• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUNDAMENTALISME ISLAM VS FUNDAMENTALISME POLITIK DAN PASAR MUNGKINKAH? - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "FUNDAMENTALISME ISLAM VS FUNDAMENTALISME POLITIK DAN PASAR MUNGKINKAH? - Test Repository"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

FUNDAMENTALISME ISLAM VS FUNDAMENTALISME POLITIK DAN PASAR, MUNGKINKAH?

Zakiyuddin Baidhawy

Judul : Membela Agama Tuhan: Potret Gerakan Islam dalam Pusaran Konflik Global

Penulis : Eko Prasetyo

Penerbit : Yogyakarta, Insist Press, 2003 Tebal : xxxiii + 325

Tidak diragukan sedikitpun bahwa kita sedang menyaksikan fenomena fundamentalisme yang semakin meluas di dunia. Tragedi WTC, perang Amerika-Afghanistan dan invasi ke Irak kembali menegaskan situasi dunia saat ini. Peristiwa mutakhir ini meletakkan dua kemungkinan politik masa depan. Yang pertama adalah proses “sukuisasi” umat manusia melalui perang dan pertumpahan darah. Suatu ancaman “libanonisasi” negara-negara bangsa dimana budaya melawan budaya, bangsa melawan bangsa, suku melawan suku. Yang kedua dilahirkan oleh kekuatan ekonomi dan ekologis yang menuntut integrasi dan keseragaman. Penekanan

bangsa-bangsa dalam satu jaringan global yang homogen, yakni satu McWorld, meminjam istilah Benyamin R. Barber, yang diikat bersama oleh teknologi, ekologi, komunikasi, dan profit.

Dua kecenderungan ini kadang-kadang bisa terjadi dalam satu negara. Kecenderungan fundamentalisme Jihad dan McWorld bergerak dengan kekuatan sama dalam arah yang saling bertentangan. Yang pertama dikendalikan oleh kebencian parokial, yang terakhir oleh universalisasi pasar. Yang pertama menciptakan kembali batasan-batasan subnasional dan etnik dari dalam, yang terakhir menciptakan poros ikatan-ikatan nasional dari luar. Tapi keduanya memiliki kesamaan dalam satu hal. Yaitu, tidak memberikan banyak harapan bagi penduduk dunia untuk mengatur diri secara demokratis. Bila masa depan dunia ditentukan oleh kekuatan sentrifugal Jihad melawan sentripetal McWorld, hasilnya bukanlah dunia yang makin carut marut.

(2)

kemenangan atas partikularisme dapat dirasakan. Inilah impian orang-orang Eropa, utopian yang bernostalgia akan kebangkitan Inggris atau Jerman, kebangkitan Wales atau Saxon.

Kekuatan pasar bebas di Eropa, Asia, Afrika, Pasifik Selatan dan Amerika, sedang menggerogoti pemerintahan bangsa-bangsa dan melahirkan entitas-entitas bank internasional, asosiasi perdagangan, lobi internasional seperti OPEC dan Greenpeace, layanan berita dunia seperti BBC dan CNN. Ia juga memperkuat upaya perdamaian dan stabilitas dunia, prasyarat bagi ekonomi internasional yang efisien. Pasar adalah musuh parokialisme, isolasi, fraksi dan perang. Psikologi pasar melemahkan psikologi perpecahan ideologis dan keagamaan, dan menghendaki harmoni antara produsen dan konsumen.

Pasar menuntut bahasa dan kebaruan yang serupa, dan melahirkan perilaku sama dalam

kehidupan kota-kota kosmopolitan dimanapun. Pilot komersial, programer komputer, banker internasional, spesialis media, penambang minyak, selebritis, pakar ekologi, demografer, akuntan, profesor dan atlet, semua ini memunculkan manusia baru dimana agama, budaya dan nasionalitas hanya menjadi unsur marginal dalam identitas.

