• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Etnis Dayak dan Madura dalam Masalah Hutan Kalimantan : Perspektif Green Thought

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Konflik Etnis Dayak dan Madura dalam Masalah Hutan Kalimantan : Perspektif Green Thought"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

14

TIM PENGELOLA JURNAL DUSTURIYAH

Redaktur

Rahmat Efendy Al Amin Siregar, S. Ag., MH Arifin Abdullah, S. HI., MH

Bendahara

Safira Mustaqilla, S. Ag, M. Ag

Anggota/Editor

Edi Yuhermansyah Israr Hirdayadi, Lc Syuhada, S. Ag., M. A

Tata Letak/ Grafis

Sunaidi,SH

Pembaca Ahli:

Prof. Dr. H. Muslim Ibrahim, M. A., Prof. Dr. H. Alyasa‟ Abubakar, M. A., Prof. Dr. H. Iskandar Usman, M. A., Prof. Drs. H. Yusni Saby., M. A., Ph. D., Prof. Dr. H. A. Hamid Sarong, S.H ., M. H., Dr. Nazaruddin A. Wahid, M. A., Dr. Ridwan Nurdin, MCL., Dr. Hj.

Nurjannah Ismail, M. Ag., Dr. A. Jalil Salam, M. Ag., Dr. Khairudin, M. Ag.

Mitra Bestari

Prof. Dr. Duskri Ibrahim, M. A., Prof. Dr. Abdullah Idi, M. Ed.,Prof. Dr. Husni Jalil, M. A.

Alamat Redaksi

Fakul tas S yaria h dan Hukum U IN Ar -Ranir y Banda Aceh Provi nsi Aceh 23111

No. Telp: 0651 - 7552966 Fax: 0651- 7552966

Emai l: ari fi n_bdllh@yahoo.com

Jurnal Dusturiyah menerima naskah dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Arab dengan ketentuan sebagai berikut: kajian tentang hukumdan perundang-undangan: hukum, fiqh, ekonomi Islam, politik dan pranata sosial lainnya; Naskah yang dikirim diketik dengan tulisan times new roman ukuran 12 spasi 1,5 dengan jumlah 15-20 halaman; Naskah diserahkan dalam bentuk Hardcopy (Print Out) dan softcopy dalam CDatau flashdisk atau bisa juga dikirim melalui e-mail; Naskan menggunakan footnote dengan referensi (min 15 buku/Jurnal/karya ilmiah lainnya); Abstrak dibuat dalam Bahasa Inggris lebih kurang 150-200 kata dan disertai kata Kunci (key word) maksimal 5 kata dalam Bahasa Inggris; Naskah yang belum layak untuk dimuat dapat diambil kembali oleh penulis pada tim redaksi; Naskah harus sudah diterima redaksi dua bulan sebelum diterbitkan; Jurnal Dusturiyah diterbitkan dalam setahun dua edisi bulan Juni dan Desember.

Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial

Vol VII. NO.2.Juli-Desember 2017

P-ISSN 2088-9712

(2)

15

DAFTAR ISI

WAKAF TUNAI DALAM PERSPEKTIF MAJELIS ULAMA INDONESIA (Analisis Terhadap Fatwa MUI No.2. Tahun 2002 Tentang Wakaf Uang)

Armiadi

Konflik Etnis Dayak dan Madura dalam Masalah Hutan Kalimantan : Perspektif Green Thought

Mumtazinur

Mazhab Fiqh Dalam Pandangan Syariat Islam (Mengkritisi Pendapat Mewajibkan Satu Mazhab)

Muhammad Yusran Hadi,

Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Dprd) Dalam Pengawasan Keuangan Daerah

Ayumiati, se.m. Si

Pengenyampingan Pidana Denda Bagi Penjual Khamar: Qanun, Putusan Hakim Dan Teori Hukum Progresif

Ihdi Karim Makinara

Pengenyampingan Pidana Denda Bagi Penjual Khamar: Qanun, Putusan Hakim Dan Teori Hukum Progresif

Ihdi Karim Makinara

Serpihan Pemikiran Hukum Islam Dalam Mazhab Syiah

(3)

16

Konflik Etnis Dayak dan Madura dalam Masalah Hutan Kalimantan :

Perspektif Green Thought

Mumtazinur

Dosen Pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Abstrak

Tulisan ini mencoba untuk menjelaskan hubungan antara sumber daya alam dan konflik yang melibatkan etnis Dayak dan Madura di Kalimantan. Tulisan ini dimulai dengan deskripsi singkat mengenai etinisitas dan konflik dan sekilas mengenai sumber daya alam. Artikel ini juga menjelaskan konflik etnis mengenai masalah hutan di Kalimantan melalui perspektif hijau. Perspektif ini melihat adanya keterkaitan logis antara isu lingkungan hidup dengan kemunculan konflik.

