• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perkembangan foto jurnalistik saat ini tidak dapat dipungkiri terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi dalam bidang fotografi. Jurnalis foto semakin spesifik dalam memilih segmennya, sehingga berdampak positif pada foto-foto terpilih dalam media yang juga menjadi lebih berkualitas. Topik-topik seperti peperangan, bencana alam, olahraga, politik, seni budaya, masalah sosial, dan isu-isu lingkungan semakin banyak diangkat dalam foto jurnalistik (Soedjono, 2007). Salah satu bentuk foto jurnalistik yang sedang berkembang adalah foto esai.

Foto esai merupakan salah satu bentuk penyajian karya foto jurnalistik. Foto esai mampu memberikan gambaran nyata tentang suatu isu, sehingga menarik untuk dinikmati dan dapat mendorong munculnya opini-opini secara emosional maupun intelektual. Hal ini dikarenakan foto esai memungkinkan penyajian beberapa seri foto dengan satu topik tertentu, sehingga menimbulkan alur cerita yang kuat meskipun terkadang tidak didukung dengan artikel pendamping (Alwi, 2004). Salah satu topik yang banyak diangkat dalam rubrik-rubrik foto esai media massa adalah topik lingkungan hidup. Pemberitaan mengenai lingkungan hidup dalam media tidak hanya dapat dilihat melalui bentuk artikel atau tulisan. Tidak sedikit pemberitaan lingkungan hidup dalam media massa yang diungkapkan melalui foto esai.

Masalah pencemaran lingkungan di Indonesia adalah gangguan terhadap tata kehidupan manusia terutama disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk yang pesat, eksploitasi sumber daya alam yang melebihi kapasitas, penggunaan teknologi yang tidak sesuai dengan kondisi alam yang ada dan pola perilaku manusia terhadap alam. Pemerintah membuat regulasi UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang bertujuan memberi perlindungan dan mengatur pengelolaan lingkungan hidup demi kesejahteraan khalayak. Masalah yang sangat berpengaruh adalah perilaku

(2)

manusia yang tidak lagi mengahargai alam dimana manusia adalah bagian dari alam dan kondisi riil di mayarakat dicontohkan dengan penebangan hutan yang tidak disertai dengan penanaman kembali bibit tanaman penggantinya, pembuangan limbah dan sampah industri dan rumah tangga secara bebas tanpa mempedulikan implikasi dari perbuatan tersebut.

Masalah – masalah tersebut dalam hal ini memerlukan peran media massa, untuk memberikan informasi yang transparan dan memacu keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan terhadap lingkungan. Supaya informasi yang disebarkan media dipercaya khalayak, Gordon, Denies Harvice (2010), menyarankan wartawan dituntut untuk mengembangkan kemampuan untuk mengurangi ketidakpastian lingkungan, melalui bekerjasama dengan ilmuwan. Oleh sebab itu relasi antara pekerja media dengan ilmuwan dan sumber informasi lain yang dipercaya harus dipertahankan.

Isu lingkungan yang dimuat oleh media massa akan lebih bermakna apabila tidak hanya sekedar memberikan informasi mengenai kondisi lingkungan saja. Pemberitaan tersebut akan lebih bermakna apabila memuat pula unsur persuasi yang dapat bermanfaat bagi peningkatan partisipasi masyarakat pembacanya untuk turut berpartisipasi dalam menjaga lingkungangan (Abrar, 1993). Pada prakteknya, isu-isu lingkungan yang diangkat oleh media massa cenderung merupakan deskripsi atas peristiwa dan penjabaran-penjabaran fakta saja. Kondisi tersebut terjadi karena isu lingkungan merupakan suatu isu yang sangat kompleks sehingga pada akhirnya isu lingkungan menjadi tidak popular di kalangan media massa. Dampak kelanjutannya adalah bahwa isu lingkungan tidak mendapat tempat di sejumlah media massa (Aristides, 2015).

Tidak cukup populernya isu lingkungan di kalangan media massa dalam hal ini tidak berlaku bagi Surat Kabar Harian (SKH) Kompas. SKH Kompas merupakan salah satu media massa yang memiliki perhatian besar pada isu-isu lingkungan. Hal ini bahkan mengantarkan SKH Kompas untuk menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup. Pada tahun 2009, SKH Kompas mengalahkan sepuluh media massa cetak kompetitornya dengan menerima dua penghargaan sekaligus, yaitu kategori Surat Kabar Peduli

(3)

Lingkungan dan Surat Kabar dengan Berita Foto Lingkungan (menlh.go.id). Dalam hal ini SKH Kompas mendapat dua dari empat katagori yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup. Kedua penghargaan tersebut diterima SKH Kompas karena media tersebut dinilai turut aktif mengedukasi publik tentang isu lingkungan.

Hal menarik dari dari raihan penghargaan tersebut adalah penghargaan yang diberikan pada SKH Kompat untuk Surat Kabar dengan Berita Foto Lingkungan. Penghargaan yang diraih SKH Kompas menunjukkan bahwa kepedulian pada isu lingkungan dalam SKH Kompas tidak hanya diwujudkan melalui berita artikel saja, tetapi juga dalam bentuk berita foto lingkungan. Terkait dengan hal ini, keberadaan rubrik Foto Pekan Ini pada SKH Kompas memainkan peranan pentingnya.

Setiap hari Minggu, SKH Kompas menyajikan foto-foto esai dimana kontributornya berasal dari wartawan foto SKH Kompas maupun masyarakat luar. Rubrik tersebut diberi nama Foto Pekan Ini karena memuat rangkaian foto esai dengan topik berbeda untuk setiap edisinya. Foto esai merupakan suatu narasi dalam bentuk sekumpulan foto yang menunjang pemahaman ide cerita tertentu (Nugroho, 2006). Foto esai pada rubrik Foto Pekan Ini SKH Kompas disusun dari karya fotografi murni dan dilengkapi dengan uraian deskripsi tulisan singkat yang menunjang alur cerita dari rangkaian foto esainya.

Keberhasilan SKH Kompas mendapat penghargaan Surat Kabar dengan Berita Foto Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup menjadi suatu bentuk pengakuan tersendiri bagi rubrik Foto Pekan Ini. Hal ini dikarenakan isu lingkungan menjadi salah satu isu penting yang diangkat oleh rubrik Foto Pekan Ini. Sebagai salah satu media nasional di Indonesia, pemberitaan yang dimuat pada SKH Kompas melalui rubrik Foto Pekan Ini sangat berpengaruh pada wacana yang berkembang dalam masyarakat. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemberitaan Kompas menyebabkan dampak yang signifikan dalam membentuk opini masyarakat. Menarik bagi peneliti untuk mengkaji bagaimana Kompas melalui rubrik Foto Pekan Ini menyajikan berita foto tentang topik lingkungan hidup.

(4)

Terlepas dari kepedulian SKH Kompas pada isu lingkungan dan penghargaan yang diraih, pada kenyataannya rubrik Foto Pekan Ini masih belum sepenuhnya mewujudkan upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat agar peduli lingkungan melalui foto-foto yang diangkat. Sepanjang tahun 2014, rubrik Foto Pekan Ini mengangkat topik lingkungan dan budaya. Hanya saja, observasi awal yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa proporsi topk lingkungan tidak sebanding dengan edisi dengan topik budaya. Selain itu, topik-topik lingkungan yang diangkat cenderung mengarah pada paparan deskriptif atas fakta yang terjadi, sedangkan pesan-pesan yang mengajak pembaca untuk turut aktif berpartisipasi dalam upaya menjaga lingkungan belum cukup terlihat.

Dalam perspektif komunikasi, pertautan media dalam ranah kebijakan publik dapat dilihat menggunakan pendekatan analisis isi media. Melalui analisis isi media, dapat dipahami pandangan media tentang isu dan permasalahan lingkungan maupun pelaksanaan fungsi-fungsi media atas isu tersebut, terlebih dalam konteks kebijakan pengelolaan lingkungan. Keberadaan media massa sendiri memiliki peran signifikan guna membangun pemberdayaan dan pencerdasan masyarakat secara umum. Fungsi media sebagai kontrol sosial, menyalurkan informasi, edukasi, dan membangun opini publik ini sangat bermanfaat bila pengelolanya mampu mengemasnya secara tepat. Oleh sebab itu, SKH Kompas melalui rubrik Foto Pekan Ini diharapkan mampu mencapai hal tersebut melalui isu lingkungan yang diangkat.