Suatu ketika, kaum demokrat memimpikan masyarakat dimana otonomi politik bersandar kuat pada independensi ekonomi. Penduduk Athena pernah mengidealkan autarki yang self-sufficient. Bebas berarti lepas dari komunitas lain. Kini semua ini terbukti salah. Kekuatan sumberdaya alam memaksa bangsa-bangsa untuk menerima kesalingtergantungan yang tak dapat ditolak. Penipisan sumberdaya alam secara cepat, salah distribusi sumberdaya mineral dan minyak bumi, mengkondisikan negara-negara terkaya sekalipun untuk merasakan kebutuhan akan saling melengkapi.

Pada saat yang sama, kemajuan ilmiah membutuhkan dan tergantung pada komunikasi terbuka, wacana bersama yang berakar dalam rasionalitas, kolaborasi dan aliran serta pertukaran informasi. Sains dan globalisasi menjadi aliansi praktis. Bisnis, perbankan dan semua usaha komersial tergantung pada aliran informasi dan difasilitasi oleh teknologi komunikasi terbaru. Perangkat teknologi ini cenderung sistemik dan integral dalam menciptakan komunikasi interaktif dan jaringan informasi yang luas. Kekuatan ini menjangkau seluruh budaya dunia dan memberinya wajah serupa. Cannes adalah ekspresi kekhawatiran atas “Hollywoodisasi” industri film global.

(3)

Brazil dan Indonesia adalah problem global. Kesadaran ekologis ini tidak hanya berarti kesadaran yang lebih besar tapi juga ketidakadilan yang lebih senjang. Negara-negara maju sering mendikte negara-negara ketiga dengan dalih keseimbangan alam, sementara mereka sendiri abai akan dampak industrialisasi raksasa yang menjadi penyebab utama rusaknya lapisan ozon. Amerika Serikat sendiri, bahkan, menolak dengan tegas protokol Kyoto.

Empat imperatif di atas bersifat transnasional, transideologis, dan transkultural. Mimpi tentang masyarakat rasional universal pada satu tingkat tertentu telah terwujud, tapi dalam bentuk yang komersial, homogen, depolitisir dan birokratik. Inilah suatu gerakan yang sama sekali tidak sempurna menuju McWorld yang bersaing dengan kekuatan-kekuatan disintegrasi global, disolusi nasional dan distorsi sentrifugal. Yang terakhir ini adalah esensi dari Jihad atau

fundamentalisme Islam.

Bahasa Aktor

Buku yang ditulis oleh Eko Prasetyo ini adalah suatu upaya untuk memberi gambaran tentang kelompok-kelompok radikal Islam dalam hubungannya dengan isu-isu global dan kemunculannya dalam konteks lokal dan nasional Indonesia. Buku ini memberi kontribusi cukup baik tentang perkembangan perjuangan kelompok-kelompok fundamentalis Islam di Nusantara utamanya pasca Reformasi. Meskipun asal-usul perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari masa sebelumnya, di mana rejim Orde Baru bertanggung jawab atas kelahiran mereka yang dipaksa kebijakan-kebijakan depolitisasi Islam yang sangat represif. Buku ini kaya dengan data aksi-aksi kelompok-kelompok radikal keagamaan dalam Islam, tujuan dan target gerakan, mulai dari Darul Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, dan Laskar Jihad. Sungguh suatu sumbangan berharga baik kekayaan khazanah wacana dan gerakan Islam kontemporer di negeri ini. Namun demikian, dalam kesempatan ini saya memberikan beberapa catatan penting terhadap buku tersebut.

Secara sadar penulis menyatakan bahwa buku ini ditulis dengan pendekatan seorang “aktor” yang menceburkan diri ke dalam objek yang diteliti dan terlibat langsung dengan kelompok-kelompok fundamentalis atau kaum pembela agama Tuhan. Bahkan lebih jauh penulis

(4)

ungkapan-ungkapan dalam buku penuh semangat berkobar-kobar. Bahkan hampir setiap bab diawali dengan petikan ayat, hadis-hadis (lihat bab 3 dan 4) maupun ucapan tokoh Islam tertentu (lihat awal bab 1 dan 2 misalnya), yang mendorong jihad melawan musuh-musuh Islam – meski sering kurang cermat dalam identifikasi – namun terlanjur telah melahirkan korban.