Kata Kunci : Konflik etnis, sumber daya alam, lingkungan hidup, perspektif hijau

Abstract

This article is an effort to explain the correlation between natural Resources and conflict that involved Dayak and Madura ethnic in Kalimantan. This writing begins by a brief description of ethnicity and conflict and also a glance of natural Resources. This article also describing conflict of ethnic about forest issue in Kalimantan through Green Thought. This perspective discern the logical correlation between living Environment and conflict emergence.

Keywords : Ethnic conflict, natural Resources, living Environment, Green thought

A. ETNISITAS DAN KONFLIK

Etnisitas dan konflik sering kali dihubungkan satu sama lain sebagai sebuah sebab dan akibat. Perbedaan etnis dianggap kerap menimbulkan perbedaan yang tidak dapat disatukan dan akhirnya berkembang menjadi sebuah konflik. Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu melihat makna secara jelas mengenai dua konsep tersebut.

Menurut Anthony Smith, komunitas etnis adalah suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama dan beberapa elemen kultural (Wattimena, 2008)1. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas (Smith, seperti dalam Brown, 1997, hal. 81).

1

Reza A.A Wattimena, Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown, Online, http://rezaantonius.wordpress.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama-michael-e-brown/, diakses pada tanggal 19 Mei 2010.

(4)

17 Dalam ilmu sosial kontemporer, sebuah kelompok etnis dicirikan oleh atribut-atribut yang beragam. Atribut tersebut misalnya adalah agama, sekte, kasta, daerah, bahasa, nasionalisme, keturunan, ras, warna kulit dan kebudayaan. Atribut-atribut tersebut dalam bentuk tunggal atau kombinasi dengan yang lain digunakan untuk mendefinisikan sebuah kelompok etnis. Etnis juga didefinisikan untuk menunjuk wilayah atau teritori tertentu2.

Anthony Smith merumuskan enam karateristik etnik, yaitu nama kolektif, mitos nenek moyang, sejarah kolektif, kebudayaan unik kolektif, keterkaitan dengan teritori atau wilayah tertentu dan sentimen solidaritas. Umumnya etnis ini menempati sebuah wilayah, namun tidak menutup kemungkinan masyarakat satu etnis melakukan perpindahan ke wilayah lain dan menetap diwilayah baru tersebut. Meskipun telah berpindah wilayah atau teritori, masyarakat etnis ini masih memiliki kultur yang sama dengan tempat mereka berasal. Dengan begitu Etnis merupakan satuan kultural yang bisa berada dalam satu teritori atau di teritori yang terpisah3.

Sementara sebuah konflik didefinisikan sebagai sebuah situasi ketidaksesuaian atau pertentangan kepentingan diantara dua atau kelompok atau lebih (Wallensteen 1999; Boulding in Oberschall 1997). Konflik menyangkut tiga element utama yaitu kelompok-kelompok, kepentingan, dan ketidaksesuaian atau pertentangan. Dengan mengacu pada konsep ini, „konflik hutan‟4

diartikan sebagai konflik pada akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya hutan diantara komunitas adat (etnis Dayak) dan perusahaan atau kelompok lain.

Johan Galtung (1998) memberikan penjelasan untuk memahami lebih lanjut tingkat atau intesitas konflik ini. Johan menunjukkannya dalam model segitiga ABC (attitude, behavior, contradiction) untuk menjelaskan konflik dan mengemukakan bahwa konflik adalah masalah sikap (attitude) dan kelakuan (behaviour) yang bertentangan dengan kepentingan (interests).

2 T.K. Oommen, “Kewarganegaraan, Kebangsaan & Etnisitas”, Kreasi Wacana, Bantul, 2009, hal. 61 3

Ibid., hal. 54-55.

