• Tidak ada hasil yang ditemukan

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA SKRIPSI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Natalia Sugianti NIM: 038114041

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh: Natalia Sugianti NIM: 038114041

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2007

(3)

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

Persetujuan skripsi berjudul

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST EKSTRAK ETANOL DAUN TUMBUHAN TEMBELEKAN (Lantana camara L.) BESERTA PROFIL KROMATOGRAFI LAPIS TIPISNYA

Yang diajukan oleh: Natalia Sugianti NIM: 038114041

Telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Yustina Sri Hartini, M.Si.,Apt. Yohanes Dwiatmaka, M.Si.

Tanggal: ………. Tanggal: ……….

(4)

(5)

H

A

L

AM

A

N

P

E

R

SE

M

B

A

H

A

N

TUHAN TIDAK BERJANJI LANGIT SELALU BIRU . . .

BUNGA DI SEPANJANG JALANMU. . .

LAUTAN TANPA GELOMBANG. . .

TAPI . . . IA BERJANJI BESERTA KITA. . .

MENDAMPINGI KITA. . .

DALAM SEGALA KEADAAN!!!

Kupersembahkan karya kecilku ini teruntuk:

JESUS- MY SAVIOR

Bunda MARIA

P a p a

dan

Ma ma

tercinta

Dhe- dhe ku imoet

Dev i

OH A L U N G

Sahabatku Lanny,

Indah

, Renny, Nike,

Yoha

A l m a m a t e r k u

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkatnya untuk menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Brine Shrimp Lethality Test Ekstrak Etanol Daun Tumbuhan Tembelekan (Lantana camara L.) Beserta Profil Kromatografi Lapis Tipisnya. Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat tugas akhir untuk mencapai gelar sarjana ilmu Farmasi bidang studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis telah banyak mendapat bantuan baik moral maupun spiritual dan dukungan yang berupa bimbingan, dorongan, sarana, maupun fasilitas dari berbagai pihak dalam penulisan skripsi ini, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan pengarahan selama penelitian sampai penyusunan skripsi.

3. Bapak Yohanes Dwiatmaka, M.Si. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan pengarahan selama penelitian sampai penyusunan skripsi.

4. Ibu dr. Luciana Kuswibawati, M. Kes. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

(8)

6. Papa dan Mama serta adikku Devi atas cinta, pengorbanan, dukungan, semangat, dan doa nya yang tak pernah berhenti.

7. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Sarwanto selaku staf laboratorium Farmakognosi Fitokimia . Terima kasih atas bantuan yang diberikan.

8. Lanny, sahabat dalam berbagi suka dan duka.

9. Indah, Renny, Nike, Yohana, ci Meta, ci Listy, ci Ricka, ci Maria, Chicka, Selvi, Aning, Ratih, dan teman-teman kost DEWI lainnya. Terima kasih atas kebersamaan dan kekompakkannya selama ini.

10. Mas Wondo, Novi, Apri, Rosa, Mba Sinta. Terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama penelitian.

11. Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A. Terima kasih atas kebersamaan dan kerja samanya selama ini.

12. Teman-teman BPM, khususnya PD Missio Dei dan PD Ignatius Loyola, Meidi, Yandy, Iyonk, Ko Hendy, dan Ko Ari. Terima kasih atas dukungan doanya.

13. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.

Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak demi kemajuan dan kesempurnaan penelitian yang telah dilakukan. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Yogyakarta, 25 Januari 2007

Penulis

(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ... xvi

INTISARI... xvii

ABSTRACT ... xviii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalah... 3

2. Keaslian penelitian ... 3

3. Manfaat penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian ... 4

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5

A. Tumbuhan Tembelekan... 5

(10)

1. Keterangan botani ... 5

2. Nama daerah dan nama asing... 5

3. Deskripsi tumbuhan ... 6

4. Kandungan kimia ... 6

5. Kegunaan ... 6

B. Senyawa Yang Diidentifikasi... 7

1. Triterpenoid... 7

2. Flavonoid ... 9

C. Artemia... 11

1. Keterangan zoologi ... 11

2. Morfologi artemia ... 12

3. Lingkungan hidup artemia ... 16

4. Siklus hidup artemia... 17

5. Penggunaan artemia pada metode BST... 19

D. Uji Toksisitas Akut ... 22

E. Brine Shrimp Lethality Test ... 23

F. Kanker ... 24

G. Penyarian... 26

H. Kromatografi Lapis Tipis... 27

I. Landasan Teori... 29

J. Hipotesis... 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 31

(11)

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 31

1. Variabel penelitian ... 31

2. Definisi operasional ... 32

C. Bahan dan Alat Penelitian... 32

1. Bahan penelitian... 32

2. Alat penelitian ... 33

D. Tata Cara Penelitian ... 34

1. Determinasi tumbuhan tembelekan... 34

2. Pengumpulan bahan ... 34

3. Penyiapan bahan ... 34

4. Maserasi ... 34

5. Pembuatan air laut buatan ... 35

6. Penetasan telur artemia ... 35

7. Penyiapan sampel untuk uji toksisitas ... 36

8. Pembuatan larutan sampel... 36

9. Uji toksisitas akut dengan BST ... 37

10.Uji KLT pada ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan... 37

11.Analisis hasil ... 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Determinasi Tumbuhan... 39

B. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan... 39

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan... 41

D. Pembuatan Air Laut Buatan ... 43

(12)

E. Penetasan Siste Artemia ... 44

F. Uji Toksisitas dengan Metode BST ... 45

G. Uji Kualitatif Ekstrak Etanol dengan KLT ... 53

1. Identifikasi triterpenoid... 54

2. Identifikasi flavonoid ... 57

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62

LAMPIRAN... 66

BIOGRAFI PENULIS ... 83

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel I Perbedaan uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis dan uji toksisitas kronis... 23 Tabel II Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan ... 36 Tabel III Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etanol

daun tumbuhan tembelekan ... 49 Tabel IV Hasil KLT pemeriksaan triterpenoid dalam ekstrak etanol daun

tumbuhan tembelekan ... 55 Tabel V Hasil KLT pemeriksaan flavonoid dalam ekstrak etanol daun

tumbuhan tembelekan ... 58

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid ...7

Gambar 2. Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase...8

Gambar 3. Struktur umum flavonoid ...9

Gambar 4. Mekanisme kematian sel yang terprogram (apoptosis) pada sel normal (A) dan sel tumor yang kekurangan p53 menyebabkan kanker (B) ...10

Gambar 5. Larva artemia ...13

Gambar 6. Perubahan bentuk artemia ...13

Gambar 7. Bagian-bagian tubuh artemia dewasa ...14

Gambar 8. Artemia dewasa jantan dan betina ... 15

Gambar 9. Siklus hidup artemia biseksual ...18

Gambar 10. Kerja RNA polymerase dalam transkripsi ...20

Gambar 11. Mekanisme kerja Na+and K+ ATP ase ...21

Gambar 12. Siklus sel ...25

Gambar 13. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan ...50

Gambar 14. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan triterpenoid dengan jarak pengembangan 10 cm ...56

Gambar 15. Kromatogram ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan untuk pemeriksaan flavonoid dengan jarak pengembangan 10 cm ...59

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat keterangan determinasi tumbuhan tembelekan ...66 Lampiran 2. Foto tumbuhan tembelekan ...67 Lampiran 3. Foto aquarium untuk uji BST ...67 Lampiran 4. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi yang akan

digunakan dalam pengujian ...68 Lampiran 5. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etanol

daun tumbuhan tembelekan ...73 Lampiran 6. Perhitungan data statistik SPSS 10.00 dengan analisis probit

terhadap ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan ...74 Lampiran 7. Foto kromatogram identifikasi triterpenoid ...77 Lampiran 8. Jurnal penggunaan uji Brine Shrimp Lethality Test...78

(16)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

1. ALB = Air Laut Buatan 2. AlCl3 = aluminium klorida 3. CaCl2 = kalsium klorida 4. cm = centimeter

5. KCl = kalium klorida

6. KLT = Kromatografi Lapis Tipis

7. LC50 = Median Lethal Concentration

8. LD50 = Median Lethal Dose

9. mm = millimeter

10.mg = milligram

11.MgCl2 = magnesium klorida 12.MgSO4 = magnesium sulfat 13.ml = milliliter

14.NaHCO3 = natrium bikarbonat 15.NaCl = natrium klorida

16.nm = nanometer

17.rpm = rotasi per menit 18.UV = ultraviolet

19.°C = derajat celcius

20.% = persen

21.μg/ml = microgram per milliliter

22.μl = microliter

(17)

INTISARI

Bahan alam banyak digunakan masyarakat untuk mengobati penyakit kanker. Salah satunya yaitu daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang secara luas digunakan masyarakat untuk menghilangkan tumor. Telah dilaporkan pula bahwa tumbuhan ini toksik pada hewan yang memakannya. Sebagai langkah awal untuk mengetahui apakah daun tumbuhan tembelekan mempunyai aktivitas antikanker, maka dilakukan penelitian menggunakan metode Brine Shrimp Lethality Test sehingga didapatkan informasi tentang toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva Artemia salina Leach (artemia).

