• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filipina versus Tiongkok dalam Arbitrase Internasional di Laut Tiongkok Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Filipina versus Tiongkok dalam Arbitrase Internasional di Laut Tiongkok Selatan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Babak Baru Sengketa Laut Tiongkok Selatan

Filipina versus Tiongkok

dalam Arbitrase Internasional di Laut Tiongkok Selatan

oleh

Kresno Buntoro, SH, LL.M, Ph.D Laksamana Pertama TNI

Kadiskum AL/Arbitrator/Konsiliator Hukum Laut di PBB

Sengkata Laut Tiongkok Selatan memasuki babak baru dengan diajukan sengketa masalah klaim wilayah ke Mahkamah Arbitrase di Den Haag, Belanda. Filipina pada bulan Januari 2013 telah secara resmi membawa sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan ke badan arbitrase internasional. Sengketa politik telah dihentikan dan memasuki babak baru yaitu penyelesaian secara hukum. Persoalan yang mengemuka adalah apakah penyelesaian secara hukum dapat menjadi kunci jawaban terhadap sengketa wilayah ini, selanjutnya apakah penyelesaian hukum dapat menciptakan keadilan bagi negara-negara yang bersengketa. Selanjutnya apakah penyelesaian secara hukum dapat meredam dan menciptakan stabilitas keamanan di kawasan. Mungkin sangat jauh jika penyelesaian secara hukum dapat memenuhi beberapa pertanyaan di atas, akan tetapi dapat diyakini bahwa Filipina telah mencoba prosedur/mekanisme lain untuk menyelesaiakan sengketa di Laut Tiongkok Selatan.

Persoalan Laut Tiongkok Selatan merupakan persoalan yang melibatkan banyak negara claimant antara lain: Tiongkok (RRT), Taiwan, Brunei, Malaysia, Vietnam, Filipina. Selain itu banyak negara mempunyai kepentingan terkait dengan Laut Tiongkok Selatan baik negara yang berbatasan langsung maupun negara yang tidak berbatasan dengan laut dimaksud. Sehingga dapat diyakini bahwa mekanisme penyelesaian akan sangat kompleks dan memerlukan pemahaman yang sama antar negara-negara yang bersengketa dan juga negara-negara yang mempunyai kepentingan di Laut Tiongkok Selatan.

Anatomi Sengkata Laut Tiongkok Selat

Sengketa Laut Tiongkok Selatan dapat dipahami terdiri dari 2 hal fundamental yaitu permasalahan kepemilikan pulau/karang/bentukan geografis dan permasalahan garis batas maritim. Untuk menyelesaian sengketa tersebut semestinya didekati dengan metode yang berbeda. Persoalan kepemilikan pulau/karang/bentukan geografis akan muncul pertanyaan siapa pemilik pulau tersebut, bagaimana status kepemilikan pulau, dan kepemilikan tersebut diatur oleh hukum internasional yang sudah baku antara lain bagaima cara perolehan wilayah tersebut. Dalam hukum internasional cara memperoleh wilayah dapat dilihat dari 4 cara antara lain: prescription yaitu perolehan wilayah melalui pendudukan dalam jangka waktu tertentu (lama) secara damai tanpa digugat oleh pihak manapun dan di wilayah tersebut

diselenggarakan administrasi pemerintahan dengan melibatkan masyaratkannya;

conquest/annexation yaitu perolehan wilayah melalui cara penaklukan secara paksa, pada saat ini cara conquest tidak dibenarkan dalam hukum internasional; cessie yaitu perolehan wilayah negara melalui perjanjian antar negara dimana perjanjian tersebut diatur tentang

penyerahan wilayah negara; accretion, yaitu perolehan wilayah negara yang disebabkan oleh

alam atau perobahan geografis wilayah menjadi luas karena fenomena alam. Dalam

1

(2)

sengketa di Laut Tiongkok Selatan, masing- masing negara claimant membuat dalil-dalil tersendiri terkait kepemilikan pulau/karang/bentukan geografis lainnya.