4 Peter Morgan,”Contested Native Forest: A Theoretical and Empirical Study”, PhD dissertation, Publish by Mcmullan

(5)

18 Gambar 1

ABC Model Konflik5

Behaviour

Attitude Contradiction

Apabila ketidaksesuaian atau pertentangan antara kepentingan-kepentingan kelompok hanya menyentuh tingkat “attitude” (gangguan, ketidakpuasan, kebencian, perasaan merugi), maka konflik tidak akan tampak. Namun, apabila ketidaksesuaian tersebut menyentuh tingkat “behaviour” (protes, demonstrasi, sabotase, aksi bersama) maka, konflik pun akan mudah terlihat.

Peran etnisitas dalam sebuah konflik sering kali menjadi perdebatan dalam studi konflik. Secara umum, ada tiga gambaran utama mengenai peranan etnisitas ini dalam sebuah konflik yaitu6 :

1. The Objectivist View, struktur dari tujuan ekonomi (dan politik) secara langsung menyebabkan konflik : struktur tujuan konflik

2. The Primordial View, struktur sejarah yang relatif stabil menghasilkan peningkatan terhadap budaya yang secara langsung menyebabkan konflik atau elemen-elemen yang tidak sesuai dengan struktur modern ekonomi politik global : struktur tujuan sejarah keluhan-keluhan ekonomi, struktur identitas berlawanan dan ketiadaan dasar-dasar bersama untuk sebuah perjanjian konflik

3. The Instrumentalist View, struktur yang menyebabkan konflik lebih kepada tindakan-tindakan dan politik daripada struktur-struktur objektif: politik struktur identitas yang berlawanan dan struktur negara yang berperang kekerasan

Pandangan Objektivis sebagian besar tidak dipercaya, Pandangan primordialis dan instrumentalis yang mendominasi. Konflik-konflik di Afrika dan Indonesia contohnya

5

Johan Galtung (1998), A Mannual Prepared by the Crisis Environment Training Initiative and the Disaster Management Training Programme of the United Nations.

6 Dewi Fortuna Anwar, ”Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economies and Policies”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. hal.108-110

(6)

19 cenderung didukung oleh pandangan instumentalis. Etnisitas merupakan sesuatu yang penting, tetapi bukan merupakan elemen yang utama dalam sebuah krisis.

Etnisitas dapat memfasilitasi terjadinya pergerakan kekerasan. Hal ini lebih kepada menunjukkan motivasi-motivasi pribadi mereka. Banyak elit-elit politik menggunakan etnisitas mereka sebagai sebuah „panggung‟ dan penutup untuk dukungan pergerakan politik. Berdasarkan teori Johan Galtung mengenai intensitas konflik yang digambarkan sebagai persinggungan antara Attitude (sikap), Behaviour (kelakuan), dan Contradiction (pertentangan) ini, konflik etnis yang terjadi di Kalimantan telah mengalami persinggungan antara ketidaksesuaian dan Behavior (kelakuan) sehingga konflik menjadi terlihat jelas. Untuk lebih jelas kita akan melihat sekilas sejarah terjadinya konflik di Kalimantan antara etnis Madura dan etnis Dayak ini.

Sejak 1963 telah terjadi 12 kali pertikaian antar kelompok etnis di Kalimantan Barat. Dari 12 kali pertikaian tersebut, 10 kali diantaranya terjadi antara dua komunitas Dayak dan Madura dipedalaman Kalimantan Barat. Tiga dari 10 kali pertikaian tersebut sangat besar dan paling berdarah yang disebut kasus Samalantan, yang terjadi pada tahun 1967, dan kasus Sanggau Ledo, dan kasus Salatiga yang meletus secara bersamaan pada tahun 1996/19977.

Pada masa pemerintahan saat itu, adanya program transmigrasi dari beberapa daerah yang padat di pulau Jawa salah satunya pulau Madura untuk dipindahkan ke daerah yang jarang penduduknya di Kalimantan. Perpindahan penduduk ini terjadi dalam jumlah yang besar. Proyek perpindahan ini salah satunya adalah untuk membuka lahan-lahan yang tidak didiami sebelumnya.

Namun, program transmigrasi penduduk ini ternyata tidak berjalan sebaik yang diharapkan. Perbedaan budaya, pola pikir, hingga tingkah laku antara kedua etnis ini secara tidak langsung akhirnya menjadi pemicu terjadinya konflik diantara beberapa sebab pemicu lainnya. Salah satu faktor penyebab penting terjadinya ketegangan etnis ini yaitu disebabkan oleh kebijakan peraturan baru dari pemerintah terhadap eksploitasi kayu hutan secara luas8. Kekayaan sumber daya hutan dan kekayaan alam lainnya dari bumi Kalimantan menjadi daya tarik yang luar biasa bagi para pendatang.