Penelitian ini merupakan eksperimental murni dengan rancangan posttest only control group design. Penelitian dilakukan dengan menggunakan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang diperoleh dengan metode maserasi. Sampel uji dibuat seri konsentrasi yaitu 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml. Kontrol menggunakan air laut buatan, dan dilakukan replikasi sebanyak 5 kali. Jumlah larva artemia yang mati pada tiap konsentrasi dihitung setelah 24 jam perlakuan. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Ekstrak dikatakan toksik apabila harga LC50 < 1000 μg/ml. Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian diidentifikasi menggunakan kromatografi lapis tipis untuk mengetahui golongan senyawa yang terkandung di dalamnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik dengan harga LC50 sebesar 60,4 μg/ml. Identifikasi dengan kromatografi lapis tipis menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan diduga mengandung senyawa golongan triterpenoid dan flavonoid.

Kata kunci : Brine Shrimp Lethality Test, Lantana camara L., Artemia salina Leach., toksisitas

(18)

ABSTRACT

Natural substances are often done by people to cure cancer. One of them is by using the tembelekan leaf (Lantana camara L.) that is widely used by people to omit the tumor. It is reported that this plant is toxic for the animal that consume it. As the beginning step to find out whether the tembelekan leaf has an anticancer activity or not, the research is being conducted with the Brine Shrimp Lethality Test method so the information about toxicity of ethanol extract of tembelekan leaf to the Artemia salina Leach larva can be gained.

The research was simple pure experimental with posttest only control group design. The research was done by using an ethanol extract of tembelekan leaf that is gained from maserasi method. The experiment sample is made in concentration series, they are 40, 52, 68, 88, and 114 μg/ml. The controller that is used is artificial sea water and it is replicated 5 times. The number of artemia larva that died in every concentration is counted after 24 hours treatment. The value of LC50 was counted using the probit analysis method. The extract is considered as toxic if the LC50 < 1000 μg/ml. The ethanol extract of tembelekan leaf then identified by the thin layer of chromatography to find out the compound type that is contained inside.

The research findings show that the ethanol extract of tembelekan leaf is toxic with LC50 is 60,4 μg/ml. The identification uses the thin layer of chromatography shows that the ethanol extract of tembelekan leaf is estimated contains the compound type triterpenoid and flavonoid.

Key words: Brine Shrimp LethalityTest, Lantana camara L., Artemia salina Leach, toxicity

(19)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit kanker dikenal sebagai penyakit yang sukar disembuhkan dan dapat menyebabkan kematian penderitanya jika tidak dirawat sejak awal. Kasus kanker di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Walaupun telah banyak ditemukan obat antikanker dan telah banyak dilakukan kemoterapi, namun hasilnya belum memuaskan dan biayanya juga sangat mahal. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk melakukan pengobatan menggunakan bahan alam atau obat tradisional (Mills and Bone, 2000).

Penggalian obat-obat antikanker dari bahan alam terus dilakukan. Salah satunya yaitu daun tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) yang secara luas digunakan untuk pengobatan tumor, tetanus, rematik, malaria, sebagai antiseptik, dan perangsang muntah (Rana, Prasad, and Blazquez, 2005). Untuk menghilangkan bengkak, biasanya daun tumbuhan tembelekan dihaluskan lalu ditempel pada bagian yang sakit (Hembing, 2000). Daun tumbuhan tembelekan mengandung beberapa senyawa antara lain lantadene A dan B, lantanolic acid, lantic acid, humulene

(mengandung minyak atsiri), β-caryophyllene, γ-terpidene, α-pinene, dan p-cymene

(Rana, 2005).

Tembelekan merupakan spesies tumbuhan yang toksik pada binatang yang memakan daunnya (Sharma and Sharma, 1989). Beberapa ahli menghubungkan toksisitas tumbuhan tembelekan dengan dua pentasiklik triterpenoid yaitu lantadene

(20)

A dan B (Tyler, Brady, and Robbers, 1988). Senyawa flavonoid dalam daun tumbuhan tembelekan yaitu jenis flavon juga diketahui bersifat toksik pada sel dengan menginduksi apoptosis, yang merupakan suatu mekanisme kematian sel yang terprogram (Middleton, Kandaswami, and Theoharides, 2000). Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Asterina (1994), diketahui bahwa ekstrak etanol 95% daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa flavonoid.

Etanol dapat melarutkan flavonoid (Anonim, 1986) serta sebagian besar senyawa terpenoid (Mursyidi, 1990). Maka dalam penelitian ini digunakan ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan.

Pencarian senyawa antikanker baru dari tanaman dapat dilakukan pertama kali dengan cara skrining bioaktivitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test

(BST). Prinsip metode ini adalah uji toksisitas akut terhadap larva Artemia salina

Leach (artemia) dengan penentuan nilai LC50 setelah perlakuan 24 jam (Meyer,

Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and Laughlin, 1982). Digunakan artemia sebagai hewan uji karena artemia memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA polymerases artemia serupa dengan yang terdapat dalam mamalia dan organisme ini memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+

dependent ATPase, sehingga senyawa maupun ekstrak yang memiliki aktivitas pada sistem tersebut dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta, and Phillipson, 1993). Jika suatu larutan memiliki nilai LC50 < 1000 μg/ml maka larutan tersebut

(21)

Metode BST tidak spesifik untuk pengujian antikanker dan sebagian aksi fisiologis, namun metode ini dapat memonitor kemungkinan adanya efek sitotoksik dengan waktu dan biaya penelitian yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengujian sitotoksisitas menggunakan biakan sel kanker. Senyawa yang bersifat toksik pada uji BST belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu dilakukan uji tingkat lanjut dengan menggunakan sel kanker. Namun, suatu senyawa yang bersifat sitotoksik akan bersifat toksik bila diuji dengan metode BST (Meyer et al., 1982). Maka diharapkan metode BST dapat digunakan sebagai langkah awal untuk menentukan senyawa yang memiliki efek sitotoksik.

1. Perumusan masalah

Apakah ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan bersifat toksik terhadap larva artemia?

2. Keaslian penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan menggunakan daun tumbuhan tembelekan antara lain isolasi dan identifikasi komponen kimia daun tembelekan asal Tamalanrea, Ujung Pandang oleh Aida (1990); penelitian farmakognosi dan kandungan kimia dari daun Lantana camara L. oleh Soelastru (1986); pemeriksaan flavonoid dan verbaskosid daun Lantana camara L. oleh Rini Asterina (1994); dan uji potensi antibakteri ekstrak etanol daun tembelekan terhadap

(22)

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih jelas, yang berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang farmasi mengenai toksisitas ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan terhadap larva artemia.

B. Tujuan Penelitian

(23)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tumbuhan Tembelekan 1. Keterangan botani

Tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.) termasuk dalam familia Verbenaceae. Tumbuhan ini mempunyai sinonim antara lain Lantana aculeata L.,

Lantana antillana Rafin., Lantana mutabilis Salisb., Lantana polyacanthus SCH.,

Lantana scabrida Soland (Becker and Bakhuizen, 1963). 2. Nama daerah dan nama asing

a. Nama daerah

1) Sumatera : tembelekan, kembang telek, bunga pagar, kayu singapur, tahi ayam

2) Jawa : kembang telek, oblo, puyengan, pucengan, tembelek, tembelekan, teterapan, waung, wilweran

3) Sunda : kembang satek, saliyara, saliyare, tahi hayam, tahi kotok, cente 4) Madura : kamanco, mainco, tamanjho

(Hembing, 2000) b. Nama asing

1) Cina : wu se mei, ma ting tan 2) Tagalog: sapinit, koronitas, kantutay 3) Inggris : prickly lantana, hedge flower

(Dalimarta, 1999)

(24)

3. Deskripsi tumbuhan

Tembelekan kadang tumbuh liar atau ditanam sebagai tanaman hias dan tanaman pagar. Tumbuhan asal Amerika tropis ini bisa ditemukan dari dataran rendah sampai 1.700 meter di atas permukaan laut, pada tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari atau agak ternaung. Perdu, tegak, atau agak memanjat, tinggi 0,5-4 m, berbau. Batang berkayu, bercabang banyak, ranting bentuk segi empat, berduri, berambut. Daun tunggal, berhadapan, bundar telur, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, kedua permukaan berambut, perabaan kasar, panjang 5-8 cm, lebar 3,5-5 cm, warnanya hijau tua. Perbungaan majemuk berbentuk bulir, mahkota bagian dalam berambut, warnanya putih, merah muda, jingga, kuning, dan sebagainya. Buah buni, tangkai berambut, masih muda hijau, bila masak hitam mengkilap (Dalimartha, 1999).