Dengan kedekatan (attachment) yang cukup tinggi dan kurangnya mengambil jarak terhadap objek yang diteliti atau ditulis, penulis menjadi sangat “emosional” baik dalam hal memaparkan data maupun melakukan interpretasi terhadap data. Ini begitu nyata ketika saya menyusuri gelombang emosi yang cukup dahsyat utamanya pada bab 3 dan bab 4. Saya merasakan suatu klimaks yang tidak diperoleh pada dua bab pertama. Sejalan dengan kedekatan dan emosi yang mengarahkan proses penulisan, adalah wajar jika penulisnya membingkai sketsa

dan lukisan-lukisan dalam buku ini dengan perasaan bergemuruh seperti gemericik air terjun “Grojogan Sewu” menimpa bebatuan. Dan sesuai dengan maksud awalnya kesan pembelaan dan bahkan klaim pembenaran dapat ditangkap dalam berbagai uraian, termasuk kurangnya kerangka teori yang digunakan untuk melihat fenomena kemunculan kelompok-kelompok fundamentalis itu.

Ekspresi Infantile

Saya sepakat dengan penulis bahwa faktor-faktor utama lahirnya kelompok-kelompok fundamentalis adalah bangkitnya kesadaran agama, situasi krisis dan perumusan tatanan politik, formalisasi dan ritualisasi dengan merujuk pada romantisisme sejarah, anti sekularisme dan turunannya, dan faktor Orde Baru sepanjang 32 tahun. Alangkah baiknya jika penulis juga menambah faktor kemunculan fundamentalisme itu dari teori idealisasi agama dan bentuk-bentuk ekspresinya (James W. Jones, 2002). Jika teori ini digunakan, mungkin pandangan yang lebih netral dan dapat mengevaluasi dengan jernih aktivitas-aktivitas kelompok radikal itu juga memberi warna disamping gambaran-gambaran pembelaan.

Pada inti agama selalu dijumpai apa yang disebut idealisasi, karena apa yang disebut “beragama” berarti “mengidealkan” sesuatu atau seseorang. Sehingga idealisasi adalah sentral bagi kehidupan beragama. Dan proses idealisasi itu dapat terjadi terhadap teks-teks suci,

(5)

penganutnya untuk melakukan tindakan-tindakan besar seperti pengorbanan, menghasilkan kekuatan, dan perubahan positif dalam kehidupan seseorang. Pada saat yang lain, agama juga dapat menjadi motif bagi tindakan-tindakan individu yang menakutkan dan tindakan-tindakan kolektif yang membinasakan kemanusiaan.

Idealisasi adalah prasyarat bagi tumbuhnya komitmen dalam beragama. Dan idealisasi tentu saja membangkitkan komitmen dan emosi. Sebaliknya, jika de-idealisasi terjadi maka komitmen keagamaan cenderung melemah. Ketika kecenderungan pada idealisasi berlebih, maka agama menjadi sulit menemukan pandangan realistiknya terhadap dirinya sendiri. Nah, di sinilah ekspresi-ekspresi keagamaan yang bersifat infantil lahir. Idealisasi berlebih mendorong infantilisasi para penganut agama dan menjebak mereka dalam suatu keadaan penuh amarah

sekaligus fanatisisme keagamaan. Inilah dua bentuk destruktif yang dihasilkan oleh idealisasi itu, yakni fundamentalisme dan teror atas nama agama yang sering melahirkan banyak kekerasan dan korban kemanusiaan bahkan terhadap mereka yang tidak berdosa.

Alternatif Metamorfosis Pasca Teror

Teror WTC dan Bom Legian, Bali, agaknya menempatkan kelompok-kelompok Islam radikal dalam posisi sulit. Tuduhan membabi buta Amerika dan sekutunya terhadap negara manapun yang dicurigai memiliki hubungan dengan al-Qaidah dan Jamaah Islamiyah, membuat mereka berhitung kembali resiko menjadi tersangka. Apalagi secara sistemik, di Asia Tenggara sendiri ada upaya dari para pemimpin negara-negara jiran itu untuk mendiskriditkan jaringan tersebut. Disamping alasan-alasan internal organisasi, wajar bila pada akhirnya beberapa kelompok radikal itu surut dan bahkan membubarkan diri, seperti dilakukan oleh Laskar Jihad dan FPI. Di sini muncul pertanyaan, kemudian apa yang bisa dilakukan untuk melanjutkan perjuangan yang baru seumur jagung itu?