1.2. Identifikasi Masalah

Kebijakan komunikasi tidak dapat dilepaskan dari pengaturan oleh pemerintah melalui peraturan undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud ialah peraturan yang menjadi regulasi bagi masyarakat dalam berkomunikasi. Termasuk dalam hal ini yaitu pengaturan mengenai kedudukan media massa, baik dalam komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat maupun dalam hal penyebaran informasi kepada masyarakat secara luas.

(5)

masyarakat telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut dinyatakan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui (Public’s right to know) dan lembaga pers berperan memenuhinya. Tidak hanya itu, hak masyarakat untuk memperoleh informasi dijamin pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak asasi Manusia (HAM) Pasal 14 ayat (1). Sementara itu mengenai hak masyarakat akan informasi lingkungan secara spesifik dinyatakan dalam pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan dari media. Dalam perspektif komunikasi, lingkungan sering menjadi isu dan masalah kebijakan pembangunan yang sensitif, namun hingga kini masih jarang dilakukan kajian yang khusus menelaah tentang implikasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup dari sudut pandang komunikasi khususnya melalui analisis isi foto. Selain itu, tidak cukup populernya isu lingkungan untuk diangkat dalam media massa semakin membuat isu lingkungan tidak mendapat tempat di sejumlah media massa.

Dalam hal ini media massa sebagai salah satu institusi sosial memiliki kontribusi yang besar terhadap persepsi seseorang. Sebagai salah satu alat yang digunakan pada aktifitas komunikasi, media memiliki peran sangat penting untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan. Oleh sebab itu, belum menonjolnya pesan-pesan peningkatan peduli lingkungan dalam rubrik Foto Pekan Ini SKH Kompas merupakan suatu permasalahan tersendiri. Sementara itu, dari sisi fungsi media massa dalam hal ini SKH Kompas melalui rubrik Foto Pekan Ini dituntut untuk mempromosikan nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan, memonitor dan mengawasi (kontrol) terhadap kebijakan, dan terpenting menyuarakan tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) berkenaan dengan pengelolaan lingkungan.

Terkait dengan hal demikian, maka pemerintah sebagai penentu kebijakan komunikasi tidak dapat dipungkiri menjadi diperlukan intervensinya. Terutama terkait dengan pemanfaatan media, yang dalam hal ini melalui foto esai.

(6)

Intervensi pemeritnah secara positif akan diperlukan untuk meningkatkan peranan media, sehingga foto esai mampu dimanfaatkan optimal bagi kepentingan peningkatan kepedulian terhadap lingkungan.

1.3. Rumusan Masalah

Peranan media melalui rubrik foto esai sangat diperlukan. Terutama terkait dengan upaya mempromosikan nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan, memonitor dan mengawasi (kontrol) terhadap kebijakan lingkungan, dan terpenting menyuarakan tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) berkenaan dengan pengelolaan lingkungan. Berangkat dari uraian di atas maka permasalahan yang ingin diketahui jawabannya dalam penelitian ini yaitu:

”Bagaimana foto esai lingkungan disajikan oleh surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi tahun 2014?”

Adapun pertanyaan penelitiannya adalah:

1. Bagaimana profil isi foto esai topik lingkungan pada surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi 2014?

2. Apa tema foto esai yang terkandung dalam surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi 2014?

3. Apa tema yang dominan dalam foto esai surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi 2014?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah disebutkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan profil isi foto esai topik lingkungan pada surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi 2014.

2. Mengidentifikasi tema yang terkandung dalam surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi 2014.

3. Mengidentifikasi tema yang dominan dalam foto esai surat kabar harian Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi 2014.

(7)

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat terhadap dunia akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan yang berkenaan dengan konsep komunikasi lingkungan, khususnya yang berkenaan dengan pemberitaan foto esai surat kabar tentang lingkungan.

1.5.2. Manfaat terhadap dunia praktis

Keterangan-keterangan yang didapatkan dari hasil penelitian ini setidaknya diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangan terhadap upaya perencanaan, perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan pengelolaan lingkungan.

1.6. Objek Penelitian

Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah rubrik Foto Pekan Ini SKH Kompas. Secara lebih spesifik, objek penelitian meliputi rubrik yang diterbitkan sepanjang tahun 2014. Rubrik Foto Pekan Ini sendiri merupakan rubrik mingguan yang terbit setiap hari Minggu. Sepanjang tahun 2014, SKH Kompas menerbitkan 47 edisi Kompas Minggu, sehingga terdapat 47 edisi rubrik Foto Pekan Ini yang menjadi objek penelitian.

1.7. Literature Review

Penelitian tentang analisis isi media pada SKH Kompas sejauh ini telah banyak dilakukan. Litbang Kompas bersama Zentra Media Undip (2003) melakukan penelitian analisis isi pada Kompas, Republika, Media Indonesia, dan Koran Tempo menyajikan konflik di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penelitian dilakukan selama tiga tahap periode Mei s/d September 2003. Hasil penelitian menunjukkan adanya kesamaan pola antara keempat surat kabar tersebut dalam menyajikan berita- berita, tetapi tidak dalam hal yang berkenaan dengan prinsip jurnalisme damai (netralitas pers).

Penelitian analisis isi pada SKH Kompas lain pernah dilakukan oleh Henry Subiakto (2000). Penelitian tersebut dilakukan pada 8 surat kabar lokal maupun nasional sebagai obyek studinya, antara lain: Kompas, Media Indonesia,

(8)

Suara Pembaharuan, Surya, Jawa Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, dan Republika dengan mengkaji obyektivitas pemberitaan pers nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Suara Pembaharuan, Kompas, Suara Merdeka, dan Media Indonesia cenderung obyektif dibanding dengan surat kabar lain dalam hal keakurasian pemberitaan, validitas nara sumber, dan ketidakberpihakan pada pihak manapun.

Terkait dengan penelitian analisis isi yang fokus pada isu lingkungan dalam hal ini juga pernah dilakukan oleh penelitian sebelumnya. Mochamad Nuryadi (2003) melakukan penelitian analisis isi di beberapa surat kabar, antara lain Kompas, Koran Tempo, dan Sinar Harapan. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengkaji karakteristik surat kabar dalam menampilkan informasi lingkungan hidup. Begitu pula dengan Kurniawan (2006) yang melakukan penelitian analisis isi tentang lingkungan hidup dan implikasinya terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan di Kabupaten Bangka.

Sementara itu, penelitian terhadap foto esai juga pernah dilakukan beberapa peneliti terdahulu. Salah satunya adalah Sembiring (2010) yang melakukan penelitian semiotik dari foto esai bertajuk Mimpi Buruk Rafi dalam Majalah Tempo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan foto esai tersebut menjadi bentuk kritik sosial, terutama yang ditujukan kepada pihak pemerintah.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian analisis isi media tentang isu lingkungan sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Begitu pula dengan penelitian mengenai foto esai. Hanya saja, penelitian mengenai analisis isi foto esai tentang topik lingkungan dalam hal ini belum banyak dilakukan. Review literature yang dilakukan menunjukkan bahwa penelitian ini dapat melengkapi hasil penelitian sebelumnya. Terutama terkait dengan kajian analisis isi foto esai dengan topik lingkungan.

1.8. Kerangka Berpikir

1.8.1. Hak Masyarakat Memperoleh dan Menyampaikan Informasi

(9)

hidup tanpa komunikasi. Hakekat komunikasi sendiri adalah penyampaian informasi atau pesan dari komunikator kepada komunikan. Para ahli filsafat komunikasi sepakat tentang kebebasan komunikasi. Menurut mereka kebebasan komunikasi dalam peradaban manusia adalah kebebasan yang melekat secara alamiah pada diri semua orang tanpa kecuali.

Oleh karena itu kebebasan komunikasi harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Dalam pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Sementara dalam pasal 14 ayat (2) dinyatakan: “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia”.

Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan

Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain: 1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup; 2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;

3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,

(10)

anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian; 6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;

7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;

8. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;

9. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas; 10. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

yang lebih efektif dan responsif; dan

11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.

Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.8.2. Surat Kabar Sebagai Media Penyebar Informasi Lingkungan

Fungsi media massa juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang tersebut berbunyi: “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial”. Sementara peranan pers nasional sebagai media untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, benar dan melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran dinyatakan dalam Pasal 6 (point c,d,e) Undang-Undang tersebut.

(11)

Penggambaran fungsi media massa secara lebih jelas dikemukakan Schramm dalam Jahi (1993), ia mengemukakan tiga fungsi media massa dalam pembangunan:

1. Memberi tahu tentang pembangunan nasional, memusatkan perhatian mereka pada kebutuhan untuk berubah, kesempatan untuk menimbulkan perubahan, metoda dan cara menimbulkan perubahan dan jika mungkin meningkatkan aspirasi.

2. Membantu rakyat berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog dan menjaga agar informasi mengalir baik keatas maupun kebawah.

3. Mendidik rakyat agar memiliki keterampilan.

Sebagai agen perubahan sosial, menurut Rachmadi (1989), surat kabar memiliki beberapa tugas yang dapat dilakukan untuk menunjang pembangunan, yaitu:

1. Memperluas cakrawala pandangan. Dalam hal ini melalui surat kabar orang mengetahui kejadian-kejadian yang terjadi di negara- negara lain.

2. Memusatkan perhatian masyarakat dengan pesan-pesan yang ditulisnya. Pada masyarakat modern, gambaran tentang lingkungan yang jauh dari mereka diperoleh dari surat kabar dan media massa lainnya. Dalam hal ini masyarakat mulai menggantungkan pengetahuan pada surat kabar dan media massa lainnya.

3. Menumbuhkan aspirasi. Dengan penguasaan media, suatu masyarakat dapat mengubah kehidupan mereka dengan cara meniru apa yang disampaikan oleh media tersebut.

4. Menciptakan suasana membangun, Melalui surat kabar dan media massa lainnya dapat disebarluaskan informasi kepada masyarakat. Surat kabar dapat memperluas cakrawala pemikiran dan membangun simpati, memusatkan tujuan pembangunan sehingga tercipta suasana pembangunan yang serasi dan efektif.

Sesuai perannya, surat kabar dapat digunakan untuk menyampaikan informasi lingkungan. Penyebaran informasi lingkungan sangat diperlukan

(12)

mengingat berbagai kegiatan pembangunan memiliki kaitan erat dengan isu lingkungan dan isu lingkungan memiliki kaitan erat dengan kualitas hidup manusia. Surat kabar bersama media massa lainnya terbukti berperan membangun kesadaran publik akan pentingnya upaya mengelola lingkungan yang dapat meningkatkan kualitas hidup manusia. Menurut Atmakusumah (1996), surat kabar ikut menyumbang berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan masalah lingkungan untuk membangkitkan kesadaran itu.

Lembaga Pers Dr. Sutomo dalam Atmakusumah (1996) mengungkapkan, media massa memiliki tiga misi utama di bidang lingkungan:

1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan masalah-masalah lingkungan. 2. Merupakan wahana pendidikan untuk masyarakat dalam menyadari perannya

dalam mengelola lingkungan hidup.

3. Memiliki hak mengoreksi dan mengontrol dalam masalah pengelolaan lingkungan hidup.

Assegaff (1996) mengungkapkan, dari sekian banyak masalah pembangunan dewasa ini, lingkungan merupakan objek pemberitaan yang kian mendapat sorotan. Menurutnya, kecenderungan ini muncul karena persoalan lingkungan memiliki keterkaitan erat dengan berbagai kegiatan pembangunan. Disamping masyarakat semakin menyadari arti penting lingkungan yang baik bagi mereka. Hal tersebut menjadikan masyarakat lebih tertarik pada berita-berita mengenai penciptaan pelestarian lingkungan, dan proyek-proyek yang berupaya memulihkan lingkungan yang rusak seperti proyek reboisasi lahan kritis, perbaikan daerah aliran sungai, pencemaran industri dan sebagainya.

Menurut Assegaff, tulisan tentang lingkungan di surat kabar biasanya dalam bentuk berita, feature dan tajuk rencana. Menurutnya, dalam pemberitaan masalah lingkungan akhir-akhir ini tengah berkembang bentuk jurnalistik baru yang dikenal sebagai jurnalistik proses. Bentuk jurnalistik ini tidak hanya memberitakan fakta suatu peristiwa yang terjadi, akan tetapi juga memotret secara mendalam proses yang berlangsung yang telah menciptakan peristiwa tadi.

Jurnalistik proses, contohnya, menggambarkan ancaman terjadinya penggurunan di daerah-daerah subur dengan tujuan memberitahu sejak dini

(13)

kepada masyarakat tentang bahaya yang sedang mengancamnya. Dalam tulisannya, wartawan mengungkapkan bagaimana proses tersebut terjadi, apa penyebabnya dan tindakan-tindakan perbaikan dan pencegahan apa yang sedini mungkin dapat diambil pemerintah dan lembaga terkait, sekaligus menyadarkan masyarakat tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah gangguan yang mengancam kelestarian kemampuan alam.

Beranjak dari pemahaman tersebut, Assegaff menyarankan, penulisan masalah lingkungan sebaiknya menggabungkan jurnalistik proses dan model penulisan mendalam (in-depth reporting), sebagai salah satu jenis penulisan feature. Hal tersebut disebabkan karena, menurutnya, penulisan dalam bentuk feature atau berita yang hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan kerusakan lingkungan kurang dapat menggerakkan penghayatan masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian kemampuan lingkungan. Sementara tulisan feature yang menyertakan jurnalistik proses lebih dapat menggambarkan pentingnya upaya membina kelestarian kemampuan lingkungan.

Menurut Friedman dalam Atmakusumah (1996), untuk membuat tulisan yang lebih mendalam tentang lingkungan, penulisan jurnalistik lingkungan perlu menjawab pertanyaan lebih dari satu “what”, “who”, “why” dan “how”. Misalnya, apabila terjadi suatu peristiwa alam, penulis laporan tidak hanya mencari informasi tentang “apa yang terjadi”, melainkan juga “apa persoalan yang ditimbulkannya”, “apa pemecahannnya”, dan “apa pula yang harus dilakukan”. Kemudian “siapa yang terkena dampak peristiwa itu”, “siapa yang bertanggung jawab”, “siapa yang bertindak mengurus persoalan ini”, dan “siapa pula yang menanggulangi pemecahannya”. Perlu pula dipertanyakan “mengapa timbul dampak dari peristiwa itu” dan “mengapa seseorang harus bertanggung jawab”. Selain itu, “bagaimana terjadinya peristiwa itu”, dan “bagaimana menghadapi persoalan itu”.

Peran media massa dalam menggerakkan kesadaran masyarakat tentang persoalan lingkungan tergambar dalam berbagai penelitian di luar negeri. Staats, Wit dan Midden (1996), contohnya, mengemukakan bahwa kampanye bahaya efek rumah kaca di Belanda melalui media massa baik cetak maupun elektronik

(14)

terbukti meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan. Sekalipun memang kampanye itu sendiri tidak terbukti secara langsung mampu mengubah kebiasaan masyarakat yang mengancam lingkungan.

Meskipun demikian menurut Messick dan Brewer (1983), dan Liebrand, Messick, Brewer (1992), kampanye melalui media massa tetap perlu diperhitungkan. Karena meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan persoalan lingkungan menjadi kunci sukses untuk memecahkan masalah sosial terkait. Artinya, persoalan lingkungan hanya mungkin bisa dipecahkan manakala ada banyak masyarakat yang mengetahui dan menyadari persoalan lingkungan yang berkembang.

Kenyataan senada ditemukan dalam studi Ader dalam Szerszynsi (1991). Ader mengemukakan bahwa media massa berperan nyata dalam menggerakkan kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat Inggris. Dalam studi yang menghubungkan pemberitaan lingkungan di media massa dan opini publik, terbukti media massa memberikan pengetahuan dan pemahaman akan persoalan lingkungan yang berkembang dan memperbesar peluang munculnya upaya-upaya memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

1.8.3. Fotografi Jurnalistik

Fotografi merupakan karya seni. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fotografi merupakan seni dan proses penghasilan gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan. Artinya, fotografi adalah teknis melukis dengan menggunakan cahaya. Fotografi adalah bahasa gambar yang merupakan hasil akhir dari komunasi percetakan (Freininger, 1985). Sebagai salah satu media berkomunikasi, fotografi menyampaikan makna-makna serta pesan yang terekam dalam wujud bingkai foto.