4. Kandungan kimia

Daun mengandung lantadene A (0,31-0,68%), lantadene B (0,2%),

lantanolic acid, lantic acid, humulene (mengandung minyak menguap 0,16-0,2 %), β

caryophyllene, γ terpidene, α pinene, p-cymene (Rana, 2005) dan flavonoid (Asterina ,1994).

5. Kegunaan

(25)

untuk pengobatan tumor, tetanus, rematik, malaria, sebagai antiseptik, dan perangsang muntah (Rana, 2005).

B. Senyawa yang Diidentifikasi 1. Triterpenoid

Terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa mulai dari komponen minyak atsiri yaitu monoterpenoid dan sesquiterpenoid yang mudah menguap sampai ke senyawa yang tidak mudah menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen karotenoid (C40) (Harborne, 1984). Terpenoid tersebar luas dalam damar, getah, dan kutin tumbuhan (Robbers, Speedie, Tyler, 1996).

HO

Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke , Warbers, Duke, Brielmann, 1988)

(26)

serta asam turunannya yaitu asam ursolat dan asam oleanolat (Evans and Trease, 2002). Pentasiklik triterpenoid dapat menghambat kerja enzim topoisomerase I dan II serta menghambat RNA polymerase sehingga mengakibatkan kematian sel (Lee, Fang, Wang, Li, Cook, 1991).

Gambar 2 . Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase(Albert, Johnson, Lewis, Raff, Roberts, Walter, 2002)

(27)

digunakan penyemprotan dengan asam sulfat pekat, diteruskan dengan pemanasan

pada 100°C - 105°C sampai pembentukan warna sempurna (Harborne, 1984). Untuk

senyawa terpenoid, akan menghasilkan warna abu-abu, merah violet atau ungu (Wagner, Brady, and Zgainski, 1984).

2. Flavonoid

Flavonoid adalah senyawa fenol alam yang terdapat dalam hampir semua tumbuhan dari bangsa Algae hingga Gymnospermae. Di dalam tumbuhan flavonoid biasanya berikatan dengan gula sebagai glikosida (Mursyidi, 1990). Glikosida flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya cukup larut dalam pelarut yang polar anatara lain seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dan air (Markham, 1988).

Gambar 3. Struktur umum flavonoid (Harborne, 1984)

(28)

kematian yang terprogram) pada sel kanker salah satunya dengan mencegah terjadinya mutasi p53. Dengan adanya apoptosis, sel yang telah rusak (abnormal) dan tidak berfungsi lagi akan mati dengan sendirinya, tidak terus menerus membelah dan menghasilkan sel neoplastik yang dapat berkembang menjadi sel tumor dan kanker (Middleton, 2000).

Gambar 4. Mekanisme kematian sel yang terprogram (apoptosis) pada sel normal (A) dan sel tumor yang kekurangan p53 menyebabkan kanker (B)

(Albert et al., 2002)

(29)

bercak yang timbul setelah pengembangan dapat menggunakan sinar UV, pereaksi semprot seperti sitroborat, pereaksi aluminium klorida, dan antimon triklorida (Wagner et al.,1984).

Flavonoid pada sinar UV 254 nm menyebabkan terjadinya pemadaman dan pada sinar UV 366 nm memberikan warna kuning, biru, atau ungu yang tergantung pada struktur flavonoidnya (Markham, 1988).

Pedoman umum flouresensi flavonoid di bawah UV 366 nm menurut Marhkam (1988) adalah

a. pada sinar UV tanpa NH3 berfluoresensi biru muda, dan dengan NH3 berfluoresensi hijau-kuning, kemungkinan merupakan flavonoid jenis flavon atau flavonol yang tidak mengandung 5-OH

b. pada sinar UV tanpa NH3 berfluoresensi biru muda, dan dengan NH3 nampak perubahan sedikit warna atau tanpa perubahan, mungkin merupakan flavonoid jenis isoflavon yang tidak mengandung 5-OH bebas

c. pada sinar UV tanpa NH3 berfluoresensi biru muda, dan dengan NH3 berfluoresensi murup biru muda, kemungkinan merupakan flavonoid jenis isoflavon yang tidak mengandung 5-OH bebas

C. Artemia 1. Keterangan zoologi

(30)

lakunya menunjukkan bahwa artemia tidak mempunyai alat atau cara untuk mempertahankan diri terhadap serangan musuh-musuhnya. Penyesuaian hidupnya di perairan berkadar garam tinggi merupakan suatu perlindungan alam sehingga mereka bebas dari pemangsanya. Karena di perairan yang demikian, para pemangsanya (ikan, udang, serangga, dan lainnya) sudah tidak dapat hidup lagi (Mudjiman, 1989).

2. Morfologi artemia a. Telur

Istilah untuk telur artemia yang benar adalah siste, yaitu telur yang telah berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).

b. Larva

(31)

Gambar 5. Larva artemia (Mudjiman, 1989)

Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I. Warnanya kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan. Oleh karena itu mereka masih belum perlu makan. Anggota badannya terdiri dari sepasang sungut kecil (antenula atau antena I) dan sepasang sungut besar (antena atau antena II). Di bagian depan di antara kedua sungut kecilnya terdapat bintik merah, yaitu mata larva (oselus). Di belakang sungut besar terdapat sepasang

mandibulata (rahang) yang kecil, sedangkan di bagian perut (ventral) terdapat

labrum.

(32)

Sekitar 24 jam setelah menetas, larva akan berubah menjadi instar II. Pada tingkatan instar II, larva sudah mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu mereka mulai mencari makanan. Bersamaan dengan itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pengumpulan makanannya mereka lakukan dengan menggerak-gerakkan antena II nya. Selain untuk mengumpulkan makanan, antena II tersebut juga berguna untuk bergerak.

Pada tingkatan selanjutnya mulai terbentuk sepasang mata majemuk, selain itu berangsur-angsur tumbuh tunas-tunas kakinya. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak 11 pasang, maka berakhirlah masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa.

(33)

c. Artemia dewasa

Artemia dewasa bentuknya telah sempurna dan menyerupai udang kecil dengan ukuran panjang sekitar 1 cm, dengan kaki yang sudah lengkap sebanyak 11 pasang yang secara khusus disebut torakopoda. Baik pada yang jantan maupun yang betina, antena I nya (antenula) tetap saja sebagai sungut, yang fungsinya sebagai alat peraba. Pada artemia jantan, antena II berubah menjadi alat penjepit yang membesar dan berotot yang kegunaannya untuk berpegangan pada betina pada waktu menjelang perkawinan. Pada betina, antena II-nya mengalami penyusutan yang akhirnya berubah menjadi alat peraba. Di belakang kaki torakopoda yang jantan terdapat sepasang alat kelamin luarnya (penis),

sedangkan pada yang betina terdapat sepasang indung telur (ovarium) yang terletak di sebelah kanan dan kiri saluran pencernaan.

(34)

3. Lingkungan hidup artemia

Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6° C atau lebih dari 35° C, tetapi hal ini sangat tergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup mereka. Pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara 25°C -30°C. Daya tahan artemia terhadap perubahan kandungan ion-ion kimia dalam air ternyata juga sangat tinggi. Apabila kandungan ion natrium dibandingkan dengan ion kalium di dalam air laut alami adalah 28, maka artemia masih dapat bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).

Untuk perkembangan artemia yang baik, mereka membutuhkan kadar garam air yang tinggi sebab pada kadar garam yang tinggi itu musuh-musuhnya sudah tidak dapat hidup lagi, sehingga mereka akan dapat hidup lebih aman tanpa gangguan. Untuk pertumbuhan telur, ternyata dibutuhkan air yang kadar garamnya lebih rendah dari pada suatu batas tetentu. Batas ini berlainan untuk setiap jenis artemia. Secara umum, apabila kadar garam air lebih tinggi dari 85 permil, maka telur tidak akan dapat menetas karena tekanan osmosis di luar telur lebih tinggi sehingga telur tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses metabolismenya yang semula berada dalam keadaan diapauze. (Mudjiman, 1989).

(35)

4. Siklus hidup artemia

Ditinjau dari segi cara berkembang biaknya, ada 2 jenis artemia yaitu jenis biseksual dan partenogenesis. Jenis biseksual tidak dapat berkembangbiak secara partenogenesis, demikian pula sebaliknya. Baik pada perkembangbiakan biseksual maupun partenogenesis, keduanya dapat terjadi secara ovovivipar maupun ovipar

(Mudjiman, 1991).