Permasalahan kedua adalah terkait persoalan garis batas maritim, dalam permasalahan ini akan muncul beberapa pertanyaan antara lain: dimana garis batas maritim di Laut Tiongkok Selatan; apa jenis garis batas tersebut yaitu garis batas laut teritorial, garis batas ZEE atau garis batas landas kontinen; penentuan garis batas maritim termasuk prosedur, tata cara, dan mekanisme penentuan garis batas maritim diatur secara khusus dalam hukum internasional dan garis batas maritim tersebut harus disetujui oleh para pihak ataupun ditentukan oleh badan peradilan internasional. Dalam kasus sengeketa Laut Tiongkok Selatan negara-negara claimant cenderung menarik garis batas secara sepihak dan tidak didasarkan pada hukum internasional yang sudah baku.

Permasalahan kepemilikan features geografis dan permasalahan batas maritim merupakan permasalahan yang berbeda, akan tetapi permasalahan tersebut sangat terkait. Penentuan kepemilikan pulau/karang/bentukan geografis lainnya akan sangat menentukan dimana batas maritim suatu negara. Hal ini disebabkan dari pulau/karang/bentukan geografis tersebut zona maritim dan bata maritim suatu negara dapat ditentukan. Hukum internasional

dengan tegas menyatakan “land dominated seas” bahwa pulau/karang/bentukan geografis

harus ditentukan terlebih dahulu, dan selanjutnya batas maritim dapat ditentukan.

Sengketa Laut Tiongkok Selatan muncul permasalahan kepemilikan

pulau/karang/bentukan alamiah yang diperebutkan oleh negara claimant, serta permasalahan batas maritim yang tidak hanya diperebutkan oleh negara claimant akan tetapi akan berpengaruh kepada negara lain contohnya Indonesia. Oleh karena itu penentuan kepemilikan pulau/karang/bentukan alamaih harus ditentukan terlebih dahulu, selanjutnya akan ditentukan batas maritim melalui perjanjian ataupun mekanisme lainnya. Persoalan selanjutnya adalah apakah negara boleh menentukan wilayah laut tanpa menentukan features geografis yang ada di dalamnya. UNCLOS 1982 tidak mengatur kondisi yang seperti itu, UNCLOS 1982 hanya mengatur tentang historical bays saja. Akan tetapi dalam literature hukum internasional diatur tentang historical title terhadap perairan, walaupun tidak muncul dalam ketentuan UNCLOS 1982.

Mekanisme Penyelesaian Secara Damai

Hukum Internasional (Piagam PBB dan UNCLOS 1982) menegaskan bahwa setiap perselisihan antara negara wajib diselesaikan secara damai. Mekanisme penyelesaian sengketa secara damai dapat ditempuh diluar persidangan ataupun di dalam persidangan. Mekanisme penyelesaian sengketa di luar persidangan dapat ditempuh antara lain: negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan beberapa mekanisme lainnya. Sedangkan penyelesaian sengketa secara persidangan dapat ditempuh melalui mahkamah internasional ataupun badan arbitrase.

UNCLOS 1982 telah mengatur secara komprehensif mekanisme penyelesaian sengketa yaitu Bab XV dan Lampiran V, VI, VII dan VIII Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Negara yang bersengketa dihimbau untuk menggunakan mekanisme secara sukarela yaitu mekanisme yang disepakati para pihak, mekanisme regional, dan konsilias, akan tetapi apabila tidak tercapai dapat ditempuh melalui mekanisme compulsory procedure entailing binding decisions yang membatasi pemilihan mekanisme pada 4 cara yaitu Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ), Mahkamah Hukum Laut (International Tribunal for the Law of the Sea/ITLOS), mahkamah arbitrase, dan mahkamah spesial arbitrase. Yurisdiksi yang dapat dimiliki mahkamah yang dibentuk hanya terkait pada “penafsiran dan penerapan ketentuan dalam UNCLOS. Selain itu negara-negara

(3)

diperbolehkan untuk membuat deklarasi tentang pemberlakuan sistem penyelesian sengketa ini khususnya tentang pasal 15, 74 dan 83 UNCLOS tentang pemberlakuan batas maritim, hak kesejarahan, dan hak-hak tradisional; sengketa tentang aktivitas militer, dan sengketa terkait dengan peran Dewan Keamanan PBB. Negara Tiongkok, Filipina, Malaysia, Thailand, Korea Selatan, dan Australia merupakan negara di kawasan yang menggunakan hak deklarasi ini.

