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Jakarta, h. 1501.

(27)

aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum. Dan sistem tersebut untuk sebagian harus dipositifkan.44

Terkait dengan teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia yaitu sistem hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Ada beberapa teori yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini. Sebagai pisau analisis untuk membahas permasalahan pertama, akan digunakan teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman. Kemudian untuk membahas permasalahan yang ke dua, akan digunakan Teori Hierarki Norma (Stufenbautheorie) dari Hans Kelsen. Teori Sistem Hukum digunakan karena jaminan produk halal dan perlindungan konsumen merupakan bagian sistem hukum yaitu substansi hukum. Sedangkan teori Hukum Responsif akan digunakan untuk menganalisis segi aturan jaminan produk halal mana yang responsif terhadap perlindungan konsumen. Sementara Teori Hierarki Norma (Stufenbautheorie) digunakan untuk menganalisis sinkronisasi UU JPH terhadap UU PK.

Kedua teori yang telah penulis kemukakan di atas, selengkapnya diuraikan sebagai berikut :

Teori Sistem Hukum (Legal System)

Undang-undang merupakan salah satu bagian dari sistem hukum. Karenanya, proses pembentukan undang-undang akan sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut negara tempat undang-undang itu dibentuk. Sehingga untuk mengkaji pembentukan undang-undang secara komprehensif, haruslah

(28)

dimulai dengan mengkaji sistem hukum itu sendiri. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) menurut Lawrence M. Friedman dalam sistem hukum mengandung 3 (tiga) komponen, yaitu : a. Struktur hukum (legal structure) b. Subtansi hukum (legal substance) c. Budaya hukum (legal culture).45 Struktur

hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum.46 Hubungan antar lembaga tinggi Negara. Komponen struktur dari

suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu di antara institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya.

Substansi tersusun dari peraturan-peraturan dan ketentuan mengenai bagaimana institusi-institusi harus berlaku.47 Substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, norma-norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Subtansi hukum ini juga mencakup hukum yang hidup di tengah masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada didalam buku-buku hukum/ undang-undang/ putusan hakim. Komponen substansi hukum ini relevan untuk membahas rumusan masalah yang pertama.

45 Lawrence M.Friedman,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System :

A Social Science Perspektive), (M. Khozim, Pentj), Nusa Media, Bandung, h. 12.

46Ibid, h.15. 47Ibid, h.16.

(29)

Budaya hukum/kultur hukum (legal culture) mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum yang berlaku.48 Kultur hukum juga bisa mempengaruhi tingkat penggunaan pengadilan yakni sikap mengenai apakah akan dipandang benar atau salah, berguna atau sia-sia bila kita pergi ke pengadilan. Sebagian orang juga bersikap takut menggunakannya hak-hak mereka.

Teori Hierarki Norma (Stufentheorie)

Suatu sistem nilai positif tidak diciptakan secara bebas oleh individu tersendiri, tetapi selalu merupakan hasil saling mempengaruhi antarindividu dalam suatu kelompok. Setiap sistem moral dan ide keadilan merupakan produk masyarakat dan berbeda-beda tergantung pada kondisi masyarakatnya. Fakta bahwa terdapat nilai-nilai yang secara umum diterima oleh masyarakat tertentu tidak bertentangan dengan karakter subjektif dan relatif dari pembenaran nilai.49

Menurut Hans Kelsen, norma hukum merupakan aturan, pola, atau standar yang perlu ditaati. Dalam kaitan dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum sebagaimana dikutip oleh Maria Farida yang berpendapat bahwa norma hukum tersusun secara berjenjang dan berlapis dalam sebuah hierarki.50 Hierarki tersebut membawa konsekuensi bahwa norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi. Hukum merupakan sistem norma, yaitu suatu sistem yang didasarkan pada “apa yang seharusnya” (das sollen). Suatu norma akan mengikat

48Ibid, h. 18

49 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, h.18.

50 Retno Saraswati, 2013, Problematika Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Jurnal Yustisia : Edisi 87, ISSN:

0852-0941, Fakultas Hukum UNS, Surakarta, h.98, tersedia di

http://www.jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia/article/download/485/456, diakses 26 Agustus 2015

(30)

pada masyarakat apabila dikehendaki menjadi hukum dalam bentuk tertulis dan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang membentuknya.51

Hubungan antarnorma yang mengatur penciptaan norma lain dengan norma yang diciptakan dapat dikiaskan sebagai hubungan superordinasi dan subordinasi.52 Dengan kata lain norma yang menentukan norma lain disebut norma superior, sementara norma yang dibuat disebut sebagai norma inferior.53

Konstitusi merupakan jenjang tertinggi hukum positif yang berarti bahwa konstitusi sebagai norma positif yang mengatur pembentukan norma-norma hukum umum.54 Dalam kaitan dengan sinkronisasi UU JPH dengan UU PK, teori Hierarki Norma diperlukan untuk menganalisis apakah norma dalam UU JPH sinkron dengan norma dasar dalam konstitusi yang telah ada pada UU PK.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal karena penulis akan meneliti tentang asas-asas hukum prinsip perlindungan konsumen dalam UU JPH. Menurut Sorjono Soekanto55,

unsur hukum terdiri atas unsur ideal dan unsur riil. Unsur ideal menghasilkan asas hukum dan pengertian pokok (misalnya pengertian tentang masyarakat hukum, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa

51 Putera Astomo, 2014, Perbandingan Pemikiran Hans Kelsen tentang Hukum dengan

Gagasan Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif Berbasis Teori Hukum, Jurnal Yustisia : Edisi 90, ISSN: 0852-0941, Fakultas Hukum UNS, Surakarta, h.7, tersedia di

http://www.jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/Yustisia/article/download/606/567, diakses 23 Agustus 2015.

