• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum komunikasi dipahami sebagai suatu proses transaksi informasi yang diharapkan dapat mempermudah hubungan antarmanusia. Proses ini setidaknya mencakup keterlibatan komunikator dan komunikan, isi pesan, dan saluran penyampaian pesan (Mulyana, 2000). Media baru pun kemudian hadir dalam kehidupan manusia yang dengan sendirinya menghadirkan pula berbagai bentuk komunikasi berbasis media baru ini. Tidak dapat dipungkiri, kehadiran media baru membawa juga perubahan dalam pola gaya hidup manusia, termasuk dalam pola penyelenggaraan kegiatan komunikasinya. Kehidupan manusia secara individual dan kehidupannya dalam suatu relasi sosial mau tidak mau harus bersentuhan dengan media baru ini. Sebagai contoh, jejaring sosial yang dikembangkan individu atau suatu komunitas di dalam masyarakat dilakukan dengan berbagai media sosial (social media) yang ada seperti Facebook, Twiter,

Path, Instagram, Line, dan WhatsApp.

Bagi manusia dengan indra yang sempurna, kegiatan komunikasi mereka relatif dapat dilakukan dengan mudah. Gangguan (noise) komunikasi biasanya lebih banyak berkait dengan faktor eskternal, seperti kekurangsempurnaan kerja media dan perangkatnya saat dilakukan penyampaian pesan dan faktor internal di dalam diri aktor komunikasi seperti keterbatasan diri dalam memahami isi pesan yang disampaikan. Secara teknis, gangguan komunikasi ini lebih mudah mereka kurangi atau dihilangkan dengan cara meminimalkan atau meniadakan gangguan yang mereka lihat, dengar, dan rasakan. Dengan kata lain, gangguan komunikasi yang demikian relatif lebih mudah diatasi karena bersifat tidak permanen.

Namun demikian, rintangan komunikasi akan menjadi salah satu gangguan komunikasi yang sangat menyulitkan dan tentunya memengaruhi keberhasilan proses transaksi informasi, bila gangguan ini bersifat permanen. Salah satu

(2)

macam rintangan komunikasi yang bersifat permanen dalam diri manusia tentunya berupa rintangan fisik. Rintangan komunikasi permanen bersifat fisik ini biasanya terjadi pada manusia yang terlahir dengan kemampuan indrawi yang kurang sempurna, indra yang tidak sempurna, serta indra sempurna yang berubah menjadi kurang atau tidak sempurna karena faktor kecelakaan serta usia. Dengan keterbatasan kemampuan indrawi yang demikian, kemampuan mereka untuk menjalin komunikasi menjadi terbatas, terhalang, atau harus lebih disempurnakan dengan alat bantu tertentu.

Orang-orang yang dalam menjalankan aktivitas komunikasi mereka dengan orang lain harus memerlukan alat bantu ini disebut dengan orang-orang berkebutuhan khusus (difabel). Termasuk dalam kelompok orang-orang berkebutuhan khusus ini antara lain adalah orang-orang tunarungu, tuna wicara, serta tuna grahita. Hal yang segera terlihat dari orang-orang berkebutuhan khusus adalah kemampuan indra mereka yang lebih lambat serta tidak atau kurang sempurna, cara berkomunikasi yang diciptakan secara khusus untuk mereka serta antara mereka dan orang lain, penggunaan alat bantu melihat, mendengar, bicara, merasa, dan meraba, serta ketergantungan yang lebih besar pada media untuk dapat berkomunikasi (Clements dan Read, 2008).

Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, terjadi pula pergeseran proses transaksi informasi yang dilakukan oleh orang-orang dengan kebutuhan khusus ini. Bagi penderita tunarungu dan biasanya disertai dengan kesulitan dalam berbicara, misalnya, pergeseran cara berkomunikasi terlihat dari cara awal mereka yang berusaha mengeluarkan suara seadanya, penggunaan gestur tertentu, pemakaian tanda-tanda komunikasi dengan jari-jari, penyempurnaan proses komunikasi dengan alat bantu, hingga akhirnya lebih dimudahkan lagi saat media baru hadir dalam kehidupan manusia. Dengan kehadiran media baru ini, kebutuhan antarindividu orang-orang berkebutuhan khusus dalam melakukan transaksi informasi atau menjalin komunikasi dengan ditopang jaringan internet dapat berlangsung dengan lebih mudah.

(3)

Fenomena menarik ini terlihat dalam komunitas Dunia Tak Lagi Sunyi (DTLS) yang beranggotakan orang-orang dan anak-anak penyandang keterbatasan dalam mendengar serta sejumlah orang yang memiliki perhatian terhadap orang-orang berkebutuhan khusus untuk mendengar dan berbicara. Di Indonesia, komunitas DTLS dibuat pada tanggal 14 Februari 2012 dan kini beranggotakan 2.493 pengguna Facebook dari Sabang sampai Merauke (data sampai dengan 26 Agustus 2014), meskipun mayoritas anggotanya sebenarnya berasal dari pulau Jawa, dan lebih khusus lagi dari Yogyakarta. Komunitas DTLS ini dimotori seorang ibu rumah tangga bernama Nana Nawangsari yang bekerja di Badan Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika Kota Yogyakarta dan memiliki anak tunarungu. Kehadiran komunitas DTLS melalui media sosial Facebook telah berusia lebih dari satu tahun. Melalui media sosial ini, komunitas DTLS berusaha mengekspresikan kehadirannya dan menjadi wadah penyandang tunarungu atau masyarakat yang memiliki keluarga tunarungu untuk berbagi informasi, pesan, nasihat, tukar menukar pengalaman dan keluhan, serta pemberian bantuan bagi anak-anak difabel pada umumnya dan bagi anak tunarungu khususnya.!

Dalam realitasnya, kehadiran komunitas DTLS lewat media jejaring sosial

Facebook mampu menarik perhatian dan kemudian dijadikan sarana pencarian

dan pemberian informasi bagi masyarakat berkebutuhan khusus. Dari sudut pandang sosial, kehadiran komunitas DTLS di Facebook secara mudah terpotret dalam relasi komunikasi dan sosial antarmasyarakat penyandang tuna rungu di tingkat lokal hingga pada akhirnya mampu membangun jaringan komunikasi secara nasional di antara mereka. Aktivitas komunikasi di kalangan aggota komunitas DTLS setidaknya dapat menyatukan dan mengumpulkan mereka tanpa harus bertemu secara langsung.

Dalam kenyataannya, proses transaksi informasi di dunia maya lewat media jejaring sosial Facebook tak sekadar sebagai proses penyatuan secara maya (Johnson, 2012). Lebih dari itu, terlihat sejumlah perkembangan yang terjadi dalam jalinan komunikasi melalui Facebook, termasuk yang terjadi di dalam komunitas DTLS. Dari penelusuran dan tinjauan sekilas terlihat bahwa di

(4)

kalangan orangtua yang memiliki anak penyandang gangguan pendengaraan proses komunikasi cenderung semakin serius dalam melindungi, membimbing, dan mengarahkan anak tunarungu mereka dalam menghadapi berbagai persoalan psikis, mental, dan sosial. Hal ini menjadi salah satu penyebab kehadiran DTLS diterima luas masyarakat dan menginspirasi kota-kota lain untuk bergabung dengan komunitas DTLS di Facebook. Selain itu, kehadiran dan sisi positif komunitas DTLS ini pada akhirnya mampu meningkatkan kepercayaan diri penyandang tunarungu dan keluarga mereka. Tak jarang mereka pun kemudian membuat sejumlah sub-komunitas yang bergabung dalam komunitas DTLS.

