• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Gugat Bank Atas Hilangnya Simpanan Milik Nasabah Penyimpan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tanggung Gugat Bank Atas Hilangnya Simpanan Milik Nasabah Penyimpan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 171

TANGGUNG GUGAT BANK ATAS HILANGNYA SIMPANAN MILIK

NASABAH PENYIMPAN

Oleh : Didiyanto

Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Surabaya didiyanto93@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian yang dilaksanakan bermaksud mengidentifikasi secara mendalam tentang hubungan hukum antara bank sebagai pihak yang menerima simpanan dana dengan nasabah penyimpan sebagai pemilik simpanan itu sendiri. Hubungan hukum tersebut yang akan sangat menentukan jawaban dari persoalan tanggung gugat pihak bank dalam hal hilangnya simpanan milik nasabah penyimpan. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode yuridis normatif dengan didukung statute approach dan conceptual approach. Kesimpulan yang

diperoleh bahwa hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan harus dipandang sebagai hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang didasari atas peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen. Bank juga bertanggung gugat atas hilangnya simpanan milik nasabah penyimpan dari rekening tabungan.

Kata kunci: Undang-Undang Perbankan, Perlindungan Konsumen, Bank.

1. PENDAHULUAN

Lembaga perbankan memiliki fungsi yang krusial dalam sistem keuangan setiap negara. Bank berperan sebagai perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Perbankan sebagai sebuah

lembaga keuangan yang berorientasi bisnis

melaksanakan berbagai jenis transaksi. Transaksi perbankan yang paling utama adalah menghimpun dana (funding) dan menyalurkan dana (lending). Perbankan, dalam rangka mendukung kegiatan

menghimpun dan menyalurkan dana, juga

melaksanakan menyediakan berbagai jasa-jasa perbankan lainnya bagi masyarakat (T. P. Usanti, 2013).

Lembaga perbankan berfungsi memberikan pelayanan atas kebutuhan pembiayaan serta

mendukung kelancaran mekanisme sistem

pembayaran bagi semua sektor perekonomian (Thomas Suyatno, 1988). Pernyataan tersebut sejatinya sejalan dengan substansi yang tertuang dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juncto

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut sebagai UU Perbankan) yang menyatakan bahwa fungsi utama lembaga perbankan di Indonesia adalah selaku penghimpun dan penyalur dana masyarakat.

Badan usaha yang berwenang untuk menjalankan fungsi perbankan disebut sebagai bank. James Milnes Holden dalam bukunya yang

berjudul “The Law and Practice of Banking

(1970) memaparkan mengenai apa yang dimaksud sebagai bank:

A banker or bank as a person or company carrying on the business of receiving moneys, and collecting drafts, for customers subject to the obligation of

honouring cheques drawn upon them from time by the customers to extent of the amounts available on their account.

Pasal 1 angka 2 UU Perbankan menyatakan bahwa bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Muchdarsyah Sinungan (1992)

menyatakan bahwa fungsi bank dapat

dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:

1. Bank sebagai lembaga yang menghimpun dana

masyarakat, berupa simpanan dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, dan rekening giro.

2. Bank sebagai lembaga yang menyalurkan dana

dari masyarakat dalam bentuk kredit atau sebagai lembaga pemberi kredit.

3. Bank sebagai lembaga yang melancarkan

transaksi perdagangan dan pembayaran uang. Bank dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang menghimpun dana masyarakat,

melakukan penawaran atas produk-produk

simpanan kepada nasabah. Pasal 1 angka 5 UU Perbankan menjelaskan bahwa simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,

tabungan dan atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Perbankan disebutkan bahwa tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

(2)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 172

Secara umum dalam setiap pelaksanaan

tugas dan kegiatannya, bank senantiasa

berkewajiban untuk berpedoman pada prinsip-prinsip perbankan yang sehat dan mematuhi ketentuan yang berlaku serta menghindari segala bentuk pratek atau kegiatan yang berpotensi

membahayakan atau merugikan kepentingan

masayarakat (Rachmadi Usman, 2003). Meskipun demikian, dalam prakteknya tidak jarang bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya, khususnya

kegiatan penyimpanan dana, menimbulkan

kerugian pada nasabah penyimpan. Salah satu resiko yang dapat timbul dalam penyelenggaraan layanan penyimpanan dana oleh Bank adalah hilangnya saldo pada rekening nasabah penyimpan secara tiba-tiba. Peristiwa tersebutlah dialami oleh beberapa orang nasabah Bank Mandiri pada bulan Agustus tahun 2019. Diduga hilangnya sebagian saldo pada rekening para nasabah penyimpan tersebut merupakan akibat dari perbuatan oknum internal Bank Mandiri yang melakukan penipuan dengan mengatasnamakan program Tabungan Promo Bank Mandiri (Wawan, Rakyat Sulsel, 2019).

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan serta tanggung gugat bank atas hilangnya simpanan dari rekening tabungan milik nasabah penyimpan.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hubungan Hukum Antara Bank Dengan Nasabah Penyimpan

Secara etimologis, kata “bank” yang berasal dari bahasa Italia yakni “bance” yang berarti bangku tempat duduk. Hal ini dikarenakan, pada masa abad pertengahan para bankir di Italia yang menjalankan kegiatan pemberian pinjaman bagi masyarakat melakukan aktivitas tersebut sembari duduk di bangku yang diletakkan di halaman-halaman pasar (Munir Fuady, 1999).

Hermansyah (2006) mengemukakan, “Pada

dasarnya bank adalah badan usaha yang

menjalankan kegiatan untuk menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Sebagaimana dikemukakan Kasmir (2007) bahwa, “secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga

keuangan yang kegiatan utamanya adalah

menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat serta memberi jasa bank lainnya.” Menurut Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono (2002) bahwa bank adalah lembaga keuangan yang usaha

pokoknya adalah menghimpun dana dan

menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.

