• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRETREATMENT TRAMETES VERSICOLOR DAN PLEUROTUS OSTREATUS PADA BAGAS UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRETREATMENT TRAMETES VERSICOLOR DAN PLEUROTUS OSTREATUS PADA BAGAS UNTUK PRODUKSI BIOETANOL"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

© LIPI Press 2011

PRETREATMENT TRAMETES VERSICOLOR DAN PLEUROTUS

OSTREATUS PADA BAGAS UNTUK PRODUKSI BIOETANOL

Sita Heris Anita1 , Triyani Fajriutami, Fitria, Riksfardini Annisa Ermawar,

Dede Heri Yuli Yanto, Euis Hermiati

UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial–LIPI Jln. Raya Bogor Km 46, Cibinong, Bogor 16911

Tel. 021-87914511; Fax 021-87914510

E-mail: sita.heris@biomaterial.lipi.go.id;steris_lalune@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pada penelitian ini dilakukan proses pretreatment terhadap bagas menggunakan kultur tunggal dan kultur campuran jamur pelapuk putih Trametes versicolor dan Pleurotus ostreatus. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan kultur tunggal dan kultur campuran jamur pelapuk putih terhadap penurunan kadar lignin bagas dengan kehilangan minimal pada kandungan α-selulosa.Metode yang digunakan adalah dengan mengino-kulasikan jamur T. versicolor dan P. ostreatus dalam bentuk kultur tunggal dan kultur campuran ke dalam bagas dengan variasi jumlah inokulum sebesar 5%, 10%, dan 15% (w/v) serta perbandingan inokulum sebesar 1/1. Setelah diinkubasi selama empat minggu dilakukan analisis terhadap kadar komponen bagas, meliputi kadar ekstraktif, lignin, α-selulosa dan hemiselulosa. Hasilpenelitian menunjukkan bahwa kultur tunggal P. ostreatus selama masa inkubasi empat minggu lebih menguntungkan untuk digunakan pada pretreatment bagas, dengan tingkat degradasi lignin yang cukup tinggi (17,95%) dan kehilangan minimal pada kandungan α-selulosa (11,00%) dan hemiselulosa (5,75%). Waktu inkubasi pada kultur campuran dapat dipersingkat sehingga kehilangan selulosa dan hemiselulosa pada bagas tidak terlalu tinggi. Semakin singkatnya masa inkubasi maka peluang penerapan pretreatment meng-gunakan cara biologis ini menjadi semakin besar.

Kata Kunci: Biomassa, Bagas, Etanol, Jamur pelapuk putih, Pretreatment

ABSTRACT

Single and mix cultures of white-rot fungi Trametes versicolor and Pleurotus ostreatus has been applied onto sugarcane bagasse as a pretreatment process. The purpose of this research was to investigate the effect of single and mix cultures of white-rot fungi in lignin degradation while maintaining minimum loss of α-cellulose of sugarcane bagasse. Single and mix cultures of white-rot fungi T. versicolor and P. ostreatus have been inoculated onto sugarcane bagasse which varied in 5%, 10%, and 15% (w/v) with inoculum comparison 1:1. After 4-week incubation, analysis was carried out on the content of extractives, lignin, α-cellulose and hemicellulose. The result showed that 4-week incubation of single culture of P. ostreatus was more advantageous as a pretreatment method for sugarcane bagasse, with considerable number of lignin degradation (17,95%) and minimum loss of cellulose (11,00%) and hemicelluloses (5,75%). As with mix cultures, incubation period should have been reduced to pre-vent signifi cant loss of cellulose and hemicellulose. Furthermore, with shorter incubation period, this biological pretreatment process will be more interesting and feasible for the industry.

Keywords: Biomass, Sugarcane bagasse, Ethanol, White-rot fungi, Pretreatment

PENDAHULUAN

Bioetanol merupakan salah satu energi alternatif yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan biomassa. Pemanfaatan biomassa berlignoselulosa diharapkan mampu menjadi

sumber baru untuk bahan baku pembuatan etanol. Salah satu biomassa berlignoselulosa adalah bagas. Dari bagas tebu dapat dihasilkan sekitar 27–33 liter etanol/ton tebu. Selain karena jumlahnya yang cukup melimpah, berdasarkan penelitian kandungan holoselulosa dalam bagas juga tinggi sekitar 70%.[1,2]

(2)

Proses konversi biomassa berlignoselulosa menjadi bioetanol pada dasarnya terdiri dari tiga tahap utama, yaitu perlakuan pendahuluan

(pretreatment), hidrolisis selulosa dan

hemise-lulosa menjadi gula sederhana, dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol.[3] Pretreatment

merupakan suatu tahap penting dalam proses konversi biomassa berlignoselulosa. Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin, mengu-rangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan sehingga memudahkan proses hidrolisis serta fermentasi gula. Ada beberapa metode pretreatment yang dapat dilakukan, yaitu secara fisik, mekanik, kimiawi, dan biologi.

