• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan Keluarga: Perlindungan Perempuan dan Anak dari Aspek Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketahanan Keluarga: Perlindungan Perempuan dan Anak dari Aspek Hukum"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Ketahanan Keluarga: Perlindungan Perempuan dan Anak dari Aspek Hukum1 Rika Saraswati2

1. Pendahuluan

Menurut Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementrian PPPA), saat ini terdapat 81,2 juta keluarga (SUPAS3, 2015) di Indonesia yang perlu ditingkatkan ketahanan dan kualitasnya. Peningkatan ketahanan keluarga dapat dilakukan melalui kesetaraan gender dengan pendekatan kemitraan peran gender, yaitu kerjasama antar anggota keluarga dalam menjalankan peran dalam keluarga.4

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong kesetaraan gender dalam keluarga melalui kemitraan peran gender karena kesetaraan gender dalam relasi keluarga merupakan salah satu pondasi dalam mewujudkan ketahanan keluarga. Kemitraan peran gender antara suami istri dalam pembagian peran dan pengambilan keputusan mempermudah jalannya fungsi dan membentuk keharmonisan keluarga sehingga tujuan keluarga dapat tercapai. Keluarga yang berfungsi dengan baik dan memiliki ketahanan diharapkan mampu mengatasi pemasalahan yang menghambat pembangunan nasional dan mewujudkan ketahanan nasional

Intervensi pembangunan keluarga telah dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai peraturan perundang-undangan.5 Kementrian PPPA melalui Peraturan Menteri

1Disampaikan dalam seminar “Perlindungan Ibu dan Anak Ditinjau dari Aspek Hukum: Anak Sebagai Investasi

Sumber Daya Manusia Yang Maju dan Unggul”, diselenggarakan oleh Wanita Katolik Republik Indonesia Ranting Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, 16 Februari 2020

2Dosen Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik Soegijapranata, saat

ini menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Korban Kekekerasan Berbasis Gender dan Anak (KPK2BGA), Provinsi Jawa Tengah Periode 2017-2020.

3 Survei Penduduk Antar Sensus atau biasa disingkat SUPAS. SUPAS biasanya dilakukan dipertengahan

kegiatan sensus penduduk setiap 10 tahun sekali. Kegiatan ini pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui perubahan penduduk 5 tahunan dengan metode survei.

4 Kementrian Pemberdayan Perempuan dan Anak, Kesetaraan Gender Pondasi Dasar Ketahanan Keluarga:

Siaran Pers Nomor: B-244/Set/Rokum/MP 01/10/2019, Dipublikasikan Pada : Selasa, 15 Oktober 2019

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2368/kesetaraan-gender-pondasi-dasar-ketahanan-keluarga.

5Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketahanan keluarga, diantaranya adalah:Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Pembangunan Keluarga, Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik,Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Tentang Hak-Hak Anak, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1994 Tentang Pengelolaan Perkembangan Kependudukan, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2011 Tentang Kebijakan Peningkatan Ketahanan Keluarga dan

(2)

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga telah mengamanatkan bahwa dalam pelaksanaan Pembangunan Keluarga, diharapkan kepada Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun dan mengembangkan kebijakan pelaksanaan dan kebijakan teknis yang berpedoman pada konsep Ketahanan dan Kesejahteraan Keluarga.6 Intervensi pemerintah untuk mendukung terwujudnya ketahanan keluarga sangat dibutuhkan karena meningkatnya sejumlah permasalahan yang dihadapi keluarga seperti pernikahan usia anak, kekerasan yang dilakukan oleh anak, meningkatnya angka perceraian dan kehamilan yang tidak diinginkan, serta kekerasan dalam rumah tangga.

2. Data Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Indonesia dan Provinsi Jawa Tengah Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan7 angka kekerasan terhadap perempuan berdasarkan Provinsi yang tertinggi di tahun 2018 berada di Provinsi Jawa Tengah (2.913 kasus), kemudian diikuti DKI Jakarta (2.318 kasus) dan Jawa Timur (1,944 kasus). Berdasarkan data Simfoni-Kementrian PPA tahun 2019, kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah menduduki posisi nomor satu.

Diagram 1. Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Perlindungan Anak Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 06 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Pembangunan Keluarga.

6Ibid.

7 Adriana Venny Aryani, dkk., 2019, Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan Ruu Penghapusan Kekerasan

Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara Catatan Kekerasanterhadap Perempuan Tahun 2018, Jakarta: Komnas Perempuan, 6 Maret 2019; Lihat juga Adriana Venny Aryani, dkk.,Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017, Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2018.

korban 1346, Rasio: 8

korban 1291, Rasio:8 korban 1230,

(3)

Menurut data Simfoni dari Kementrian PPPA, kasus kekerasan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah dialami oleh korban, baik yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Digram berikut ini menunjukkan hal tersebut. Diagram 2. Jumlah Kasus Kekerasan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Jawa Tengah telah menjadi masalah yang harus diperhatikan secara serius karena kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak terjadi di rumah tangga. Apabila hal ini tidak diupayakan pencegahannya akan berakibat terhadap kualitas masa depan bangsa Indonesia.

(4)

Diagram 3. Jumlah kasus dan korban berdasarkan tempat

kejadian

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Diagram di atas menunjukkan bahwa jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) banyak dilakukan oleh mereka yang memiliki hubungan keluarga atau perkawinan, seperti: orangtua-anak, suami-istri. Jenis kekerasan yang dialami oleh para korban sebagian besar adalah fisik, psikis dan seksual, sisanya adalah eksploitasi, trafficking, penelantaran dan lainnya.

(5)

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Korban kekerasan banyak dialami oleh perempuan dan anak, meskipun laki-laki juga ada yang menjadi korban (lihat diagram 1). Para korban kekerasan ini sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan dewasa.