Pada ovovivipar yang keluar dari induknya sudah berupa anak atau larva yang dinamakan nauplius, jadi sudah langsung hidup sebagai artemia muda. Pada cara ovipar yang keluar dari induknya berupa telur bercangkang tebal yang disebut

siste. Untuk menjadi nauplius harus melalui proses penetasan lebih dahulu (Mudjiman, 1991).

Setelah sel telur masak menjadi oosit, dikeluarkan dari indung telur kemudian masuk ke dalam saluran telur (oviduct). Di dalam kantung telur ini pada perkembangbiakan secara biseksual perlu dibuahi lebih dahulu oleh sel kelamin jantan (spermatozoid) agar dapat berkembang lebih lanjut. Namun pada perkembangbiakan secara partenogenesis, pembuahan ini tidak diperlukan karena telur dapat berkembang lebih lanjut dengan sendirinya (Mudjiman, 1991).

(36)

dihasilkan oleh kelenjar cangkang telur. Setelah itu barulah mereka dikeluarkan dari tubuh induknya berupa telur yang berbutir-butir (Mudjiman, 1991).

Proses pembentukan cangkang telur dimulai dengan memburuknya keadaan lingkungan terutama kadar oksigennya yang rendah. Pada lingkungan dengan kadar oksigen yang rendah ini artemia akan kesulitan bernafas. Oleh karena itu untuk mengatasinya dibentuklah hemoglobin di dalam darahnya. (Mudjiman, 1991).

Artemia dapat hidup sampai 6 bulan. Sementara itu setiap 4-5 hari sekali mereka dapat beranak (pada lingkungan yang baik) atau bertelur (pada lingkungan yang buruk) sebanyak 50-300 ekor atau butir. Anak artemia sudah menjadi dewasa dalam waktu 14 hari (Mudjiman, 1991).

(37)

5. Penggunaan artemia pada metode BST

Artemia secara luas telah digunakan untuk pengujian aktivitas farmakologi ekstrak suatu tanaman. Artemia juga merupakan hewan uji yang digunakan untuk praskrining aktivitas antikanker di National Cancer Institude (NCI), Amerika Serikat. Uji BST dengan hewan uji artemia dapat digunakan untuk skrining awal terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor karena uji ini mempunyai korelasi yang positif dengan potensinya sebagai antitumor meskipun penggunaan artemia ini memang tidak spesifik untuk antitumor maupun fisiologis aktif tertentu (Anderson, Goets, and Laughin, 1991).

Artemia dapat digunakan sebagai hewan uji karena artemia memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA-dependent RNA

polymerases yang terdapat pada artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia dan organisme ini juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependent ATPase

(Solis et al., 1992).

(38)

ribosom. Jika RNA polymerases tersebut dihambat, maka DNA tidak dapat mensintesis RNA dan RNA tidak dapat terbentuk sehingga sintesis protein juga dihambat. Protein merupakan komponen utama semua sel. Protein berfungsi sebagai unsur struktural, hormon, imunoglobulin, serta terlibat dalam kegiatan transport oksigen, kontraksi otot, dan lainnya (Nuswantari, 1998). Tidak terbentuknya protein dapat mengganggu metabolisme sel, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan kematian sel.

Gambar 10. Kerja RNA polymerase dalam transkripsi (Michael, 2007)

Artemia juga memiliki ouabaine-sensitive Na+ and K+ dependent ATPase.

Na+ K+ ATPase merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3 Na+ dari sel dan mengambil 2 K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+ K+ ATPase ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh ouabaine. Adanya ouabaine

(39)

maka lebih sedikit Ca2+ intrasel dikeluarkan dan Ca2+ intrasel meningkat, sehingga memudahkan kontraksi otot jantung (Ganong, 1995).

Gambar 11. Mekanisme kerja Na+and K+ ATP ase (Michael, 2007)

Jika suatu senyawa bekerja mengganggu kerja salah satu enzim ini pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia. Metode BST dengan hewan uji artemia tidak dapat digunakan untuk pengujian senyawa yang dalam mengganggu kerja salah satu enzim tersebut memerlukan aktivasi dalam sel mamalia, seperti 6-mercaptopurine yang harus dimetabolisme terlebih dahulu dalam sel mamalia. Sehingga jika senyawa 6-mercaptopurine diujikan pada artemia, maka akan memberikan LC50 yang lebih besar dari 1000 (bersifat tidak toksik pada artemia) (Solis et al.,1992).

(40)

D. Uji Toksisitas Akut

Toksisitas merupakan sifat relatif toksikan berkaitan dengan potensinya mengakibatkan efek negatif bagi makhluk hidup. Toksisitas juga dapat diartikan sebagai kualitas bersifat racun, khususnya derajad virulensi mikroba toksik atau racun (Nuswantari, 1998). Toksisitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain komposisi dan jenis toksikan, konsentrasi toksikan, durasi dan frekuensi pemaparan. Toksikan dapat menghasilkan efek negatif bagi semua atau sebagian dari tingkat organisasi biologis (populasi, individu, organ, jaringan, sel, biomolekul) dalam bentuk merusak struktur maupun fungsi biologis, baik secara akut, sub kronis maupun kronis (Halang, 2004).

Uji toksisitas akut merupakan uji toksisitas dengan pemberian suatu senyawa pada hewan uji pada suatu saat, atau suatu ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis tunggal pada hewan tertentu dan diamati selama 24 jam (Loomis, 1978). Prosedur awal untuk menentukan toksisitas akut senyawa baru adalah dengan membuat suatu kisaran dosis untuk diberikan pada hewan uji. Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak 4 peringkat dosis, berkisar dari dosis terendah yang belum memberikan efek kematian hewan uji sampai dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji (Donatus, 1990).

(41)

Tabel I. Perbedaan uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis, dan uji toksisitas kronis

Hal Uji toksisitas akut Uji toksisitas sub kronis

Uji toksistas kronis Waktu singkat (24 jam) < 3 bulan > 3 bulan

Dosis tunggal berulang berulang

Tujuan menentukan efek

E. Brine Shrimp Lethality Test

Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode pengujian awal aktifitas antikanker suatu senyawa dengan menggunakan hewan uji Artemia salina L. selama 24 jam. Uji toksisitas akut dengan hewan uji artemia ini dapat digunakan sebagai uji pendahuluan pada penelitian yang mengarahkan pada uji sitotoksik karena ada kaitan antara uji toksisitas akut dengan uji sitotoksik jika harga LC50 dari

uji toksisitas akut lebih kecil dari 1000 μg/ml. Parameter yang digunakan untuk menunjukkan adanya aktivitas biologis suatu senyawa pada artemia adalah kematian.

Tingkat toksisitas dari ekstrak dapat ditentukan dengan melihat harga LC50. Nilai LC50 dihitung dengan analisis probit. Dari persentase data kematian larva artemia dikonversikan ke nilai probit untuk menghitung harga LC50. Apabila harga LC50 < 1000 μg/ml maka senyawa dapat dikatakan toksik. Apabila pengujian dengan

larva artemia menghasilkan harga LC50 < 1000 μg/ml maka dapat dilanjutkan dengan

(42)

F. Kanker

Kanker merupakan suatu penyakit sel dengan ciri gangguan atau kegagalan mekanisme pengatur multiplikasi dan fungsi homeostasis lainnya pada organisme multiseluler (Nafrialdi dan Ganiswarna, 1995). Sel-sel kanker akan terus membelah diri, terlepas dari pengendalian pertumbuhan dan tidak lagi menuruti hukum-hukum pembiakan. Sel-sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitarnya (invasi) dan dapat menyebar ke seluruh jaringan (metastasis). Selain itu sel kanker juga kehilangan fungsinya dan bersifat destruktif/merusak sel lainnya (Schunack, 1990).