(6)

Saya sepenuhnya sepakat, jika kelompok-kelompok Islam radikal mengubah wajah dan tampilan mereka. Dalam konteks dunia global, sesungguhnya ada dua musuh utama yang sangat besar yang perlu dilawan, yakni kekuatan hegemoni politik/perang dan kekuatan globalis/pasar. Dua kekuatan ini dimiliki bersamaan oleh Amerika dan Inggris. Pre-emptive action sebagai satu manifestasi hegemoni perang AS adalah musuh nyata bagi seluruh dunia, tak terkecuali dunia ketiga. Betapa repotnya pemerintah Indonesia berada di bawah tekanan kebijakan AS itu, hingga sering melakukan “salting” (baca: salah tingkah) menangkap para aktivis Muslim tanpa sebab yang jelas. Hegemoni kaum fundamentalis pasar atau disebut juga kaum globalis juga tak kalah menjerat leher kita. Grojogan hutang dan bantuan sengaja untuk semakin memperburuk kondisi perekonomian negara dan kemandirian bangsa, privatisasi BUMN dan sumberdaya air yang

membabi buta dibalik isu good governance dan civil society, dan kecurangan-kecurangan regulasi perdagangan internasional melalui WTO, GATT, AFTA, misalnya, dan kedok kerjasama penelitian lingkungan untuk mencuri biodiversity alam Indonesia dan mematenkan hak cipta (intellectual right) penemuan itu di negeri mereka dan untuk kepentingan mereka sendiri. Sementara itu, kita sebagai pemilik asli kekayaan itu dipaksa membeli lisensi atau hak paten dari mereka.

Untuk melawan semua bentuk hegemoni ini, tentu saja membutuhkan lebih banyak pikiran cerdas. Banyak masalah hegemoni yang tidak dapat dipecahkan serta merta dengan mengangkat pedang dan tombak, dengan amarah dan keberingasan. Kecuali kalau akal kita memang sudah “macet”, dan kelenjar adrenalin semakin meningkat. Karena itu, imaji intelektual harus dikembangkan untuk melakukan transformasi dari “Mujahid Teror dan Kekerasan” ke “Mujahid Damai dan Nirkekerasan”; transformasi dari “organisasi” ke “ideologi”.

"Mujahid teror" adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk mensucikan komunitas dan memerangi kelompok luar. Mereka memandang kekerasan fisik terhadap musuh sebagai tugas suci. Sedangkan “mujahid damai” berusaha mensublimasi kekerasan, menentang upaya untuk melegitimasi kekerasan atas dasar agama. Mujahid teror maupun mujahid damai sama-sama merupakan “kaum militan”. Dua tipe militan ini sama-sama ekstrem dalam mengorbankan diri demi tugas suci (jihad fi sabilillah). Keduanya juga radikal dalam arti

(7)

diterima dan membatasi perang terhadap para penindas dan ketidakadilan dengan cara-cara nirpaksaan. Mujahid teror memandang kekerasan sebagai hak prerogatif agama bahkan imperatif spiritual dalam mencari keadilan.

Jadi, menurut hemat saya, penting kiranya "mujahid teror" (orang yang "terlibat dalam perang" atau "organisasi sosial" yang mempergunakan perang dan atau kekerasan sebagai sarana yang efisien dan efektif untuk mencapai tujuan) melakukan metamorfosis ke arah mujahid damai. Kita bisa menemukan banyak figur pencipta kedamaian atau mujahid damai dalam tradisi agama-agama. Khan Abdul Ghaffar Khan yang memimpin kaum Pathan dari Khyber Pass dalam protes nirkekerasan melawan pasukan Inggris, dipandang sebagai "tentara nirkekerasan dalam Islam".