Diagram 5. Usia korban

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak di semua rentang usia, baik anak laki-laki maupun perempuan, rentan menjadi korban kekerasan. Oleh karena itu, upaya pencegahan di semua sektor agar mereka tidak menjadi korban atau mengalami reviktimisasi, dan penanganan yang tepat bagi mereka agar pulih dari akibat kekerasan dan hak-haknya tetap terpenuhi baik selama mendapatkan layanan ataupun sesudahnya adalah hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Pemerintah karena hal ini adalah tanggungjawab Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah.

(6)

Berdasarkan usia korban, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar dari mereka masih menempuh pendidikan, baik di PAUD ataupun di Perguruan Tinggi. Angka yang mendominasi adalah korban anak-anak sebanyak 522 kasus di sekolah menengah atas (SMA), 374 di sekolah menengah pertama (SMP) dan 336 di sekolah dasar (SD). Korban yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi terdata 116 orang, dan sisanya tidak sekolah dan tidak diketahui.

Diagram 6. Pendidikan Korban

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Banyaknya korban yang berusia anak dan mengenyam pendidikan tentunya membutuhkan upaya penanganan yang khusus agar hak-hak korban atas pendidikan tetap terpenuhi dan tidak mengalami diskriminasi, begitu pula korban yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi. Diagram berikut menunjukkan hubungan antara pelaku dengan korban.

(7)

Sumber: Simfoni-Kementrian PPPA, per 24 Desember 2019

Fenomena ini (lihat diagram di atas) menunjukkan bahwa intimate personal violence atau kekerasan dalam hubungan intim baik di dalam rumah tangga antara suami dan istri, atau dalam masa pacaran antar kekasih sangat sering terjadi. Kekerasan yang dilakukan oleh orangtua terhadap anaknya juga cukup banyak terjadi. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat dalam hubungan yang bersifat intim dan personal ini perlu mendapat perhatian dan perlu diupayakan pencegahannya. Pendidikan keluarga, pendidikan seks dan kesehatan reproduksi8 perlu ditanamkan sejak awal bagi anak-anak agar mereka dapat mengenali sejak dini jenis kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menunjukkan bahwa komunikasi tentang seks dan kesehatan reproduksi antara ibu dengan anak perempuan sangat jarang dilakukan, dan para ibu merasa bahwa membicarakan hal-hal tersebut (seperti: perubahan tubuh selama masa pubertas dan konsekuensi terhadap kesehatan reproduksi, kehidupan seks) tidak pantas dilakukan. Terdapat penolakan dari kelompok masyarakat tertentu karena mereka berpendapat bahwa pendidikan seks akan mendorong anak-anak muda melakukan hubungan seks sebelum menikah. Akan tetapi kekuatiran tersebut tidak beralasan karena dalam kenyataannya, sebagaimana hasil penelitian Unesco, anak-anak yang mendapatkan pendidikan seks secara komprehensif (termasuk pendidikan kesehatan reproduksi) dan akurat mengenai konsekuensinya terhadap kesehatan fisik dan jiwa justru

8Aleisha McLaren, 2020, Indonesians Need To Open Up About Sex To Lessen Abuse, Violence, The Jakarta

(8)

menunda aktivitas seksual mereka. Menurut World Health Organisation (WHO) ada beberapa aspek pendidikan seks dan kesehatan reproduksi yang bersifat komprehensif yang dapat diberikan kepada anak-anak.9

Tabel 1. Aspek-Aspek Pendidikan Seks yang dikembangkan oleh WHO

Sumber: The Jakarta Post, 202010

Selain pendidikan skes itu sendiri, pendidikan kesetaraan gender dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak juga perlu untuk terus dilakukan agar nilai-nilai kesetaraan gender dan non diskriminasi benar-benar mengendap dalam pikiran dan perilaku sehari-hari. Oleh karena itu upaya pencegahan kekerasan melalui berbagai pendekatan, termasuk pendidikan yang non-diskriminasi dari berbagai aspek dan identitas seseorang (pendidikan, agama, jenis kelamin, sosial-ekonomi, budaya, agama/penghayat kepercayaan, orientasi seksual, dan lain sebagainya), perlu digalakkan kembali. Pemerintah Provinsi dan kabupaten/kota perlu meninjau kembali kebijakan-kebijakan yang memunculkan diskriminasi, baik langsung maupun tidak langsung, terhadap perempuan.

Di skala nasional, kekerasan terhadap anak juga menjadi catatan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia. Data dari KPAI mengenai kekerasan terhadap anak juga menunjukkan angka yang tinggi.

Tabel 2. Kasus Pengaduan Anak di KPAI

9Ibid. 10Ibid.

(9)

Sumber: Susanto, 201911

3. Ketahanan Keluarga dan Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak 3.1. Pengertian dan fungsi, Konsep dan Indikator Ketahanan keluarga

Salah satu upaya untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan adalah melalui program yang dilakukan oleh pemerintah melalui ketahanan keluarga. Pembangunan keluarga menjadi salah satu isu pembangunan nasional dengan penekanan pada pentingnya penguatan ketahanan keluarga. Secara yuridis, UndangUndang Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera menyebutkan bahwa

“Ketahanan keluarga berfungsi sebagai alat untuk mengukur seberapa jauh keluarga telah melaksanakan peranan, fungsi, tugas-tugas, dan tanggung jawabnya dalam mewujudkan kesejahteraan anggotanya”.

Keluarga memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Hal ini tertera pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Oleh karena itu, keluarga perlu dibina dan dikembangkan kualitasnya agar menjadi keluarga

11 Susanto, 2019, Mengefektifkan Perlindungan Anak Kelompok Rentan, makalah disampaikan pada FGD

“Pancasila, Konstitusi dan Pemenuhan Hak Kelompok Rentan, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),16-17 Desember 2019.