Penyelesaian sengketa melalui mekanisme yang diatur dalam UNLCOS 1982 mempunyai keterbatasan yurisdiksi yaitu hanya pada persoalan penafsiran dan penerapan ketentuan UNCLOS 1982. Keterbatasan ini tentu saja akan membawa konsekuensi dalam penyelesaian sengketa yang mengandung status kepemilikan feature geografis dan batas maritim seperti sengketa Laut Tiongkok Selatan. Penyelesaian sengketa terkait status kepemilikan pulau/karang biasanya diselesaikan melalui negosiasi ataupun Mahkamah Internasional.

Mekanisme penyelesaian yang diatur dalam UNCLOS 1982 ini dapat dikatakan merupakan mekanisme yang sangat kompleks antara lain mengkomodasikan penyelesaian

secara damai melalui mekanisme sukarela (voluntary) sebagaimana dianut dalam Piagam

PBB, akan tetapi UNCLOS 1982 mengatur juga mekanisme yang mengikat (compulsory

procedure). Selain itu negara-negara diperbolehkan untuk membuat deklarasi yang tidak terikat pada penyelesaian yang mengikat tersebut. Oleh karena itu mekanisme penyelesaian ini sangat kompleks dan mengharuskan negara-negara untuk mempelajari dan memahami prosedur ini. Seperti dalam hukum nasional, penyelesaian sengketa dalam hukum internasional harus pula memperhatikan hukum acara (rule of procedure), hukum material (element of crimes/subjects/mattes), dan pendanaan (budgeting). Ketiga unsur ini harus diperhatikan secara mendalam sebelum suatu negara membawa sengketa/kasus ke mekanisme penyelesaian sengketa secara internasional.

Mahkamah Arbitrase Filipina versus Tiongkok

Berdasarkan pasal 287 dan Lampiran VII UNCLOS, Filipina menempuh mekanisme sistem putusan mengikat dengan mengajukan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan ke Mahkamah Arbitrase pada 23 Januari 2013 melalui Nota Diplomatik Filipina No. 13-0211. Filipina mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Arbitrase antara lain:

1) Pernyataan bahwa hak-hak RRT di wilayah maritim Laut China Selatan diatur

oleh UNCLOS 1982 yang terdiri dari hak atas laut wilayah dan zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen;

2) Pernyataan bahwa klaim maritim RRT di Laut China Selatan berdasarkan nine

dash line tidak memiliki dasar hukum dan bertentangan dengan UNCLOS 1982;

3) Meminta RRT untuk mengharmonisasikan hukum nasionalnya sesuai dengan

ketentuan UNCLOS 1982;

4) Menyatakan Mischief Reef dan McKennan Reef sebagai fitur di bawah

permukaan laut dari landas kontinen Filipina sesuai ketentuan Bab VI UNCLOS 1982 serta seluruh pendudukan dan kegiatan pembangunan di fitur tersebut melanggar hak berdaulat Filipina;

5) Meminta RRT untuk mengakhiri pendudukannya di Mischief Reef dan

(4)

6) Menyatakan Gaven Reef dan Subi Reef sebagai fitur di bawah permukaan Laut China Selatan yang tidak muncul di permukaan laut pada saat laut pasang, bukan merupakan pulau menurut UNCLOS 1982 dan tidak merupakan bagian landas kontinen RRT, serta menyatakan seluruh pendudukan dan kegiatan pembangunan RRT di fitur tersebut melawan hukum;

7) Meminta RRT untuk menghentikan pendudukan dan kegiatannya di Gaven Reef

dan Subi Reef;

8) Menyatakan Scarborough Shoal, Johnson Reef, Cuarteron Reef dan Fiery

Cross Reef sebagai fitur di bawah permukaan laut di saat laut pasang, kecuali salah satu fitur tersebut yang terlihat berada di atas permukaan saat laut pasang, dikategorikan sebagai “karang” menurut Pasal 121 ayat 3 UNCLOS 1982 yang hanya memiliki batas laut wilayah seluas 12 mil laut; dan menyatakan RRT telah secara melawan hukum mengklaim kepemilikan wilayah lebih dari 12 mil laut dari fitur tersebut;

9) Meminta RRT menahan diri untuk tidak menghalang-halangi kapal Filipina

dalam mengeksploitasi sumber daya hayati secara berkesinambungan di perairan sekitar Scarborough Shoal dan Johnson Reef, dan tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982 di perairan sekitar fitur tersebut;