7

Lambang Trijono, “Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia”, Yogyakarta: CSPS Books, 2004. hal.174

(7)

20 Kemiskinan dan keterpurukan sosial yang dialami oleh para transmigran Madura merupakan dampak dari sistem ekonomi kapitalisme yang selama lebih dari dua dekade membuat mereka lebih realistis dan pragmatis9.

Kondisi dan pilihan rasional ini mendorong mereka untuk bekerja sangat keras dan melakukan apa saja termasuk memiliki dan menerapkan sikap dan pandangan keagamaan yang berbeda dari orang lain. Implimentasinya dapat dilihat berupa adanya kecenderungan pelanggaran adat istiadat setempat. Pelanggaran yang dilakukan juga bertentangan dengan hukum positif atau norma-norma kesusilaan dan ajaran agama yang mereka yakini dengan teguh. Mereka menganggap bahwa setiap pelanggaran yang mereka lakukan hanya tuhan lah yang akan memutuskan apakah mereka berdosa atau tidak.

Kompetisi yang kurang adil dalam kegiatan ekonomi seperti pengambilalihan dan pemindahan secara perlahan-lahan lapangan kerja maupun aset ekonomi dari tangan atau milik komunitas Dayak dan Melayu, ketidakseganan kelompok Madura untuk menganggap ternak dan hasil tanaman milik orang lain sebagai milik mereka sendiri, ditambah lagi kurang berbaurnya mereka dengan anggota komunitas setempat, semakin mempersulit bagi terciptanya hubungan sosial yang serasi antara mereka.

Superioritas dan agresivitas semacam ini sedikit banyak diwarnai oleh sistem nilai budaya carok (menegakkan harga diri dan martabat keluarga), tampaknya sangat membekas di hati para anggota komunitas Dayak dan Melayu. Faktor ini secara tidak langsung telah mempengaruhi dan mewarnai pola pertikaian yang terjadi antara kedua etnis ini.

Komunitas-komunitas lokal (Dayak) sangat bergantung pada sumber daya hutan. Kelompok etnis Dayak sangat menjaga potensi hutan Kalimantan untuk mamfaat bersama. Namun, bagi beberapa kelompok lain, hutan ini cenderung dieksploitasi secara berlebihan hingga menyebabkan kebakaran, banjir, erosi tanah, bahkan banyak hewan-hewan yang kehilangan tempat tinggalnya. Program transmigrasi dari pemerintah juga menyita berjuta-juta hektar lahan hutan dan membawa banyak transmigran baru ke kawasan yang jarang penduduknya. Diantara para transmigran ini, Etnis Madura salah satu yang paling mendominasi.

Peristiwa konflik masal dengan kekerasan yang terjadi di Kalbar dan Kalteng serta melibatkan etnik Madura, Dayak dan Melayu merupakan peristiwa konflik yang telah terjadi

9

Lambang Trijono, ”Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia”, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, hal. 192

(8)

21 berulang kali sejak pertengahan tahun 1990an hingga awal 2000. Konflik yang dialami oleh para pengungsi pada dasarnya telah memiliki rantai sejarah yang relatif panjang. Pelluso & Harwell (2001) serta Davidson & Kammen (2002) memberikan sejumlah catatan penting tentang latar belakang dari konflik tersebut. Mereka melihat bahwa konflik yang terjadi antara etnik Madura dengan etnik Dayak (Kalteng) maupun etnik Melayu (Kalbar) pada dasarnya merupakan konsekuensi dari:

1. Sejarah panjang dari konflik kekerasan lokal di Kalimantan dan politik kebudayaan yang melahirkan identitas kekerasan.

2. Peran langsung negara dalam melakukan perubahan distribusi sosial maupun spasial dari aktivitas produksi sumber-sumber daya. Kondisi ini Mengubah lokus dari otoritas teritorial dalam menentukan akses terhadap sumber-sumber daya.

3. Perasaan tersingkirnya etnik Dayak dari keuntungan-keuntungan ekonomi politik yang dihasilkan melalui pembangunan terhadap sumber-sumber daya lokal.

4. Negara mempunyai peran di dalam menyokong kekerasan dan teror sejak 1960an. 5. Kegagalan negara untuk menumpas konflik kekerasan antar etnik.

6. Kecenderungan warga Madura di Kalimantan untuk memisahkan diri secara eksklusif dari etnik lain terutama Dayak dan Melayu.