(10)

sejahtera serta menjadi sumber daya manusia yang efektif bagi pembangunan nasional.12 Keluarga perlu dibina karena perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dalam konteks globalisasi, juga berpengaruh terhadap perubahan perilaku individu dan masyarakat. Eksistensi individu dan keluarga telah menghadapi berbagai ancaman yang bersumber dari berbagai dampak proses transformasi sosial yang berlangsung sangat cepat dan tak terhindarkan yang berdampak pada struktur, fungsi, dan peranan keluarga terhadap anggota keluarga itu sendiri dan masyarakat.

Transformasi teknologi dan sosial yang tidak bisa disikapi dengan bijaksana akan berdampak negatif dan menggoyahkan eksistensi individu dan keluarga sehingga menjadi individu dan keluarga menjadi rentan atau bahkan berpotensi tidak memiliki ketahanan. Oleh karena itu, individu dan keluarga perlu ditingkatkan ketahanannya melalui upaya pemberdayaan, terutama yang berkaitan dengan penguatan struktur, fungsi, dan peran keluarga dalam masyarakat.

Melalui ketahanan keluarga maka diharapkan terwujudnya ketahanan masyarakat dan ketahanan bangsa. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 mendefinisikan ketahanan dan kesejahteraan keluarga sebagai kondisi keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin. Pasal 3 Undang-undang tersebut juga menekankan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dalam membangun ketahanan keluarga. Suatu keluarga akan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi apabila keluarga tersebut dapat berperan secara optimal dalam mewujudkan seluruh potensi yang dimilikinya. Lebih jauh lagi, ketahanan keluarga diindikasikan sebagai kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumberdaya setidaknya untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk didalamnya adalah kecukupan akses terhadap pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi sosial. Dengan demikian, ketahanan keluarga merupakan konsep yang mengandung aspek multidimensi.13

12Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016, Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, hal. 2.

(11)

Keluarga (family) merupakan sebuah konsep yang memiliki pengertian dan cakupan yang luas dan beragam. Keluarga, dalam konteks sosiologi, dianggap sebagai suatu institusi sosial yang sekaligus menjadi suatu sistem sosial yang ada di setiap kebudayaan. Sebagai sebuah institusi sosial terkecil, keluarga merupakan kumpulan dari sekelompok orang yang mempunyai hubungan atas dasar pernikahan, keturunan, atau adopsi serta tinggal bersama di rumah tangga biasa.14

Dalam konteks peraturan perundang-undangan, keluarga didefinisikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari: (1) suami dan istri; (2) suami, istri dan anaknya; (3) ayah dan anaknya; atau (4) ibu dan anaknya (Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga). Selain itu, keluarga mempunyai 8 (delapan) fungsi, seperti yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994, yang mencakup fungsi pemenuhan kebutuhan fisik dan nonfisik yaitu: (1) fungsi keagamaan; (2) fungsi sosial budaya; (3) fungsi cinta kasih; (4) fungsi perlindungan; (5) fungsi reproduksi; (6) fungsi sosialisasi dan pendidikan; (7) fungsi ekonomi; dan (8) fungsi pembinaan lingkungan.15

Ketahanan keluarga merupakan suatu kondisi di mana anggota keluarga mendapatkan kecukupan dan akses yang berkesinambungan terhadap pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain: pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat, dan integrasi social dengan lingkungan sekitar.16 Pandangan lain mendefinisikan ketahanan keluarga sebagai suatu kondisi dinamik keluarga yang memiliki keuletan, ketangguhan, dan kemampuan fisik, materil, dan mental untuk hidup secara mandiri (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1994). Ketahanan keluarga juga mengandung maksud sebagai kemampuan keluarga untuk mengembangkan dirinya untuk hidup secara harmonis, sejahtera dan bahagia lahir dan batin. Dalam pandangan yang lain, ketahanan keluarga mencakup kemampuan keluarga untuk mengelola sumber daya dan masalahan kehidupan.

14Zastrow, Charles. H. (2006). Social Work with Groups: A Comprehensive Workbook.

USA: Thomson Brooks/Cole.

15Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan

Keluarga 2016, Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, hal. 6.

16 Frankenberger, T.R., dan M.K.McCaston. 1998, The Household Livelihood Security Concept. Food,

(12)

Menurut Kementrian PPA, terdapat 5 indikator untuk mengukur ketahanan keluarga, yaitu:

Bagan 1. Indikator Ketahanan Keluarga

Sumber: Kementrian PPPA, 201617

Berdasarkan data di tahun 2016, terdapat tujuh belas (17) dari tiga puluh empat (34) provinsi yang memiliki rintisan indeks ketahanan keluarga (R-IKK) di atas rata-rata nasional, dan sebaliknya. Dua puluh tiga diantara provinsi-provinsi di Indonesia tampaknya sudah masuk dalam kategori tingkat ketahanan keluarga

“tinggi” atau “sangat tinggi”. Provinsi dengan R-IKK tertinggi terdapat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebaliknya, provinsi dengan R-IKK terendah terdapat di Papua. Selanjutnya, terdapat dua provinsi yang masuk dalam kategori R-IKK rendah, yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sementara itu, sebanyak delapan provinsi termasuk ke dalam kelompok yang memiliki ketahanan keluarga kategori cukup.

17Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan

(13)

Diagram 8. Capaian R-IKK di Indonesia

Sumber: Kementrian PPPA, 201618

3.2.Landasan Legalitas a. Legalitas perkawinan

Pada tahun 2015 tercatat sekitar 74 persen kepala rumah tangga dari rumah tangga dengan tingkat kesejahteraan 40 persen terbawah secara nasional berstatus kawin, dimana sekitar 84 persen rumah tangga diantaranya memiliki buku nikah.19 Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas rumah tangga di Indonesia telah memiliki landasan legalitas perkawinan dalam membangun ketahanan keluarga. Meskipun demikian, masih terdapat sekitar 16 persen rumah tangga yang tidak memiliki buku nikah. Banyak faktor yang dapat menyebabkan mengapa mereka tidak mencatatkan perkawinan mereka di KUA ataupun Kantor Catatan Sipil, diantaranya yaitu keperluan poligami, adanya keyakinan bahwa pencatatan tidak diwajibkan agama, dan ketidaktahuan fungsi dari surat nikah. Faktor penyebab lain dari perkawinan

18Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan

Keluarga 2016, Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, hal. 27-36.

(14)

tidak tercatat adalah karena sudah berumur, perkawinan di bawah umur, dan untuk menutupi aib.20

b. Legalitas kelahiran

Akte kelahiran merupakan bukti sah mengenai status dan peristiwa kelahiran seseorang yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Bayi yang dilaporkan kelahirannya akan terdaftar dalam Kartu Keluarga dan diberi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai dasar untuk memperoleh pelayanan masyarakat lainnya. Kepemilikan akte kelahiran juga merupakan salah satu bukti telah terpenuhinya hak memiliki identitas sebagai anak. Hak identitas bagi seorang anak dinyatakan tegas dalam pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut

menyebutkan bahwa “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri

dan status kewarganegaraan”. Kemudian hal ini juga ditegaskan pada pasal 27

ayat (1) dan (2) yang menyatakan, ayat (1) “Identitas diri setiap anak harus

diberikan sejak kelahirannya”, dan ayat (2) berbunyi “identitas sebagaimana dimaksud ayat (1) dituangkan dalam akte kelahiran”. Ketiadaan biaya merupakan alasan yang paling umum disampaikan oleh para orang tua untuk tidak mendaftarkan kelahiran anak. Contohnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), dari sekitar 46 persen penduduk umur 0-17 tahun yang tidak mempunyai akte kelahiran, 25,18 persen diantaranya mencatatkan ketiadaan biaya sebagai alasan utama mengapa anak tidak memiliki akte kelahiran. Alasan lainnya yang biasa dikemukakan adalah orang tua merasa tidak perlu atau malas untuk mengurus akte kelahiran, dan kurangnya informasi mengenai mengapa dan bagaimana mereka harus mendaftarkan kelahiran. Contohnya di Papua yang menjadi provinsi dengan persentase tertinggi untuk rumah tangga yang seluruh ART berumur 0-17 tahun tidak memiliki akte kelahiran. Ketidaktahuan bahwa kelahiran harus dicatatkan atau bagaimana cara mengurusnya menjadi alasan utama banyaknya anak yang tidak memiliki akte kelahiran di Papua.21

c. Keutuhan keluarga

20Ibid, hal. 42 21Ibid, hal. 42-45.

(15)

Pada tahun 2015, tercatat 81,45 persen rumah tangga dengan kepala rumah tangga yang berstatus kawin dan hampir semua kepala rumah tangga yang berstatus kawin tersebut tinggal bersama dalam satu rumah dengan pasangannya.Pasangan suami-istri yang tinggal bersama dalam satu rumah memiliki waktu kebersamaan yang lebih banyak daripada mereka yang tidak tinggal serumah. Sehingga, pasangan suami-istri yang tinggal serumah memiliki ketahanan keluarga yang lebih kuat daripada mereka yang tidak tinggal serumah. Oleh karena 95 persen rumah tangga di Indonesia kepala rumah tangga dan pasangannya tinggal bersama dalam satu rumah, maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar rumah tangga di Indonesia memiliki ketahanan keluarga yang kuat.

Jika dibandingkan antar provinsi, Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi provinsi yang memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 88,64 persen. Seperti diketahui, sekitar 96 persen desa di NTB menjadi daerah asal Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014). Di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah memiliki persentase terendah untuk kepala rumah tangga yang tinggal serumah dengan pasangannya, yaitu sebesar 92,15 persen. Persentase ini juga sejalan dengan banyaknya desa di Jawa Tengah yang menjadi daerah asal Tenaga Kerja Indonesia, dimana sekitar 84,74 persen desa terdapat warga yang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (Pendataan Potensi Desa Indonesia, 2014).22

d. Kemitraan gender

Gender menyangkut perbedaan peran, fungsi, tanggungjawab, kebutuhan dan status sosial antara laki-laki dan perempuan berdasarkan bentukan/konstruksi dari budaya masyarakat. Kemitraan gender merupakan kerjasama secara setara dan berkeadilan antara suami dan istri serta anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, dalam melakukan semua fungsi keluarga melalui pembagian pekerjaan dan peran, baik peran publik, domestik maupun sosial kemasyarakatan.23 Kemitraan dalam pembagian peran suami

22Ibid, hal. 47-49.

23Herien Puspitawati, 2012, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor: PT IPB Press; Lihat

juga Herien Puspitawati, 2015, Kajian Akademik Pengertian Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor.

(16)

dan istri untuk mengerjakan aktivitas kehidupan keluarga menunjukkan adanya transparansi penggunaan sumberdaya, rasa saling ketergantungan berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati sehingga terselenggaranya kehidupan keluarga yang harmonis. Dalam pembahasan selanjutnya kemitraan gender dalam keluarga dijelaskan melalui kemitraan suami-istri, keterbukaan pengelolaan keuangan, serta pengambilan keputusan keluarga.