Pretreatment secara fi sik, seperti proses

peng-gilingan (milling), proses iradiasi menggunakan sinar gamma atau iradiasi dengan microwave, dan proses menggunakan uap panas bertekanan tinggi, banyak memerlukan energi, sedangkan

pretreatment kimiawi banyak menghasilkan sisa

bahan kimia yang dapat mencemari lingkungan.

Pretreatment secara biologi merupakan cara yang

murah dan ramah lingkungan.[4]

Pretreatment secara biologi pada umumnya

menggunakan jamur pelapuk putih (white-rot

fungi). Jamur pelapuk putih adalah jamur dari

kelas Basidiomycetes yang efektif untuk mende-gradasi lignin.[5] Jamur tersebut memproduksi

seperangkat enzim yang terlibat secara langsung dalam proses degradasi lignin. Dua kelompok enzim yang terlibat dalam proses lignolisis adalah enzim peroksidase dan laccase. Enzim peroksidase terdiri dari dua jenis, yaitu lignin per-ok sidase (LiP) dan mangan perper-oksidase (MnP). Beberapa jenis jamur pelapuk putih ada yang dapat memproduksi seluruh enzim tersebut, tetapi ada pula yang hanya dapat memproduksi satu jenis enzim lignolisis.[5] Penelitian pemanfaatan

jamur pelapuk putih untuk proses pretreatment bahan berlignoselulosa yang akan dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol sudah banyak dilakukan.[2,7,8,9,10,11,12] Jamur pelapuk putih yang

banyak digunakan pada penelitian tersebut adalah Ceriporiopsis subvermispora.

Penggunaan jamur pelapuk putih secara bersamaan untuk proses pretreatment masih belum banyak diteliti. Pada kultur campuran diharapkan jamur pelapuk putih yang berbeda

jenis mampu bersimbiosis secara sinergis dalam mendegradasi lignin pada bahan berlignoselulosa, khususnya bagas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan kultur tunggal dan kultur campuran Trametes versicolor dan

Pleurotus ostreatus terhadap penurunan kadar

lignin bagas dengan kehilangan minimal pada kandungan α-selulosa.

BAHAN DAN METODE

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah bagas, isolat jamur Pleurotus ostreatus (PO),

dan Trametes versicolor (TV), media Japanese

Industrial standard (JIS) dan Malt Extract Agar (MEA). Alat yang digunakan adalah disc mill, ayakan 30–40 mesh, waring blender, inkubator, oven, autoklaf, dan peralatan gelas lainnya. Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu persiapan bagas, persiapan inokulum, inokulasi kultur, dan pengujian komponen kimia bagas.

Persiapan contoh bagas. Serpihan bagas yang berasal dari PG Rajawali II, Pasir Bungur, Subang digiling dengan disc mill hingga diperoleh serbuk bagas berukuran 40–60 mesh. Serbuk bagas diberi air dengan perbandingan 1:3 sambil diaduk hingga rata. Serbuk bagas yang telah basah kemudian dikukus selama 30 menit pada suhu ± 100°C. Setelah dingin, serbuk seberat 30 gram dimasukkan ke dalam botol selai dan ditambahkan 10 ml medium JIS broth (dalam 1 L aquades ditambahkan 3 g KH2PO4, 2 g MgSO4.7H20, 25 g glukosa, 5 g pepton, dan 10 g malt extract), lalu disterilisasi dalam autoklaf selama 30 menit, kemudian didinginkan dan media siap diinokulasi.