Tahap-tahap pembentukan sel kanker adalah

1. inisiasi yaitu tahap pembentukan metabolit reaktif yang mampu berikatan secara kovalen dengan DNA sehingga menyebabkan terjadinya mutasi pada DNA 2. promosi yaitu ekspresi mutasi yang dapat menyebabkan perubahan fungsi seluler

(ekspresi gen dan fungsi reseptor) serta pertumbuhan neoplasma (sel yang pertumbuhannya tidak normal)

3. progresif yaitu manifestasi pertumbuhan dan perkembangan tumor menjadi ganas (kanker) dengan invasi dan metastasis

Pada organisme eukariotik, terdapat empat fase dalam siklus sel yaitu 1. fase Gap 1 (G1) atau fase pascamitosis merupakan fase awal dimana terjadi

sintesis asam ribonukleat dan protein

2. fase Sintesis (S) dimana terjadi replikasi identik dari DNA sehingga dihasilkan dua set komplit DNA

(43)

4. fase Mitosis (M) merupakan fase dimana material inti diturunkan identik kepada sel anak, yang ditandai dengan pembagian kromosom dan dihasilkan dua sel anakan

Untuk selanjutnya sel dapat memasuki fase G0 dan dapat juga masuk kembali ke fase G1. Hormon pertumbuhan, cyclins dan Cdk (cyclin dependent kinase) merupakan sinyal transduksi yang dapat memacu sel untuk memasuki daur sel kembali. Sedangkan protein penekan tumor (misalnya p53), dan Cdk inhibitor akan memacu sel untuk memasuki fase istirahat (G0). Pada sel kanker, tidak terdapat p53 atau jumlah p53 kurang (antara lain karena terjadinya mutasi p53), sehingga sel kanker tidak dapat memasuki fase G0 dan sel tersebut akan memasuki siklus sel dalam jangka waktu yang tidak terbatas, sehingga sel akan terus membelah (Schunack, 1990).

(44)

Karsinogen dapat merangsang pembentukan kanker. Beberapa karsinogen yang diduga dapat menaikkan resiko terjadinya kanker antara lain senyawa kimia (zat karsinogen), faktor fisika (radiasi bom atom dan radioterapi agresif), virus (virus hepatitis B dan C), dan hormon (Dalimartha, 2003).

Sebagai langkah pengobatan, telah banyak dilakukan penanganan terhadap para penderita kanker, baik secara medis maupun tradisional. Obat antikanker diharapkan memiliki toksisitas selektif, artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan normal (Nafrialdi dan Ganiswarna, 1995).

Senyawa-senyawa aktif dari berbagai macam tanaman telah banyak digunakan untuk mengobati kanker. Lebih dari 1400 macam tanaman digunakan untuk mengobati kanker, misalnya Phyllanthus acuminatus, Marati oreganos, Catharanthus roseus, dan masih banyak tanaman yang lain (Evans, 2002). Senyawa aktif antikanker tersebar luas pada tanaman tingkat tinggi meliputi berbagai golongan senyawa seperti flavonoid, alkaloid, saponin, oligosakarida, kuasinoid, terpenoid dan polifenol (Cheng, 2003).

G. Penyarian

Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Untuk melakukan penyarian harus diketahui zat aktif yang dikandungnya sehingga mempermudah pemilihan cairan penyari serta cara penyarian yang tepat (Anonim, 1986).

(45)

menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat akan didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Anonim, 1986).

Maserasi pada umumnya dilakukan dengan memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam bejana kemudian dituangi 75 bagian cairan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya, sambil berulang-ulang diaduk. Setelah 5 hari sari diserkai, ampas diperas. Ampas ditambah cairan penyari secukupnya diaduk dan diserkai, sehingga diperoleh seluruh sari sebanyak 100 bagian. Bejana ditutup, dibiarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Kemudian endapan dipisahkan. Penggunaan mesin pengaduk yang berputar terus menerus dapat mempersingkat waktu maserasi menjadi 6-24 jam (Anonim, 1986).

H. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

(46)

pengembangan. Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan atau dideteksi (Stahl, 1985).

Fase diam pada kromatografi lapis tipis terdiri dari bahan padat atau serbuk halus yang terbuat dari kaca, polimer, atau logam. Larutan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penyerap yang umum adalah silika gel, aluminium oksida, kieselguhr, poliamida, selulosa dan turunannya. Untuk analisis, tebal penyerap 0,1-0,3 mm. Sebelum digunakan, lapisan penyerap disimpan dalam lingkungan yang tidak lembab dan bebas dari uap lain (Stahl, 1985).

Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri dari satu atau beberapa pelarut yang bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan yang berpori yang disebabkan adanya gaya kapiler. Pelarut yang digunakan hanyalah yang memiliki tingkat mutu analitik dan apabila diperlukan dapat digunakan pelarut yang merupakan campuran sedikit mungkin pelarut dan paling banyak terdiri dari tiga jenis pelarut (Stahl, 1985).

Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dinyatakan dalam angka Rf atau hRf, dimana angka tersebut dapat digunakan untuk identifikasi senyawa yang dianalisis. Harga Rf merupakan karakteristik KLT. Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan dua bercak dengan harga Rf dan ukuran yang hampir sama. Harga Rf untuk suatu senyawa dapat dibandingkan dengan harga standar (Stahl, 1985).

Jarak titik pusat bercak dari titik awal Rf=

(47)

Deteksi bercak pada lempeng kromatografi yang telah dikembangkan dapat menggunakan sinar UV 254 nm dan UV 365 nm dan pereaksi semprot. Deteksi paling sederhana adalah dengan sinar UV pada lapisan yang mengandung indikator fluoresensi, terbatas pada senyawa yang mempunyai cincin aromatik dan ikatan rangkap terkonjugasi. Apabila dengan sinar UV senyawa tidak terdeteksi, maka digunakan pereaksi semprot yang sesuai (Stahl, 1985).

I. Landasan Teori

Tembelekan merupakan salah satu tumbuhan obat yang banyak digunakan masyarakat untuk menghilangkan tumor dan dilaporkan toksik pada binatang yang memakan daunnya. Toksisitas tumbuhan tembelekan dihubungkan dengan pentasiklik triterpenoid dan flavonoid yang terkandung didalamnya. Flavonoid dan pentasiklik triterpen dalam tumbuhan tembelekan larut dalam etanol.

Untuk mengetahui toksisitas daun tumbuhan tembelakan digunakan metode

(48)

J. Hipotesis

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis eksperimental murni dengan rancangan

Postest Only Control Group Design.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 1. Variabel penelitian

a. Variabel bebas

Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan yang diujikan pada larva

artemia dengan konsentrasi 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml.

b. Variabel tergantung

Jumlah kematian larva artemia setelah pemberian ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan.

c. Variabel pengacau terkendali

1) Faktor lingkungan tempat percobaan yaitu sinar lampu 5 Watt; suhu penetasan

yaitu 25°C-30°C; pH air laut buatan yaitu antara 8-9; dan kadar garam 5

permil.

2) Faktor hewan uji yaitu umur larva artemia (48 jam).

3) Faktor tumbuhan yaitu jenis atau varietas tumbuhan tembelekan. d. Variabel pengacau tidak terkendali

Kondisi lingkungan tempat tumbuh tumbuhan tembelekan.

(50)

2. Definisi operasional

a. Daun tumbuhan tembelekan yang digunakan adalah daun tumbuhan tembelekan yang masih muda, yang merupakan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai. b. LC50 (lethal concentration-50) merupakan kadar senyawa uji yang mampu

mengakibatkan terbunuhnya 50% jumlah hewan uji dan ditentukan setelah 24 jam perlakuan.

c. Larva artemia merupakan larva yang telah berumur 48 jam dari penetasan telur artemia.

d. Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan merupakan ekstrak kering yang diperoleh dengan menyari menggunakan etanol p.a. dengan cara maserasi.

C. Bahan dan Alat Penelitian 1. Bahan penelitian

a. Bahan utama

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh pada bulan Agustus di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Sleman, Yogyakarta.

b. Bahan untuk ekstraksi

Bahan yang digunakan untuk penyarian yaitu etanol pro analysis. c. Bahan untuk BST

(51)

d. Bahan untuk air laut buatan

Bahan kimia yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berderajad teknis, yaitu natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat, serta aquadest, aquadest bebas CO2 dan aquadest panas.

e. Bahan untuk KLT

1) Flavonoid. Bahan yang digunakan antara lain selulosa, n-butanol, asam asetat, aquadest, ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan, pembanding rutin 1%, uap ammonia, dan pereaksi AlCl3.

2) Triterpenoid. Bahan yang digunakan antara lain silika gel GF 254 (MERCK), toluene, etil asetat, ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan, ekstrak etanol

Liquiritiae Radix dan pereaksi semprot vanillin asam sulfat. 2. Alat penelitian

(52)

D. Tata Cara Penelitian 1. Determinasi tumbuhan tembelekan

Determinasi tumbuhan tembelekan bertujuan untuk memastikan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah Lantana camara L.. Determinasi dilakukan di Laboratorium Kebun Obat, Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta dengan menggunakan buku acuan menurutBecker and Backhuizen (1963).

2. Pengumpulan bahan

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh pada bulan Agustus 2006 di belakang RSJ Grahasia, Pakem, Yogyakarta.