Fotografi adalah seni mengamati keadaan dan efektifitas fotografi ditentukan oleh kuat dan intensnya pengamatan. Hanya pengamatan dan keutuhan hasil pengamatan yang kuat akan menghasilkan foto bermutu. Fotografi hanya tersaji pada selembar kertas, namun dengan keterbatasannya, apabila di olah

(15)

dengan benar maka sebuah foto akan memiliki kekuatan yang besar (Fotomedia, 2001). Kehadiran foto dalam media massa cetak memiliki suara tersendiri dalam mengkonstruksikan sebuah peristiwa. Bahasa foto merupakan bahasa visual yang lebih mudah dipahami oleh semua orang yang bisa melihat dibandingkan dengan bahasa verbal. Pers Indonesia terutama media cetak yang dulunya sarat dengan tulisan kini berubah menjadi dominasi gambar (foto) (Majalah Cakram, 2002). Hal ini terjadi karena positioning, kompetisi dan tuntutan pasar mengharuskan media cetak tampil lewat komunikasi yang lebih memikat.

Dunia fotografi telah memasuki babak baru, yaitu babak digital. Berbeda dengan babak konvensional, fotografi digital tidak memerlukan film, kamar gelap, dan berbagai zat kimia untuk mencuci film dan mencetak foto. Dalam hal ini, kamera digital menggunakan chip yang disebut charge couple device (CCD) untuk merekam gambar. Walaupun demikian, definisi dasar yang menyatakan bahwa fotografi adalah teknik melukis dengan cahaya belum tergeser. Fotografi digital tetap diciptakan melalui proses kreativitas manusia dengan bantuan kamera. Hukum-hukum fotografi yang menyangkut masalah pencahayaan, bukaan diafragma, dan ruang tajam, tidak mengalami perubahan. Fotografi digital adalah fotografi yang memanfaatkan data digital dalam proses pengolahan dan penyimpanannya. Data digital adalah data berupa angkaangka digit 0 dan 1 yang hanya bisa dimengerti komputer. Dengan kata lain fotografi digital adalah fotografi yang memanfaatkan komputer sebagai kamar gelap, pencetak dan penyimpannya.

Sementara itu, fotografi jurnalistik sendiri merupakan foto yang lazim digunakan di kalangan media dan dikenal pula dengan istilah press photo atau foto berita. Fotografi jurnalistik pada umumnya memberikan gambaran tentang informasi-informasi tertentu yang sedang terjadi dalam masyarakat, serta dibuat dalam keadaan yang sebenarnya (Nugroho, 2006). Berikut merupakan karakter utama dari fotografi jurnalistik (Alwi, 2004):

1. Foto jurnalistik adalah komunikasi melalui foto. Komunikasi yang dilakukan akan mengekspresikan pandangan wartawan foto terhadap suatu subjek, tetapi pesan yang disampaikan merupakan ekspresi pribadi 2. Medium foto jurnalistik adalah media cetak berupa koran atau majalah

(16)

dan media kabel atau satelit, termasuk juga internet

3. Kegiatan foto jurnalistik adalah kegiatan melaporkan berita 4. Foto jurnalistik adalah paduan antara foto dan teks foto

5. Foto jurnalistik mengacu pada manusia sebagai subjek sekaligus pembaca berita

6. Foto jurnalistik adalah komunikasi dengan orang banyak (mass audience). Ini berarti pesan yang disampaikan harus singkat dan segera diterima

7. Foto jurnalistik juga merupakan hasil kerja editor foto

8. Tujuan foto jurnalistik adalah memenuhi kebutuhan mutlak penyampaian informasi kepada masyarakat

Fotografi jurnalistik memiliki beberapa katagori. Berikut merupakan katagori fotografi jurnalistik menurut World Press Photo Foundation (Alwi, 2004):

1. Spot photo, yaitu foto yang dibuat dari suatu peristiwa tidak terjadwal atau tidak terduga, dan langsung diambil fotografer pada lokasi kejadiannya

2. General news photo, yaitu foto-foto yang diabadikan dari suatu peristiwa tertentu yang penyelenggaraannya rutin dan terjadwal

3. People in the news photo, yaitu foto mengenai orang atau masyarakat tertentu dalam suatu berita

4. Daily life photo, yaitu foto tentang kehidupan sehari-hari manusia yang dipandang dari sudut pandang kemanusiawiannya (human intererst)

5. Portrait, yaitu foto yang menampilkan wajah seseorang secara close up dan ditampilkan karena terdapat suatu ciri khas khusus

6. Sport photo, yaitu foto yang dibuat dari peristiwa-peristiwa di dunia olahraga 7. Science and technology photo, yaitu foto yang dibuat dari hal-hal terkait

dengan ilmu pengetahuan dan teknologi

8. Art and culture photo, yaitu diti yang diambil dari pertistiwa-peristiwa seni dan budaya

9. Social and environtment, yaitu foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat beserta denganlingkungan hidupnya.

1.8.4. Foto Esai Sebagai Bagian dari Foto Jurnalistik

(17)

esai. Sebagaimana diketahui bahwa fotografi jurnalistik merupakan gambaran tentang informasi-informasi yang sedang terjadi dalam masyarakat dan dibuat dalam keadaan yang sebenarnya (Nugroho, 2006). Foto tersebut merupakan foto yang lazim digunakan di kalangan media. Terkait dengan hal ini, foto esai dalam media kemudian dapat dikatakan merupakan bagian dari fotografi jurnalistik.

Pada dasarnya, foto esai dapat dipahami sebagai rangkaian beberapa foto dengan satu tema tunggal tertentu (Alwi, 2004). Dalam hal ini, foto esai merupakan narasi yang diungkapkan dalam bentuk rangkaian foto. Bagian headline, narasi (jika ada), serta tata letak foto saling mendukung sehingga sangat menunjang pemahaman ide cerita yang disampaikan (Nugroho, 2006).

Foto esai adalah kumpulan beberapa foto features yang dapat bercerita ini dibangun melalui sebuah imaji, yaitu foto-foto yang bercerita secara sequentatif dan teks yang menyertainya (Fotomedia, 1996). Pesan komunikasi terdiri dari dua aspek. Pertama, isi pesan (content of mesaage), yang kedua adalah lambang (symbol). Kongkritnya, isi pesan itu adalah isi foto dan caption. Isi pesan yang bersifat latent, yakni pesan yang melatarbelakangi sebuah pesan, dan pesan yang bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak tersurat (Effendy, 1993). Isi pesan dalam hal ini adalah isi (content) dari esai foto jurnalistik dan foto features yang berupa lambang-lambang berbentuk foto begitu juga konteks yang menyertainya.

Foto esai bertujuan utama untuk menyampaikan pendapat atau opini secara sekaligus, fakta dan peristiwa hanyalah pelengkapnya (Deni, 2010). Foto esai menganalisis serta melaporkan suatu gejala, peristiwa atau isue tertentu. Foto esai ialah suatu rangkaian argumen yang menyatakan sudut pandang tertentu dari si pewarta foto.   Karakter dan fungsinya itu, foto esai sangat mengandalkan keberadaan teks atau kata-kata yang mendampinginya, tidak sekedar caption yang memang merupakan syarat wajib di dalam jurnalisme. Kerja sama foto dan teks menghasilkan efek-efek khusus yang sangat kuat di dalam penyampaian opini atau pernyataan pendapat.