52 Hans Kelsen, 2013, Teori Hukum Murni (terjemahan oleh Raisul Muttaqien), Nusa

Media, Bandung, h. 244.

53 Jimly Asshiddiqie dan Muchamad Ali Safa’at, Op. Cit, h.110. 54 Hans Kelsen, Op. Cit.

(31)

hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum). Sedangkan unsur riil mencakup manusia, kebudayaan, dan lingkungan alam yang membentuk tata hukum.

Penelitian terhadap asas-asas hukum bertolak dari bidang-bidang tata hukum (tertulis) tertentu dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam undang-undang tertentu. Karena penelitian ini dilakukan terhadap hukum yang tercatat maka terlebih dahulu penulis akan merumuskan kaidah hukumnya baru kemudian merumuskan asas-asasnya.56 Penulis memandang bahwa dengan menemukan kaidah hukum terlebih dahulu dari sebuah undang-undang maka asas yang terkandung di dalamnya akan dapat dipahami.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang dan konseptual. Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang-undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang dihadapi.57 Penelitian ini dimaksudkan untuk kegiatan akademik sehingga hasil yang diharapkan adalah pemahaman terhadap ratio legis (alasan hukum) dan dasar ontologis suatu undang-undang dibentuk. Dengan dipahaminya kedua aspek tersebut, kandungan filosofis undang-undang dapat diungkap.58

56 Ibid, h. 15.

57 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, h. 133. 58Ibid, h. 134.

(32)

Pendekatan konseptual digunakan karena penelitian ini merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang diperoleh dari pendapat para ahli maupun doktrin-doktrin hukum.59 Dengan memahami prinsip-prinsip hukum terkait perlindungan konsumen, akan diperoleh apakah prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam UU PK sudah dinormakan ke dalam UU JPH.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,60 dan bahan hukum tersier.61

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah : a. Undang-Undang Dasar 1945.

b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan

c. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Bahan hukum sekunder terdiri atas buku tentang hukum, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal hukum.

Bahan hukum tersier terdiri atas ensiklopedia hukum, kamus hukum, dan informasi dari internet dari situs resmi.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan menelusuri bahan hukum yang relevan dengan isu hukum yang diteliti. Oleh karena pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

59Ibid, h. 178.

60 Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit, h. 181. 61 Amiruddin dan Zainal Asikin, Op. Cit, h. 32.

(33)

undang-undang,62 pertama-tama yang penulis lakukan adalah mempelajari

Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain kedua undang-undang tersebut, dimungkinkan juga untuk mempelajari undang-undang maupun regulasi lain yang relevan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pengumpulan bahan hukum dilakukan juga dengan kajian pustaka terhadap buku-buku hukum, skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal hukum yang relevan.

1.8.5 Teknik Analisis

Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul, penulis menggunakan teknis deskripsi dan teknik evaluasi. Deskripsi dilakukan dengan penggambaran norma-norma hukum dalam undang-undang yang diteliti. Berdasarkan teori-teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, akan diperoleh apakah asas-asas perlindungan konsumen sudah diterapkan dan terwujud dalam suatu norma hukum atau belum. Sedangkan evaluasi dilakukan dengan menilai apakah asas-asas yang digunakan sebagai kaidah dalam undang-undang sudah tepat atau belum dengan menggunakan pendekatan teori-teori yang telah disebutkan dalam bagian kerangka teoretik.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun ajaran yang tersurat di dalam lontar Krama Pura terkait dengan perilaku di tempat suci Pura adalah suci laksana yang mengarah pada pengendalian

Database adalah kumpulan data terhubung (interrelated data) yang disimpan secara bersama-sama pada suatu media, tanpa mengatap satu sama lain atau tidak perlu suatu

Dalam menghasilkan atau mewujudkan ragam hias sebagai pengorganisasian unsur-unsur visual dalam seni rupa berupa garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain itu akan memberi

Parfum Laundry Malang Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI JENIS PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Laundry Kiloan/Satuan

Hasil uji statistik diperoleh p-value=0,007 yang berarti p<0,05, maka hal ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan penggunaan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kadar air silase pada umur penyimpanan 4 minggu tidak berpengaruh nyata terhadap pH, jumlah koloni bakteri asam

Dosy Kindelia Kirani Produser Program Stand up comedy Mengatakan 31 : “ Ide kreatif itu adalah apa yang orang lain tidak fikirkan “out of the box” dan memikirkan apa yang

(sumber:www.jababeka.com). Jababeka merupakan brand yang digunakan oleh PT Jababeka, Tbk. Brand “Jababeka” sendiri merupakan easy name yang menggambarkan tentang