10) Menyatakan Filipina berhak atas laut wilayah sejauh 12 mil laut, zona ekonomi

eksklusif sejauh 200 mil laut, dan landas kontinen, sesuai dengan ketentuan Bab II, V, dan VI UNCLOS 1982, diukur dari garis pangkal kepulauan Filipina;

11) Menyatakan RRT telah melawan hukum mengklaim dan mengeksploitasi

sumber daya hayati dan non-hayati di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen

Filipina, serta telah melawan hukum menghalang-halangi Filipina untuk

mengeksploitasi sumber daya hayati dan non-hayati di dalam zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya;

12) Menyatakan bahwa RRT telah melawan hukum turut campur dalam

pelaksanaan hak pelayaran Filipina dan hak-hak lainnya sesuai UNCLOS 1982 di dalam dan di luar 200 mil laut garis pangkal kepulauan Filipina; dan

13) Meminta RRT menghentikan kegiatan-kegiatannya yang melawan hukum.

Republik Rakyat Tiongkok (RRT/Negara Tiongkok) pada tanggal 19 Februari 2013 dan 1 Agustus 2013 menyatakan bahwa tidak setuju dengan proses arbitrase dan tidak akan ikut dalam proses persidangan Mahkamah Arbitrase yang dibentuk. Tiongkok tidak setuju dengan

penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase disebabkan dalam Declaration of Conduct (DOC)

para negara claimant telah sepakat untuk menyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan akan diselasaikan melalui mekanisme negosiasi antar para pihak ataupun dengan forum ASEAN. Oleh karena itu Tiongkok tidak akan berpartisipasi ataupun ikut dalam Mahkamah Arbitrase. Ketidakhadiran pihak dalam suatu sengketa dalam mahkamah arbitrase dapat diperbolehkan sesuai Pasal 3 (c dan e) Lampiran VII UNCLOS. Walaupun tidak hadir dalam persidangan, Tiongkok tetap mempunyai hak-hak untuk mengikuti dan menerima setiap perkembangan persidangan. Selain itu hak-hak pihak yang tidak hadir tetap harus dipertimbangkan dan dihormati dalam proses persidangan.

Berdasarkan Pasal 9 Lampiran VII UNCLOS disebutkan bahwa ketidakhadiran pihak dalam suatu penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Arbitrase tidak menghentikan proses penyelesaian. Akan tetapi sebelum mengambil keputusan nantinya, mahkamah arbitrase

(5)

harus yakin bahwa mahkamah tersebut mempunyai yurisdiksi terhadap kasus yang diajukan dan tuntutannya dapat ditemukan baik secara fakta maupun hukum. Pada tanggal 11 Juli 2013, Mahkamah Arbitrase terbentuk dan telah mengadakan rapat untuk menentukan

mekanisme pelaksanaan (rule of procedure) dan kerangka waktu persidangan.

Filipina menunjuk Rudiger Wolfrum sebagai Arbiternya, sedangkan Tiongkok karena tidak akan ikut proses arbitrase maka berdasarkan Pasal 3 (c) Lampiran VII UNCLOS menunjuk Hakim ITLOS dalam hal ini Thomas Mensah (Presiden ITLOS) untuk mewakili posisi Tiongkok. Adapun 3 hakim lainnya yaitu: Jeanne-Pierre Cot, Stanilaw Pawlak, dan Alfred Soons.

Pada tanggal 7 Desember 2014, Tiongkok menerbitkan Kertas Posisi (position paper)

terkait dengan klaim arbitrase Filipina. Apabila dicermati kertas posisi Tiongkok, terdapat beberapa yang hal penting antara lain:

1) Mahkamah Arbitrase tidak memiliki yurisdiksi karena permasalahan yang

diajukan Filipina adalah masalah kedaulatan yang berada di luar lingkup UNCLOS.

2) Tiongkok pada 25 Agustus 2006 telah menyampaikan deklarasi yang

mengecualikan yurisdiksi dispute settlement UNCLOS untuk permasalahan delimitasi

berdasarkan Pasal 298 UNCLOS.