Menurut Eugene Smith pada tahun 1971 dalam membuat foto esai bukan memotret sebanyak mungkin untuk lalu dipilih setelah dicetak, melainkan foto esai telah jadi saat direncanakan. Pemotretan yang berlangsung adalah final touch

(18)

saja. Walau tidak jarang sedikit merubah skenario yang telah disusun akibat pengalaman lapangan yang didapat kemudian (Foto Media 1994 No.1 Tahun II). Pencapaian hasil yang maksimal terhadap pesan yang ingin disampaikan pada foto esai untuk mempermudah jalannya komunikasi. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa foto esai memiliki peranan penting sebagai media. Hal ini dikarenakan foto esai dapat dibentuk dengan pesan-pesan yang kuat di dalamnya. 1.8.5. Teknik Pengambilan Gambar

Proses pembuatan foto esai tidak terlepas dari teknik pengambilan gambar yang digunakan. Menurut Alwi (2004), terdapat komposisi merupakan komponen utama dari teknik pengambilan gambar, terutama untuk fotografi jurnalistik, termasuk untuk foto esai. Komposisi adalah cara penempatan susunan foto. Komposisi dilakukan berdasarkan (Alwi, 2004):

a. Point of interest, yaitu sesuatu yang paling menonjol

b. Balance, yaitu memposisikan objek foto yang menjadi point of interest dengan objek lain

c. Jarak pemotretan, meliputi:

1) Long shot (overall atau wide angel), yaitu jarak yang dipakai untuk menggambarkan suasana subjek dan lingkungan di sekelilingnya

2) Medium shot, yaitu jarak yang digunakan untuk memperlihatkan suatu kejadian, fokus pada satu aktivitas atau grup

3) Close up, yaitu jarak yang digunakan untuk memperlihatkan emosi dari subjek, fokus pada satu elemen penting dan signifikan

d. Sudut pengambilan, meliputi: 1) High angel

2) Low angel 3) Normal

Selain komposisi, bentuk tuturan dalam foto esai juga merupakan bagian dari teknik penting dalam penyusunan foto esai. Menurut Salman (2010), bentuk tuturan pada penyampaian cerita foto esai terdiri dari:

(19)

a. Sanding

Sanding berarti menampilkan foto berbeda secara berdampingan atau bersebelahan. Tujuannya tidak hanya untuk membandingkan foto, tetapi juga untuk mendapatkan efek tertentu terkait dengan interpretasi dari pembacanya. Cara ini memberikan ruang besar bagi pembaca untuk menginterpretasikan foto sesuai subjektivitasnya.

b. Seri

Teknik ini digunakan dengan menggunakan beberapa foto yang saling berkaitan, yaitu yang memiliki sinonim visual dan elemen gambar yang sama. Sama halnya dengan penggunaan sinonim pada bahasa lisan atau tulisan, sinonim visual berarti gambar-gambar berbeda yang memiliki kesamaan arti.

c. Sikuen

Sikuen berarti penempatan gambar secara berurutan sesuai kronologis, yang lebih awal mendahului yang kemudian. Urutan peristiwa diatur sesuai aliran waktu linear. Sikuen dapat memperlihatkan pergerakan dalam suatu cerita, menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya, beberapa peristiwa dan hubungan sebab akibat menjadi lebih tergambar jelas dengan teknik ini.

d. Blok

Blok merupakan teknik penyusunan foto esai dengan menyusun beberapa gambar berbeda, yang masing-masing bingkainya mengisolasi sati aspek unik dan menarik secara visual. Foto-foto tersebut secara keseluruhan mampu memperkaya isi cerita dan digunakan secara bersamaan dalam satu tuturan.

1.8.6. Isu dan Permasalahan Lingkungan Hidup

Lingkungan hidup, menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, adalah Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan

(20)

manusia serta makhluk hidup lain. Soerjani (1997), berpendapat bahwa lingkungan manusia terdiri atas lingkungan alam, lingkungan buatan atau binaan, serta lingkungan sosial. Masalah lingkungan pada saat ini, erat dihubungkan dengan persoalan pembangunan. Menurut A.R. Soehoed dalam Soerjani (1997), pada hakekatnya lingkungan dan pembangunan merupakan dua rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Pembangunan adalah hasil dari perbuatan manusia guna mewujudkan suatu lingkungan penghidupan baru yang seharusnya lebih baik dari sebelumnya.

Menurut Abrar (1993), permasalahan lingkungan biasanya menyangkut gangguan terhadap keseimbangan sumberdaya di lingkungannya. Problema lingkungan buatan biasanya menyangkut cara hidup manusia mengatur penggunaan sumberdaya alam yang ada. Namun, jika sumberdaya tersebut tidak dimanfaatkan secara benar malah akan mengganggu kehidupan manusia. Lebih lanjut Abrar menyebutkan bahwa, setiap permasalahan yang menyangkut lingkungan, tidak semua mendapat perhatian oleh pers untuk diinformasikan kepada masyarakat. Sebab, pers baru tertarik bila permasalahannya menjadi sebuah isu. Isu dalam konteks ini dimaknai sebagai suatu topik penting dan menarik perhatian untuk didiskusikan. Pada tingkatan tertentu isu-isu yang berkembang tapi tidak mendapat tanggapan berarti dari pihak-pihak berkepentingan akan menjelma menjadi suatu masalah.

Menurut Hardjasoemantri (2005), pemberian informasi yang benar kepada masyarakat adalah prasyarat yang paling penting untuk peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di bidang lingkungan. Informasi tersebut harus sampai di tangan masyarakat yang akan terkena rencana kegiatan dan informasi itu haruslah diberikan tepat pada waktunya, lengkap dan dapat dipahami.

Secara umum Soemarwoto (1994) mengungkapkan, masalah lingkungan di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1) masalah lingkungan udara, (2) masalah lingkungan darat, (3) masalah lingkungan air. Dari ke tiga permasalahan tersebut apabila dijabarkan lebih lanjut dapat diuraikan menjadi: masalah dalam pembangunan pertanian tanaman pangan, masalah dalam

(21)

pembangunan perkebunan, masalah dalam pembangunan kehutanan, masalah dalam pembangunan perikanan kelautan, masalah dalam pembangunan industri, masalah dalam pencemaran air, masalah dalam pencemaran udara, masalah dalam perkembangan penduduk, masalah dalam pembangunan permukiman dan masalah dalam perkembangan teknologi.

Dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, Hardjasoemantri (2005), disebutkan beberapa permasalahan pokok berkenaan dengan lingkungan hidup antara lain:

a. Terus menurunnya kondisi hutan Indonesia. b. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

c. Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak. d. Citra pertambangan yang merusak lingkungan.

e. Tingginya ancaman terhadap keanekaragaman hayati (biodiversity) f. Pencemaran air semakin meningkat.

g. Kualitas udara, khususnya di kota-kota besar, semakin menurun.

h. Sistem pengelolaan hutan secara berkelanjutan belum optimal dilaksanakan.

i. Pembagian wewenang dan tanggung jawab pengelolaan hutan belum jelas. j. Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan (illegal logging) dan

penyelundupan kayu.

k. Rendahnya kapasitas pengelolaan kehutanan.

l. Belum berkembangnya pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasa- jasa lingkungan.

m. Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan Negara tetangga. n. Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal.

o. Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak. p. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.

q. Sistem mitigasi bernuansa alam belum dikembangkan. r. Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan.

(22)

limbah secara terpadu dan sistematis.

t. Adaptasi kebijakan terhadap perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) belum dilaksanakan.

u. Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan.

v. Isu lingkungan global belum diterima dan diterapkan dalam pembangunan nasional dan daerah.

w. Belum harmonisnya peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. x. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

Sementara itu, menurut Kurniawan (2006), isu dan masalah lingkungan dapat dilihat dalam beberapa katagori yang berbeda, yaitu:

a. Hukum Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap pemberitaan yang berkenaan dengan penaatan aturan-aturan, tindakan-tidakan yang diambil berkenaan dengan lingkungan hidup dan bermuatan hukum.

b. Kebijakan Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap pemberitaan tentang hal-hal yang berhubungan dengan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan pemanfaatan, penataan, penelitian, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup.

c. Pendidikan Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap pemberitaan yang berkenaan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran lingkungan.

d. Dampak Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap berita-berita yang berkenaan dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai akibat suatu kegiatan.

e. Konflik Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap berita-berita yang berkenaan dengan konflik pemanfaatan sumber daya.

f. Budaya Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap pemberitaan yang berkenaan dengan kearifan lokal lingkungan (indigenous local).

g. Kelembagaan Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap pemberitaan berkenaan dengan infrastruktur lingkungan yang ada, baik formal maupun informal.

(23)

h. Partisipasi Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap pemberitaan mengenai aktifitas masyarakat baik pribadi atau kelompok dalam kegiatankegiatan lingkungan dan sebagainya yang sejenis.

i. Propaganda Lingkungan, identifikasi terhadap pemberitaan yang terkait dengan pencitraan buruk terhadap lingkungan.