7. Persaingan terhadap sumber-sumber ekonomi dan segregasi yang diperkuat oleh stereotipe etnik.

Setelah masuknya transmigaran Maduran di daerah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah ini, para transmigran Madura mengartikan mereka memasuki wilayah negara mereka sendiri, menurut pandangan mereka. Disisi lain, Etnis Melayu dan Dayak10 merasa mereka mempunyai hak untuk mempertahankan kendali politik dan ekonomi karena mereka merupakan kelompok terbesar dan merupakan putra daerah. Rasa takut dan frustasi yang mendorong etnis Dayak dan Melayu ini untuk melakukan agresi tidak semata-mata disebabkan karena kehadiran etnis Madura di wilayah mereka. Hal ini juga dianggap sebagai „produk negara‟ yang melakukan praktek pengacauan modern terhadap klasifikasi tanah, pengaturan, dan kepemilikan. Menempatkan dirinya sebagai kelompok yang terpinggirkan

10

Meskipun banyak yang mengklaim diri sebagai Dayak, etnis Dayak bukanlah kelompok etnis yang koheren dimana saja di seluruh Kalimantan. Dayak terdiri dari banyak perbedaan utama antara kelompok animisme dan kristen. Perbedaan antara Dayak dan Melayu menjadi tidak jelas, tapi perbedaan antara muslim dan kristen kemudian dianggap menjadi perbedaan utama.

(9)

22 membuat etnis Dayak/Melayu ini melihat etnis Madura sebagai target agresi yang sempurna dari kelompok mereka.

B. SUMBER DAYA ALAM DAN KONFLIK : PERSPEKTIF GREEN THOUGHT

Apabila melihat dari sudut pandang instrumentalis para kaum Realis yang state-based, maka lingkungan hidup hanya bernilai sejauh ia dapat digunakan sebagai sebuah senjata atau sebaliknya, sebagai suatu kekurangan sumber daya yang bisa melemahkan atau menguatkan posisi atau potensi kekuatan Negara.

Berhadapan dengan kaitan antara kekuasaan dan sumber daya alam, para kaum realis mungkin merasa bahwa mereka telah cukup berurusan dengan lingkungan hidup sebagaimana yang seharusnya dan bahwa mereka cenderung suka memusatkan perhatian pada esensi politk dunia dan membiarkan masalah lingkungan untuk diserahkan pada pakarnya.

Para kaum pemikir hijau memiliki pendapat tersendiri yang berbeda dari kaum realis mengenai keterkaitan antara konflik dan lingkungan hidup atau sumber daya alam. Menurut pemikir hijau, kelangkaan sumber daya lingkungan hidup dapat berinteraksi dengan faktor-faktor tertentu yang kemudian menyebabkan efek-efek sosial yang signifikan. Kelangkaan sumber daya lingkungan atau perebutan terhadap sumber daya alam dapat memperburuk perpecahan sosial, menciptakan segmentasi sosial baru, atau bahkan menimbulkan konflik antar kelas maupun etnis11.

Para pemikir hijau percaya bahwa ada kaitan yang logis antara isu lingkungan hidup terhadap potensi terjadinya konflik etnis12. Kelangkaan atau perebutan terhadap suatu sumber daya alam dapat menghasilkan konflika antara etnis dalam suatu negara, terutama di wilayah yang ditempat tersebut sedang berlangsung perselisihan kewilayahan atau kepemilikan atas kontrol sumber daya alam. Salah satu contoh mengenai kelangkaan sumber daya yang menimbulkan konflk internasional adalah perselisihan atas sumber air di Timur Tengah. Konflik sumber air di Timur Tengah bukanlah isu baru, melainkan sudah ada di wilayah tersebut dalam waktu yang lama.

Kawasan Timur Tengah sangat kering dan konflik atas sumber daya air dikawasan itu bermula dari abad ketujuh sebelum Masehi. Sekarang menjadi bagian dari konflik Arab/

11 Jill Steans, dan Lloyd Pettiford, “ Hubungan Internasional : Perspektif dan Tema”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009, hal. 402

12 Robert Jackson dan Georg Sorensen,”Pengantar Studi Hubungan Internasional”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 325-326

(10)

23 Israel. Lembah sungai Yordan yang relatif kecil dimiliki bersama oleh Suriah, Israel, Yordania, dan Lebanon, dan tidak ada banyak sumber air lainnya.