(1) Kebersamaan dalam Keluarga

Kebersamaan dalam keluarga dapat ditentukan berdasarkan waktu luang bersama keluarga. Hal ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu: lebih dari cukup (lebih dari 28 jam dalam seminggu), cukup (14 sampai 28 jam dalam seminggu), dan kurang (kurang dari 14 jam dalam seminggu). Waktu luang sebanyak 14 jam selama seminggu dianggap mencukupi untuk mengasuh anak.24 Data tersebut berasal dari Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) 2014 adalah waktu luang yang digunakan bersama keluarga, dimana keluarga yang dimaksud tidak hanya anak namun termasuk pula pasangan atau lainnya yang dianggap keluarga.25

Mayoritas rumah tangga di Indonesia mempunyai waktu kebersamaan dengan keluarga yang dikategorikan sebagai cukup. Hal ini berarti bahwa mayoritas rumah tangga di Indonesia tersebut berpotensi memiliki ketahanan keluarga yang kuat. Data SPTK 2014 menunjukkan lebih dari 75 persen rumah tangga mempunyai waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu atau rata-rata minimal 2 jam per hari. Ini berarti dari 100 rumah tangga terdapat 75 rumah tangga yang memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga lebih dari 14 jam seminggu. Bahkan terdapat sebanyak 27,14 persen rumah tangga yang mempunyai waktu luang bersama keluarga lebih dari 28 jam seminggu. Meskipun demikian, masih terdapat 23,12 persen rumah tangga yang hanya memiliki waktu luang untuk melakukan kegiatan bersama keluarga kurang dari 14 jam seminggu. Apabila dibandingkan menurut klasifikasi wilayah, ternyata persentase rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam seminggu lebih besar di perkotaan (77,36%) daripada perdesaan (76,41%). Hal ini terjadi

24 Kim Parker dan Wendy Wang, 2013, Modern Parenthood: Roles of Moms and Dads Converge as They

Balance Work and Family. Washington, D.C. : Pew Research Center.

25Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan

(17)

hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Jika dibandingkan antar provinsi, Papua menjadi provinsi dengan persentase rumah tangga yang memiliki waktu luang bersama keluarga minimal 14 jam dalam seminggu terendah yakni sebesar 56,92%.26

(2) Kemitraan Suami-Istri

Kemitraan suami-istri akan terkait dengan konsep hubungan antara keduanya. Di dalam konsep keluarga yang konvensional, hubungan antara suami terhadap istri akan memiliki struktur atau pola relasi dimana suami berperan sebagai pemberi nafkah (peran produktif) dan pelindung keluarga (peran publik), sedangkan istri sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah tangga (peran domestik), yaitu mencuci, memasak, mengasuh anak dan lain-lain. Konsep pola relasi tersebut telah mengalami pergeseran sesuai dengan perubahan kondisi sosial budaya masyarakat. Melalui kemitraan dan relasi gender yang harmonis, mereka dapat merencanakan dan melaksanakan manajemen sumberdaya keluarga sehingga anggota keluarga mempunyai pembagian peran dalam berbagai aktivitas (domestik, publik, dan kemasyarakatan) dalam rangka menjembatani permasalahan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga (sosial, ekonomi, psikologi, spiritual) yang berkeadilan dan berkesetaran gender.27 kecenderungan pergeseran dan perubahan peran ini semakin meningkat ketika jumlah istri memiliki peran ganda,yaitu sebagai ibu rumah tangga yang juga memiliki pekerjaan/penghasilan. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional dalam publikasi Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) wanita meningkat dari 48,08 persen pada 2006 menjadi 52,71 persen pada 2016.

Data Susenas 2015 menunjukkan terdapat 81,45 persen rumah tangga mempunyai kepala rumah tangga berstatus kawin, dimana 68,95 persen rumah tangga masih mempercayakan urusan pekerjaan rumah tangga kepada pasangannya, yang umumnya adalah perempuan. Kegiatan yang dimaksud mencakup berbagai kegiatan sehari-hari untuk mengurus rumah tangga, seperti mencuci, memasak, mengasuh anak, mengantar anak ke sekolah dan sebagainya.

26Ibid, hal. 51-52.

(18)

Diagram 9. KRT dan Pasangan Mengurus Rumah Tangga

Berdasarkan data yang ada, terdapat 23,48 persen rumah tangga yang Kepala Rumah Tangga (KRT) dan pasangannya yang menyatakan mengurus rumah tangga bersama selama seminggu terakhir. Hasil tersebut menunjukkan kemitraan gender dalam keluarga Indonesia masih rendah dan berpotensi memicu konflik peran suami-istri yang akhirnya mengganggu ketahanan keluarga mengingat diantara rumah tangga dengan KRT berstatus kawin terdapat 52,11 persen istri yang bekerja. Seorang istri yang bekerja memiliki waktu yang lebih sedikit untuk mengurus rumah tangga sehingga dibutuhkan kemitraan gender dalam rumah tangga untuk mencapai keharmonisan dan kesejahteraan keluarga agar tercipta ketahanan keluarga yang kuat.

Selanjutnya, jika dilihat pola per provinsi terdapat 2 (dua) provinsi yang mempunyai persentase lebih dari 50 persen untuk rumah tangga yang KRT dan pasangannya mengurus rumah tangga secara bersama-sama. Kedua provinsi tersebut adalah Bali, dengan persentase sebesar 70,45 persen, dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan persentase sebesar 55,32 persen (Gambar 4.11). Persentase rumah tangga dengan kepala rumah tangga bersama pasangan yang mengurus rumah tangga dari kedua provinsi ini jauh melebihi persentase rata-rata nasional (23,48%). Sebaliknya, terdapat pula provinsi yang mempunyai persentase jauh di bawah rata-rata nasional, yaitu Provinsi Kalimantan Barat. Dimana hanya sekitar 9,81 persen rumah tangga yang kepala rumah tangga dan pasangannya melakukan kegiatan mengurus rumah tangga dalam seminggu terakhir.