Beberapa yang disebutkan di atas digunakan sebagai acuan gambar/foto di rubrik foto pekan ini pada SKH Kompas 2014. Tentunya sebagaimana dikatakan oleh Hardjasoemantri (2005), mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan oleh pemerintah, maka pemerintah dapat membuat kebijakan dan aturan-aturan berupa produk hukum di daerahnya. Dalam hal ini tentu sesuai dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi daerah masing-masing. Hadi (2002), menyebutkan bahwa hukum memiliki peran yang amat penting dalam membantu mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Lebih lanjut menurutnya, aturan yang baik haruslah memuat prinsip-prinsip keberlanjutan, berkeadilan dan demokratis (good norms). Untuk itu mempersyaratkan proses yang baik (good process), caranya antara lain dengan mengikutsertakan seluruh stakeholders sejak awal.

1.8.7. Proses Kebijakan Lingkungan

Thomas R. Dye dalam Thoha (2002), memaknai kebijakan publik sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan ataupun untuk tidak dilakukan (whatever government choose to do or not to do). Dalam pemahaman tersebut, maka pusat perhatian dari kebijakan publik tidak hanya pada apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi termasuk juga segala yang tidak dilakukan oleh pemerintah.

Sementara itu menurut Anderson dalam Winarno (2005), kebijakan merupakan arah tindakan yang jelas dan ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah. Konsep tersebut lebih menekankan pada apa yang dilakukan bukan pada apa yang diusulkan. Lebih lanjut menurut Anderson, sifat kebijakan publik sebagai arah tindakan dapat dirinci menjadi beberapa kategori, seperti: tuntutan- tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions),

(24)

pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (outcomes).

Tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), adalah tuntutan- tuntutan yang dibuat oleh aktor-aktor swasta atau pemerintah, di tujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam suatu sistem politik. Tuntutan- tuntuan tersebut berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan mengenai sesuatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-tuntutan ini diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus “berbuat sesuatu” sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatu persoalan.

Keputusan-keputusan kebijakan (policy decisions), dipahami sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan- tindakan kebijakan publik. Yang termasuk dalam kegiatan ini antara lain adalah menetapkan aturan-aturan, memberikan perintah-perintah eksekutif atau pernyataan-pernyataan resmi, mengumumkan peraturan- peraturan administratif atau membuat interpretasi yuridis terhadap undang-undang.

Pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements), adalah pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Yang termasuk kategori ini adalah undang-undang legislatif, perintah- perintah dan dekrit presiden, peraturan-peraturan administratif dan pengadilan, maupun pernyataan-pernyataan atau pidato-pidato pejabat pemerintah yang menunjukkan maksud dan tujuan pemerintah dan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Hasil-hasil kebijakan (policy outputs), merupakan manifestasi nyata dari kebijakan-kebijakan publik, yaitu hal-hal yang sebenarnya dilakukan (action) menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Sementara itu dampak-dampak kebijakan (outcomes) lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.

(25)

Ketika pers memberitakan isu-isu dan permasalahan lingkungan yang ada, pada saat itu sebetulnya dapat dikatakan bahwa pers telah menjalankan fungsi dan perannya dalam rangka menyuarakan tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands). Sampai pada tahap ini tentunya tugas pengambil kebijakanlah yang harus tanggap untuk merespon dan memasukkan demands tersebut kedalam proses penyusunan suatu kebijakan.

Ada beberapa tahap yang dilalui dalam proses suatu kebijakan publik. Winarno (2005), menyebutkan antara lain; tahap penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Pada setiap tahap ini tentunya sangat memungkinkan media memiliki kontribusi terhadap kebijakan pengelolaan lingkungan, tentunya sesuai karakteristik setiap tahapan. Badjuri dan Yuwono (2003) menyebutkan, setiap tahapan dalam siklus kebijakan masih memerlukan pendapat publik sesuai derajat kepentingannya. Tentunya pendapat publik ini, salah satunya dapat dilacak melalui media yang ada.

Menurut Winarno, ada beberapa faktor yang mendorong suatu isu masuk ke agenda kebijakan. Pertama, isu-isu publik akan mencapai status agenda karena suatu krisis atau peristiwa kritis. Kedua, agar suatu masalah menjadi agenda kebijakan adalah dengan melakukan protes. Ketiga, adalah perhatian media massa terhadap suatu isu.

Sementara itu, Cunningham (2005), menyebutkan ada beberapa tahap dalam pembuatan suatu kebijakan. Ia menyebutkannya sebagai siklus kebijakan. Siklus kebijakan dimulai dari tahap mengidentifikasi permasalahan (identify problem) menentukan agenda (set agenda), perumusan (develop proposals), dukungan (build support), menetapkan kebijakan berupa aturan (enact law or rule), implementasi kebijakan (implement policy), evaluasi (evaluate result), dan saran perubahan (suggest change).

Menurut Cunningham untuk menyampaikan tuntutan dalam siklus kebijakan terkadang dapat dilakukan dengan cara melakukan pressure melalui media. Hal ini pernah dilakukan oleh masyarakat Amerika, ketika terjadi tumpahan minyak di pantai California Selatan pada tahun 1969. Ketika itu dengan

(26)

menggunakan media televisi dan beberapa aksi lain, masyarakat berupaya memobilisasi opini publik agar kongres dapat merespon tuntutan mereka. Kejadian ini menunjukkan betapa opini publik sangat mempengaruhi proses pembuatan suatu kebijakan publik, dan media menjadi salah satu agen untuk memobilisasi opini publik tersebut.

Berkenaan dengan media dan kebijakan lingkungan, Hannigan (1995), menyebutkan bahwa media sangat berperan sebagai agen pendidikan lingkungan sekaligus membentuk agenda kebijakan. Lebih lanjut Hannigan mengatakan agar isu-isu dan permasalahan lingkungan ataupun tuntutan-tuntutan (policy demands) bidang lingkungan tersebut mendapat perhatian di dalam suatu arena proses politik pengambilan kebijakan maka perhatian media terhadap isu-isu dan permasalahan lingkungan tersebut menjadi sangat penting. Hannigan mengatakan: In moving environmental problems from conditions to issues to policy concerns, media visibility is crucial. Without media coverage it is unlikely that an erstwhile problem will either enter into the arena of public discourse or become part of the political process. (Hannigan, 1995).

Best dalam Hannigan (1995), mengatakan bahwa ketika membuat tuntutan-tuntutan untuk kepentingan kebijakan lingkungan paling tidak harus memperhatikan tiga hal yakni: sifat tuntutan, orang yang membuat tuntutan dan proses pembuatan tuntutan. Tiga hal ini sangat penting dalam proses politik pengambilan suatu kebijakan.

Berkenanan dengan sifat tuntutan tersebut dibutuhkan alasan yang jelas berdasarkan fakta dan data yang akurat dalam pembuatan suatu tuntutan kebijakan. Pendefinisian masalah secara tepat disertai contoh- contoh permasalahan dan estimasi berdasarkan angka-angka terhadap permasalahan yang menjadi tuntutan akan semakin memudahkan pengambil kebijakan untuk mempertimbangkan tuntutan dalam proses suatu kebijakan. Untuk melakukan itu semua dibutuhkan orang-orang yang betul-betul memiliki kredibilitas dan integritas, dalam hal ini bisa dari kalangan LSM maupun para profesional. Yang terpenting dari pembuatan suatu tuntutan kebijakan adalah memberikan saran atau alternatif solusi yang mungkin dilakukan untuk mengatasi permasalahan.

(27)

Hannigan (1995), menyebutkan ada enam faktor penting yang harus diperhatikan dalam menyampaikan tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands) bidang lingkungan antara lain:

1. Tuntutan harus benar dan memenuhi kaidah ilmiah.

2. Keberadaan orang yang dikenal untuk menjembatani faham lingkungan hidup dan ilmu pengetahuan.

3. Perhatian media yang menggambarkan masalah sebagai sesuatu yang penting. 4. Dramatisasi masalah secara visual dan simbolis.