Pasal 1 angka 2 UU Perbankan

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank adalah, “badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Melalui pengertian-pengertian bank di atas nampak bahwa yang dimaksudkan sebagai suatu bank utamanya adalah suatu lembaga keuangan atau badan usaha yang berfungsi sebagai lembaga

intermediary. Yakni, untuk melakukan kegiatan

usaha berupa penghimpunan dana dari masyarakat untuk kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat lain yang membutuhkan dana.

UU Perbankan mengenal 2 (dua) jenis bank, yaitu bank umum dan Bank Pengkreditan Rakyat. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Perbankan ditentukan, “Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Sedangkan, Pasal 1 angka 4 UU Perbankan menyebutkan, “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Dalam

melakukan kajian ini, penulis hanya akan

membatasi cakupan pembahasan pada bank umum saja.

Pasal 3 UU Perbankan menyatakan bahwa fungsi utama lembaga perbankan di Indonesia adalah selaku penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dana yang dihimpun oleh bank dari masyarakat tersebut disebut simpanan. Simpanan didefinisikan oleh Pasal 1 angka 5 UU Perbankan sebagai dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU Perbankan disebutkan bahwa tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek,

bilyet giro, dan atau alat lainnya yang

dipersamakan dengan itu.

Melalui uraian di atas, nampak bahwa hakikatnya bank berkedudukan sebagai pihak yang menyediakan produk berupa jasa-jasa perbankan kepada nasabahnya. Salah satunya, sebagai pihak yang menyediakan layanan perbankan berupa penyimpanan dana nasabah yang berbentuk tabungan.

Pasal 1 angka 16 UU Perbankan

merumuskan definisi nasabah sebagai pihak yang menggunakan jasa bank. Berdasarkan bentuk kegiatan usaha bank, UU Perbankan kemudian membedakan pengertian nasabah menjadi nasabah penyimpan dan nasabah deposan. Berdasarkan

(3)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 173

Pasal 1 angka 17 UU Perbankan, nasabah

penyimpan merupakan nasabah yang menempatkan

dananya di bank dalam bentuk simpanan

berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Sedangkan, berdasarkan Pasal 1 angka 18 UU Perbankan, nasabah debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.

Hubungan antara bank dan nasabah

penyimpan didasarkan pada 2 (dua) unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Kepercayaan masyarakat kepada bank adalah dasar kesediaan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank. Hubungan hukum antara bank dan nasabah menurut Munir Fuady (1999) terbagi ke dalam 2 (dua) bentuk, yakni hubungan kontraktual dan hubungan non-kontraktual. Utamanya dalam dunia perbankan, hubungan antara bank dan nasabah didasari adanya hubungan kontraktual. Hubungan ini berlaku terhadap semua nasabah, termasuk nasabah penyimpan (nasabah deposan). Hubungan non-kontraktual didasarkan hubungan langsung dengan bank, seperti hubungan fidusia, hubungan konfidensial, hubungan prinsipal dengan agen, dan lain sebagainya. Oleh karena basis hubungan hukum antara bank dengan para nasabah adalah hubungan kontraktual, maka ketika seorang nasabah menjalin kontraktual dengan bank, perikatan yang timbul merupakan perikatan atas dasar perjanjian (Marulak Pardede, 1998).

Hubungan antara bank dan nasabah

penyimpan dalam praktik perbankan bilamana dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1754 BW merupakan perjanjian pinjam meminjam dengan bunga (T. P. Usanti dan Abdul Shomad, 2016). Akan tetapi bila hubungan antara bank dan nasabah penyimpan ditinjau dari definisi simpanan dalam UU Perbankan, maka sejatinya hubungan antara bank dan nasabah penyimpan adalah perjanjian peyimpanan dana (T. P. Usanti dan Abdul Shomad, 2016). Hal serupa juga dikemukakan oleh Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman yang mengemukakan bahwa hubungan kontraktual antara bank dan nasabah penyimpan sejatinya

didasari oleh adanya perjanjian simpanan.

Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana tidak dapat diklasifikasikan sebagai perjanjian penitipan uang, atau perjanjian pemberian kuasa, bahkan tidak dapat disebut sama persis dengan perjanjian pinjam meminjam uang.

Dalam hal ini UU Perbankan telah

mengkonstruksikan hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana dengan bentuk perjanjian penyimpanan dana bank yang memiliki karakteristik tertentu (Fatimah Halim, 2017).

Pada prakteknya, perjanjian penyimpanan antara bank dan nasabah adalah berbentuk formulir pembukaan rekening tabungan yang di dalamnya memuat klausula baku. Klausula baku tersebut

umumnya bersifat lebih menguntungkan

kepentingan pihak bank dibandingkan pihak nasabah penyimpan. Akibatnya, perjanjian tersebut bukanlah melindungi kepenting konsumen, malah merugikan konsumen. Sebagai contoh adalah “Formulir Pembukaan Rekening Produk Dana

Perorangan” yang merupakan perjanjian

penyimpanan yang dibuat antara Bank Mandiri dan nasabah penyimpannya. Pada formulir tersebut

sama sekali tidak diatur mengenai

pertanggungjawaban pihak bank atas hilangnya saldo simpanan nasabah. Bahkan, di dalam formulit tersebut terdapat ketentuan dalam “syarat khusus” yang berbunyi, “apabila terdapat perbedaan saldo antara Buku Tabungan dengan saldo yang tercatat pada administrasi Bank Mandiri, maka yang dipergunakan adalah saldo yang tercatat pada administrasi Bank Mandiri.” Ketentuan tersebut, manakala dihubungkan dengan kasus hilangnya saldo simpanan nasabah secara tiba-tiba dari rekening tabungan, tentu amat merugikan nasabah. Sebab, dalam kasus tersebut, buku tabungan nasabah merupakan salah satu bukti bagi nasabah untuk membuktikan adanya kesalahan pihak bank yang menyebabkan jumlah saldo simpanan yang tercatat dalam administrasi bank berkurang secara tiba-tiba.