3) Filipina dan RRT telah sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara

bilateral

Pada tanggal 5 Desember 2014, Vietnam menyampaikan pernyataan kepada Mahkamah Arbitrasi mengenai proses arbitrase di Laut Tiongkok Selatan yang terkait dengan kepentingan Vietnam. Selanjutnya juru bicara Kementerian Luar Negeri Vietnam mengemukan bahwa Vietnam meminta kepada Mahkamah Arbitrase untuk memperhatikan hak dan kepentingan Vietnam di Laut Tingkok Selatan. Intervensi Vietnam ini membawa babak baru dalam Mahkamah Arbitrasi dan menambah kompleksnya penyelesaiannya. Vietnam yang merupakan salah satu negara claimant mempunyai hak untuk menyampaikan kepentingannya dalam proses penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase. Selanjutnya langkah yang ditempuh oleh Vietnam diyakini akan mendorong negara-negara yang mempunyai kepentingan melakukan hal yang sama.

Adanya intervensi dari Vietnam dan ketiadaan posisi Negara Tiongkok secara formal, membuat Mahkamah Arbitrase membuat beberapa keputusan terkait dengan aturan prosedural beracara, antara lain pada tanggal 17 Desember 2014, Mahkamah Arbitrasi memutuskan antara lain:

1) Meminta Filipina untuk memberikan argumen tertulis tambahan hingga 15 Maret

2015.

2) Memberikan kesempatan bagi RRT untuk menanggapi argumen Filipina hingga

16 Juni 2015.

3) Terkait pernyataan Vietnam, Arbitral Tribunal memerlukan konsultasi dengan

Filipina dan RRT

Proses selanjutnya yang dapat ditempuh oleh Mahkamah Arbitrase yaitu mendengarkan

posisi Filipina dan RRT, mahkamah arbitrase dapat meminta written submission dan

mengadakan hearing, mengundang/mendengarkan pendapat para ahli, serta site visit bila

(6)

tahun 2016. Hal ini untuk menghidari perubahan politik di Philipina karena akan mengadakan pemilu.

Implikasi bagi Indonesia

Perubahan penyelesaian sengketa Laut Tiongkok Selatan akan berpengaruh terhadap Indonesia. Hal ini disebabkan kemungkinan putusan Mahkamah Arbitrase: 1) Mahkamah Arbitrase memutuskan tidak memiliki yurisdiksi atas klaim yang diajukan Philipina; 2) Arbitrase memutuskan memiliki yurisdiksi dan memutuskan untuk mendukung posisi RRT; 3) Arbitrase mengabulkan seluruh klaim yang diajukan Filipina. Analisa terhadap kemungkinan putusan Mahkamah Arbitrasi ini antara lain: 1) apabila Mahkamah Arbitrase memutuskan tidak mempunyai jurisdiksi terkait sengketa yang diajukan maka permasalahan sengketa Laut Tiongkok Selatan akan kembali seperti saat ini; 2) apabila Mahkamah Arbitrasi menyatakan

bahwa “9 dotted lines” bertentangan dengan kententuan UNCLOS 1982, maka persoalan

wilayah ZEE dan landas kontinen Indonesia di wilayah tersebut tidak akan menjadi isu; 3)

apabila Mahkamah Arbitrasi menolak memberikan penilaian tentang keabsahan “9 dotted

lines” karena tidak bisa menentukan status pulau/karang/bentukan geografis yang ada di Laut Tiongkok Selatan, maka sengketa Laut Tiongkok Selatan akan tetap menjadi misteri.

Sampai saat ini posisi Indonesia dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan antara lain: 1) Indonesia bukan negara klaiman (non-claimant state); 2) “9-dotted-lines” tidak memiliki dasar hukum internasional yang kuat dan bertentangan dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut PBB 1982; 3) Mengajak seluruh negara yang bersengketa untuk menciptakan solusi yang damai dan berkelanjutan sesuai dengan prinsip dan semangat yang terkandung dalam Declaration on the Conduct of State Parties in the South China Sea 2002 (DoC).

Indonesia bukan sebagai Claimant State ditegaskan dalam berbagai forum antara lain: 1) Pernyataan Wamenlu Tiongkok Tang Jiangsuan kepada Dubes RI di Beijing (Juni 1995): Pemerintah RRT tidak memiliki klaim kewilayahan atas Kepulauan Natuna yang menurut Wamenlu Jiangsuan hal tersebut perlu ditegaskan guna mencegah munculnya kesalahpahaman dalam hubungan RI-RRT; 2) Pernyataan Menlu Qian Qichen kepada Menlu Ali Alatas di Beijing (Juli 1995): Kepulauan Natuna adalah milik RI dan RRT tidak pernah klaim wilayah tersebut. RRT dan RI tidak memiliki sengketa di Kepulauan Nansha (Spratley Islands) dan tidak ada klaim tumpang tindih.