(19)

(3) Pengambilan Keputusan Keluarga

Selain keterbukaan dalam pengelolaan keuangan, pengambilan keputusan keluarga juga menjadi salah satu indikator ketahanan keluarga. Pengambilan keputusan keluarga yang dimaksud disini adalah adanya pembahasan mengenai pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keluarga. Jadi, meskipun suami yang berperan sebagai kepala keluarga, namun dalam menjalankan tugasnya tidak boleh otoriter, namun harus dijalankan secara bijaksana dan mengakomodasi saran dan ide baik dari pasangan maupun anak-anaknya. Dalam pembahasan selanjutnya, pengambilan keputusan keluarga akan dilihat melalui pengambilan keputusan untuk penentuan jumlah anak. Sebagian besar rumah tangga di Indonesia menentukan jumlah anak secara bersama antara suami dan istri. Data SPTK 2014 menunjukkan sekitar 61,99 persen rumah tangga menyatakan menentukan jumlah anak secara bersama antara suami dan istri. Adanya

(20)

penentuan secara bersama mengenai jumlah anak mencerminkan adanya penerapan kemitraan gender dalam rumah tangga, dimana suami juga mempertimbangkan keinginan istri dalam memutuskan jumlah anak.

3.3. Ketahanan Sosial Psikologis

Dimensi keempat yang membentuk ketahanan keluarga adalah dimensi ketahanan sosial psikologis. Berbeda dengan dimensi pembentuk ketahanan keluarga lainnya, dimensi ketahanan sosial psikologis tidak dapat dilihat secara fisik. Dimensi ini terdiri atas dua variabel yaitu (1) variabel keharmonisan keluarga (mencakup sikap anti kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan perilaku anti kekerasan terhadap anak) dan (2) variabel kepatuhan terhadap hukum (dilihat dari pengalaman rumah tangga menjadi korban tindak pidana).

a. Keharmonisan Keluarga

Keharmonisan keluarga menjadi salah satu variabel penting dalam menyusun ketahanan sosial psikologis dalam keluarga. Keharmonisan keluarga ini berkaitan dengan ketahanan psikologis keluarga, dimana keluarga dikatakan memiliki ketahanan psikologis yang baik apabila keluarga mampu menanggulangi masalah nonfisik, pengendalian emosi secara positif, konsep diri positif (termasuk terhadap harapan dan kepuasan), dan kepedulian suami kepada istri.28Untuk itu, pengukuran keharmonisan dalam keluarga pada studi ini ditekankan pada sikap dari kepala rumah tangga terhadap kepedulian terhadap perempuan dan anak. Indikator yang mendukung pada studi ini adalah bagaimana sikap anti kekerasan terhadap perempuan dan prilaku anti kekerasan terhadap anak di dalam keluarga. Keluarga yang memiliki sikap anti kekerasan baik terhadap perempuan maupun terhadap anak maka keluarga tersebut cenderung akan memiliki ketahanan keluarga yang relatif tinggi, begitu pula sebaliknya.

Sampai saat ini, belum tersedia data yang dapat menggambarkan angka kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam skala nasional. Beberapa lembaga seperti kepolisian ataupun komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan hanya memiliki data terkait jumlah kasus kekerasan berdasarkan pengaduan korban, sehingga data tersebut tidak dapat

28Sunarti, Euis dkk., 2003, Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga (Measurement of

Family Strenght). Media Gizi dan Keluarga 27(1): 1-11; Lihat juga Sunarti, Euis., 2006, Indikator Keluarga Sejahtera : Sejarah Pengembangan, Evaluasi, dan Keberlanjutannya. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

(21)

digunakan secara umum untuk menggambarkan angka kekerasan terhadap perempuan dalam skala nasional maupun provinsi. Namun, gambaran kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri dapat diproksi dengan sikap terkait tindakan pemukulan istri yang dilakukan oleh suami.

Informasi tersebut dikumpulkan dalam Susenas-Modul Ketahanan Sosial 2014. Terdapat enam alasan tindakan pemukulan istri yang diajukan, yaitu 1) istri pergi tanpa pamit, 2) istri tidak mengerjakan pekerjaan rumah dengan baik, 3) istri membantah suami, 4) istri tidak mengurus anak dengan baik, 5) istri diduga selingkuh, dan 6) istri menolak berhubungan intim. Semua pertanyaan tersebut diajukan kepada semua responden, baik laki-laki maupun perempuan.29

Persentase rumah tangga yang tidak membenarkan tindakan suami memukul istri sangat bervariasi antar provinsi. Daerah Istimewa Yogyakarta menempati posisi pertama sebagai provinsi dengan persentase tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki sikap tidak membenarkan tindakan suami memukul istri (88,45%). Selain itu, terdapat lima provinsi lain yang mempunyai persentase di atas delapan puluh persen, yaitu Bali (87,69%), DKI Jakarta (84,15%), Sumatera Barat (83,10%), Kalimantan Selatan (80,34%) dan Jawa Tengah (80,16%). Sementara, Papua menjadi provinsi dengan persentase terendah untuk rumah tangga yang memiliki sikap tidak membenarkan tindakan suami memukul istri (36,89%). Dan terdapat satu provinsi lagi yang mempunyai persentase di bawah lima puluh persen, yaitu Nusa Tenggara Barat (45,61%). Hal ini dipengaruhi tingginya ketergantungan alkohol dan tradisi mas kawin perempuan menjadi salah satu penyebab timbulnya tindak kekerasan rumah tangga yang dialami oleh perempuan di Papua.30

b. Perilaku Anti Kekerasan Terhadap Anak

Pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak tidak terlepas dari lingkungan yang merawat dan membesarkannya. Pola asuh dalam keluarga, sebagai lingkungan pertama yang dikenalnya, akan sangat berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak. Dalam hal ini orangtua sangat berperan sebagai

29Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan

Keluarga 2016, Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, hal. 100

(22)

panutan anakanaknya dan setiap orangtua tentu memiliki caranya sendiri dalam mendidik dan mengasuh anak. Terdapat tiga pola asuh orangtua yang berlaku di masyarakat,31 yaitu: 1) Pola asuh permisif, yaitu pola asuh yang menerapkan kebebasan. Dalam pola asuh ini anak berhak menentukan apa yang akan ia lakukan dan orang tua memberikan fasilitas sesuai kemauan anak. 2) Pola asuh demokratis, yaitu pola asuh yang menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam keluarga. Anak dihargai haknya oleh orang tua, dan orang tua menerapkan peraturan-peraturan yang dipatuhi anak selama tidak memberatkan anak. Sedangkan 3) pola asuh otoriter, yaitu pola asuh yang menegaskan akan kekuasaan orang tua dalam mendidik anakanaknya. Orang tua menerapkan peraturan tegas dengan sanksi-sanksi, dan anak wajib patuh. Dalam pola asuh ini anak sama sekali tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh haknya.

Masing-masing pola asuh yang diterapkan oleh orang tua tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Semua tergantung dari kultur, tradisi, dan lingkungan masyarakat yang ada. Namun, seringkali dalam mendidik anak, orangtua menerapkan sangsi atau hukuman yang mengakibatkan anak menderita secara fisik ataupun psikis. Padahal hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi secara tegas telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Informasi terkait adanya tindakan kekerasan yang dilakukan orangtua dalam mendidik anak dikumpulkan dalam Susenas Modul Ketahanan Sosial (Hansos) pada tahun 2014. Adapun jenis perilaku kekerasan yang dikumpulkan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu 1) kekerasan psikologis dan 2) kekerasan fisik. Kekerasan psikologis yang dikumpulkan adalah perilaku orangtua yang sering memanggil anak dengan sebutan bodoh, pemalas, tidak sayang lagi, tidak berguna dan perkataan kasar/negatif lainnya, membentak serta menakuti anak. Sedangkan kekerasan fisik mencakup mengurung atau meninggalkan anak sendirian dalam kamar, mendorong/mengguncang badan, mencubit, menjewer, bahkan sampai menampar, memukul, menjambak dan menendang anak.32

31Fahrizal Effendi, 2013, Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kemandirian dalam Belajar Siswa. Jurnal

Ilmiah Pendidikan Bimbingan Dan Konseling, hal. 50-59. Semarang: IKIP Veteran Semarang.

32Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan

(23)

Mayoritas orangtua di Indonesia masih menggunakan cara-cara kekerasan, baik kekerasan psikologis maupun fisik dalam mendidik anaknya (54,80%). Berdasarkan jenis kekerasan yang digunakan, 23,17 persen rumah tangga menggunakan cara-cara kekerasan psikologis dan fisik untuk mendidik anak, sedangkan persentase rumah tangga yang hanya menggunakan kekerasan psikologis sebesar 21,48 persen dan hanya menggunakan kekerasan fisik sebesar 10,16 persen. Cara-cara yang mengandung kekerasan psikologis yang paling sering digunakan untuk mendidik anak adalah dengan membentak atau menakutinya, yaitu sebesar 41,86 persen, sedangkan cara kekerasan fisik yang paling sering dilakukan kepala rumah tangga/pasangannya adalah dengan mencubit atau menjewer anak sebesar 30,97%.33

Cara-cara kekerasan yang dilakukan oleh orangtua dalam mendidik anak ternyata berhubungan positif dengan tingkat pendidikan orangtua. Gambar 7.6 menunjukkan lebih dari 50 persen rumah tangga dengan kepala rumah tangga/pasangan yang mempunyai pendidikan tinggi tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak mereka. Terlihat pula semakin tinggi tingkat pendidikan maka persentase rumah tangga yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak umur 1-14 tahun semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua mempunyai korelasi positif terhadap pencegahan cara-cara kekerasan dalam mendidik anak.

Diagram 11. Pendidikan Orangtua dan Kekerasan Terhadap Anak

Diagram berkiut ini menunjukkan persentase rumah tangga yang KRT/pasangannya tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anak umur 1-14 Tahun menurut provinsi. Seperti halnya dengan sikap anti kekerasan terhadap perempuan, Daerah Istimewa Yogyakarta menempati posisi pertama

33Ibid.

Sumber: Kementrian PPPA, 2016

(24)

sebagai provinsi dengan persentase tertinggi untuk rumah tangga yang memiliki perilaku tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anak umur 1-14 tahun (59.07%). Selain itu, terdapat enam provinsi lain yang juga memiliki persentase di atas lima puluh persen, yaitu Jambi (58,09%), Kepulauan Riau (55,20%), Kalimantan Tengah (53,06%), DKI Jakarta (52,65%), Kalimantan Selatan (52,41%), dan Lampung (51,69%). Sedangkan lima provinsi lain yang memiliki persentase di bawah tiga puluh persen adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (24,02%), Papua Barat (24,45%), Maluku (25,53%), Sulawesi Utara (29,86%), dan Papua (29,87%).

Diagram12.KRT dan pasangannya yang tidak menggunakan kekerasan dalam mendidik anak umur 1-14 Tahun menurut provinsi.