Sehubungan dengan ketimpangan posisi

nasabah dan bank tersebut, Tan Kamelo

mengemukakan bahwa bilamana dilihat dari sisi yuridis, nasabah, dalam hal ini termasuk nasabah penyimpan harus dipandang berkedudukan sebagai

konsumen. Dalam kedudukannya sebagai

konsumen, nasabah memiliki kedudukan lebih yang lebih lemah, sehingga perlu mendapat perlindungan melalui undang-undang (T. P. Usanti dan Abdul Shomad, 2016). Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) merupakan

undang-undang payung (umbrella act) perlindungan

konsumen di Indonesia (Nurul Fibrian, 2015). Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Konsumen mendefinisikan perlindungan konsumen sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sedangkan, definisi pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

(4)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 174

Manakala definisi Pelaku Usaha dan

Konsumen yang terdapat di dalam UU

Perlindungan Konsumen dikaitkan dengan peran dan kedudukan bank dan nasabah dalam kronologi kasus hilangnya simpanan nasabah penyimpan yang penulis paparkan dalam bab sebelumnya, maka bank sebagai penyedia jasa berkedudukan

sebagai pelaku usaha sedangkan nasabah

penyimpan adalah berkedudukan selaku pemakai jasa berkedudukan sebagai konsumen. Sehingga, hubungan antara bank dan nasabah penyimpan merupakan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, dengan demikian harus tunduk pada

peraturan perundang-undangan di bidang

perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia.

Perlindungan dan pemberdayaan nasabah

mempunyai relevansi dengan upaya penegakan hak-hak nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan dalam melakukan hubungan hukum dengan bank sebagai pelaku usaha jasa perbankan (S. K. Tondatuon, 2016).

Sehingga, meskipun hubungan hukum antara bank sebagai pelaku usaha dan nasabah penyimpan sebagai konsumen adalah hubungan kontraktual yang didasarkan pada klausula baku yang dibuat dalam suatu perjanjian, hak-hak maupun kewajiban masing-masing pihak tidak boleh dibatasi hanya atas dasar perjanjian penyimpanan. Sebab, perjanjian penyimpanan seringkali bersifat imparsial dan menguntungkan kepentingan bank sebagai pelaku usaha yang memiliki posisi lebih dominan dengan memuat klausula-klausula baku yang merugikan konsumen. Melainkan, hubungan nasabah dan bank harus didasarkan pula atas peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen (I. A. Wirahadireja, 2003).

Tanggung Gugat Bank Atas Kerugian Nasabah Penyimpan

Perlindungan Hukum Nasabah Penyimpan selaku Konsumen

Salah satu kewajiban pelaku usaha berdasarkan UU Perlindungan Konsumen adalah kewajiban pemberian ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita oleh konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau

jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Ganti rugi tersebut menurut Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setelah adanya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) yang diundangkan tanggal 22 November 2011, pengaturan dan pengawasan sektor perbankan yang semula berada pada Bank Indonesia beralih pada OJK. UU OJK

juga mengatur hal-hal terkait perlindungan

konsumen. Namun, UU OJK memiliki definisi konsumen yang berbeda dengan UU Perlindungan

Konsumen. Pasal 1 angka 15 UU OJK

mendefinisikan konsumen sebagai: “pihak-pihak

yang menempatkan dananya dan/atau

memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan.”

Jika membandingkan pengertian

konsumen yang terdapat dalam UU Perlindungan Konsumen dan UU OJK, nampak bahwa definisi konsumen dalam UU OJK bersifat lebih khusus

daripada definisi konsumen dalam UU

Perlindungan Konsumen, yakni hanya meliputi konsumen di bidang jasa, yakni di sektor jasa keuangan. Sedangkan, konsumen di sektor jasa keuangan juga tercakup dalam definisi konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen. Sehingga,

UUOJK dapat dipandang sebagai lex specialis dari

UU Perlindungan Konsumen (Agus Suwandono,

2016). Sebagai ketentuan yang bersifat lex

specialis, maka berdasarkan asas preferensi, ketentuan dalam UU OJK yang harus diterapkan manakala terdapat perbedaan pengaturan antara UU OJK dan UU Perlindungan Konsumen.

Sebagai bagian dari upaya perlindungan konsumen, dalam hal ini termasuk konsumen dari lembaga jasa keuangan, berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU OJK diberikan kewenangan melakukan pembelaan hukum antara lain:

a.

Memerintahkan atau melakukan tindakan

tertentu kepada lembaga jasa keuangan untuk menyelesaikan pengaduan konsumen yang dirugikan lembaga jasa keuangan dimaksud

b.

Mengajukan gugatan dengan tujuan:

1. memperoleh kembali harta kekayaan milik

pihak yang dirugikan dari pihak yang

menyebabkan kerugian, baik yang berada dibawah penguasaan pihak yang menyebabkan

kerugian dimaksud maupun dibawah

penguasaan pihak lain dengan itikad tidak baik

2. memperoleh ganti kerugian dari pihak yang

menyebabkan kerugian pada konsumen

dan/atau lembaga jasa keuangan sebagai akibat dari pelanggaran atas peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan

Selanjutnya, Pasal 30 ayat (2) UU OJK menegaskan bahwa ganti kerugian sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b angka 2 hanya boleh digunakan untuk pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan.