Meskipun komunitas DTLS di Facebook dapat dikatakan menjadi satu solusi untuk mengatasi persoalan gangguan komunikasi di kalangan penyandang tunarungu dan keluarga mereka, dalam kenyataannya terlihat pula persoalan lain dalam penggunaan media jejaring sosial Facebook ini di kalangan anggota komunitas DTLS. Permasalahan utama yang terlihat adalah kekurangmaksimalan intensitas penggunaan media jejaring sosial Facebook dalam proses komunikasi antaranggota yang tergabung dalam komunitas DTLS. Kekurangmaksimalan intensitas ini kemungkinan dapat diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan dalam mengakses media baru, keterbatasan kemampuan dalam menggunakan media baru, serta keterbatasan kemampuan dalam proses produksi pesan di antara anggota dalam komunitas DTLS.

Keterbatasan kemampuan dalam proses produksi pesan sejumlah anggota DTLS mau tidak mau harus dipandang sebagai persoalan krusial dalam aktivitas komunikasi dengan mengingat adanya keterbatasan yang bersifat fisik permanen di antara anggota komunitas DTLS. Dari sisi fungsi, komunitas DTLS di

Facebook hadir dalam fungsinya yang diharapkan dapat mengintensifkan

komunikasi antaranggota. Namun demikian, dengan adanya keterbatasan kemampuan atau lebih tepatnya ketidakmerataan kemampuan dalam proses produksi pesan untuk berkomunikasi melalui Facebook ini, persoalan tentang produksi pesan ini menjadi perlu untuk dieksplorasi lebih jauh.

(5)

Hal ini mengantar pada pertanyaan penelitian dalam studi tentang produksi pesan untuk kegiatan komunikasi berbasis media baru di kalangan orang-orang berkebutuhan khsusus dalam komunitas DTLS, seperti yang terlihat pada perumusan masalah berikut.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut, “Bagaimana proses produksi pesan yang dilakukan untuk kegiatan komunikasi di kalangan pengguna media jejaring sosial Facebook di dalam komunitas Dunia Tak Lagi Sunyi?”

Rumusan masalah ini pada dasarnya terbentuk dari sejumlah pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana proses produksi pesan dalam kegiatan komunikasi dengan media sosial Facebook di antara anggota komunitas DTLS yang berkebutuhan khusus dan yang tidak berkebutuhan khusus?

2. Bagaimana fungsi yang dijalankan media jejaring sosial Facebook di dalam komunitas DTLS?

3. Bagaimana nilai guna pesan di dalam jejaring sosial Facebook bagi anggota komunitas DTLS yang berkebutuhan khusus?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang penggunaan Facebook di antara anggota komunitas DTLS ini bertujuan untuk mengetahui dinamika proses produksi pesan antaranggota, fungsi media jejaring sosial Facebook bagi anggota komunitas DTLS, dan nilai guna penggunaan media jejaring sosial ini bagi orang-orang berkebutuhan khusus dalam pendengaran.

(6)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian tentang proses produksi pesan antaranggota untuk memaksimalkan intensitas komunikasi orang-orang berkebutuhan khusus dalam pendengaran anggota komunitas DTLS ini dapat diuraikan sebagai berikut:!

1. Memperkaya studi tentang proses komunikasi yang dipengaruhi oleh gangguan komunikasi permanen dalam bentuk ketidaksempurnaan atau kekurangsempurnaan kemampuan indrawi manusia.

2. Memperkaya studi tentang proses komunikasi melalui media jejaring sosial pada umumnya dan melalui media jejaring sosial di antara orang-orang berkebutuhan khusus.

3. Memberi landasan bagi anggota Komunitas Dunia Tak Lagi Sunyi dalam meningkatkan nilai guna komunikasi di antara mereka.

4. Menambah pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan produksu pesan untuk peningkatan intensitas komunikasi bagi masyarakat berkebutuhan khusus, utamanya penderita tunarungu.

E. Kerangka Pemikiran

Studi ilmu komunikasi pada umumnya dipagari oleh berbagai upaya untuk mengeksplorasi hal-hal yang terkait dengan transaksi informasi serta hal-hal yang bertautan dengan elemen-elemen komunikasi. Transaksi informasi dalam hal ini mencakup berbagai hal tentang penyusunan, penyampaian, dan penerimaan informasi antaraktor komunikasi. Sedangkan elemen-elemen komunikasi meliputi elemen dasar seperti komunikator (source), saluran (channel), pesan (message), dan komunikan (receiver) serta elemen-elemen lain yang terdiri dari penyandian

(encoding), penguraian sandi (decoding), umpan balik (feedback), pengaruh

(effect), serta gangguan (noise). Harus diakui, studi ilmu komunikasi pada umumnya lebih memusatkan pada dinamika transaksi informasi serta

(7)

elemen-elemen komunikasi dari source hingga ke effect, dan kurang banyak memberi perhatian pada masalah noise (Wimmer dan Dominick, 2010).

Gangguan komunikasi, seperti telah disinggung di muka, dapat berasal dari hal-hal yang bersifat tidak permanen sehingga mudah dikurangi atau dihilangkan serta dari hal-hal yang bersifat permanen akibat kekurangsempurnaan, ketidaksempurnaan, atau kerusakan indrawi sehingga relatif lebih sulit diatasi. Namun demikian, dengan kekayaan akal budi yang dimiliki manusia, gangguan dalam berkomunikasi yang berasal dari hal-hal permanen ini berusaha diatasi dengan berbagai metode belajar untuk berkomunikasi, menciptakan alat bantu untuk berkomunikasi, serta dengan melakukan produksi pesan yang dapat lebih memudahkan orang-orang berkebutuhan khusus untuk berkomunikasi.

Pada sub-bagian kerangka pemikiran ini akan diuraikan landasaan dalam melakukan penelitian tentang produksi pesan antaranggota untuk memaksimalkan nilai guna komunikasi orang-orang berkebutuhan khusus dalam pendengaran pada anggota komunitas DTLS. Secara berurutan, pemaparan akan dilakukan dengan menilik proses produksi pesan dalam komunikasi, media sosial dan komunitas, serta metode etnografi maya (cyber-ethnography) yang digunakan untuk membedah proses produksi pesan dalam Facebook yang digunakan komunitas DTLS.

1. Produksi pesan dalam komunikasi pada orang-orang berkebutuhan khusus

Dalam kegiatan komunikasi, proses komunikasi dapat diartikan sebagai penyusunan, pengiriman, dan penerimaan pesan dari komunikator ke komunikan dengan umpan balik dan efek tertentu. Sejumlah model komunikasi seperti model Lasswell, model Schramm, model matematik Shannon dan Weaver, model Osgood, model simetrik Newcomb, model Westley-MacLean, model Stimulus-Respon, dan model Gerbner setidaknya memberi penegasan terhadap pengertian

(8)

proses komunikasi yang demikian (Severin dan Tankard, 1988; Griffin, 2003; serta Zacharis dan Bender, 1976). Di dalam sejumlah model komunikasi yang dihadirkan para ahli komunikasi, proses penyusunan, pengiriman, dan penerimaan pesan yang demikian secara jelas menunjukkan adanya aktor-aktor komunikasi yang bertindak baik sebagai pengirim, penyampai, atau penerima pesan. Selain melibatkan aktor-aktor komunikasi, transaksi atau transformasi pesan dalam model-model komunikasi ini menunjukkan adanya pesan dan saluran yang digunakan, di samping nantinya memunculkan umpan balik dari penerima, dampak yang tercipta, serta proses penyandian dan penguraian sandi yang dilakukan. Beberapa di antara model komunikasi di atas dapat dilihat pada Gambar 1.1.