Persiapan inokulum. Biakan jamur

Trame-tes versicolor dan Pleurotus ostreatus yang

didapatkan dari Puslit Kimia LIPI, Serpong dikultur pada media MEA slant PH 5 (dalam 250 ml aquades ditambahkan 8,875 g MEA dan 0,125

g chloramphenicol) selama 7 hari. Sebanyak 5

ml medium JIS broth PH 5 dimasukkan ke dalam setiap slant, jamur kemudian dirontokkan dengan ose. Suspensi tersebut kemudian dituang ke dalam 95 ml medium JIS broth dan diinkubasi selama 10 hari dalam kondisi stasioner pada suhu 27°C. Setelah itu inokulum Trametes v ersicolor dan

(3)

Pleurotus ostreatus masing-masing dihomogen-kan dengan waring blender pada kecepatan tinggi selama dua kali 20 detik.

Inokulasi kultur. Inokulasi dilakukan de-ngan cara menginokulasikan Trametes versicolor

dan Pleurotus ostreatus ke dalam bagas yang

telah dikukus pada variasi inokulum sebesar 5%, 10%, dan 15% (w/v) dengan perbandingan inokulum 1:1. Media bagas yang telah diinokulasi kemudian diinkubasi pada inkubator ± 27°C selama empat minggu.

Pengujian komponen kimia bagas. Setelah diinkubasi selama empat minggu, bagas yang te-lah ditumbuhi jamur dipanaskan dengan autoklaf selama 30 menit, kemudian dicuci dengan air mengalir untuk memisahkan bagas dari jamur. Bagas kemudian ditiriskan dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 60°C selama tiga hari. Bagas yang telah kering digunakan untuk pengujian kadar ekstraktif, lignin, α-selulosa dan hemiselulosa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis komposisi kimia bagas yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Kimia Bagas

Komponen Jumlah (%) Abu 1,90 Ekstrakti f 4,40 Lignin 25,73 Holoselulosa 63,32 α-selulosa 36,47 Hemiselulosa 26,85

Setelah pretreatment menggunakan Trametes

versicolor (TV) dan Pleurotus ostreatus (PO),

terjadi penurunan berat dan perubahan komposisi kimia bagas akibat proses degradasi yang dilaku-kan oleh jamur tersebut. Rata-rata kehilangan berat bagas karena degradasi jamur TV, PO serta campuran TV dan PO masing-masing mencapai 9,89; 6,74 dan 23,27% (Tabel 2). Hasil penelitian sebelumnya yang dilaporkan oleh Samsuri et al.[10] menunjukkan bahwa kehilangan

berat bagas yang diberi pretreatment uap panas suhu 180oC dan jamur pelapuk putih (kultur

tunggal Pleurotus ostreatus, Lentinus edodes,

Ceriporiopsis subvermispora dengan inokulum

dalam bentuk platelet agar) dengan masa inkubasi delapan minggu berkisar 5–11%. Pemberian inokulum dalam bentuk cair yang dilakukan dalam penelitian ini lebih efektif dalam proses degradasi dibandingkan dengan pemberian ino-kulum dalam bentuk platelet agar. Hal tersebut karena dalam waktu yang lebih singkat (empat minggu) terjadi penurunan berat dalam jumlah sebanding dengan hasil pretreatment masa inkubasi delapan minggu. Pemberian inokulum bentuk cair, menjadikan pertumbuhan jamur dalam bagas terjadi lebih merata dibandingkan dengan inokulum bentuk platelet. Pertumbuhan jamur yang merata dapat memperluas kontak antara jamur dan substrat sehingga degradasi substrat terjadi lebih efektif.

Tabel 2. Kehilangan komponen kimia bagas (%)

setelah pretreatment dengan jamur pelapuk putih Komponen

Jamur Pelapuk Puti h

T. versicolor P. ostreatus T.versicolor & P. ostreatus

Ekstrakti f 39,86 46,67 41,64

Lignin 8,11 17,95 17,21

α-selulosa 1,27 11,00 26,94

Hemiselulosa 31,17 5,75 48,45

Kehilangan berat pada bagas yang diberi

pretreatment jamur pada tiap tingkat jumlah

inokulum dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut menunjukkan pada perlakuan kultur tunggal, pengaruh jumlah inokulum terhadap kehilangan berat tidak terlihat signifi kan, sedang-kan pada perlakuan dengan kultur campuran juga tidak menunjukkan pola khusus antara kehilangan berat bagas dan kenaikan jumlah inokulum jamur yang ditambahkan.