Pasal 31 UU OJK menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan konsumen Lembaga Jasa Keuangan akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Atas dasar pasal tersebut, maka diterbitkanlah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

(5)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 175

Republik Indonesia Nomor 1/PJOK.07/2013

Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “POJK No. 1/2013”). Pada tahun 2018, diterbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/POJK.07/2018 Tahun 2018 Tentang Layanan Pengaduan Konsumen Di Sektor Jasa Keuangan (selanjutnya disebut “POJK No. 18/2018”) yang isinya antara lain memuat pengaturan lebih alnjut perihal mekanisme layanan pengaduan konsumen sector jasa keuangan di Indonesia serta menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan Pasal 34 sampai dengan Pasal 38 dalam POJK No. 1/2013.

Pasal 1 angka 1 POJK No. 1/2013 mendefinisikan pelaku usaha jasa keuangan sebagai

Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat,

Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, Bank Kustodian, Dana Pensiun, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Gadai, dan Perusahaan Penjaminan, baik yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional maupun secara syariah. Sedangkan, definisi konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 2 POJK No. 1/2013 yang berbunyi: “pihak-pihak

yang menempatkan dananya dan/atau

memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.” Melalui definisi-definisi di atas, nampak jelas bahwa cakupan definisi pelaku usaha dan konsumen yang terdapat dalam POJK No. 1/2013 lebih sempit dibandingkan dengan definisi konsumen dan pelaku usaha yang terdapat di dalam UU Perlindungan Konsumen serta mencakup pula kedudukan nasabah penyimpan selaku konsumen dan bank selaku pelaku usaha jasa keuangan.

Selanjutnya, atas kerugian yang diderita oleh konsumen akibat pelaku usaha jasa keuangan diatur di dalam Pasal 40 POJK No. 1/2013 bahwa:

(1) Konsumen dapat menyampaikan pengaduan

yang berindikasi sengketa antara Pelaku Usaha Jasa Keuangan dengan Konsumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2) Konsumen dan/atau masyarakat dapat

menyampaikan pengaduan yang berindikasi

pelanggaran atas ketentuan peraturan

perundang- undangan di sektor jasa keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal ini Anggota Dewan Komisioner yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen.

Kata “dapat” yang terdapat di dalam pasal tersebut diatas, menunjukkan bahwa sejatinya mekanisme pengaduan pelaku usaha jasa keuangan kepada OJK merupakan hak dari konsumen dan tidak bersifat imperatif. Sehubungan dengan hal tersebut,

maka Pasal 41 POJK No. 1/2013 mengatur bahwa: “Pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan Konsumen oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan terhadap pengaduan yang berindikasi sengketa di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Konsumen mengalami kerugian finansial yang

ditimbulkan oleh:

1. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang

Perbankan, Pasar Modal, Dana Pensiun, Asuransi Jiwa, Pembiayaan, Perusahaan Gadai, atau Penjaminan, paling banyak sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

2. Pelaku Usaha Jasa Keuangan di bidang asuransi

umum paling banyak sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);

a. Konsumen mengajukan permohonan secara

tertulis disertai dengan dokumen pendukung yang berkaitan dengan pengaduan;

b. Pelaku Usaha Jasa Keuangan telah melakukan

upaya penyelesaian pengaduan namun

Konsumen tidak dapat menerima penyelesaian tersebut atau telah melewati batas waktu

sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan ini;

c. Pengaduan yang diajukan bukan merupakan

sengketa sedang dalam proses atau pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau lembaga mediasi lainnya;

d. Pengaduan yang diajukan bersifat keperdataan;

e. Pengaduan yang diajukan belum pernah

difasilitasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan

f. Pengajuan penyelesaian pengaduan tidak

melebihi 60 (enam puluh) hari kerja sejak tanggal surat hasil penyelesaian Pengaduan yang disampaikan Pelaku Usaha Jasa Keuangan kepada Konsumen.”

Tujuan pemberian fasilitas penyelesaian pengaduan oleh OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 POJK No. 1/2013 tidak lain adalah demi mempertemukan konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan agar dapat mengkaji ulang permasalahan secara mendasar dalam rangka memperoleh kesepakatan penyelesaian. Manakala tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka berdasarkan Pasal 39 ayat (1) POJK No. 1/2013 konsumen berhak

melakukan penyelesaian sengketa di luar

pengadilan atau melalui pengadilan.

Berdasarkan ketentuan penyelesaian

sengketa yang terdapat dalam POJK No. 1/2013, maka sejatinya nasabah penyimpan, selama memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam Pasal 41 POJK No. 1/2013, dapat terlebih dahulu menempuh upaya pengaduan ke OJK atas kerugian yang ia alami akibat kesalahan ataupun kelalaian pihak bank. Manakala tidak tercapai kesepakatan penyelesaian dengan pihak bank setelah melalui

proses fasilitasi oleh OJK, maka nasabah

penyimpan dapat memilih untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dideritanya melalui badan

(6)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 176

alternatif penyelesaian sengketa maupun melalui

pengadilan. Sedangkan, bagi nasabah penyimpan yang tidak memenuhi syarat-syarat dalam Pasal 41 POJK No. 1/2013, misalnya nasabah penyimpan dengan nilai simpanan yang hilang melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), dapat langsung diambil upaya penyelesaian sengketa melalui badan alternatif penyelesaian sengketa maupun pengadilan yang berwenang.