Sumber: Kementrian PPPA, 2016 4. Kesimpulan dan Rekomendasi

(25)

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka terlihat bahwa ketahanan keluarga hanya dapat terbentuk dan tercipta jika seluruh indikator terpenuhi, khususnya indikator yang erat kaitannya dengan aspek hukum, yaitu: indikator legalitas (legalitas perkawinan dan legalitas kelahiran) dan ketahanan sosial-psikologis. Kedua indikator ini sangat erat kaitannya dengan pemenuhan dan perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, baik yang di ranah domestik maupun ranah publik.

Untuk mewujudkan ketahanan keluarga agar berkelanjutan maka perlu menumbuhkan nudaya kemitraan gender, anti kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui literasi ketahanan keluarga berdasarkan kemitraan/kesetaraan gender dan indikator ketahanan keluarga dengan berbagai metode (seperti: sosialisasi, edukasi, pelatihan). Selain itu juga perlu melakukan atau menciptakan inovasi model-model program berbasis institusi; seperti; SRA, Puskesmas Ramah Anak, Masjid Ramah Anak, Pesantren Ramah Anak, Desa Ramah Anak, seperti yang saat ini mulai digalakkan oleh Kementrian PPPA bekerja sama dengan pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat melalui program-program berbasis masyarakat (seperti mengintegrasikan perlindungan anak dalam kegiatan arisan, adat, sosial). Perlu mendorong keterlibatan dan peran semua pihak: unsur negara (DPRD, Komisi Negara, Pemerintah Pusat, Pemerintah daerah), masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha, media, ormas, keluarga, orangtua.

Daftar Pustaka

Adriana Venny Aryani, dkk., 2019, Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan Ruu Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara Catatan Kekerasanterhadap Perempuan Tahun 2018, Jakarta: Komnas Perempuan, 6 Maret 2019.

Adriana Venny Aryani, dkk.,Tergerusnya Ruang Aman Perempuan Dalam Pusaran Politik Populisme Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2017, Jakarta: Komnas Perempuan, 7 Maret 2018.

Fahrizal Effendi, 2013, Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kemandirian dalam Belajar Siswa. Jurnal Ilmiah Pendidikan Bimbingan Dan Konseling, hal. 50-59. Semarang: IKIP Veteran Semarang.

Frankenberger, T.R., dan M.K.McCaston. 1998, The Household Livelihood Security Concept. Food, Nutrition, and Agriculture Journal. 22: 30-33.

Herien Puspitawati, 2012, Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia, Bogor: PT IPB Press.

(26)

Herien Puspitawati, 2015, Kajian Akademik Pengertian Kesejahteraan dan Ketahanan Keluarga. Bogor: Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia-Institut Pertanian Bogor.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016, Pembangunan Ketahanan Keluarga 2016, Jakarta: CV. Lintas Khatulistiwa, hal. 2

Kementrian Pemberdayan Perempuan dan Anak, Kesetaraan Gender Pondasi Dasar Ketahanan Keluarga: Siaran Pers Nomor: B-244/Set/Rokum/MP 01/10/2019, Dipublikasikan

Pada : Selasa, 15 Oktober 2019

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2368/kesetaraan-gender-pondasi-dasar-ketahanan-keluarga

McLaren, Aleisha, 2020, Indonesians Need To Open Up About Sex To Lessen Abuse, Violence, The Jakarta Post Jakarta, Monday, January 13.

Parker, Kim dan Wendy Wang, 2013, Modern Parenthood: Roles of Moms and Dads Converge as They Balance Work and Family. Washington, D.C. : Pew Research Center.

Sunarti, Euis dkk., 2003, Perumusan Ukuran Ketahanan Keluarga (Measurement of Family Strenght). Media Gizi dan Keluarga 27(1): 1-11.

Sunarti, Euis., 2006, Indikator Keluarga Sejahtera : Sejarah Pengembangan, Evaluasi, dan Keberlanjutannya. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Susanto, 2019, Mengefektifkan Perlindungan Anak Kelompok Rentan, makalah disampaikan

pada FGD “Pancasila, Konstitusi dan Pemenuhan Hak Kelompok Rentan, yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP),16-17 Desember 2019.

Zastrow, Charles. H. (2006). Social Work with Groups: A Comprehensive Workbook.USA: Thomson Brooks/Cole.

Gambar

Diagram 1. Jumlah Kasus Kekerasan terhadap Perempuan
Diagram 2. Jumlah Kasus Kekerasan di Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah
Diagram  3.  Jumlah  kasus  dan  korban  berdasarkan  tempat
Diagram 5. Usia korban
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan dari kesimpulan diatas, maka hasil penelitian ini selayaknya dapat digunakan oleh manajemen perbankan syariah agar memperhatikan penentuan nisbah dan tingkat suku bunga

Sesuai perkembangan saat ini, usaha-usaha yang lebih tepat dan memungkinkan serta dapat diandalakan untuk menambah sumber Pendapatan Asli Daerah tersebut bila

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai pergeseran makna dalam sebuah perayaan hina matsuri (雛祭り) dari sebuah upacara purifikasi menjadi sebuah acara

1) Fungsi publik public uses. Area fungsi publik dibutuhkan untuk memberikan pelayanan bagi lingkungan kerja dan pemukiman didalam TOD dan kawasan

(#utipan menggunakan sistem $ar%ard, "aitu nama keluarga penulis "ang dikutip @tanpa nama depanA dan tahun terbit tanpa dipisahkan koma. &ntara satu kutipan dan kutipan

"Hal ini perlu menjadi perhatian bagi kita bersama, jangan sampai masyarakat Kota Padang yang datang dari luar daerah menjadi klaster baru Covid-19 di Kota Padang.. Untuk itu

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, seperti bangunan perkotaan, danau dan vegetasi,

Pada tahun 2000 Mulyono melakukan penelitian tentang kajian sifat permesinan kayu kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terkompregnasi sebagai bahan bangunan dan perabot rumah