a. Model Schramm (Severin dan Tankard, 1988: 35)

b. Model Simetri Newcomb (Severin dan Tankard, 1988: 35-36)

c. Model Lasswell (Severin dan Tankard, 1988: 32)

Who

Says What

In Which Channel

To Whom

With What Effect?

d. Model Matematik Shannon dan Weaver (Griffin, 2003: 24)

Gambar 1.1

(9)

Adanya sejumlah model komunikasi secara tidak langsung menunjukkan pula adanya beberapa pemaknaan dalam mengartikan komunikasi. Secara praktis, perbedaan pengertian komunikasi tak dapat dialihkan dari kenyataan tentang beragamnya kebutuhan yang ada pada masyarakat, termasuk dalam kebutuhan ekonomi, kejiwaan, kehidupan, dan bahkan untuk tujuan politik. Kebutuhan yang berkembang dalam Perang Dunia II, kebutuhan untuk standar kehidupan yang lebih baik, serta kebutuhan perluasan pemasaran produk atau jasa, sebagai contoh, menjadi salah satu penyebab munculnya banyak pengertian tentang komunikasi.

Namun demikian, upaya memahami komunikasi setidaknya dapat dirujuk dari pemikiran Alex Gode yang menjelaskan komunikasi sebagai suatu proses yang membuat sesuatu dari awalnya dimiliki seseorang menjadi dimiliki dua atau banyak orang (Mulyana, 2005). Definisi Gode ini cenderung mengabaikan unsur kesengajaaan (intentionality), yang bagi Miller (1976) justru dianggap penting. Miller memasukkan unsur kesengajaan ini dalam menggambarkan komunikasi sebagai situasi yang memungkinkan sumber menstransmisikan pesan kepada penerima dengan disadari yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku penerima. Dalam perkembangan selanjutnya, pengertian komunikasi sebagai proses pengalihan suatu ide dari sumber ke satu atau lebih penerima dengan maksud mengubah perilaku penerima banyak memengaruhi pemahaman orang tentang komunikasi.

Hal ini berbeda dengan pendapat Scheidel (1976) yang menyatakan bahwa komunikasi sebagai transmisi informasi cenderung menempatkan komunikasi sebagai tindakan satu arah. Hal ini akan berbeda bila upaya memahami komunikasi dilakukan dengan menempatkan komunikasi sebagai transaksi, atau dikenal dengan komunikasi transaksional. Beberapa ahli kemudian memberi pengertian tentang komunikasi sebagai usaha untuk memperoleh makna (Wenburg dan Wilmot, 1973), proses memahami dan berbagi makna (Pearson dan Nelson, 1979), serta proses pembentukan makna di antara dua orang atau

(10)

makna dapat diperoleh dengan tindakan komunikasi apa pun sepanjang penafsiran perilaku orang lain telah dilakukan.

Selain dipahami sebagai tindakan satu arah dan sebagai wujud transaksi, pengertian komunikasi dapat terbentuk dengan menempatkan komunikasi sebagai tindakan interaksi. Pengertian komunikasi yang demikian dipahami sebagai suatu kegiatan komunikasi dalam proses aksi dan reaksi atau dalam beberapa hal sebagai proses sebab dan akibat. Kegiatan komunikasi biasanya dimulai dengan pengiriman pesan dari penyampai atau sumber, dilanjutkan dengan penerimaan pesan dan reaksi atas pesan yang diterima oleh penerima pesan atau sasaran, yang kemudian bisa dilanjutkan lagi dengan pengiriman pesan baru atau pesan lanjutan dari pengirim pertama sebagai reaksi balik atas reaksi yang diberikan oleh penerima pesan, dan demikian pula seterusnya.

Adanya pesan yang ditrasmisikan di antara sumber dan penerima menunjukkan pentingnya keberadaan pesan atau message ini. Pesan merupakan hal utama dalam tindakan komunikasi dan berlangsungnya transaksi informasi atau transmisi pesan menjadi ciri khusus dari kegiatan komunikasi. Wujud pesan dapat berupa lambang-lambang atau simbol-simbol yang menunjukkan gagasan, pengetahuan, perasaan, sikap, serta tindakan yang dapat dinyatakan dalam bentuk kata-kata terucap (wicara) atau kata-kata tertulis serta dalam bentuk gerakan anggota tubuh dengan berbagai cara pengekspresiannya.

Agar komunikasi dapat berlangsung secara efektif, pesan harus disusun dengan baik oleh sumber komunikasi dan harus dapat diterima dengan baik pula oleh penerima (Maxwell, 2010). Bila komunikasi terjalin dan berlangsung di antara orang-orang yang tidak memiliki hambatan yang bersifat permanen, proses penyusunan pesan relatif dapat dilakukan dengan mudah. Hal yang mirip, proses penerimaan pesan relatif dapat dilakukan dengan mudah bila komunikasi terjalin dan berlangsung di antara orang-orang yang tidak memiliki hambatan yang bersifat permanen. Secara keseluruhan bahkan dapat dikatakan komunikasi efektif dapat mudah dicapai bila proses penyusunan, pengiriman, dan penerimaan pesan

(11)

dapat diselenggarakan secara baik dalam kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh sebagian besar manusia.

Proses produksi pesan dalam kegiatan komunikasi yang dilakukan oleh manusia yang tidak berkebutuhan khusus pada umumnya dapat dilakukan dengan mudah. Pesan-pesan mereka dapat dikatakan terwujud dalam simbol-simbol komunikasi yang umum dan bersifat universal, terlepas dari adanya berbagai macam bahasa di dunia ini, dan secara umum pula dapat diterima dan dipahami dengan mudah pula. Namun demikian, hal semacam ini tidaklah berlangsung secara sederhana bila proses produksi dan penerimaan pesan berlangsung di antara orang-orang yang berkebutuhan khusus atau bila salah satu pihak dalam proses komunikasi yang berlangsung adalah mereka yang berkebutuhan khusus. Selain gangguan dalam berkomunikasi yang bersifat permanen pada salah satu indera mereka, sejumlah faktor bersifat psikis muncul dan cenderung menjadi pembesar hambatan mereka dalam berkomunikasi. Ketidakpercayaan diri, keragu-raguan dalam memulai berkomunikasi, serta perasaan tidak aman dan nyaman dalam mencoba memproduksi pesan bagi orang lain dapat disebutkan sebagai contoh betapa komunikasi yang hendak mereka lakukan tidaklah segampang yang dilakukan orang-orang lainnya.

Dalam hal ini, anak berkebutuhan khusus yang bersifat permanen diartikan sebagai “anak-anak yang mengalami hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang bersifat internal dan akibat langsung dari kondisi kecacatan, yaitu seperti anak yang kehilangan fungsi penglihatan, pendengaran, gangguan perkembangan kecerdasan dan kognisi, gangguan gerak (motorik), gangguan intekrasi-komunikasi, gangguan emosi, sosial, dan tingkah laku”.1 Gangguan komunikasi pada orang-orang berkebutuhan khusus semacam ini setidaknya meliputi berbagai lingkup masalah dalam komunikasi mereka yaitu gangguan bicara, bahasa, dan mendengar. Gangguan bahasa dan bicara melingkupi !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1 Lihat di http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241984031-ZAENAL_ALIMIN/MODUL_1_UNIT_2.pdf atau di http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/131410887%20-%20Zaenal%20Alimin/ !