Putusan Mahkamah Arbitrase yang kemungkinan akan dibacakan pada awal tahun 2016, akan membawa perubahan penting bagi Indonesia, antara lain: 1) Wilayah Landas Kontinen dan ZEE (WPPNRI) akan terpengaruh pada putusan Mahkamah Arbitrase.

Walaupun Mahkamah Arbitrase tidak akan memutuskan status kepemilikan

pulau/karang/bentukan alamiah lainnya di Laut Tiongkok Selatan, akan tetapi yang akan diputuskan adalah status perairan terkait dengan klaim 9 dash line; 2) Vietnam telah melakukan intervensi terhadap kasus ini dan dimungkinkan negara lain yang berkepentingan pada perairan di Laut Tiongkok Selatan akan ikut melakukan intervensi guna menegaskan hak dan kepentingan mereka. Indonesia karena memiliki wilayah perairan di Laut Tiongkok Selatan semestinya ikut mengambil sikap terhadap kasus ini; 3) Selama proses persidangan, putusan, dan setelah putusan Mahkamah Arbitrase akan meningkatkan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.

Terkait dengan perubahan mekanisme penyelesaian sengketa di Laut Tiongkok Selatan dan kemungkinan meningkatnya ekskalasi di wilayah tersebut maka posisi Indonesia terkait dengan sengketa di Laut Tiongkok Selatan akan menentukan dalam arah stabilitas kawasan. Oleh karena itu Indonesia sebaiknya segera mengambil posisi terkait dengan proses persidangan Mahkamah Arbitrase. Posisi ini dapat dipastikan akan mempengaruhi

(7)

peran Indonesia yang selama ini dilakukan yaitu sebagai penengah/inisiator penyelesaian sengketa. Terkait dengan tensi yang kemungkinan akan naik, Indonesia perlu mengajak kepada semua pihak yang bersengketa untuk tetap mengedepankan penyelesaian secara damai, menghidari penggunaan kekuatan bersenjata sebagaimana telah disepakati dalam Declaration of Conduct (DOC).

Sengketa Laut Tiongkok yang melibatkan banyak negara dengan kepentingan yang

bermacam-macam seperti cerita yang tidak pernah berakhir (never ending story). Penentuan

kepemilikan pulau/karang/bentukan geografis serta batas maritim sepertinya tidak mungkin untuk dapat diselesaikan. Persoalan mendesak yang dapat dilakukan bukan pada penentuan status kepemilikan dan batas maritim, akan tetapi bagaimana wilayah tersebut dapat tetap kondusif, aman, dan dapat dimanfaatkan oleh semua negara.

Referensi

Dokumen terkait

Yang dimaksud ketepatan adalah berkenaan dengan pertanyaan apakah kebijakan tersebut tepat untuk masyarakat. Apakah kebijakan yang telah diimplementasikan pemerintah

Jika lama retensi mencit menun- jukkan waktu lama pada saat terjadinya proses belajar dan mengingat mencit yang berlang- sung pada neurotransmisi kolinergik maka pada

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah dan komite sekolah ada persamaan jawaban tetapi sedikit berbeda dalam memberikan jawaban terhadap faktor penghambat dan

telah terkumpul melalui angket, kemudian penulis olah ke dalam bentuk kuantitatif, yaitu dengan cara menetapkan skor jawaban dari pertanyaan yang telah dijawab

(1) Dalam hal terjadi pemberhentian ketua dan/atau sekretaris Satuan Pengawas Internal sebelum masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat

Hasil survei kompetensi mahasiwa selama mengikuti skill lab dilakukan bulan Agustus 2012 di AKBID SUKAWATI Lawang Malang, didapatkan bahwa kompetensi mahasiswa

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Pemberdayaan Masyarakat Muslim dalam Pelaksanaan

melaksanakan fungsi represif dengan membawa pelaku ke pengadilan, melainkan juga tidak berhasil mengendalikan laju peningkatan tindak pidana korupsi.. 43 tindak pidana