Konsep “jihad” dalam Islam menangkap spirit perang spiritual. "Perang suci" adalah melawan diri sendiri. Jihad melawan nafsu yang tak terkendali, kurangnya disiplin spiritual, dan kecenderungan untuk melegitimasi kekerasan. Memerangi orang lain hanya situasional sifatnya. Didalam dan diluar Islam, banyak perdebatan tentang pembenaran yang layak terhadap perang situasional ini, sarana dan tujuannya. Tantangan besar bagi mujahid damai Muslim adalah mempertahankan budaya agama yang menolak kekerasan sebagai alat menumpahkan keluhan atau mempertahankan hak-hak kaum tertindas.

Menentang kejahatan dengan kesabaran (upaya sistematik) adalah tanda orang beriman yang harus bertanggung jawab atas kehidupan desa maupun kota dimana pun mereka tinggal. Ketika diperlukan, mereka harus berjuang menegakkan hukum dan kondisi sosial yang sepadan dengan martabat kemanusiaan. Orang beriman tidak punya pilihan. Dalam menghadapi ketidakadilan dan penindasan, kita harus berdiri dihadapan Tuhan untuk menjadi penentang abadi ketidakadilan dan penindasan. Pelanggaran atas hak-hak Tuhan harus dikutuk, dan semua orang yang berkehendak baik harus terlibat dalam memegang dan memelihara hak-hak tersebut sebagai tugas suci. Karena itu pula, keyakinan ini harus mampu membangkitkan para pengikut Islam untuk menjadi pelindung aktif terhadap hak-hak individu. Para pejuang militan demi martabat manusia bisa menentang kejahatan dengan kekerasan, tetapi kekerasan dengan batasan-batasan yang sangat ketat, daripada menggunakannya atas nama keistimewaan takwa dan sebagai

(8)

potensinya untuk kebaikan semua demi harmoni dan kesatuan yang merupakan niat Tuhan dalam mencipta seluruh makhluk.

Dalam kaitan dengan metamorfosis, pembicaraan tentang kemungkinan kelompok-kelompok radikal itu dapat disebut sebagai “gerakan sosial” (hal. 273) menjadi relevan. Sebelum metamorfosis dilakukan, saya agak keberatan menyebut mereka sebagai gerakan sosial (baru), meski penulis menyebutkan argumentasi dari Alain Touraine. Ada baiknya jika penulis juga merujuk pada Alberto Melluci, Jurgen Habermas, dan Manuel Castell, agar tidak terlalu dini memberi penilaian terhadap fenomena gerakan Islam radikal. Saya melihat ada yang luput dari canderaan penulis terhadap teori Touraine tentang gerakan sosial baru. Setidaknya saya melihat ada tiga hal yang harus diperhatikan dari sketsa Touraine (1981, 1985). Pertama, fokus Teori

Gerakan Sosial Barunya menekankan pada relasi dominasi antarkelas dalam masyarakat pasca-industri. Melalui fokus ini pun, saya tidak melihat bahwa wacana dan gerakan yang dikembangkan oleh kelompok-kelompok Islam radikal berkait langsung dengan masalah ini. Hampir dapat dikatakan bahwa studi penulis tentang Darul Islam, MMI, Laskar Jihad, dan FPI bahkan Hizbut Tahrir, menyatakan fokus gerakan ini adalah menempatkan syariat Islam dan sistem khilafah sebagai fokus perjuangan dan jawaban atas problem-problem kontemporer Indonesia.

Kedua, isu yang dikembangkan Gerakan Sosial Baru ala Touraine adalah bagaimana gerakan sosial baru itu dapat memainkan peran diantara sistem yang berusaha memaksimalkan produksi dan uang (ekonomi), kekuasaan (politik) dan informasi (media), dan subjek yang berusaha mempertahankan dan memperluas individualitas mereka. Mungkin dari sisi ini, kelompok-kelompok fundamentalis itu bisa dikatakan terkait dengan perjuangan politik. Namun pertanyaannya, Syariat Islam yang diperjuangkan sebagai dasar negara untuk melawan dominasi siapa? Karena dalam internal bangsa Indonesia sendiri masih banyak yang sangsi atas syariat Islam. Di samping itu, perjuangan mereka itu lebih merupakan romantisisme atas masa lalu – yang terdekat adalah Piagam Jakarta, dan terjauh adalah kehidupan kaum salaf. Romantisisme atas masa lalu bukan merupakan karakter gerakan sosial baru (Cohen, 1983). Meski dalam skala global, mereka menentang dominasi politik AS, tapi pada saat yang sama mereka gagap