(12)

gangguan artikulasi, gangguan mengeluarkan suara, afasia (kesulitan menggunakan kata-kata, biasanya karena memar atau luka pada otak), dan keterlambatan di dalam berbicara atau berbahasa. Keterlambatan bicara dan bahasa tergantung dari beberapa penyebab, termasuk di dalamnya adalah faktor lingkungan atau gangguan pendengaran.

Pada umumnya, gangguan pendengaran menjadi penyebab munculnya gangguan lain seperti keterlambatan berbicara. Bila anak memiliki gangguan pendengaran, dia cenderung akan memiliki gangguan mengerti pembicaraan dan gangguan menirukan dan menggunakan bahasa. Gangguan pendengaran terbagi atas gangguan pendengaran parsial dan ketulian total. Ketulian dapat didefinisikan sebagai kesulitan berkomunikasi secara auditori atau harus memerlukan alat bantuan berupa amplifikasi. Dalam hal ini terdaoat berbagai jenis gangguan pendengaran, yang di antaranya adalah gangguan pendengaran konduktif dan gangguan pendengaran sensorineural. Gangguan pendengaran konduktif yang disebabkan penyakit atau sumbatan pada liang telinga maupun telinga tengah biasanya dapat dibantu dengan hearing aid. Gangguan pendengaran sensorineural yang terjadi karena kerusakan pada sel rambut sensori dari telinga dalam atau kerusakan dari saraf telinga pada umumnya tidak dapat dibantu dengan hearing aid.2

Sejumlah metode pembelajaran untuk berkomunikasi yang diterapkan bagi orang-orang berkebutuhan khusus (dalam hal ini mereka yang memiliki gangguan dalam alat pendengaran) pada dasarnya diawali dengan proses belajar untuk memproduksi pesan ini. Hal ini pun tidaklah semudah penerapan metode pembelajaran bagi orang biasa, karena pembelajar produksi pesan ini pun terhalang oleh hambatan pendengaran. Secara umum, pembelajaran dalam proses produksi pesan bagi orang-orang berkebutuhan khusus diawali dengan mengajarkan pada mereka untuk mengeluarkan suara dasar melalui bentuk-bentuk bibir tertentu. Pada tahap berikutnya, penerapan metode pembelajaran dilanjutkan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

2 Lihat

http://klikdokter.com/healthnewstopics/read/2008/07/01/117/gangguan-komunikasi-pada-anak

(13)

dengan proses produksi pesan yang diwarnai dengan gerakan anggota badan, termasuk tangan dan utamanya jari-jari untuk menghasilkan simbol-simbol komunikasi tertentu. Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap yang sudah mulai lebih maju karena pembelajar sudah mulai memperlancar kegiatan komunikasi mereka dengan belajar menerima dan mengirim pesan, yang dalam hal ini dapat berlangsung antarorang berkebutuhan khusus serta antara orang berkebutuhan khusus dan mereka yang tidak berkebutuhan khusus dengan simbol-simbol tertentu.

Proses produksi pesan yang lebih kompleks bagi orang-orang berkebutuhan khusus terjadi pada tahap selanjutnya. Saat mereka sudah semakin memperlebar dan memperbanyak interaksi sosial dalam kehidupan, mereka akan cenderung mengupayakan penggunaan alat-alat produksi pesan yang lebih banyak. Pesan-pesan yang mereka hasilkan pun tidak lagi sekadar mimik wajah,

gesture, dan simbol-simbol komunikasi khas yang digunakan oleh para penderita

gangguan pendengaran, namun sudah dalam bentuk pesan-pesan yang dapat disepadankan dengan pesan-pesan yang dihasilkan oleh mereka yang tidak berkebutuhan khusus.

Transmisi kata baik yang dilakukan melalui ucapan atau tulisan, merupakan salah satu contoh hasil produksi pesan dari orang-orang berkebutuhan khusus ini. Dalam hubungan antarpersonal, kata-kata yang terucap mungkin tidak sesempurna bila diucapkan oleh orang-orang dengan indra pendengar dan bicara yang normal. Kata atau suku kata yang mengandung huruf “s” kebanyakan menjadi persoalan tersendiri dalam pengucapan orang-orang berkebutuhan khusus ini. Melalui kata-kata tertulis, persoalan serupa terjadi karena kata yang mereka tulis pada dasarnya berasal dari kata yang mampu mereka dengar dalam keterbatasan mereka.

Dalam relasi sosial yang lebih luas, pada tahap produksi pesan yang lebih kompleks ini, orang-orang berkebutuhan khusus pada masa sekarang dapat dikatakan lebih beruntung. Kemajuan teknologi memungkinkan mereka untuk lebih melakukan produksi pesan (Ellis dan Kent, 2013; serta Lerner dan John,

(14)

2011). Dalam pengertian komunikasi sebagai tindakan satu arah, produksi pesan mereka dapat dimaknai sebagai upaya dalam mengekspresikan diri. Dalam pengertian komunikasi sebagai transaksi, proses produksi pesan mereka dapat berjalan berimbang dengan proses pengonsumsian pesan. Sedangkan dalam pengertian komunikasi sebagai suatu interaksi, proses produksi mereka dapat menjadi salah satu perekat bagi orang-orang berkebutuhan khusus dalam menjalankan hubungan sosial.

Konsekuensi dari hal di atas adalah semakin luasnya peluang orang-orang berkebutuhan khusus dalam melakukan produksi pesan serta dalam mengonsumsi pesan. Dengan kata lain, semakin terbuka peluang bagi orang-orang berkebutuhan khusus untuk memahami dan menjalankan tindakan komunikasi bersama dengan orang-orang lainnya. Sebagai contoh, teknologi komunikasi memungkinkan mereka untuk lebih mudah berkomunikasi dan berinteraksi. Selain itu, teknologi komunikasi juga membuka peluang bagi mereka untuk mendengar pengalaman dan berbagi pengalaman dalam mengatasi hambatan pendengaran, seperti yang dilakukan oleh anggota-anggota komunitas DTLS.

Dalam penelitian ini, produksi pesan anggota komunitas DTLS dilihat dari dua bentuk. Pertama, produksi pesan yang dihasilkan oleh anggota komunitas DTLS yang berkebutuhan khusus. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh orang-orang berkebutuhan khusus dalam komunitas DTLS ini, tentu proses produksi pesan mereka akan bersifat khas, baik pesan itu ditujukan kepada sesama orang-orang berkebutuhan khusus maupun kepada orang-orang lain yang tidak berkebutuhan khusus. Kekhasan produksi pesan mereka akan ditekankan pada isi pesan yang mereka hasilkan. Kedua, produksi pesan yang dilakukan oleh anggota komunitas DTLS yang tidak berkebutuhan khusus. Sebagaimana orang biasa yang berkomunikasi, produksi pesan mereka tentu berlangsung sebagaimana orang lain dalam berkomunikasi. Kekhasan produksi mereka tentu lebih terlihat pada tujuan produksi pesan ini dilakukan, yang tentu diarahkan pada tiga sasaran yaitu anggota lain komunitas DTLS yang berkebutuhan khusus, anggota lain DTLS yang tidak berkebutuhan khusus, serta anggota komunitas DTLS secara umum.