Jika Perdamaian yang sesungguhnya ingin dicapai di daerah tersebut hendaknya perdamaian itu haruslah berdasarkan paling tidak sebagian pada resolusi terhadap konflik air (Gleick 1993; Lowi 1993). Konflik sumber air di Timur Tengah menjadi salah satu contoh bagaimana kelangkaan lingkungan hidup dapat memperburuk konflik terutama antarnegara.

Konflik kekerasan serupa yang berasal dari masalah lingkungan hidup bukan antar negara saja tapi juga intranegara. Kelangkaan lingkugan hidup menimbulkan konflik berintensitas rendah, berkelanjutan, yang mungkin tidak mengakibatkan konfrontasi dramatis tetapi dapat melemahkan pemerintahan ( Homer-Dixon 1995: 178). Salah satu contohnya yaitu , kelangkaan lingkungan hidup dapat menyebabkan migrasi dan konflik etnis. Konflik kelangkaan lingkungan hidup menunjukkan hubungan antara konflik internasional dan konflik domestik, dan dari sinilah para pemikir hijau juga memfokuskan analisisnya.

Ross (2004a) mengemukakan bahwa sumber daya alam dan konflik kekerasan berhubungan satu sama lain melalui beberapa mekanisme. Pertama, sumber daya alam meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik kekerasan dengan cara memberikan kesempatan kepada kelompok tertentu untuk memulai konflik. Kedua, ketersediaan sumber daya alam dalam jumlah melimpah cenderung memperpanjang durasi konflik. Ketiga, memberikan kesempatan kepada kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan finansial dari konflik yang terjadi. Keempat, memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk mendukung konflik tersebut karena kepentingan untuk mendapatkan sumber daya alam tersebut.

Faktor kemiskinan juga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik antar etnis ini. Kemiskinan akan menambah tekanan untuk bermigrasi. Orang-orang akan berpindah ke wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya yang mencukupi, atau bahkan ke negara-negara lain. Migrasi dapat menghasilkan ketegangan etnis, terutama ketika sumber daya alam terlah langka atau berkurang. Ketika percampuran etnis dalam suatu negara ini tidak stabil, suatu arus perpindahan akan meningkatkan ketegangan dan lebih lanjut juga merusak stabilitas negara.

Sebagaimana konflik yang terjadi antara etnis Madura-Dayak yang diawali dari perpindahan etnis Madura ke daerah yang kaya sumber daya alam. Tekanan ekonomi mendorong untuk melakukan perpindahan dengan harapan dapat menemukan sumber daya yang tepat dan sumber pekerjaan baru. Namun, faktanya kehadiran etnis baru ini tidak dapat

(11)

24 berbaur dengan etnis asli hingga menimbulkan ketegangan yang juga disebabkan karena eksploitasi hutan oleh para pendatang baru tersebut.

Salah satu karakteristik terpenting dari politik hijau ( Green Thought) adalah ekosentrisme – sebuah penolakan terhadap pandangan dunia antroposentrisme yang hanya menempatkan nilai moral manusia menuju sebuah pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup13. Pandangan antroposentrisme dianggap salah satu penyebab kerusakan lingkugan selama ini.

Pada kasus konflik etnis antar Madura-Dayak dinilai oleh para pemikir hijau ini sebagai salah satu akibat dari penerapan pemikiran yang antroposentrisme. Tanpa bermaksud menyudutkan salah satu etnis, telah terjadi eksploitasi yang besar terhadap sumber daya alam yaitu hutan demi kebutuhan pribadi manusia. Tanpa dirasa, pemamfaatan tanpa pemerliharaan ini telah menimbulkan ketegangan dan akhirnya menimbulkan konflik. Pemamfaatan hutan sangat baik, tapi akan lebih baik jika diiringi oleh pemeliharaan untuk keberlangsungan sumber daya alam itu sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa Mayoritas etnis Dayak beragama Kaharingan dan animisme. Kelompok etnis Dayak memiliki kepercayaan yang diwujudkan dalan bentuk kepedulian yang besar terhadap sumber daya alam, lingkungan hidup, dan kelestarian mereka. Begitu besarnya rasa memiliki oran-orang pedalaman terhadap sumber daya alam dan lingkungannya, sehingga mereka memiliki semacam prinsip dan moto budaya yang perlu dilaksanakan dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti: “ hutan adalah dunia kita”, “ hutan adalah pasar swalayan”, yang dapat dimamfaatkan secukupnya untuk keperluan sehari-hari, tanpa dihancurkan14.