Kehilangan ekstraktif rata-rata terbesar didapatkan pada contoh bagas yang diberi perlakuan PO (46,67%). Pada bagas yang diberi perlakuan TV dan kultur campuran, kehilangan ekstraktif rata-rata masing-masing mencapai 39,86% dan 41,46%. Zat ekstraktif dalam arti sempit merupakan senyawa-senyawa

(4)

Gambar 1. Kehilangan berat pada bagas setelah pretreatment

yang larut dalam pelarut organik. Pada bahan lignoselulosa, biasanya terdiri atas senyawa terpena, lignan, stilbena, fl avanoid, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid, hidrokarbon tinggi, dan beberapa senyawa aromatis lain.[13]

Bahan-bahan ini kemungkinan besar turut terdegradasi oleh jamur pelapuk putih sehingga kadarnya menurun. Pada Gambar 2 (a dan b) tampak bahwa perbedaan jumlah inokulum jamur tidak terlalu berpengaruh terhadap penurunan kadar ekstraktif pada bagas.

Kehilangan lignin rata-rata pada bagas yang diberi pretreatment TV, PO, dan kultur campuran masing-masing mencapai 8,11%; 17,95%, dan 17,21%. PO lebih aktif dalam mendegradasi lignin, dan mempunyai andil cukup besar pada proses degradasi bagas yang diberi kultur campuran. Perbedaan aktivitas lignolitik kedua kultur jamur dapat disebabkan perbedaan enzim lignolitik yang dihasilkannya. PO menghasilkan tiga jenis enzim lignolitik, yaitu laccase, lignin peroksidase (LiP), dan mangan peroksidase (MnP).[14] Hasil penelitian Samsuri et al.[10]

menunjukkan bahwa pretreatment dengan uap panas pada suhu 180oC selama satu jam dan

jamur pelapuk putih dengan masa inkubasi delapan minggu menurunkan lignin sebanyak

13,7–20,8%. Penambahan inokulum jamur dalam bentuk cairan terbukti lebih efektif dalam mendegradasi lignin karena dalam jangka waktu yang lebih pendek, yaitu empat minggu, telah berhasil menurunkan kadar lignin sebanding dengan hasil pretreatment menggunakan jamur pelapuk putih masa inkubasi delapan minggu dengan inokulum bentuk paltelet agar. Pada Gambar 3 (a dan b) dapat dilihat perubahan kadar lignin dan persentase lignin yang hilang setelah pretreatment jamur pelapuk putih pada tiap tingkat penambahan inokulum. Dari Gambar tersebut tampak pola kehilangan lignin berbeda-beda pada perlakuan kultur jamur yang berberbeda-beda. Pada bagas dengan perlakuan TV, semakin besar jumlah inokulum, semakin besar jumlah lignin yang hilang. Pada bagas dengan perlakuan PO, kehilangan lignin mencapai puncaknya pada jumlah inokulum 10%, kemudian menurun secara drastis pada jumlah inokulum 15%. Pada bagas dengan perlakuan kultur campur kehilangan lignin terbesar adalah pada jumlah inokulum 5%.

Kehilangan α-selulosa rata-rata pada bagas setelah pretreatment TV, PO, dan kultur cam-puran TV dan PO masing-masing sebesar 1,27%, 11,00%, dan 26,94% (Tabel 2). Kultur tunggal

(5)

(a) (b)

Gambar 2. Penurunan kadar ekstraktif (a) dan kehilangan ekstraktif (b) pada bagas setelah pretreatment

(a) (b)

Gambar 3. Penurunan kadar lignin (a) dan kehilangan lignin (b) pada bagas setelah pretreatment

TV ternyata relatif aman terhadap degradasi

α-selulosa dibandingkan PO ataupun campuran TV dan PO. Hasil penelitian Samsuri et al.[10]

menunjukkan kehilangan selulosa sebesar 11,5–17,4% setelah bagas diberi pretreatment uap panas pada suhu 180oC selama satu jam dan

beberapa kultur tunggal jamur pelapuk putih dengan masa inkubasi delapan minggu. Dari kenyataan ini, tampaknya penggunaan kultur campuran jamur pelapuk putih TV dan PO kurang menguntungkan karena degradasi α-selulosa san-gat tinggi. α-selulosa diharapkan tidak berkurang terlalu banyak agar gula yang dihasilkan tinggi, dan selanjutnya rendemen bioetanol yang diperoleh juga tinggi. Pola kehilangan komponen

α-selulosa pada kedua kultur tunggal sama, yaitu semakin banyak inokulum yang ditambahkan

maka semakin rendah kehilangan α-selulosa (Gambar 4). Pada contoh yang diberi kultur campuran, selulosa yang hilang menurun pada pemberian inokulum 10%, kemudian meningkat lagi pada pemberian inokulum 15%.