(15)

Uraian di atas mendiskusikan proses produksi pesan di kalangan orang-orang berkebutuhan khusus, yang secara nyata dihalangi oleh keterbatasan namun secara semangat mereka menginginkan untuk dapat melakukan kegiatan komunikasi secara maksimal. Gambaran di atas kiranya dapat lebih mempermudah pemahaman tentang penggunaan media sosial Facebook oleh anggota-anggota komunitas DTLS, seperti yang didiskusikan lebih jauh berikut ini.

2. Media sosial dan komunitas

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari sumber kepada penerima. Pesan-pesan yang disalurkan media dan kemudian diterima pancaindera selanjutnya diproses dalam pikiran manusia yang kemudian digunakan untuk mengontrol dan menentukan sikap sebelum lebih jauh dinyatakan dalam wujud tindakan (Cangara, 2006). Dalam banyak hal, media ini berperan sangat penting dan kerap disepadankan pentingnya dengan pesan itu sendiri. Satu hal yang jelas dan pasti, kehadiran media pada dasarnya mempermudah berlangsungnya transaksi informasi antara komunikator dan komunikan.

Sejauh ini, pemahaman orang tentang media dalam komunikasi massa dapat dipilah menjadi beberapa jenis. Pertama, media tradisional yang pada dasarnya mewakili penggunaan media rakyat dalam suatu masyarakat tertentu Media jenis ini biasanya digunakan untuk mengomunikasikan suatu pesan dan di Indonesia mewujud dalam berbagai bentuk kesenian masyarakat. Kedua, media konvensional baik berbentuk cetak ataupun elektronik dengan kemampuan jangkauan massa yang lebih luas. Di dunia, media konvensional ini di antaranya muncul dalam bentuk suratkabar, majalah, televisi, radio, dan film (Brooks dkk., 2012). Ketiga, media baru atau new media yang pada dasarnya merupakan media dengan berbasis pada kontribusi jaringan internet. Dalam hal ini, media baru muncul dalam berbagai wujud yang salah satunya berupa media jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, Path, dan WhatsApp (Rodman, 2011).

(16)

Media baru, seperti dinyatakan Adiputra (2012) sering dikaitkan dengan internet, teknologi informasi dan komunikasi, serta media sosial. Keterkaitan ini terbentuk karena kerap terjadi penyamaan konsep di antara ketiganya. Satu hal yang jelas, Adiputra melanjutkan, media baru selalu berhubungan dengan proses komunikasi dan pesan terdigitalisasi yang kemudian menjadikan semua pesan media bersifat konvergen. Hal-hal inilah yang kemudian menjadi ciri pembeda antara media baru dan media lama (media tradisional dan media konvensional).

Seperti halnya dengan media lama, media baru hadir dengan menjalankan berbagai fungsinya. McQuail (2010) mengategorikan dan menjelaskan lima fungsi media baru yakni sebagai media:

a. Komunikasi interpersonal

Wujud paling jelas dari media yang menjalankan fungsi sebagai media komunikasi interpersonal terlihat pada penggunaan telepon seluler dengan berbagai fitur untuk melakukan kontak interpersonal serta pada pengoperasian email dengan beragam fungsi lain yang dikaitkan padanya. Penggunaan short message service (SMS) serta layanan messenger yang lain (misalnya BBM, Line, dan WhatsApp) merupakan contoh dari fungsi media baru pada kategori ini. Begitu pun dengan layanan email yang di antaranya disediakan oleh Hotmail, Yahoo, dan Google Mail merupakan contoh lain dari fungsi media baru yang sangat populer digunakan, termasuk kemudian fungsi lekatan lain untuk pengguna email seperti Yahoo Messenger dan Google Talk.

b. Pencari informasi

Dikenal dan munculnya istilah googling dan yahooing pada dasarnya merupakan salah satu refleksi dari fungsi media baru sebagai pencari informasi ini. Melalui kedua mesin pencari ini setidaknya orang dapat melakukan pencarian informasi apa pun, meskipun tingkat keakurasian informasi yang mereka peroleh perlu untuk dipertimbangkan lebih jauh. Namun demikian, setidaknya media baru telah banyak memberikan

(17)

kemungkinan pencarian informasi secara lebih efektif dan lebih mudah melalui sebuah cara yang mungkin tidak pernah terbayangkan dilakukan dengan media lama. Tiga ciri khas fungsi media baru sebagai pencari informasi ini adalah kemampuannya melakukan pencarian informasi ke belakang (informasi yang tersedia dari peristiwa di waktu lampau), ke samping (untuk hal-hal yang terkait dengan informasi yang dicari), serta informasi terkini yang terjadi (real-time online).

c. Permainan interaktif

Fungsi media baru pada kategori ini tidak dapat dipisahkan dari sifat interaktif yang terbangun dalam melakukan atau menjalankan permainan. Game online, salah satu contoh, memungkinkan para pegiat game di media baru untuk berlomba, bertanding, serta saling mengukur dan menguji ketrampilan. Sifat interaktif tidak sekadar ditampilkan dari wujud persaingan langsung dalam mengatasi berbagai rintangan dalam game tertentu, namun juga dari relasi antarpemain yang kerap diperlukan agar dapat melanjutkan permainan pada tingkat berikutnya. Permintaan bantuan pada kontak nama melalui Facebook saat seseorang memainkan Candy Crush, Zombie, dan Farm Heroes, sebagai contoh menunjukkan bentuk interaktif yang ini.

d. Partisipasi sosial

Wujud partisipasi pada fungsi media baru ini pada dasarnya tidak terlalu terpaku pada partisipasi sosial. Dalam perkembangannya, fungsi yang dijalankan media baru terefleksi pula dalam penggunaan media baru untuk terlibat dalam partisipasi politik, seperti yang terjadi dalam pergolakan politik di Thailand beberapa waktu lalu, dalam pemilihan presiden 2014 di Indonesia, serta dalam pemilihan anggota legislatif 2014 di Indonesia sebelumnya. Hanya saja, fungsi media baru dalam menunjukkan partisipasi sosial ini kemudian lebih muncul ke permukaan karena peristiwa-peristiwa sosial yang terjadi relatif lebih sering muncul, seperti saat kasus Prita dan kasus pencarian dana untuk kegiatan sosial secara nasional.

(18)

e. Substitusi penyiaran

Fungsi ini dapat disebut sebagai fungsi yang merangkum dan mengatasi kelemahan yang ada pada media lama. Dalam penerapannya, media baru difungsikan untuk membuka kemungkinan sebanyak mungkin agar dapat menyaksikan sejumlah film atau hasil rekaman yang tidak tersiarkan oleh media massa elektronik seperti radio dan televisi karena adanya keterbatasan waktu siar. Hal yang sama terlihat pada kemungkinan fungsi yang diperoleh untuk melihat sejumlah hasil rekaman audio dan video seperti yang difasilitasi oleh Youtube, meskipun kadang-kadang hal ini juga menimbulkan persoalan baru dalam kaitannya dengan hak kekayaan intelektual.

Kelima fungsi media baru di atas pada dasarnya merupakan kategori fungsi yang dilakukan McQuail. Fungsi-fungsi baru sangat mungkin untuk dikategorikan dengan mengingat kenyataan bahwa media baru selalu dan masih terus berkembang. Dalam penelitian tentang produksi pesan anggota komunitas DTLS di media jejaring sosial Facebook ini, media baru ditempatkan dalam fungsi utamanya sebagai media partisipasi sosial. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa produksi pesan yang mereka hasilkan pun pada dasarnya tidaklah terlepas dari berbagai fungsi lainnya berdasar kategori fungsi McQuail ini (lihat temuan hasil penelitian di Bab IV).