Pandangan lain dari para pemikir hijau ini terkait dengan konflik etnis yaitu mengenai pembatasan pertumbuhan, yang juga berasal dari sebuah buku yang kontroversial yaitu The Limits to Growth (1972). Argumentasi tersebut menyatakan bahwa perluasan ekonomi dan pertumbuhan populasi masyarakat manusia telah menghasilkan suatu rangkaian krisis yang saling berhubungan. Peningkatan pertumbuhan tersebut menciptakan suatu situasi dimana

13

Eckersley, Enviromentalisme and Political Theory: Towards an Ecocentric Approach, London , 1992.

14

Lambang, Trijono,” Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia”, Yogyakarta: CSPS Books, 2004, hal.187-188

(12)

25 dunia dengan cepat kehabisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia atau untuk menyediakan bahan baku bagi pertumbuhan industri.

Konflik etnis di Kalimantan juga disebabkan karena adanya kepentingan ekonomi terhadap kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, sehingga di lain sisi mengundang kelompok lain untuk berdatangan. Penambahan penduduk disuatu tempat yang kaya sumber daya alam apabila tidak dibarengi dengan etika, keadilan, dan moralitas, maka akan sangat mudah untuk terekploitasi. Kebutuhan sumber daya alam untuk populasi yang besar pun tidak dapat dihindari.

Para pemikir hijau juga menentang konsepsi negara yang menganggap bahwa engara mendukung perkembangan teknologi dan berbagai bentuk organisasi ekonomi yang membahayakan lingkungan hidup. Pada kasus konflik etnis ini, para pemikir hijau melihat bahwa kebijakan pembangunan yang dirumuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah ORBA, bahkan sampai kini, didasari oleh paradigma yang tidak tepat (Mansour Fakih, 2000).

Kebijakan pembangunan yang dilandasi oleh paradigma pertumbuhan ekonomi semata adalah kebijakan pembangunan yang mengandung unsur kapitalis sempit dan keserakahan. Membuka dan mengeksploitasi sebesar-besarnya potensi ekonomi dan SDA tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, kearifan lokal, dan nilai-nilai budaya, maupun mengenyampingkan kehidupan dan kepentingan sosial, dan ekonomi masyarakat setempat.

Namun, para pemerhati lingkungan tetap menganggap bahwa negara sebagai sebuah lembaga yang penting. Negara berperan penting dalam mendistribusikan kekuasaan pada komunitas-komunitas lokal. Selain itu, negara juga berperan penting dalam pendistribusian sumber daya alam masyarakat golongan kaya ke daerah-daerah miskin, dan juga diharapkan dapat membuat kebijakan yang juga mendukung proses pelestarian lingkungan hidup dan sumber daya alam.

C. PENUTUP

Kelangkaan sumber daya alam dapat menghasilkan konflik kekerasan dalam suatu negara, terutama di wilayah yang ditempat tersebut sedang berlangsung perselisihan kewilayahan,‟ kepemilikan‟ dan kontrol atas sumber daya alam.

Kemiskinan akan menambah tekanan untuk bermigrasi, orang-orang akan pindah ke wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya lingkungan hidup yang mencukupi, ataupun ke negara-negara lain. Migrasi akan menghasilkan ketegangan etnis, terutama ketika sumber daya alam telah berkurang atau langka. Ketika peracampuran etnik di suatu negara atau

(13)

26 wilayah tidak stabil, suatu arus masuk migrasi akan meningkatkan ketegangan dan lebih lanjut lagi merusak stabilitas negara.

Perspektif hijau turut memberikan perhatian pada masalah konflik etnis ini. Inti dari perspektif hijau ini adalah suatu perhatian pada hubungan manusia dan alam. Suatu perspektif hijau menuntut adanya suatu restrukturisasi radikal dari berbagai aspek organisasi manusia, dari kebiasaan sehari-hari seperti konsumerisme, hingga pada tatanan dunia kontemporer yang dibangun berdasarkan eksploitasi terhadap dunia alam dan penindasan atau marginalisasi terhadap kelompok-kelompok sosial tertentu.

Harapan terbesar dari para pemikir hijau ini adalah bahwa manusia dapat berpikir secara ekosentrisme bukan antroposentrisme yang dianggap sebagai salah satu penyebab kerusakan lingkungan hidup. Manusia perlu memberikan pada alam hak-haknya. Bertindak terhadap alam dengan moralitas, etika, dan keadilan.