5. Imbalan bagi yang melakukan tindakan positif (insentif).

6. Adanya dukungan dari lembaga yang legitimate dan kesinambungan.

Winarno (2005), menyebutkan beberapa faktor yang mendorong suatu isu masuk ke agenda kebijakan. Pertama, isu-isu publik akan mencapai status agenda karena suatu krisis atau peristiwa kritis. Kedua, agar suatu masalah menjadi agenda kebijakan adalah dengan melakukan protes. Ketiga, adalah perhatian media massa terhadap suatu isu. Lebih lanjut menurut Winarno dalam beberapa penelitian berkenaan dengan peranserta warga negara, terungkap bahwa para pembuat kebijakan lebih responsif terhadap warga negara yang mempunyai peranserta.

Kehadiran media dalam kaitannya dengan kebijakan menjadi sangat penting. Salah satu unsur penting dari media yang makin bebas dan kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah tersedianya informasi yang terbuka bagi masyarakat untuk menunjukkan kinerja macam apa yang ditunjukkan oleh para pejabat dalam menjalankan mandat mereka sebagai pemerintah lokal. Pippa Noris dan Dieter Zinnbauer dalam Suranto (2005), menyebutkan bahwa “Dalam masyarakat modern, ketersediaan informasi sangat penting artinya untuk mengukur kualitas pembuatan keputusan oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini menjelaskan bahwa hal tentang informasi yang terbuka, berguna untuk masyarakat, menjadi penting artinya bagi pengembangan masyarakat, terutama untuk memastikan bahwa program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah berjalan sesuai dengan rencana dan mencapai sasaran yang telah diususn sebelumnya. Tidak hanya itu terbukanya akses terhadap media

(28)

akan membuka ruang demokrasi dan memberikan peluang terjadinya kebebasan berekspresi, dan memberi kesempatan kepada berbagai kelompok masyarakat untuk menyuarakan kepentingannya, khususnya guna memberikan masukan- masukan kepada pemerintah dalam rangka peranserta masyarakat dalam pembuatan suatu kebijakan terutama menyangkut kepentingan mereka.

Menurut Mas Achmad Santosa dalam Suranto (2005), pemerintahan yang terbuka mensyaratkan adanya jaminan atas 5 hal, yaitu :

1. Hak untuk memantau perilaku pejabat publik dalam menjalankan peran publiknya (right to observe).

2. Hak untuk memperoleh informasi (right to information).

3. Hak untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pembentukan kebijakan publik (right to participate).

4. Kebebasan berekspresi, yang salah satunya diwujudkan dalam kebebasan pers. 5. Hak untuk mengajukan keberatan terhadap penolakan dari pelaksanaan hak-hak

di atas tersebut.

1.8.8. Konflik dalam Kebijakan Pengelolaan Lingkungan

Bruce Mitchell dkk (2003), menyebutkan bahwa perubahan, kompleksitas, ketidakpastian, dan konflik adalah hal yang sangat penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Keempat hal tersebut menjadi penting karena dapat mendatangkan peluang sekaligus masalah bagi para perencana, pengelola, pengambil keputusan, serta anggota masyarakat lainnya. Mengenali keempat elemen tersebut dan memahami bagaimana keempatnya saling berpengaruh memberikan peluang untuk mengetahui bagaimana yang seharusnya dan apa yang dapat dilakukan untuk menuju suatu perubahan yang positif.

Perbedaan dan pertentangan kepentingan yang sering muncul dalam pengalokasian sumberdaya dan pengambilan keputusan merefleksikan adanya perbedaan pandangan, ideologi maupun harapan. Sebagai contoh, kebijakan yang diambil pemerintah dalam proyek lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan memperlihatkan bagaimana suatu kebijakan diambil hanya dilandasi pertimbangan politik sehingga aspek lain seperti lingkungan terabaikan. Dalam

(29)

pembuatan kebijakannya sendiri tidak mengakomodir partisipasi masyarakat dan stakeholders lainnya. Dalam kondisi tersebut telah terjadi apa yang disebut dengan konflik struktural.

Menurut Malik dkk (2003), konflik struktural itu adalah konflik yang terjadi karena adanya ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Lebih lanjut dikatakannya bahwa hal tersebut diakibatkan oleh faktor struktural di mana pola hubungan tak seimbang yang mendudukkan negara (aparat birokrasi pemerintahan, DPR, militer) berperan sebagai pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal menetapkan kebijakan umum dan mengambil keputusan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam. Fakta menunjukkan bahwa penguasaan atas sumber-sumber daya alam memungkinkan akses dan kontrol terpusat pada aparatur negara. Praktis, pemusatan kekuasaan itu lebih menguntungkan sebagian kecil golongan masyarakat yang dekat dengan penguasa-penguasa negara.

Bryant dalam Mitchell dkk (2003), mencatat bahwa suatu kebijakan dikembangkan tidak dalam situasi hampa, tetapi melalui suatu proses interaksi dan negosiasi antar banyak kelompok kepentingan yang berjuang untuk mempengaruhi perumusan dan isi suatu kebijakan. Banyaknya kebijakan yang berdampak terhadap sumberdaya dan lingkungan telah memberikan keyakinan bahwa kepentingan kelompok-kelompok yang terkait dengan isu-isu lingkungan seperti, instansi pemerintah, perusahaan nasional dan multinasional, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya akan saling tumpang tindih.

1.8.9. Kebijakan Pengelolaan Lingkungan di Indonesia

Di Indonesia, secara formal kebijakan pengelolaan lingkungan telah memiliki acuan yang jelas yakni, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lahirnya Undang-Undang yang menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, tak terlepas dari pertimbangan bahwa kesadaran masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup semakin berkembang. Hal tersebut apabila diperhatikan paralel dengan hasil-hasil beberapa pertemuan tingkat global tentang lingkungan yang senantiasa

(30)

mengedepankan aspek partisipasi atau peranserta dalam pengelolaan lingkungan. Di dalam paradigma kepemerintahan Good Environmental Governance (GEG), atau tata kelola lingkungan yang baikpun telah secara jelas disebutkan bahwa aspek partisipasi adalah salah satu hal penting dalam peran pengelolan lingkungan tersebut.

Demikian pula halnya dengan pers atau surat kabar. Sesuai dengan fungsi yang dimilikinya jelas pers sangat penting untuk menginformasikan, membangkitkan kesadaran dan membuka ruang partisipasi dalam pengelolaan lingkungan. Di dalamnya tersirat bahwa dengan perannya tersebut pers pun diharapkan dapat membangkitkan peran stakholders lain.

Winarno (2005), menyebutkan dalam beberapa penelitian terungkap bahwa pembuat kebijakan cenderung menerima tuntutan- tuntutan dan pilihan-pilihan agenda yang diusulkan oleh kelompok warga negara yang berperanserta dalam rangka memecahkan masalah.

Sementara itu dalam pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa “Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup”. Pemanfaatan lingkungan, yaitu seluruh kegiatan memanfaatkan lingkungan dengan turut memperhatikan tiga unsur utama, yaitu sustainability, productivity, dan kesejahteraan masyarakat. Pengendalian lingkungan, yaitu pengendalian pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan yang tidak terlepas dari tindakan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan lingkungan. Sementara pemeliharaan lingkungan, yaitu pemeliharaan lingkungan hidup terutarama yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam.

Dalam konteks ini keterpaduan jelas sangat dibutuhkan dalam pengelolaan lingkungan. Keterpaduan dapat dimaknai sebagai suatu keadaan di mana tersedianya ruang untuk berpartisipasi, adanya kondisi yang menjamin transparansi serta para pengambil kebijakan publik yang responsif, sebagaimana karakteristik Good Environmental Governance (GEG).

(31)

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Republik Indonesia dalam salah satu programnya menjelaskan, ada tiga komponen utama yang dapat menjadi motor untuk menjamin efektifnya mekanisme pengelolaan lingkungan guna memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan. Komponen tersebut antara lain masyarakat yang sadar lingkungan, mempunyai keberdayaan dalam berperanserta pada pengambilan keputusan untuk kepentingan umum, dan mendapatkan informasi yang benar dan mutakhir. DPR/DPRD yang peka dan paham pada aspirasi masyarakat bidang pembangunan berkelanjutan, serta Pemerintah yang peka akan aspirasi dan mampu melaksanakan Good Environmental Governance (GEG).

1.9. Kerangka Konsep

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan profil foto esai topik lingkungan pada SKH Kompas di rubrik Foto Pekan Ini edisi tahun 2014. Profil foto esai tidak dapat dilepaskan dari teknik pengambilan foto dari setiap rangkaian foto esai yang diterbitkan. Teknik yang dianalisis meliputi komposisi dan bentuk tuturan.