Kehadiran media baru yang kerap dikaitkan dengan media sosial pada dasarnya tidak terlepas dari adanya kecenderungan semakin terangkainya individu dengan teknologi komunikasi dan informasi. Dalam pengertian ini, koneksitas antara individu dan teknologi komunikasi dan informasi secara tidak langsung menggiring individu untuk melakukan kontak sosial melalui media baru. Kemampuan media baru dalam luas jangkauan dan kekinian waktu setidaknya telah menyebabkan orang untuk menjalin hubungan sosial dalam berbagai bentuk dan struktur hubungan dengan media baru ini. Dengan kata lain, realitas sosial dan realitas media beserta realitas virtual seolah dileburkan dalam suatu realitas yang membuat hubungan sosial terasa semakin dekat.

(19)

Peleburan realitas dalam wujud sebagai media sosial ini salah satunya muncul dalam media jejaring sosial (Bahadur, 2011). Dengan peluang koneksitas media baru melalui berbagai layanan yang diformat dan diberikannya, orang menjadi mudah untuk menjalankan komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, maupun komunikasi massa. Konsekuensinya, jejaring antarorang yang melakukan komunikasi dengan media baru pun menjadi mudah terbentuk, termasuk kemudian dalam mengungkapkan friending, liking, dan commenting. Di lain sisi, kemudahan orang untuk menyatakan pertemanan, kesukaan, dan komentar ini memperoleh kritik dari Lovink (2012) yang menegaskan bahwa media jejaring sosial telah menyebabkan obsesi kolektif beserta identitas dan manajemen diri menjadi terfragmentasi dan terjangkiti kelebihan informasi. Hal ini tentunya dapat melebihi kemampuan dan kapasitas individual yang tergabung di dalam media jejaring sosial ini.

Penggunaan media sosial untuk membangun jejaring sosial tercatat cukup tinggi. Di Amerika Serikat pada tahun 2008-2013, seperti dinyatakan Garnett (2014), pertumbuhan pengguna media jejaring sosial bahkan tertinggi dibandingkan dengan penggunaan media sosial untuk keperluan lainnya (lihat Diagram 1.1).

Diagram 1.1

(20)

Setelah Friendster meredup dan kemudian muncul media jejaring sosial yang lain, keterpanaan orang pada media baru terlihat semakin menjadi. Kemunculan Facebook dapat dianggap sebagai kelahiran media jejaring sosial yang paling monumental pada masanya (Kirkpatrick, 2011). Kepemilikan account

Facebook melonjak cepat dan menjadi semacam penciri keterlibatan individu

dalam perkembangan media baru. Terlepas dari penggunaan Facebook yang kemudian bermacam-macam, dari yang sekadar ungkapan tanpa tujuan bermakna hingga yang memiliki makna sosial tinggi, Facebook hadir dan mampu membangun jejaring yang luas dan kuat.

Di Indonesia, seperti diungkapkan Sungkari (2014), dari sekitar 72.700.000 pengguna internet di Indonesia hingga bulan Januari 2014 tercatat pengguna aktif Facebook sekitar 62.000.000 orang. Dua tahun sebelumnya, persentase pengguna Facebook di Indonesia juga terlihat tertinggi dibandingkan para pengguna internet di Indonesia yang mengakses situs lainnya seperti Kaskus, Disdus, Toko Bagus, Deal Keren, Amazon, eBay, Bhineka, Multiply, Blibli, dan

Tokopedia (lihat Diagram 1.2 dan Diagram 1.3).

Diagram 1.2

Pengguna Internet dan Facebook di Indonesia Tahun 2014

Diagram 1.3

Komparasi Antara Pengguna Facebook dan Situs Penyedia Fasilitas Lainnya di Indonesia

(21)

Seperti telah disinggung di depan, penggunaan Facebook oleh para pemilik account-nya sangatlah beragam, termasuk dalam keragaman keaktifan peng-update-an Facebook mereka. Jika dicermati dari status pengguna Facebook di Indonesia akan terlihat sejumlah pernyataan dalam kalimat dari yang sederhana dan sekadar sebagai pencerita pemula dalam pengekspresian diri, seperti “Makan Seadanya Saja” dan “Waktunya Bobok Manis”, ungkapan yang lebih memiliki makna sosial seperti “Mari Kita Kumpulkan Dana untuk, …,” dan “Pray for Palestine”, sampai ke perang link untuk menunjukkan dukungan seperti saat kampanye pemilihan Presiden 2014 di Indonesia. Apapun status dan peng-update -an y-ang mereka ekspresik-an, hal ini menggambark-an keterlibat-an individu dalam dan dengan account Facebook mereka.

Bila lebih jauh dicermati, di antara pengguna Facebook individual ini ada yang kemudian menginisiasi atau mengawali terbentuknya kelompok pengguna

Facebook yang satu haluan, satu pengalaman, satu tujuan, atau bahkan satu

ideologi tertentu. Di antara berbagai kelompok yang tercipta dan memanfaatkan

Facebook dalam aktivitas komunikasi mereka ini, terdapat satu komunitas

pengguna Facebook yang menamakan dirinya komunitas Dunia Tak Lagi Sunyi (DTLS). Sesuai dengan nama komunitas dalam Facebook, komunitas DTLS berkait dengan hal-hal yang diperkirakan mencerminkan keadaan yang sudah dapat menangkap suara sehingga tak lagi sunyi. Komunitas ini beranggotakan pemilik account Facebook yang mempunyai perhatian terhadap orang-orang berkebutuhan khusus dalam hal pendengaran.

Seperti telah disinggung di depan, aktivitas dinamik komunitas DTLS ini dimotori seorang ibu rumah tangga bernama Nana Nawangsari yang memiliki anak tunarungu. Komunitas DTLS menunjukkan kehadirannya dengan berusaha mengekspresikan dan menjadi wadah penyandang tunarungu atau masyarakat yang memiliki keluarga tunarungu. Kehadiran komunitas DTLS lewat media jejaring sosial Facebook mampu menarik perhatian, memunculkan keterlibatan, dan menjadi sarana pencarian dan pemberian informasi bagi masyarakat berkebutuhan khusus dan masyarakat yang memiliki keluarga berkebutuhan

(22)

khusus. Tiga pihak yang intens terlibat berkomunikasi di DTLS adalah administrator DTLS, para pengguna Facebook yang bergabung dalam komunitas DTLS, dan pengguna Facebook lainnya (lebih lengkap tentang komunitas DTLS ini dapat dilihat pada Bab III).

Gambar 1.2

Salah Satu Tampilan Facebook Komunitas Dunia Tak Lagi Sunyi

Kehadiran komunitas DTLS dalam media jejaring sosial Facebook ini dapat dimaknai dalam dua hal. Pertama, keberadaan komunitas DTLS pada dasarnya tak berbeda dengan keberadaan komunitas-komunitas yang lain. Perbedaannya hanya terletak pada orientasi keterlibatan dan keanggotaan pada komunitas ini yang cenderung memberi perhatian terhadap hal-hal yang diperlukan oleh orang-orang berkebutuhan khusus dalam masalah pendengaran dan keluarga mereka. Kedua, kepemilikan dan penggunaan account Facebook komunitas DTLS pun pada dasarnya tidak berbeda dengan kepemilikan dan penggunaan yang dilakukan oleh komunitas-komunitas lainnya. Namun demikian, hal yang patut diperhatikan adalah kecermatan penggunaan media jejaring sosial yang sejauh ini banyak bertumpu pada wujud komunikasi tertulis yang

(23)

memudahkan orang-orang berkebutuhan khusus dalam pendengaran untuk mengaksesnya.3

Perhatian, penggunaan, hingga pada akhirnya memunculkan keterlibatan partisipatif dalam penggunaan Facebook komunitas DTLS secara tidak langsung memberi potret tentang budaya baru yang berusaha dibentuk oleh para anggota komunitas DTLS. Dalam tingkat yang sederhana, budaya baru yang terbentuk ini terlihat dari penggunaan sistem gagasan yang kemudian dijadikan pedoman dan pengarah bagi para anggota komunitas DTLS dengan pesan-pesan yang disampaikan melalui media baru, yang secara khusus mewujud dalam media jejaring sosial Facebook. Dengan kata lain, melalui komunitas DTLS di Facebook inilah orang-orang berkebutuhan khusus dalam pendengaran memasuki budaya baru mereka, yakni budaya siber (cyber culture).