Hidup serasi dengan alam dengan cara merawat dan menjaga keberlansungan dari alam itu sendiri merupakan esensi terpenting dari politik hijau ini. Apabila hal ini dilaksanakan secara serius dan mendapat perhatian dari seluruh umat manusia, diaggap sebagai salah satu jawaban atas berbagai persoalan yang terjadi atas nama sumber daya alam dan lingkungan hidup.

(14)

27

DAFTAR PUSTAKA Buku

Anwar, Dewi Fortuna, 2005. Violent Internal Conflicts in Asia Pacific: Histories, Political Economies and Policies. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Burchill, Scott, Andrew Linklater, 2009. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung: Nusa Media

Dobson, A, 1990. Green Political Thought. London

Eckersley, 1992. Enviromentalisme and Political Theory: Towards an Ecocentric Approach, London

Gunawan, I Ketut, 2004. The Politics of The Indonesia Rainforest: A Rise of Forest Conflicts in East Kalimantan During Indonesia’s Early Stage of Democratisation. Gottingen: Cuvillier Verlag

Goodin, R.E, 1992. Greeen Political Theory. Cambridge

Gleick, P.H, 1993. Water and Conflict: Fresh Water Resources and International Security. International Security

Jackson, Robert, Georg Sorensen, 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lowi, M.R, 1993. Bridging the Divide: Transboundary Resources Disputes and the Case of West Bank Water. International Security

Oomen, TK, 2009. Kewarganegaraan, Kebangsaan & Etnisitas.Bantul: Kreasi Wacana Soemadi, 1974. Peranan Kalimantan Barat dalam Menghadapi Subversi Komunis Asia

Tenggara : Suatu Tinjauan Internasional Terhadap Gerakan Komunis Dari Sudut Pertahanan Wilayah Khususnya Kalimantan Barat. Pontianak: Yayasan TanjungPura Steans, Jill, Lloyd Pettiford, 2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Trijono, Lambang, 2004. Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia. Yogyakarta: CSPS Books

Van Hulten, Herman Josef, 2002. Hidupku diantara Suku Dayak: Catatan Seorang Missionari. Jakarta: Grasindo

Wessel, Ingrid, Georgia Wimhofer, 2001. Violence in Indonesia. Hamburg: Die Deutsche Bibliothek

World Commission on Environment and Development, 1990. Our Common Future. New York: Oxford University Press

(15)

28

Artikel Jurnal

Paramita, Cerya, 2009. “ Penyelundupan Berlian dan Konflik Kekerasan Internal Sierra Leone”, Global & Strategis, 2 ( 213-233), Juli-Desember 2009

Ross, Michael, 2004a. How Do Natural Resources Influence Civil War? Evidence from Thirteen Cases. International Organizations,58 (35-67)

Artikel Online

Wahono, Romi Satria, 2017.” Konflik Dunia, Perang, dan Gap Sosial”, dalam http://romisatriawahono.net/2006/04/25/konflik-dunia-perang-dan-gap-sosial/

Wattimena, Reza A.A, 2017.” Memahami Seluk Beluk Konflik antar Etnis Bersama Michael E. Brown”, dalam http://rezaantonius.wordpress.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama-michael-e-brown/

Referensi

Dokumen terkait

anak, sehingga sekolah dan orang tua dapat menstimulasi kreatifitas anak sejak dini.tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kreativitas anak usia 4-6 tahun di TK

Evaluasi sensori digunakan untuk menilai adanya perubahan yang dikehendaki atau tidak dikehendaki dalam produk atau bahan-bahan formulasi, mengidentifikasi area untuk

Informasi hasil penelitian yang meliputi kandungan nutrisi dari bahan pakan, rerata konsumsi kandungan nutrisi ransum, kecernaan bahan kering, bahan organik dan

Pemerintah tidak boleh melakukan penuntutan secara hukum, meskipun praktik penghindaran pajak ini akan mempengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak, asalkan

Hal ini didukung oleh Rayes (2007) yang menyatakan bahwa dalam evaluasi lahan, karakteristik lahan berupa ketersediaan air yaitu curah hujan dapat dilakukan usaha

Untuk mengetahui perilaku hama, dilakukan dengan cara mengambil sampel hama yang ditemukan pada lahan penelitian, kemudian masukan ke dalam gelas plastik, setelah itu

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pemustaka pada layanan internet di Perpustakaan Politeknik Negeri Semarang. Desain penelitian ini adalah penelitian