3. Penyiapan bahan

Daun tumbuhan tembelekan yang sudah diambil dicuci dengan air yang mengalir, lalu dianginkan. Jika sudah bersih, daun dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutupi kain hitam. Daun diasumsikan kering apabila daun diremas sudah dapat hancur. Setelah kering daun diserbuk dan diayak. 4. Maserasi

(53)

Maserat yang terkumpul lalu dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator

sampai kental (volume kira-kira 1/3 nya). Setelah itu, dengan menggunakan cawan porselen yang sudah ditimbang terlebih dahulu, ekstrak diuapkan di atas waterbath

dengan suhu 50°C dan dengan kipas angin sampai didapatkan ekstrak kering.

5. Pembuatan air laut buatan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan air laut buatan berkadar garam 5 per mil yaitu 5 g NaCl; 1,3 g MgSO4; 1 g MgCl2; 0,3 g CaCl2; 0,2 g KCl; dan 2 g NaHCO3 dicampur dalam 1 liter aquadest. Bahan-bahan sebagian dilarutkan dalam sebagian aquadest dalam labu takar 1 liter. Khusus untuk MgSO4 dilarutkan dalam air panas, sedangkan NaHCO3 dilarutkan dengan air bebas CO2. Lalu ditambah aquadest sampai volume 1 liter (Mudjiman, 1991).

6. Penetasan siste artemia

Artemia ditetaskan dengan media air laut buatan berkadar 5 per mil. Siste

artemia ditetaskan dalam aquarium yang disekat menjadi dua bagian, bagian terang dan gelap, dengan sekat berlubang. Siste artemia ditaburkan pada bagian gelap aquarium. Siste akan menetas setelah ± 24-39 jam lalu menjadi larva (Mudjiman, 1991). Larva yang aktif akan bergerak menuju tempat terang melalui lubang pada sekat. Setelah 48 jam, larva diambil menggunakan pipet, digunakan sebagai hewan uji (Meyer et al., 1982).

7. Penyiapan sampel untuk uji toksisitas

Ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan dibuat seri konsentrasi 40, 52,

(54)

yang sama dengan jumlah ekstrak etanol yang ditambahkan dalam tiap-tiap flakon. Dilakukan 5 kali replikasi untuk masing-masing seri konsentrasi.

8. Pembuatan larutan sampel a. Pembuatan larutan A dan larutan B

Larutan A dengan konsentrasi 10 mg/ml atau 10 μg/μl dibuat dengan

menimbang 100,0 mg ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan kemudian dilarutkan dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. Larutan B dengan konsentrasi

1 μg/μl dibuat dengan mengambil 1,0 ml dari larutan A kemudian dilarutkan

dalam etanol p.a. sampai 10,0 ml. b. Pembuatan larutan sampel

Dari larutan B, dibuat seri konsentrasi 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml.

Tabel II. Seri konsentrasi larutan sampel daun tumbuhan tembelekan Konsentrasi

9. Uji toksisitas akut dengan BST

(55)

laut buatan sampai 5 ml. Setiap pengujian selalu disertai dengan kontrol dan tiap konsentrasi dibuat dalam 5 kali replikasi. Flakon dijaga agar selalu mendapat penerangan. Setelah 24 jam, jumlah larva yang mati dihitung untuk mengetahui nilai probit dan dianalisis untuk mengetahui harga LC50 (Meyer et al., 1982).

10. Uji KLT ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

Pada lempeng KLT ditotolkan masing-masing sebanyak 3 totol ekstrak (larutan A) dan pembanding dengan menggunakan mikropipet 5 μl. Setelah totolan kering, lempeng dimasukkan dalam bejana yang berisi fase gerak yang telah jenuh lalu dielusi sampai jarak rambat 10 cm lalu diangkat dan dikeringkan. Setelah itu elusi yang terjadi diamati dengan melihat bercak yang timbul. Sistem KLT yang digunakan adalah sebagai berikut

a. flavonoid

1). fase diam : selulosa

2). fase gerak : n-butanol:asam asetat:air (4:1:5 v/v fase atas) 3). pembanding : rutin

4). deteksi : visibel, UV 254 nm dan UV 365 nm sebelum dan sesudah diuapi amonia dan dengan pereaksi AlCl3 b. triterpenoid

1). fase diam : silika gel GF 254 (MERCK) 2). fase gerak : toluen:etil asetat (93:7 v/v) 3). pembanding : ekstrak etanol Liquiritiae Radix

(56)

11. Analisis hasil

Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis probit SPSS untuk menghitung harga LC50. Dalam perhitungan analisis probit secara manual, konsentrasi ditransformasikan menjadi log konsentrasi (sebagai nilai x) dan % kematian ditransformasikan menjadi nilai probit (sebagai nilai y). Setelah didapatkan persamaan garis data di atas, dicari nilai LC50 dengan menghitung nilai x pada y=5. Setelah itu, nilai x di anti-log kan untuk mendapatkan konsentrasi dimana dapat membunuh 50% hewan uji.

Jika pada kontrol ada artemia yang mati, maka persen kematian ditentukan dengan rumus Abbot :

% kematian pada perlakuan – % kematian pada kontrol

% kematian = X 100%

100 – % kematian pada kontrol

(57)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Determinasi Tumbuhan

Determinasi pertama-tama dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi tumbuhan secara keseluruhan yaitu daun, bunga, batang yang kemudian dicocokkan dengan menggunakan kunci determinasi menurut Becker and Bakhuizen (1963). Determinasi dilakukan untuk memastikan kebenaran tumbuhan yang akan digunakan dalam penelitian.

Berdasarkan determinasi yang telah dilakukan (lampiran 1), diperoleh kesimpulan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah benar-benar tumbuhan tembelekan (Lantana camara L.).

B. Pengumpulan dan Pengeringan Bahan

Daun tumbuhan tembelekan diperoleh dari tumbuhan tembelekan yang diambil di belakang RSJ Grahasia, Pakem. Lokasi tumbuh diusahakan sama untuk menghindari variasi kandungan kimia yang terlalu besar karena perbedaan kondisi lingkungan. Daun yang diambil merupakan daun ke-4 sampai ke-5 dari ujung tangkai. Pemilihan ini bertujuan agar daun yang digunakan memiliki umur yang relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna (Anonim, 1985). Daun tumbuhan tembelekan diambil dalam keadaan segar pada kondisi sedang berbunga karena pada saat itu kandungan kimia mencapai kadar optimum sehingga senyawa aktif yang terbentuk juga dalam keadaan optimal (Anonim, 1985).

(58)

Daun tumbuhan tembelekan yang telah dikumpulkan lalu dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir. Pencucian dengan air mengalir ini bertujuan agar tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada daun dapat terlepas serta tidak menempel lagi. Kemudian daun diangin-anginkan lalu dikeringkan di bawah sinar matahari secara tidak langsung dengan ditutup menggunakan kain hitam agar senyawa aktif yang terdapat didalamnya tidak rusak. Pengeringan bertujuan untuk mempermudah pembuatan serbuk, menurunkan kadar air sehingga tidak ditumbuhi jamur, dan menjamin agar kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Reaksi enzimatis serta perubahan kimiawi juga dapat diminimalkan, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam daun tumbuhan tembelekan tidak hilang terurai (Anonim, 1986).

Pengeringan daun dapat dihentikan jika kadar air yang terkandung dalam simplisia kurang dari 10% karena reaksi enzimatis yang dapat menguraikan senyawa aktif sudah tidak berlangsung (Anonim, 1985). Untuk mengetahui kapan proses pengeringan dihentikan juga dapat dilakukan dengan meremas daun sampai dapat hancur. Jika kadar air dalam daun masih tinggi, maka daun tersebut masih lemab dan jika diremas tidak hancur.

(59)

halus akan termampatkan, cairan penyari akan sulit menembus pori-pori serbuk sehingga penyarian tidak sempurna. Dalam penelitian ini, digunakan metode maserasi dengan pengadukan terus menerus menggunakan shaker sehingga serbuk tidak termampatkan. Oleh karena itu, masing-masing simplisia perlu ditetapkan derajat halus yang paling tepat untuk memperoleh hasil penyarian yang baik. Pada penelitian ini digunakan pengayak dengan no mesh 11 yang artinya dalam 1 inci tercapat 11 lubang. Pengayak ini digunakan karena dihasilkan serbuk yang dapat digunakan pada metode maserasi dengan pengadukan, dimana proses penyarian berjalan dengan baik.

C. Maserasi Daun Tumbuhan Tembelekan

Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari terdapat zat aktif. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Penyarian dengan cara maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya perbedaan konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan larutan diluar sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya dorong untuk memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari (Anonim, 1986).