Kewajiban Penerapan Prinsip Kehati-Hatian oleh Bank

Demi mewujudkan adanya perlindungan bagi nasabah selaku konsumen, maka bank sebagai

lembaga kepercayaan dalam melaksanakan

kegiatan usahanya wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian (prudent banking principle). Prinsip kehati-hatian bahwasannya tidak dapat dilepaskan dari status bank sebagai lembaga kepercayaan.

Bahkan, Muhammad Djumhana (2003)

mengemukakan bahwa mati hidupnya dunia perbankan berdasarkan kepada kepercayaan dari pihak masyarakat atau nasabah. Sebagai lembaga

yang menghimpun dana masyarakat, wajar

bilamana dikatakan bahwa dunia perbankan merupakan industri yang sangat bertumpu pada

“kepercayaan” (fiduciary) dari masyarakat

penyimpan dana. Bahkan, kepercayaan masyarakat

bagi industri perbankan adalah segalanya

(Hikmahanto Juwana, 2002).

Sehubungan dengan semakin meluasnya usaha bank maka bank senantiasa membuat terobosan yang menciptakan produk baru demi memenuhi kebutuhan nasabah namun harus selalu memegang prinsip kehati-hatian dalam perbankan. Sentosa Sembiring (2008) menyatakan:

Apabila dicerna layanan jasa yang diberikan oleh bank sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 6 di atas, tampak usaha bank semakin luas, dalam arti tidak hanya memberi kredit. Untuk itu pengelola bank harus melakukan terobosan dalam memberikan layanan jasa perbankan, tidak hanya bersifat pasif akan tetapi harus bersifat aktif namun tidak menyimpang dari asas pengelolaan bank yakni prinsip kehati-hatian (prudential banking).

Prinsip kehati-hatian pada perbankan pada umumnya diwujudkan dengan rangkaian dari ketentuan yang dibuat bank dengan tujuan untuk menghindari risiko dan memberikan perlindungan hukum bagi nasabah bank. Kamus Hukum Lengkap (2012) menjelaskan bahwa pelaksanaan prinsip kehati-hatian bank untuk meminimalkan risiko usaha operasional bank dengan berpedoman kepada ketentuan bank sentral dan ketentuan intern bank (prudential banking).

Hermansyah (2006) menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian mengharuskan pihak bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus selalu

konsisten dalam melaksanakan peraturan

perundang-undangan di bidang perbankan

berdasarkan profesionalisme dan iktikad baik.

Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) UU No. 10 Tahun 1998, segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegaitan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum

(Hermansyah, 2006). Selain itu, bank wajib untuk

menganut prinsip kehati-hatian dalam

menyelenggarakan kegiatan usahanya karena bank adalah suatu lembaga keuangan yang rentan terhadap berbagai jenis risiko. Jonker Sihombing (2011) mengemukakan bahwa:

“Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan berbagai jenis risiko, dan sebuah bank harus dapat survive di tengah- tengah risiko tersebut. Oleh karena itu bank harus dapat mencapai target-target yang diamanatkan pemegang saham di tengah-tengah risiko yang ada. Prinsip kehati-hatian (prudential baking practices) merupakan acuan yang harus senantiasa dipegang banker dalam menjalankan kegiatan bank yang dipimpinnya.”

Kewajiban untuk menerapkan prinsip

kehati-hatian tersebut nampak dalam ketentuan

Pasal 2 UU Perbankan yang menyatakan

“Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya

berasaskan demokrasi ekonomi dengan

menggunakan prinsip kehati-hatian” serta Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan yang menyebutkan bahwa Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegitan usaha dengan prinsip kehati-hatian (Mulhadi, 2006). Prinsip kehati-hatian menuntut pihak bank untuk senantiasa bersikap hati-hati (prudent) dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya demi melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya (Rachmadi Usman, 2001).

Panourgias dalam bukunya yang berjudul Banking Regulation and World Trade Law (2006) mengemukakan ruang lingkup dari terminologi

kehati-hatian dalam perbankan. Pertama,

perlindungan nasabah penyimpan, peserta pasar uang, investor, pembuat kebijakan serta orang yang dikenai kebijakan, atau kepada siapa fiduciary duty dihutangkan oleh lembaga keuangan atau penyedia jasa keuangan lintas batas. Kedua, pemeliharaan terhadap safety, soundness, integritas atau tanggung jawab keuangan dari lembaga keuangan atau penyedia jasa keuangan lintas batas. Ketiga, pejaminan atas integritas dan stabilitas dari sistem keuangan para pihak.

Tanggung Gugat Bank atas Kerugian Nasabah Penyimpan

Agus Yudha Hernoko yang dikutip Siti Kotijah (2011) menyatakan bahwa tanggung gugat

adalah suatu rangkaian untuk menanggung

kerugian yang diakibatkan karena kesalahan atau resiko. Dasar pengaturan tanggung gugat di

(7)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 177

Indonesia terdapat di dalam Pasal 1365 BW yang

menentukkan bahwa, “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan

kerugian itu karena kesalahannya untuk

menggantikan kerugian tersebut.” Ketentuan dalam Pasal 1365 BW inilah yang menjadi dasar tanggung gugat seseorang kepada orang lain yang telah ia rugikan akibat perbuatannya.

Menurut Abdulkadir Muhammad (2000), seseorang dapat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum manakala tindakannya telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut:

1. perbuatan itu harus melawan hukum

(onrechmatige);

2. perbuatan itu harus dilakukan dengan

kesalahan;

3. perbuatan itu harus menimbulkan kerugian;

4. antara perbuatan dan kerugian yang timbul

harus ada hubungan kausal.