Komposisi merupakan komponen utama dari teknik pengambilan gambar yang meliputi point of interest, balance, jarak pemotretan (long shot, medium shot, close up ), dan sudut pengambilan (high angel, low angel, normal) (Alwi, 2004). Sementara bentuk tuturan merupakan teknik penyampian makna dari rangkaian foto esai, meliputi sanding, seri, sikuen, dan blok (Salman, 2010).

Selain itu, juga dilakukan identifikasi tema dari foto esai yang diterbitkan di setiap edisinya. Isu dan masalah lingkungan merupakan pokok persoalan yang dijadikan dasar penentuan topik atau tema foto esai. Tema yang diamati dalam penelitian ini meliputi (Kurniawan, 2006):

1. Pendidikan Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap foto yang berkenaan dengan upaya meningkatkan pemahaman dan kesadaran lingkungan, termasuk melalui pengembangan teknologi ramah lingkungan.

2. Dampak Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap foto yang berkenaan dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan sebagai akibat suatu kegiatan.

(32)

3. Konflik Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap foto yang berkenaan dengan konflik pemanfaatan sumber daya.

4. Budaya Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap foto yang berkenaan dengan kearifan lokal lingkungan (indigenous local).

5. Partisipasi Lingkungan, yaitu identifikasi terhadap foto mengenai aktifitas masyarakat baik pribadi atau kelompok dalam kegiatan-kegiatan lingkungan dan sebagainya yang sejenis

Selain itu, penelitian ini juga mengkaji unsur proses kebijakan dari foto esai bertopik lingkungan. Proses kebijakan lebih difokuskan pada implementasi kebijakan dan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu:

1. Pemanfaatan Lingkungan, yaitu seluruh kegiatan memanfaatkan lingkungan dengan turut memperhatikan tiga unsur utama, yaitu sustainability, productivity, dan kesejahteraan masyarakat.

2. Pengendalian Lingkungan, yaitu pengendalian pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan yang tidak terlepas dari tindakan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan lingkungan.

3. Pemeliharaan Lingkungan, yaitu pemeliharaan lingkungan hidup terutarama yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam.

1.10. Metodologi Penelitian 1.10.1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi. Analisis isi (content analysis) adalah suatu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan dengan cara menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan sistematis (Holsti dalam Fluornoy, 1989). Sebagai suatu teknik penelitian, analisis isi mempunyai pendekatan sendiri dalam menganalisis data. Pendekatan ini tidak seperti mengamati langsung perilaku orang atau mewawancarai orang, namun si peneliti mengambil komunikasi-komunikasi atau data yang telah dihasilkan dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang komunikasinya (Kerlinger, 1973).

(33)

Menurut Fluornoy (1989), analisis isi adalah suatu metoda untuk mengamati dan mengukur isi komunikasi. Metoda ini sering digunakan untuk mengetahui karakteristik isi surat kabar mengenai frekuensi, volume berdasarkan bidang masalah, penggunaan sumber informasi dan kecenderungan isi. Sementara itu menurut (Rakhmat,1991), analisis isi berguna untuk memperoleh keterangan dari isi komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lambang.

Berelson dalam Holsti (1969), menyebutkan bahwa teknik penelitian yang menggunakan analisis isi bisa menggambarkan secara objektif, sistematik dan kuantitatif tentang isi komunikasi yang tersurat. Obyektivitas dicapai dengan menggunakan kategori analisis yang diklasifikasi secara tepat sehingga orang lain yang menggunakannya untuk menganalisis isi yang sama akan memperoleh hasil yang sama pula. Sistematika diartikan bahwa prosedur tertentu diterapkan dengan cara yang sama pada semua isi yang dianalisis. Sementara kuantitatif mengandung pengertian penelitian ini dicerminkan dalam data kuantitatif atau melalui perhitungan angka.

Berelson dalam Kerlinger (1973) menyebutkan, dalam kontruksi kategori, perumusan kategori berhubungan erat dengan variabel penelitian dan tujuan penelitian. Perumusan kategori yang tidak tepat akan mengakibatkan penarikan sampel isi yang salah dan data penelitian yang tidak tepat.

Sementara itu menurut peneliti media lainnya disebutkan bahwa, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat suatu kategori yaitu: (1) kategorinya harus relevan dengan tujuan-tujuan studi; (2) Kategori-kategorinya hendaklah fungsional, dan (3) Sistem kategori- Kategori-kategorinya harus dapat dikendalikan (Stempel dalam Flournoy, 1989).

Dalam penelitian ini beberapa kategori tentang aspek teknis media diadaptasi dari penelitian tentang media yang dilakukan oleh Litbang Kompas bekerja sama dengan Sentra Media Undip (2003), sementara itu untuk kategori aspek kebijakan menggunakan tahapan proses suatu kebijakan. Penyesuaian tertentu dilakukan untuk menselaraskan dengan tujuan penelitian. Salah satu bentuk penyesuaian yang dilakukan adalah memfokuskan analisis pada tahapan implementasi kebijakan sesuai dengan ruang lingkup sebagaimana diatur dalam

(34)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

1.10.2. Definisi Konseptual

Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Media massa, adalah alat komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan informasi secara massal kepada khalayak umum yang heterogen. Bentuk media massa itu sendiri terbagi menjadi dua jenis yakni cetak dan elektronik. Dalam konteks penelitian ini media massa yang dimaksudkan adalah media massa cetak yaitu surat kabar harian Kompas.

2. Isi Berita foto, adalah karakteristik penyajian isi foto menurut kategorisasi yang ada di surat kabar harian Kompas.

3. Isu dan Masalah Lingkungan, isu lingkungan adalah pokok persoalan lingkungan yang sering menjadi topik atau tema foto. Adapun masalah lingkungan adalah persoalan fisik lingkungan yang bersinggungan dengan kepentingan umum atau sekelompok orang. Dalam penelitian ini ada beberapa isu dan masalah lingkungan yang diamati yakni; dampak lingkungan, partisipasi lingkungan, pendidikan lingkungan, budaya lingkungan, dan konflik lingkungan.

4. Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, adalah arah dan tindakan yang jelas berkenaan dengan upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, penelitian, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup dilihat dari tahap-tahap kebijakan.

5. Implementasi kebijakan adalah salah satu tahap kebijakan yang berfokus pada proses pelaksanaan kebijakan sebagaimana telah diformulasikan.

1.10.3. Definisi Operasional

Profil isi foto esai dengan topik lingkungan pada penelitian ini dilihat melalui beberapa unsur. Unsur tersebut meliputi intensitas foto esai lingkungan dari presentase maupun bulan terbitnya, serta teknik pengambilan foto dari setiap rangkaian foto esai yang diterbitkan. Teknik ini meliputi komposisi dan bentuk

Gambar

Gambar 1.1. Definisi Operasional  1.10.4. Unit Analisis

Referensi

Dokumen terkait

Analisis stilistika pada ayat tersebut adalah Allah memberikan perintah kepada manusia untuk tetap menjaga dirinya dari orang-orang yang akan mencelakainya dengan jalan

Seringkali apabila tunggakan sewa berlaku ianya dikaitkan dengan masalah kemampuan yang dihadapi penyewa dan juga disebabkan faktor pengurusan yang lemah. Ada pula

Komunikasi yang terjadi pada perusahaan Dioma adalah suatu proses yang dilakukan oleh para karyawan dalam usaha untuk berbagi arti lewat transmisi pesan simbolik

Namun demikian [12] mengatakan bahwa PLS tidak memiliki kemampuan secara khsusus intuk mengatasi permasalahan sampel kecil, tetapi PLS menjadi metode yang bisa digunakan

TENAGA PENGAJAR TETAP FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA TAHUN 2012... NO UNIT KERJA

topik penelitiannya dilihat dari lembar konsultasi yang dipegang oleh masing- masing mahasiswa, kemudian dari ketiga data tersebut yang penulis analisis mengenai

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Didalam bab ini akan dibahas mengenai data yang akan digunakan dalam penelitian, bobot pada setiap kriteria yang akan digunakan

Penelitian ini untuk mengkaji polimorfisme lokus mikrosatelit D18S536 pada populasi monyet ekor panjang di Pancasari, Bali.. Sejumlah 10 sampel darah telah dikoleksi dan DNA