Dalam penelitian ini, produksi pesan anggota DTLS dilihat dari nilai guna transaksi informasi dalam media sosial bagi anggota komunitas DTLS yang berkebutuhan khusus. Nilai guna ini tentu perlu dilihat kaitannya dengan budaya siber yang dirintis serta peran anggota DTLS yang tidak berkebutuhan khusus dalam membangkitkan semangat anggota DTLS yang berkebutuhan khusus. Terkait dengan budaya siber yang tumbuh di kalangan anggota komunitas DTLS ini, upaya penelusuran yang dilakukan tentunya memerlukan sebuah metode yang memiliki daya kejar tertentu di suatu komunitas yang mendasarkan aktivitas komunikasi mereka pada media jejaring sosial. Lebih jauh tentang metode yang digunakan untuk tujuan ini dapat dilihat pada uraian berikut.

3. Etnografi dan cyber-ethnography

Salah satu konsep kunci dalam cyber culture yang perlu dijelaskan adalah ruang siber atau cyberspace (Bell dkk., 2004). Konsep ruang siber ini mewakili gambaran tentang ruang yang diciptakan melalui jaringan komunikasi internet !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

3 Tentunya, pada suatu ketika juga diharapkan munculnya media jejaring sosial bentuk lain yang

memungkinkan orang-orang berkebutuhan khusus dalam penglihatan dan grahita untuk mengubah keadaan yang selama ini sulit mereka salami karena terhalang oleh keterbatasan yang bersifat permanen pada diri mereka.

(24)

yang memungkinkan orang-orang untuk bertemu, bertukar ide, berbagi informasi, memberi dukungan sosial, menjalin kerjasama bisnis, menunjukkan keartistikan, memainkan game, atau berdiskusi. Dalam perwujudannya, ruang siber ini di antaranya dimunculkan melalui email seperti dalam penggunaan ----@yahoo..com serta ---@gmail.com dan ruang bicara (chat rooms) seperti yang tersedia dalam fasilitas Yahoo Messenger, Google Talk, dan Facebook Chat.

Dalam perkembangannya, pemahaman tentang cyber culture kerap pula didekati dengan cybersubcultures dan online communities. Tierney (2013) menjelaskan hal ini dengan mencontohkan pertemuan berbagai budaya yang berbeda yang terjadi di dalam realitas virtual dan dilakukan oleh orang-orang yang terhubung secara online. Pertemuan budaya ini pada tahap tertentu membentuk subbudaya siber baru dan pada tahap selanjutnya melahirkan suatu budaya siber. Hal penting yang perlu ditegaskan dalam memahami cyber culture,

cybersubcultures, dan online communities ini adalah adanya komunitas yang

terhubung secara online hingga komunitas ini pada akhirnya dapat menunjukkan identitas komunitas dengan segala dinamikanya yang mewujud dalam suatu subculture tertentu atau bahkan menjadi suatu culture baru.

Komunitas DTLS di Facebook kiranya dapat diteropong dengan konsep di atas. Ruang bicara atau chatrooms di Facebook pada komunitas DTLS ini pada dasarnya adalah suatu ruang siber yang diciptakan melalui jaringan komunikasi internet. Melalui ruang siber ini anggota-anggota komunitas DTLS dapat bertemu, bertukar ide, berbagi informasi, memberi dukungan sosial, menjalin kerjasama bisnis, menunjukkan keartistikan, memainkan game, atau berdiskusi secara virtual. Seperti juga telah disinggung di depan, antaranggota komunitas DTLS terhubung secara online. Sejauh pengamatan yang telah dilakukan, komunitas DTLS mampu menunjukkan identitas dan dinamika komunitasnya, yang berpeluang mewujud dalam suatu subculture atau culture siber baru bagi orang-orang berkebutuhan khusus.

Hal yang kemudian perlu dipertimbangkan adalah menentukan metode yang dibutuhkan dan memiliki kekuatan observasi untuk menggambarkan

(25)

produksi pesan di kalangan orang-orang berkebutuhan khusus yang menjalankan kegiatan komunikasi melalui media jejaring sosial Facebook. Dengan mengadopsi pengertian bahwa komunitas pada dasarnya tak berbeda dengan suatu etnik tertentu di dalam masyarakat, maka upaya memahami hal-hal yang terjadi pada suatu komunitas dapat dilakukan dengan menerapkan metode etnografi. Penggunaan metode etnografi ini selain didasari oleh asumsi penyamaan antara komunitas dan etnik tertentu, juga dilandasi oleh kemampuan metode ini sebagai metode sosial terapan dalam menghasilkan gambaran senyatanya yang terjadi di dalam suatu komunitas atau etnik dengan peneliti masuk ke dalam komunitas atau etnik ini (Fetterman, 2009). Paralel dengan hal ini, Wolcott (2008) menegaskan bahwa metode etnografi merupakan metode yang dapat dipakai untuk melihat ke dalam suatu etnik, kelompok, atau komunitas tertentu dan kemudian menuangkan hal yang dilihat ini ke dalam suatu bentuk laporan etnografi. Dalam bahasa Tierney (2013), metode etnografi dapat digunakan untuk mengungkapkan berbagai model penjelasan yang diciptakan manusia dalam suatu etnik, kelompok, atau komunitas tertentu.

Untuk mengeksplorasi produksi pesan anggota-anggota yang ada di dalam komunitas DTLS di Facebook, metode etnografi yang dibutuhkan pun harus disesuaikan dengan karakter komunitas yang berada pada suatu media jejaring sosial. Murthy (2011) terkait dengan hal seperti ini mengajukan metode digital

ethnography sebagai suatu metode dalam ilmu sosial yang dapat dipakai untuk

mengelaborasi hal-hal yang terjadi pada suatu kelompok atau komunitas yang anggota-anggotanya terhubung secara online. Secara operasional metode digital

ethnography ini dilakukan melalui rangkaian tahap yang dimulai dengan

memasuki suatu budaya atau komunitas online, pengumpulan data, dan analisis data. Dalam hal ini tentunya perilaku atau tindakan sosial, yang dalam hal ini berupa proses produksi pesan, ditempatkan sebagai unit analisis utama (bukan pada orang per orang di dalam komunitas digital).

Penamaan yang mirip dengan digital ethnography salah satunya diberikan oleh Keeley-Browne (2011) dengan cyber-ethnography yang ditempatkannya

(26)

sebagai suatu metode riset baru untuk abad ke-21. Lebih lanjut disebutkannya bahwa cyber-ethnography dapat diterapkan dalam mengeksplorasi blogs, situs, dan ruang bicara atau chat rooms. Sebelumnya, ketepatan penggunaan metode

cyber-ethnography untuk menginvestigasi hal-hal yang terkait dengan blogs,

situs, dan chat rooms juga ditegaskan oleh Ward (1999) yang mengaitkannya dengan pemunculan baru masyarakat virtual.