Kehilangan hemiselulosa akibat aktivitas TV dan PO pada Tabel 2 menunjukkan bahwa PO memberikan kehilangan hemiselulosa terendah (5,75%) dibandingkan TV (31,17%) dan campuran TV dan PO (48,45%). Pola kehilangan komponen hemiselulosa pada kedua kultur tunggal sama, yaitu mencapai maksimum pada penambahan inokulum 10% (Gambar 5). Pada bagas yang diberi kultur campuran, hemiselulosa hilang terendah justru pada bagas dengan pemberian inokulum 10%. Komponen hemiselulosa pada bagas dapat memberikan kontribusi terhadap

(6)

rendemen bioetanol jika pada proses selanjutnya digunakan mikroba seperti Zymomonas mobilis. Mikroba tersebut dapat memfermentasi, baik heksosa maupun pentosa.[15] Oleh karena itu,

rendahnya kehilangan hemiselulosa pada bagas yang diberi perlakuan PO merupakan suatu keuntungan tersendiri.

(a) (b)

Gambar 4. Penurunan kadar α-selulosa (a) dan kehilangan α-selulosa (b) pada bagas setelah pretreatment

(a) (b)

Gambar 5. Penurunan kadar hemiselulosa (a) dan kehilangan hemiselulosa (b) pada bagas setelah pretreat-ment

(a) (b) (c)

Gambar 6. Hasil SEM bagas sebelum per treatment (a) dan sesudah pretreatment menggunakan T. versicolor (b) dan P. ostreatus (c)

Hasil pengamatan menggunakan Scanning Electron Microscop (SEM) terhadap bagas sebelum dan sesudah pretreatment dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6a terlihat serat bagas yang masih utuh, sedangkan pada Gambar 6b dan 6c tampak jelas serat bagas yang sudah terdegradasi dan terkoyak berturut-turut oleh T. versicolor dan P. ostreatus.

(7)

KESIMPULAN

Dengan mempertimbangkan kehilangan kom-ponen-komponen kimia pada bagas setelah

pretreatment dengan kultur tunggal maupun

kultur campuran T. versicolor dan P. ostreatus, maka disimpulkan bahwa penggunaan kultur tunggal P. ostreatus untuk masa inkubasi empat minggu lebih menguntungkan untuk digunakan pada pretreatment bagas karena tingkat degradasi lignin cukup tinggi (17,95%) dan tingkat degra-dasi selulosa yang tidak terlalu tinggi (11,00%) dibandingkan dengan penggunaan kultur campuran. Jumlah inokulum optimum pada

pretreatment dengan T.versicolor adalah 15%,

dengan P. ostreatus 10% dan jika digunakan kultur campuran cukup 5%. Dengan inokulum 5% pun perlu diteliti lagi waktu inkubasi yang diperlukan, kemungkinan dapat dipersingkat agar kehilangan selulosa dan hemiselulosa pada bagas tidak terlalu tinggi. Semakin singkatnya masa inkubasi maka peluang penerapan pretreat-ment menggunakan cara biologis ini menjadi semakin besar, karena salah satu kendala dalam penggunaan cara biologis adalah waktu inkubasi yang relatif lama.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Prihandana, R. & R. Hendroko. Energi Hijau. (2007). Penebar Swadaya, Jakarta.

[2] Samsuri, M., B. Prasetya, E. Hermiati, T. Idi-yanti, K. Okano, Syafwina, Y. Honda, & T. Watanabe. (2005). Pretreatments for ethanol production from bagasse by simultaneous sac-carifi cation and fermentation. Proceedings of the 6th International Wood Science Symposium, JSPS-LIPI Core University Program in The Field of Wood Science, 288–294.

[3] Zheng, Y., Z. Pan, & R. Zhang. (2009). Overview of biomass pretreatment for cellulosic ethanol production. International Journal Agricultural & Biological Engineering. 2 (3): 51–68. [4] Taherzadeh, M. J. & K. Karimi. (2008).

Pretreat-ment of lignocellulosic waste to improve ethanol and biogas production: A Review. International Journal of Molecular Sciences, 9: 1621–1651. [5] Sun, Y. & J. Cheng. (2002). Hydrolysis of

lig-nocellulosic materials for ethanol production: a review. Bioresource Technology, 83: 1–11.