(9)

Ketiga, tujuan gerakan sosial baru menurut Touraine adalah: menumbuhkan kapasitas masyarakat untuk self-management; dan dapat mengendalikan historisitas. Upaya-upaya ini belum begitu jelas dalam perjuangan kelompok-kelompok pembela agama Tuhan itu. Hal lain yang juga penting, bahwa kecenderungan gerakan sosial baru mempergunakan bahasa dan simbol-simbol yang lekat dengan lokalitas (Melluci, 1980). Bahwa mereka mempergunakan bahasa dan simbol-simbol keagamaan Islam untuk menegaskan identitas serta perlawanan atas bahasa dan simbol globalisasi, memang benar. Namun, alangkah baiknya jika mereka mempergunakan lokalitas Islam dalam konteks Keindonesiaan, dan bukan Islam ke-Arab-araban, seperti memelihara jenggot panjang, berbaju gamis atau (baju koko [Cina] yang diklaim sebagai identitas ketakwaan) dan bersorban. Disamping perlunya menghindari kekerasan, yang terakhir

ini juga penting dalam rangka membangun citra yang lebih baik di mata masyarakat luas.

Terlepas dari beberapa kekurangan dan catatan kaki yang telah diberikan di muka, bagaimanapun, saya sangat menghargai karya Eko Prasetyo ini, yang suka sayap kiri (lihat buku Islam Kiri) dan sayap kanan Islam (buku yang ada dibahas ini). Semoga menjadi amal saleh, dan selamat membaca dan menimbang.

Daftar Bacaan

Alain Touraine. 1981. The Voice and the Eye: An Analysis of Social Movements. New York: Cambridge University Press.

______. 1985. "An Introduction to the Study of Social Movements." Social Research 52: 749-787.

Alberto Melucci. 1980. "The New Social Movements: A Theoretical Approach." Social Science Information 19:199-226.

James W. Jones. 2002. Terror and Transformation. New York: Brunner & Routledge.

Jean Cohen. 1983. "Rethinking Social Movements." Berkeley Journal of Sociology 28:97-113. Jurgen Habermas. 1984-1987. The Theory of Communicative Action. (2 Volumes). Translated by

Thomas McCarthy. Boston: Beacon Press.

Manuel Castells. 1977. The Urban Question. Cambridge, MA: MIT Press

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Sampel dalam penelitian ini adalah guru yang mengajar di MTsN di Kabupaten Ngawi yang berjumlah 100 Guru yang diambil dengan teknik sampling berdasarkan purposive sampling

Guru bolehlah menambah maklumat lain yang dirasakan perlu bagi memastikan keberkesanan pengajaran dan pembelajaran.Dalam usaha ke arah mencapai matlamat Mata Pelajaran

The result of this study showed that the students in the experiment group got better development in the average scores than the control group in speaking

Kajian ini bertujuan bagi mengenal pasti persepsi guru terhadap tahap kepentingan penyeliaan pengajaran, tahap kesediaan mengajar guru semasa penyeliaan pengajaran berlaku

1) Gaya kepemimpinan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan pada SDIT Az-Zahra Sragen. Terbukti hasil ini sesuai dengan hipotesis pertama yang

Todd Johnson, seorang manajer proyek senior di FASB yang menyatakan bahwa dewan memerlukan penggunaan yang lebih besar dari pengukuran fair value dalam laporan

Perbezaan dalam bahasa Inggeris melibatkan penggunaan kata penentu ‘a’ atau „ the ‟ sebelum kata nama am manakala bahasa Tagalog yang tidak mempunyai kata penentu,

More recent studies have shown that germination of Striga is not host specific but showed that not only do wild ancestors of sorghum and millet induce Striga