Uraian tentang metode cyber-ethnography yang digunakan untuk mengobservasi dinamika di dalam suatu komunitas online di atas menegaskan ketepatan metode ini untuk digunakan dalam penelitian produksi pesan anggota komunitas DTLS di Facebook. Dalam penelitian ini, secara umum, metode

cyber-ethnography diterapkan untuk melihat penggunaan media jejaring sosial

Facebook dalam produksi pesan yang dilakukan oleh anggota-anggota komunitas

DTLS, baik mereka yang berkebutuhan khusus ataupun keluarga mereka yang tidak berkebutuhan khusus.

Selain menggunakan metode cyber-ethnograhpy, studi ini juga tetap menggunakan metode etnografi karena pada dasarnya komunitas DTLS tidak hanya beaktivitas di dunia online, namun jugadi dunia nyata. Aktivitas di dunia nyata ini dilakukan dengan penyelenggaraan pertemuan rutin di beberapa kota. Pertemuan rutin di Yogyakarta, misalnya, memungkinkan anggota komunitas DTLS yang berdomilisi atau bertempat di Yogyakarta mengadakan pertemuan tiga bulan sekali. Selain itu mereka juga berkunjung ke kota lain untuk bersilahturahmi dengan anggota komunitas DTLS di kota lainnya. Dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan dan wawancara langsung dengan informan yang beraktivitas di dunia nyata dengan bergabung ke dalam komunitas DTLS.

F. Asumsi Penelitian

Benang merah dari kerangka pemikiran penelitian yang dipaparkan di depan memberi dasar untuk membuat asumsi penelitian dengan metode

(27)

anggota-anggota komunitas DTLS yang berkebutuhan khusus, produksi pesan yang mereka hasilkan cenderung tidak akan seintens anggota-anggota lain yang tidak berkebutuhan khusus. Namun demikian, keterlibatan aktif anggota-anggota komunitas DTLS yang tidak berkebutuhan khusus dalam produksi pesan setidaknya lebih membuka peluang produksi pesan dalam komunitas DTLS secara keseluruhan sehingga tujuan komunitas DTLS sebagai wadah komunikasi orang-orang berkebutuhan khusus dan keluarganya dapat tercapai.

G. Metodologi Penelitian

Penerapan metode cyber-ethnography dalam penelitian tentang produksi pesan anggota komunitas DTLS di media jejaring sosial Facebook ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah produksi pesan yang dihasilkan oleh anggota-anggota komunitas DTLS. Hasil produksi pesan dapat diamati dari perkembangan pemuatan isi pesan di laman Facebook komunitas DTLS. Sedangkan gambaran tentang proses produksi pesan untuk pengayaan analisis dilihat dari hasil observasi dan wawancara kepada para informan.

2. Langkah penelitian

Sesuai dengan tahapan dalam penelitian bermetode cyber-ethnography yang diturunkan dari metode digital ethnography, penelitian dilakukan tahap-tahap sebagai berikut:

(28)

a. secara online

Mencermati perkembangan pemuatan pesan oleh para anggota komunitas DTLS di Facebook. Pada tahap ini peneliti akan masuk ke dalam alamat account Facebook yang dimiliki komunitas DTLS. Upaya untuk masuk ke situs komunitas DTLS di Facebook dapat dilakukan karena komunitas DTLS bersifat terbuka dan dapat diakses oleh siapa pun. Pencermatan dan pencatatan kemudian dilakukan peneliti terhadap pesan-pesan yang termuat di

Facebook komunitas DTLS sebelum dilakukan analisis.

b. secara offline

Penelitian secara offline dilakukan dengan melalukan observasi dan wawancara terhadap para informan. Langkah ini ditempuh untuk mendapatkan gambaran tentang proses produksi pesan yang dilakukan oleh anggota-anggota komunitas, baik mereka yang berkebutuhan khusus maupun anggota yang tidak berkebutuhan khusus. Penelitian secara offline ini dilakukan terhadap informan yang tinggal di Yogyakarta, dengan mengingat bahwa mayoritas anggota komunitas DTLS berada di pulau Jawa, khususnya di Yogyakarta, dan komunitas DTLS ini diawali serta dikendalikan oleh administrator yang berada di Yogyakarta.

3. Informan penelitian

Untuk memenuhi persyaratan reliabilitas dan validitas, peneliti menggunakan informan utama dan informan pembantu. Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga bernama Nana Nawangsari yang memotori dan bertindak sebagai administrator akun Facebook Komunitas DTLS. Informan utama ini dibutuhkan untuk mendapatkan informasi pokok tentang Komunitas DTLS.

Sedangkan informan pembantu diambil dari anggota komunitas DTLS yang memiliki frekuensi tinggi dalam menggunakan Facebook dan yang

(29)

menunjukkan intensitas tinggi dalam berkomunikasi dengan menggunakan

Facebook komunitas DTLS, baik dari anggota yang tidak berkebutuhan khusus

maupun dari mereka yang berkebutuhan khusus. Informan-informan pembantu ini adalah Nurdini Harviansyah, Apsari Dionita, Veronica Diana Asmarawardani, Abdurrahman Fathoni, Cassidy Sumarsihono, Siswanto, dan Tsani Mutia Fatimah. Lebih lengkap tentang profil para informan ini dapat dilihat pada Bab III.

4. Teknik pengumpulan data

Dengan mencermati objek penelitian dan informan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk melihat produksi pesan anggota-anggota komunitas DTLS dalammencakup:

a. studi literatur

Studi literatur dilakukan terhadap sumber atau referensi yang menyajikan informasi tentang gangguan komunikasi orang-orang berkebutuhan khusus, komunitas, media jejaring sosial, metode

cyber-ethnography, serta proses produksi pesan, baik dalam bentuk buku (cetak dan

e-book) serta jurnal.

b. observasi

Observasi dilakukan dengan mengamati secara online dan offline terhadap produksi pesan dan penggunaan Facebook dari para anggota komunitas DTLS.

(30)

Wawancara dilakukan peneliti terhadap informan utama dan informan pembantu dalam penelitian ini.

5. Analisis data

Analisis data dilakukan dengan menggunakan perspektif komunikasi sosial media baru yang diawali dengan melakukan pemetaan hasil pengamatan secara online dan offline. Hasil pemetaan akan disajikan secara naratif argumentatif yang kemudian disilangtelitikan dengan hasil wawancara dari para informan.

(31)

Referensi

Dokumen terkait

Iklan Oskadon Versi Pancen Oye Wayang menggunakan representasi kebudayaan Sunda dari berbagai komponen diantaranya adalah penggunaan bahasa yang digunakan penari seperti

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

Diisi dengan bidang ilmu yang ditekuni dosen yang bersangkutan pada

Selain itu, jika kayu mengandung zat ekstraktif polar yang didominasi oleh komponen fenolik seperti tanin maka ekstrak kayu tersebut berpotensi dijadikan sebagai

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang

[r]

- SAHAM SEBAGAIMANA DIMAKSUD HARUS DIMILIKI OLEH PALING SEDIKIT 300 PIHAK & MASING2 PIHAK HANYA BOLEH MEMILIKI SAHAM KURANG DARI 5% DARI SAHAM DISETOR SERTA HARUS DIPENUHI

[r]