[6] Lobos, S., M. Tello, R. Polanco, L. F. Lar-rondo, A. Manubens, L. Salas, & R. Vicuna. (2001). Enzymology and molecular genetics of the ligninolytic system of the basidiomycete Ceriporiopsis subvermispora, Current Science, 81 (8): 992–997.

[7] Syafwina, Y. Honda, T. Watanabe, & M. Ku-wahara. (2002). Pretreatment of oil palm empty fruit bunch by white-rot fungi for enzymatic saccarifi cation. Wood Research, 89: 19–20. [8] Itoh, H., M. Wada, Y. Honda, M. Kuwahara, &

T. Watanabe. (2003). Bioorganosolve pretreat-ments for simultaneous saccharifi cation and fermentation of beech wood by ethanolysis and white rot fungi. Journal of Biotechnology, 103: 273–280.

[9] Syafwina, T. Watanabe, Y. Honda, & M. Ku-wahara. (2004). Simultaneous saccharifi cation and fermentation of oil palm empty fruit bunch pretreated by white rot fungi for ethanol produc-tion. Proceedings of the 5th International Wood

Science Symposium, 313–316.

[10] Samsuri, M., B. Prasetya, E. Hermiati, T. Idi-yanti, K. Okano, Syafwina, Y. Honda, & T. Watanabe. (2004). Effects of fungal treatments on ethanol production from bagasse by simul-taneous saccarifi cation and fermentation, Pro-ceedings of the 5th International Wood Science Symposium, JSPS-LIPI Core University Pro-gram in The Field of Wood Science, 317–323. [11] Tanabe, T., U. Baba, N. Shinohara, T. Mitani, Y.

Honda, & T. Watanabe. (2004). Pretreatments of softwood by microwave irradiation and white rot fungi for ethanol production. Proceedings of the 5th International Wood Science Symposium,

379.

[12] Hatakeyama, S. & M. Kuwahara. (2004). Degra-dation of discharged stump and root of Japanese cedar by wood rotting Basidiomycetes. Procee-dings of the 5th International Wood Science

Symposium, 373.

[13] Fengel, D. & G. Wegener. (1989). Wood: Che-mist ry, Ultrastructure, Reactions. Walter de Gruyter, Berlin.

[14] Kofujita, H., Y. Asada, & M. Kuwahara. (1991). Alkyl-aryl cleavage of phenolic β O-4 lignin substructure model compound by Mn(II) peroxi-dase isolated from Pleurotus ostreatus, Mokuzai Gakkaishi, 37(6): 555–61.

[15] Knauf, M. & M. Moniruzzaman. (2004). Lig-no cellulosic biomass processing: A perspec-tive. International Sugar Journal, 106 (1263): 147–150.

Gambar

Tabel 1. Komposisi Kimia Bagas
Gambar 1. Kehilangan berat pada bagas setelah pretreatment
Gambar 2. Penurunan kadar ekstraktif (a) dan kehilangan ekstraktif (b) pada bagas setelah pretreatment
Gambar 6. Hasil SEM bagas sebelum per treatment (a) dan sesudah pretreatment menggunakan T

Referensi

Dokumen terkait

Pencatatan di neraca saldo adalah sewa diterima dimuka, dicatat sebagai hutang atau pendekatan neraca, Hutang, H-> Habis, nilai pendapatan yang habis/sudah menjadi

Data hasil wawancara, observasi, dan dokumentasi dapat dijelaskan bahwa Surabaya Plaza Hotel telah melakukan penerapan intellectual capital, sudah terlaksana dengan

3 apa yang kita punya itu diikutin itu suatu kebanggan untuk diriku kan, kayak kok muka kamu bersih, kamu pake apa produk apa, nah dari situ lah kita bisa

Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana. Sains dalam bidang

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar lompat jauh melalui penerapan pendekatan bermain pada siswa kelas V SD Islam Cokroaminoto Surakarta

[r]

Sehubungan dengan hal teisebut kami mohon ijin dan bantuan bagi mahasiswa yang bersm~gkutan agar dapat melakukan penyebaran angket di tempat yang Bapak/P1u

Meskipun pada penentuan kapasitas adsorpsi menggunakan biru metilena, dan penetapan kapasitas adsorpsi zeolit dan kompositnya tidak dilakukan terhadap DPPH, tetapi