Unsur-unsur di atas bersifat kumulatif, artinya agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, maka keseluruhan dari unsur- unsur tersebut harus dipenuhi. Apabila salah satu saja dari seluruh unsur tersebut tidak terpenuhi, maka perbuatan tersebut tidak dapat dinyatakan sebagi suatu perbuatan melawan hukum. Penjelasan atas masing-masing unsur tersebut di atas adalah sebagai berikut:

1) Adanya suatu perbuatan yang melanggar hukum

Pada mulanya, pengertian perbuatan melawan hukum hanya diartikan secara sempit, yaitu terbatas pada perbuatan yang melanggar undang-undang saja.

Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Abdulkadir dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan (1990) bahwa:

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Belanda

(hoge raad) sebelum tahun 1919 mengartikan

perbuatan melawan hukum itu sebagai: “suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain atau jika orang berbuat bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri” Dalam rumusan ini harus

diperhatikan hak dan kewajiban hukum

berdasarkan undang-undang (wet). Jadi, perbuatan itu harus melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang diberikan oleh undang-undang, dengan

demikian, melanggar hukum sama dengan

melanggar undang- undang (onwet matig). Akibat tafsiran yang sempit itu banyak kepentingan orang dirugikan tetapi tidak dapat menuntut apa-apa.

Namun, setelah adanya Arrest Hoge Raad 1919

dalam yurisprudensi kasus Lindenbaum v. Cohen

muncul pengertian perbuatan melawan hukum yang lebih luas. Rumusan suatu perbuatan melanggar hukum tersebut diperluas meliputi:

a. Perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain;

b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si

pelaku;

c. Bertentangan dengan kesusilaan; atau

d. Bertentangan dengan sikap berhati-hati,

sebagaimana patutnya dalam masyarakat

terhadap diri atau barang orang lain.

Melalui pengertian perbuatan melawan hukum di atas, nampak bahwa perilaku seseorang yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya adalah

suatu bentuk perbuatan melanggar hukum.

Manakala dihubungkan dengan kasus hilangnya simpanan nasabah penyimpan dari rekening tabungan, sejatinya unsur adanya perbuatan melanggar hukum jelas terpenuhi. Perbuatan bank yang menyebabkan hilangnya saldo nasabah

penyimpan dari rekening tabungan adalah

bertentangan dengan kewajiban hukum bank

sebagaimana telah penulis paparkan dalam

pembahasan sebelumnya.

Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan, bank wajib untuk senantiasa

menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential

banking) dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Ketentuan mengenai kewajiban bank untuk senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan usaha merupakan kewajiban bank untuk tidak merugikan kepentingan nasabah penyimpan dana (T.P. Usanti dan Abdul Shomad, 2016). Dengan demikian, adanya kerugian yang diderita oleh nasabah penyimpan jelas bertentangan dengan kewajiban bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian.

Kewajiban hukum bagi pihak bank untuk menjaga simpanan nasabahnya tertuang secara lebih eksplisit di dalam Pasal 25 POJK 1/2013 yang menyebutkan bahwa bank sebagai pelaku usaha jasa keuangan untuk menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset nasabah penyimpan selaku konsumen yang berada dalam tanggung jawab bank. Hilangnya simpanan dari rekening tabungan nasabah penyimpan jelas bertentangan dengan kewajiban bank tersebut.

2) Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan

Kesalahan adalah perbuatan dan akibat-akibat yang dapat dipertanggung jawabkan kepada diri si pelaku (R. Setiawan, 1999). Dalam konsep hukum, dikenal terdapat 2 (dua) bentuk kesalahan. Yakni, kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) maupun kesalahan yang berbentuk kesengajaan

(culpa). Dalam hal aspek kesalahan terdapat

perbedaan antara hukum perdata dengan hukum pidana. Dalam hukum pidana ada atau tidaknya unsur kesengajaan dan kelalaian dapat berpengaruh terhadap besarnya sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku.

Sedangkan, dalam konsep hukum perdata baik unsur kesengajaan maupun unsur kelalaian tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya ganti kerugian yang harus ditanggung oleh pelaku. Hal ini sejalan dengan Pasal 1366 BW yang menentukan, “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan

(8)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 178

perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian

yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.” Namun, besarnya ganti kerugian lebih bergantung kepada besar kerugian yang timbul akibat perbuatan pelaku tersebut.

Sejalan dengan hal tersebut, L. J. Apeldoorn mengemukakan bahwa kesalahan terjadi apabila pelaku tidak mengingikan timbulnya akibat yang terjadi, tetapi ketika melakukan perbuatan tidak mengupayakan kehati-hatian yang diperlukan sehingga akibat yang tidak diinginkan dan dapat diperkirakan akan terjadi. Adapun kesalahan yang dilakukan oleh bank adalah tidak bersikap hati- hati dalam melakukan kegiatan usahanya sehingga menyebabkan hilangnya dana nasabah penyimpan dari rekening tabungan. Padahal, resiko tersebut seharusnya dapat diperkirakan dan dicegah oleh

bank melalui aktivitas manajemen resiko.

Kewajiban bank untuk melakukan manajemen resiko telah diatur di dalam Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan Nomor 18/POJK.03/2016 tentang

Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

3) Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian

Unsur kerugian merupakan unsur penting dalam menentukan ada tidaknya perikatan yang lahir dari undang-undang sebagai perbuatan melawan hukum. Pasal 1131 BW mengatur, “Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.”

Ketentuan tersebut sejalan dengan

pengertian dari perikatan itu sendiri sebagai suatu hubungan hukum yang letaknya dalam hukum harta kekayaan, di mana pihak kreditur berhak atas suatu prestasi dan pihak debitur wajib bertanggungjawab atas prestasi. Sehingga, perikatan yang lahir dari undang- undang pun akan melahirkan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan.