(60)

menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Anonim, 1986). Dalam penelitian ini digunakan 30 gram serbuk daun tembelekan dan 225 ml etanol p.a. yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup dengan aluminium foil. Hal ini bertujuan agar larutan penyari (etanol p.a.) tidak menguap terlebih dahulu, sehingga penyarian dapat maksimal. Lalu diletakkan pada mesin pengaduk (shaker) dengan laju konstan (130 rpm) selama 2 x 24 jam, dengan tiap 24 jam mengganti pelarut. Penyarian dilakukan dengan laju 130 rpm yang diasumsikan merupakan putaran yang optimum. Penyarian dilakukan selama 2 x 24 jam untuk memastikan bahwa zat aktif yang terkandung dalam ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan sudah tersari dengan sempurna.

Pada penelitian ini didapatkan maserat sebanyak 450 ml. Untuk mendapatkan ekstrak etanol kering maka etanol diuapkan menggunakan vaccum

rotary evaporator hingga kental (± 100 ml), kemudian dipekatkan di waterbath

dengan suhu 60° C menggunakan cawan porselen yang sebelumnya telah ditara.

Vaccum rotary evaporator digunakan karena dengan alat ini kita dapat mengatur tekanan alat (175 mmHg untuk etanol), sehingga hanya etanol saja yang menguap, senyawa lain yang terkandung di dalam ekstrak diharapkan tidak ikut menguap. Suhu

60° C merupakan suhu optimal untuk penguapan di atas waterbath. Jika suhu terlalu tinggi, dapat menyebabkan senyawa aktif yang terdapat didalamnya rusak.

(61)

sisa air yang mungkin masih tertinggal dalam ekstrak karena proses pengeringan yang kurang sempurna.

D. Pembuatan Air Laut Buatan (ALB)

Pembuatan ALB bertujuan untuk menyesuaikan lingkungan hidup artemia sehingga hampir sama dengan air laut alami. Untuk membuat ALB diperlukan natrium klorida, magnesium sulfat, magnesium klorida, kalsium klorida, kalium klorida, dan natrium bikarbonat. Semua bahan dilarutkan dengan aquadest kecuali natrium bikarbonat yang dilarutkan dengan air bebas karbondioksida dan magnesium sulfat yang dilarutkan dalam aquadest panas agar lebih mudah larut. Penetasan siste

sangat dipengaruhi oleh pH karena pemecahan cangkang siste dibantu oleh kegiatan enzim penetasan yang membutuhkan pH antara 8 sampai 9. Larutan natrium bikarbonat dalam air bebas karbondioksida dicampurkan terakhir agar tidak terjadi kekeruhan.

Jika semua bahan telah larut, larutan tersebut kemudian dipindahkan dalam labu ukur 1000 ml dan ditambahkan aquadest sampai tanda. Setelah itu, labu digojog hingga larutan tercampur.

(62)

sampai 140 permil. Hal ini disebabkan karena artemia mempunyai kelenjar garam, yang dapat mengatur penyesuaian diri terhadap perubahan kadar garam. Dalam penelitian ini tidak diperlukan air laut berkadar garam tinggi karena kondisi penelitian sudah dikendalikan (tidak ada pemangsa artemia).

E. Penetasan Siste Artemia

Air laut buatan yang akan digunakan untuk menetaskan siste diaerasi dahulu selama 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup artemia. Aquarium yang digunakan adalah aquarium khusus BST, yang terdiri dari dua bagian yaitu bagian gelap dan bagian terang, yang dipisahkan oleh sekat berlubang. Air laut buatan yang telah diaerasi dituangkan ke dalam aquarium pada bagian sekat gelap, dengan ketinggian di atas sekat bagian bawah. Hal ini dilakukan agar ketika siste telah disebarkan tidak mengalir ke bagian terang. Siste artemia disebarkan ke bagian gelap.

Sebelum penetasan (sebelum siste ditaburkan dalam aquarium), siste

(63)

Larva yang aktif akan bergerak dari tempat yang gelap menuju tempat yang terang (fototaksis positif).

Setelah menetas, larva dapat bertahan hidup selama ± 2 hari tanpa diberi makanan. Larva yang baru menetas berwarna kemerah-merahan karena masih mengandung makanan cadangan. Setelah 24 jam menetas, cadangan makanan larva habis. Seiring dengan itu, larva mempunyai mulut, saluran pencernaan dan dubur. Oleh karena itu larva mulai membutuhkan lebih banyak makanan untuk kelangsungan hidupnya.

Suspensi ragi diberikan sebagai makanan larva tersebut. Sebelum dibuat,

ragi dipanaskan terlebih dahulu dengan oven bersuhu 100° C selama 10 menit untuk

menghindari adanya jamur dan bakteri yang dapat tumbuh pada ragi dan dapat mengganggu penelitian. Hal ini penting agar kematian artemia benar-benar disebabkan oleh bahan uji, yaitu ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan dengan berbagai konsentrasi, bukan karena jamur atau bakteri.

(64)

F. Uji Toksisitas dengan Metode BST

Brine Shrimp Lethality Test merupakan salah satu metode skrining bioaktivitas suatu ekstrak atau senyawa murni dengan hewan uji larva udang (artemia). Sampel yang digunakan adalah ekstrak etanol daun tumbuhan tembelakan dengan konsentrasi 40, 52, 68, 88, dan 114 μg/ml. Konsentrasi tersebut didapat

setelah dilakukan orientasi dengan kadar 10, 100, 1000 μg/ml (Meyer et al., 1982).

Setelah pengujian, didapatkan jumlah larva yang mati, yang kemudian digunakan untuk menghitung persentase kematian larva tersebut. Dari data persentase kematian ini diambil konsentrasi yang memberikan harga persentase kematian larva antara 20%-80% sebagai konsentrasi terendah dan konsentrasi tertinggi. Digunakan persentase kematian larva antara 20%-80% karena dengan persentase kematian tersebut sudah dapat memberikan kurva yang lebih linier, sehingga LC50 yang didapatkan pada uji BST ini lebih dapat menggambarkan hasil yang sebenarnya. Selanjutnya untuk mendapatkan lima seri konsentrasi dengan kelipatan yang sama, yang merupakan syarat probit dapat dihitung dengan rumus F (lampiran 4).

(65)

Tiap-tiap flakon ditandai setinggi 5 ml untuk memudahkan dalam penambahan ALB sampai 5 ml.

Air laut buatan yang akan digunakan untuk pengujian diaerasi selama 2 jam. Aerasi ini bertujuan untuk memberikan oksigen yang cukup bagi kelangsungan hidup artemia, sehingga jika terdapat artemia yang mati bukan disebabkan karena kekurangan oksigen. Sebelum artemia dimasukkan dalam flakon, sejumlah larutan uji (ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan) sesuai dengan konsentrasinya masing-masing dimasukkan dalam flakon yang sudah kering dan bersih, lalu

dikeringuapkan menggunakan waterbath dengan suhu kurang dari 60°C untuk

menghindari rusaknya zat aktif. Selain larutan uji, dilakukan juga pada kontrol yang berisi etanol dengan jumlah sesuai masing-masing konsentrasi. Pelarut harus diuapkan agar tidak mempengaruhi kematian larva.

Setelah pelarut menguap semua, ke dalam tiap flakon perlakuan maupun flakon kontrol ditambahkan ALB sebanyak 3 ml lalu divortex sehingga sampel uji terdistribusi merata ke dalam ALB. Kemudian larva yang sudah berumur 48 jam di pindah ke flakon. Tiap flakon berisi 10 larva yang diambil menggunakan pipet tetes.

Setelah itu, ke dalam tiap flakon ditambahkan suspensi ragi sebagai sumber makanan. Penambahan makanan ini penting, untuk memastikan bahwa kematian larva bukan disebabkan karena kekurangan makanan. Meyer et al. (1982) memaparkan konsentrasi suspensi ragi yang digunakan yaitu 3 mg ragi dilarutkan dalam 5 ml ALB.

(66)

menelan apa saja yang berukuran kecil. Artemia tidak bisa membedakan antara makanan dan bukan makanan. Jika pemberian makanan terlalu banyak, jumlah yang ditelan semakin banyak. Apabila terjadi demikian maka makanan yang belum sempat dicernakan akan terdesak oleh makanan baru yang terus menerus masuk dalam jumlah yang banyak. Dengan demikian, makanan itu akan keluar lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan baik dan belum sempat diserap sarinya oleh usus. Hal ini dapat menyebabkan kematian artemia, sehingga jumlah kematian larva yang didapatkan bukan merupakan hasil yang sebenarnya (Meyer et al., 1982). Setelah itu, ke dalam masing-masing flakon di tambah ALB lagi sampai tanda garis 5 ml. Flakon-flakon tadi diletakkan dekat lampu, dalam kardus yang ditutupi kain strimin dan terhindar dari cahaya matahari langsung. Ditutup kain strimin agar serangga kecil tidak masuk flakon, tetapi tidak mempengaruhi kadar oksigen.