Sehubungan dengan hal ini Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja (2003) mengemukakan, “setiap perikatan, baik yang terwujud dalam prestasi untuk memberikan sesuatu, tidak hanya perikatan yang lahir dari perjanjian, melainkan juga perikatan yang lahir dari undang-undang membawa pada kewajiban untuk mengganti dalam bentuk biaya, rugi, dan bunga.”

Besarnya kerugian yang harus diganti dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum oleh pelaku adalah berupa penggantian kerugian yang terdiri atas komponen biaya, rugi, dan bunga. Hal ini sebagaimana telah ditentukan oleh Pasal 1246 BW, “Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya, tanpa mengurangi pengecualian dan perubahan yang disebut di bawah ini.”

Pada dasarnya dikenal 2 (dua) macam jenis kerugian, yakni kerugian materiil dan kerugian immateriil. Kerugian materiil adalah kerugian yang

dapat dinilai dengan uang serta kerugian

immateriil, yakni kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang. Moegni (1982) mengemukakan bahwa kerugian materiil atau disebut juga sebagai

kerugian kekayaan (vermogenschade) adalah

meliputi kerugian yang diderita korban serta keuntungan yang diharapkan untuk diterima. Sedangkan, kerugian immateriil atau kerugian idiil merupakan suatu kerugian moril seperti terkejut, sakit, ketakutan, dan kehilangan kesenangan hidup.

Dalam kasus hilangnya simpanan nasabah penyimpanan dari rekening tabungan akibat kesalahan bank, jelas terdapat kerugian materiil berupa jumlah simpanan yang hilang serta bunga yang seharusnya dapat diterima nasabah penyimpan dari jumlah simpanan yang hilang.

4) Ada hubungan kausal antara perbuatan dan

kerugian

Hal ini berarti harus terdapat hubungan sebab akibat (causaliteit) antara perbuatan yang dilakukan oleh pelaku dengan kerugian yang diderita oleh korban agar pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Sejauh ini telah berkembang beberapa teori kausalitas, di antaranya sebagai berikut:

a.

Teori Condition Sine Quanon

Teori Condition Sine Quanon ini

dikemukakan oleh Von Buri dan pada pokoknya menyatakan bahwa suatu hal adalah sebab dari suatu akibat. Dalam pandangan teori ini, suatu akibat terjadi sebagai manifestasi dari serangkaian sebab yang saling berkaitan satu dengan lainnya (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003).

Adami Chazawi (2002) dalam bukunya menyatakan kelemahan dari Teori Condition Sine

Quanon, yaitu pandangan ini tidak membedakan

antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan ketidakadilan. 41 Jadi, dalam Teori Conditio Sine Quanon setiap peristiwa dapat dianggap sebagai sebab dari suatu akibat tanpa perlu adanya faktor yang menurut perhitungan yang

wajar dan kebiasaan yang berlaku dapat

menimbulkan akibat. Asalkan ada kaitannya dalam rangkaian peristiwa yang menimbulkan akibat, maka semua peristiwa dapat dianggap sebagai faktor penyebab.

b.

Teori Adequate Veroorzaking

Berbeda halnya dengan Teori Condition Sine

Quanon oleh Von Buri, teori ini menyatakan bahwa

suatu akibat baru dapat dikatakan terjadi manakala dikarenakan oleh suatu sebab, yang menurut pengalaman manusia adalah suatu

sebab yang dapat dikira-kira terlebih dahulu, bahwa dengan terjadinya suatu hal yang merupakan sebab tersebut, akan terjadi akibat yang bersangkutan (Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003).

Teori Adequate Veroorzaking dalam mencari sebab dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan akibat yang timbul akan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman manusia pada

(9)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 179

umumnya dapat menimbulkan akibat tersebut

(Adami Chazawi, 2002).43Oleh karena itu, teori kausalitas yang dipergunakan saat ini adalah teori Adequate Veroorzaking, sedangkan teori Condition Sine Quanon tidak lagi dipergunakan dalam praktek.

Berdasarkan teori Adequate Veroorzaking, adanya kerugian pada nasabah jelas dapat ditarik sebagai akibat yang wajar dari hilangnya simpanan milik nasabah penyimpan dari rekening tabungan.

Kerugian tersebut disebabkan oleh belum

maksimalnya pelaksanaan prinsip kehati-hatian serta manajemen resiko yang dilakukan oleh bank. Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa nasabah penyimpan dapat mengajukan gugatan ganti rugi atas hilangnya simpanan dari rekening tabungan yang disebabkan oleh kesalahan Bank.

Dalam mengkaji persoalan mengenai

tanggung gugat bank terhadap kerugian yang diderita nasabah penyimpan, perlu juga dipahami pula ketentuan Pasal 1367 BW yang menentukan bahwa:

“Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.

Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali.

Majikan dan orang yang mengangkat orang lain

untuk mewakili urusan- urusan mereka,

bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu.

Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasannya. Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana meneka seharusnya bertanggung jawab.”

Lebih khususnya dalam bidang layanan jasa keuangan, terdapat ketentuan Pasal 29 POJK No. 1/2013 yang menyebutkan bahwa “Pelaku Usaha Jasa Keuangan wajib bertanggung jawab atas kerugian Konsumen yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, pengurus, pegawai Pelaku Usaha Jasa Keuangan dan/atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan Pelaku Usaha Jasa Keuangan.”