(67)

Tabel III . Persentase kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

Konsentrasi

Data yang didapat kemudian dianalisis dengan analisis probit menggunakan Program SPSS 10.00 untuk mendapat nilai LC50. Pada penelitian ini digunakan analisis probit agar didapatkan kurva yang berbentuk garis lurus sehingga penentuan nilai LC 50 lebih tepat. Jika hanya memplotkan persentase kematian larva (nilai y) dengan logaritma konsentrasi (nilai x) maka akan didapatkan kurva berbentuk sigmoid sehingga dalam penentuan nilai LC50 dapat menjadi kurang tepat. Dalam analisis probit didapatkan kurva yang berbentuk garis lurus karena konsentrasi sampel ditransformasikan menjadi logaritma konsentrasi sebagai variabel tetap (nilai x) dan persentase kematian larva ditransformasikan menjadi nilai probit sebagai variabel tergantung (nilai y).

(68)

Probit Transformed Responses

Gambar 13. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan

Konsentrasi ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan dimana dapat membunuh 50% hewan uji (LC50) juga dapat diketahui dengan menggunakan kurva di atas, yaitu dengan menarik garis lurus pada probit 0,0 ke arah kanan sampai pada garis, lalu ditarik garis ke arah bawah, sehingga didapatkan log konsentrasi sebesar 1,78 sehingga konsentrasinya sebesar 60,4 μg/ml.

(69)

Dari nilai Rsq kita juga dapat menghitung nilai R yaitu akar dari Rsq. Dari penelitian ini didapatkan nilai R sebesar 0,9739. Nilai R merupakan koefisien korelasi dalam hubungan dua variabel X dan Y yang mengukur kuatnya hubungan antara X dan Y. Dari tabel nilai R, dengan taraf kepercayaan 95% pada derajad bebas 3 dapat dilihat nilai R sebesar 0,878 sehingga didapatkan nilai R penelitian lebih besar daripada nilai R tabel. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang linier antara konsentrasi dengan nilai probit. Meningkatnya konsentrasi diikuti dengan meningkatnya nilai probit (respon).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan mempunyai nilai LC50 < 1000 μg/ml yaitu sebesar 60,4 μg/ml, yang berarti bahwa ekstrak tersebut bersifat toksik sehingga menyebabkan kematian larva artemia.

(70)

topoisomerase, sehingga DNA tidak dapat bereplikasi atau dapat juga dengan berikatan dengan topoisomerase sehingga topoisomerase tidak dapat berikatan dengan DNA dan DNA tidak dapat bereplikasi. Jika DNA tidak terbentuk maka sel-sel kanker tersebut akan mati. Selain itu, senyawa ini juga dapat menghambat enzim yang mengkatalis sintesis RNA, yaitu menghambat RNA polymerase. Jika enzim ini dihambat DNA dan protein juga tidak akan terbentuk sehingga dapat menyebabkan kematian sel.

(71)

kedua yaitu sel tumor mengalami mutasi, seleksi dan evolusi yang berkepanjangan yang menyebabkan terjadinya kanker.

G. Uji Kualitatif Ekstrak Etanol dengan KLT

Pemeriksaan kandungan kimia dengan metode KLT ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat senyawa flavonoid dan triterpenoid dalam ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan. Digunakan metode KLT karena mempunyai banyak kelebihan dibandingkan kromatografi lain yaitu tidak memerlukan biaya yang besar, waktu relatif singkat, jumlah sampel yang dibutuhkan sedikit, dan pengerjaannya sederhana. KLT dilakukan menggunakan fase diam dan fase gerak yang sesuai untuk masing-masing senyawa agar memberikan bercak yang kemudian dideteksi dengan sinar tampak, sinar UV dan dengan menggunakan pereaksi semprot yang spesifik.

Kromatografi Lapis Tipis yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan KLT semikuantitatif, yaitu dengan mengetahui jumlah larutan yang ditotolkan. Larutan yang ditotolkan merupakan larutan A yang mempunyai konsentrasi 10 μg/μl, ditotolkan sebanyak 3 totolan dengan menggunakan pipet 5 μl, sehingga dalam tiap kali totolan ditotolkan 150 μg ekstrak. Penotolan 150 μg ekstrak menghasilkan bercak yang tampak memisah dengan baik dan tidak mengekor.

(72)

rambat elusi yaitu 10 cm dan jika sudah terlampaui maka lempeng diangkat dan dibiarkan kering untuk selanjutnya dideteksi menggunakan sinar ultraviolet dan pereaksi semprot yang spesifik, yang dapat menunjukkan dengan lebih jelas senyawa yang diidentifikasi.

Senyawa aktif antikanker sangat tersebar luas pada tanaman tingkat tinggi, meliputi berbagai golongan senyawa seperti tanin, terpen, flavonoid, alkaloid, saponin, iridoid, lignan, glikosida, kuasinoid dan protein. Daun tumbuhan tembelekan mengandung senyawa golongan flavonoid (Asterina, 1994) terpen, dan minyak atsiri (Rana, 2005). Diduga senyawa yang bertanggung jawab terhadap efek toksik daun tumbuhan tembelekan adalah triterpenoid dan flavonoid. Hal ini dijadikan dasar dalam penelusuran senyawa yang terdapat dalam ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan.

Pada KLT digunakan pereaksi yang terbatas macamnya sehingga hasil yang diperoleh baru memberikan informasi pendahuluan tentang golongan senyawa yang kemungkinan terdapat dalam ekstrak etanol daun tumbuhan tembelekan namun belum dapat memberikan informasi tentang anggota golongan senyawa yang lebih terperinci.

1. Identifikasi triterpenoid

(73)

berfluoresensi. Pada penelitian ini digunakan indikator flouresensi karena triterpenoid mengandung hanya sedikit kromofor sehingga bercak di bawah sinar ultraviolet tanpa indikator akan memberikan warna yang lemah. Untuk itu diperlukan indikator fluoresensi sehingga bercak pada UV 254 akan meredam (Lampiran 7). Hal ini disebabkan karena lempeng yang mengandung indikator fluoresensi tertutupi bercak tersebut.

Fase gerak yang digunakan adalah toluen, etil asetat dengan perbandingan 93:7. Sebagai pembanding digunakan ekstrak etanol Liquiritiae Radix karena diketahui komponen utama penyusun Liquiritiae Radix adalah triterpenoid. Deteksi yang digunakan yaitu pereaksi vanilin asam sulfat dengan pemanasan 110°C selama

10 menit karena vanilin asam sulfat merupakan pereaksi yang spesifik untuk triterpenoid. Pada penelitian ini digunakan tiga macam deteksi yaitu dengan sinar UV 254 nm dan UV 365 nm seta pereaksi semprot vanilin asam sulfat untuk benar-benar memastikan bahwa bercak yang didapatkan merupakan bercak triterpenoid.

Gambar

Tabel I Perbedaan uji toksisitas akut, uji toksisitas sub kronis dan uji
Gambar 1. Struktur pentasiklik triterpenoid (Kaufman, Cseke , Warbers, Duke,
Gambar 2 . Mekanisme penghambatan enzim topoisomerase (Albert, Johnson,
Gambar 3. Struktur umum flavonoid (Harborne, 1984)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pelaku pasar akhir usaha pangan olahan berbasissingkong ada 2, yaitu: produsen dan pedagang pengecer; (2) Isu-isu strategi pengembangan usaha pangan olahan

Model pembelajaran berbasis masalah dengan metode eksperimen dapat dijadikan sebagai alternatif model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengaktifkan siswa,

When the Doctor and Romana entered the Great Recreation Hall a moment later, they found Hardin struggling desperately to force open the door of the generator. Silent and unmoving

3 Banyak dari wajib pajak yang masih lalai dalam melaporkan kewajiban perpajakan salah satunya yaitu laporan SPT Tahunan dengan berbagai macam alasan ada yang menunda

Faktor internal yang mempengaruhi terjadinya postpartum blues antara lain fluktuasi hormonal, faktor psikologis dan kepribadian, adanya riwayat depresi sebelumnya,

Teknologi baru yang terdapat pada versi 3.5 ini bertujuan untuk membuat akses data menjadi lebih mudah dan lebih efisien bagi siapapun yang ingin membuat dan memelihara

Dalam rangka melengkapi data yang diperlukan untuk penelitian sebagai bahan penyusunan skripsi pada Program Sarjana Sains, Departemen Matematika Fakultas Matematika dan

Melihat hasil yang didapat bahwa penurunan kadar albumin sapi bali yang terinfeksi Fasciola gigantica disebabkan oleh adanya penurunan fungsi hati akibat adanya