Ketentuan Pasal 1367 ayat (3) BW jo. Pasal 29 POJK No. 1/2013 merupakan dasar penerapan doktrin Vicarious Liability dalam kasus perbankan. Penerapan doktrin Vicarious Liability

adalah dasar tanggung gugat bank atas kerugian nasabah yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pegawai bank.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab-bab

sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa hubungan hukum antara bank dan nasabah

penyimpan didasarkan pada perjanjian

penyimpanan yang berbentuk perjanjian dengan klausula baku. Meskipun demikian, hak-hak maupun kewajiban masing-masing pihak tidak boleh dibatasi hanya terbatas pada substansi perjanjian tersebut. Sebab, klausula baku dalam perjanjian penyimpanan tersebut kerap merugikan konsumen. Maka dari itu, hubungan nasabah dan bank harus pula dipandang sebagai hubungan antara pelaku usaha dan konsumen yang didasari atas peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen.

Bank bertanggung gugat atas hilangnya simpanan milik nasabah penyimpan dari rekening tabungan. Bilamana nasabah tidak memilih atau gagal menempuh penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh OJK, nasabah penyimpan dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas dasar pelanggaran kewajiban pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam Pasal 2 jo. Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan serta Pasal 25 POJK 1/2013.

Berdasarkan pada kesimpulan tersebut, maka dapat disarankan mengingat hubungan antara nasabah penyimpan dan bank didasari atas klausula baku, maka harus terdapat pengaturan khusus dari pemerintah maupun OJK terkait dengan batasan-batasan penggunaan klausula baku dalam perjanjian penyimpanan.

5. DAFTAR PUSTAKA

Fibrian, Nurul. Konsumen dalam Penyelesaian

Sengketa Konsumen Melalui Jalur Ligasi.

Jurnal Hukum Acara Perdata ADHAPER. Vol. 1 No. 1. Januari-Juni 2015.

Fuady, Munir. 2003. Hukum Perbankan Modern.

Bandung: Citra Aditya Bakti.

Hermansyah. 2014. Hukum Perbankan Nasional

Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta:

Prenadamedia Group.

Juwana, Hikmahanto. 2002. Bunga Rampai Hukum

Ekonomi dan Hukum Internasional,

Cetakan ke-1. Jakarta: Lentera Hati. Kotijah, Siti. Tanggung Gugat Hukum Perusahaan

Akibat Pengelolaan Pertambangan

Batubara. Yuridika. Volume 26 No 3, September-Desember 2011 (Agus Yudha,

Kuliah Teori-teori Tanggung Jawab

Hukum dan Tanggung Gugat, tanggal 25 Oktober 2010, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga).

(10)

P.ISSN.2527-4295 Vol.8 No.2 Edisi Mei 2020

Jurnal Education and development Institut Pendidikan Tapanuli Selatan

Hal. 180

Marbun, Rocky, et. al. 2012. Kamus Hukum

Lengkap: Mencakup Istilah Hukum &

Perundang-undangan Terbaru. Jakarta:

Transmedia Pustaka.

Sembiring, Sentosa. 2008. Hukum Perbankan.

Bandung: Mandar Maju.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan

Berkontrak dan Perlindungan yang

Seimbang Bagi Para Pihak dalam

Perjanjian Kredit Bank di Indonesia.

Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

Sihombing, Jonker. 2011. Butir-Butir Hukum

Perbankan. Bekasi: Red Carpet Studio. Subekti, R. 1964. Hukum Perjanjian, Cetakan ke-5.

Jakarta: Intermasa.

Tutik, Titik Triwulan. 2006. Pengantar Hukum

Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Usman, Rachmadi. 2001. Aspek-Aspek Hukum

Perbankan di Indonesia. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Usanti, Trisadini Prasastinah. 2013. Prinsip

Kehati-Hatian pada Transaksi Perbankan.

Surabaya: Airlangga University Press.

Usanti, Trisadini P., Shomad, Abdul. 2016. Hukum

Perbankan. Kencana.

Marulak Pardede, Likuidasi Bank dan

Perlindungan Nasabah, Sinar Harapan,

Jakarta, 1998.

Fatimah Chalim, Hubungan Hukum Antara Bank Dan Nasabah Penyimpan Dana Menurut

Undang-Undang Perbankan, Lex Et

Societatis Vol. V, No. 9, November 2017, h. 122.

Referensi

Dokumen terkait

*Setiap pelajar diminta membuat temujanji untuk sesi mentor-mentee sekali setiap bulan.. PENYELARAS TAHUN 1 :

Sehingga masalah yang dibahas dalam laporan tugas akhir ini adalah bagaimana Fakultas Sastra melakukan SOP (Standard Operating Procedures) dalam pelayanan-pelayanannya baik itu

27 Hak atas tanah seluas sekitar 151,9 dan 148,8 hektar masing- masing pada 31 Desember 2008 dan 2007 adalah berupa Hak Guna Bangunan (HGB) atas nama Perusahaan dan perusahaan anak

Peraturan Badan Penyelenggara aminan Sosial Ketenagakerjaan Nomor 01 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pendaftaran Kepesertaan Bagi Pemberi Kerja Dan Pekerja Penerima

HSV-2 Infection adalah infeksi pada genital dan dapat menyebabkan infeksi pada bayi pada waktu proses kelahiran.Sebagian besar bayi mendapat infeksi HSV-2 pada ibu hamil

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan limbah rumah tangga dan tingkat kesadaran masyarakat sekitar bantaran Sungai Mahakam terhadap kebersihan

f) Berdasarkan hasil Matriks Strategi Besar diperoleh alternatif strategi yaitu Diversifikasi Terkait dan Diversifikasi Tak Terkait. Tahap keputusan terdiri dari Matriks

Sebanyak 33 Quantitative Trait Loci (QTL) untuk karakter toleransi cekaman Al telah teridentifikasi pada ke-12 kromosom tanaman padi (Wu at. , 2000) dan QTL pada