PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM
MENIKAHKAN JANDA HAMIL
(Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
Zainul Arifin
NIM 21110018
JURUSAN
AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
i
PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM
MENIKAHKAN JANDA HAMIL
(Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
Zainul Arifin
NIM 21110018
JURUSAN
AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
ii
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (Empat) EksemplarHal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan Dengan Hormat, Setelah Dilaksanakan Bimbingan, Arahan
Dan Koreksi, Maka Naskah Skripsi Mahasiswa:
Nama : Zainul Arifin
NIM : 21110018
Judul :PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
DAlAM MENIKAHKAN JANDA HAMIL (Studi
Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen)
Dapat diajukan kepada fakultas syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam siding munaqasyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, Maret 2015
Pembimbing
Drs. Badwan, M.Ag
iii
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul:PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM
MENIKAHKAN JANDA HAMIL (STUDI KASUS DI KUA KUWARASAN KABUPATEN KEBUMEN)
Oleh: Zainul Arifin NIM 21110018
Telah dipertahankan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada 25 Maret 2015 dan telah
dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana dalam
hukum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag.
Sekretaris Sidang : Drs. Badwan, M.Ag.
Penguji I : Dr. Adang Kuswaya, M. Ag.
Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYARI’AH
Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Zainul Arifin
NIM : 21110018
Jurusan : Ahwal Al Syahsiyyah
Fakultas : Syariah
Judul : PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)
DALAM MENIKAHKAN JANDA HAMIL (STUDI
KASUS DI KUA KUWARASAN KABUPATEN
KEBUMEN)
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 05 Maret 2015 Yang menyatakan
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
َدَجَو َّدَج ْنَم
“
barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka pasti akan
mendapatkan
”
PERSEMBAHAN
Bapak Dan
Ibu Tercinta Yang Selalu Memberikan Kasih Sayang Dan Do’a
Untuk Keberhasilanku.
Saudara saya Yang Selalu Mensuport dan memberi motivasi.
Para Dosen yang selalu sabar dalam membagi ilmu
Kekasih tersayang Terbaikku
Layla
Yang Selalu Ada Disetiap
Keluh-Kesahku dan selalu menjadi penyemangatku.
Teman-Teman seperjuangan AHS 2010 Yang Akan Selalu terkenang.
vi
KATA PENGANTAR
الله الرحمن الرحيم مسب
Assalamu’alaikum wr. wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam
semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan
syafaatnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki,
sehingga bimbingan, pengarahan, dan bantuan telah banyak penulis peroleh
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. 3. Drs. Badwan, M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis hingga terselesaikannya
skripsi ini.
4. Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si, selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah.
5. Moh Khusen, M.Ag.,MA, selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis dalam perkuliahan.
6. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang
vii
7. Orang tuaku tersayang dan saudaraku yang telah turut serta membantu
dan memberikan dukungan baik materi maupun non-materi.
8. Sahabat-sahabati PMII yang tak lelah memberikan supportnya hingga
terselesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman AHS 2010 yang penulis sayangi
10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya penulis menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui
kekurangan dan ketidak sempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari
pembaca sangat penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini,
penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu
yang berkah.
Teriring doa dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak
tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.
Amin.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
viii ABSTRAK
Arifin, Zainul. 2015. Penolakan Kantor Urusan Agama (Kua) Dalam Menikahkan Janda Hamil (Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah.
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. Badwan, M.Ag.
Kata Kunci: Penolakan , KUA, Menikahkan, Janda Hamil
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan dan dasar hukum yang digunakan Kantor Urusan Agama (KUA) Kuwarasan menolak menikahkan janda hamil. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) bagaimana penyelesaian kasus-kasus pernikahan janda hamil di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen ? (2) bagaimana tata administrasi yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen terhadap laporan nikah janda hamil? (3)bagaimana peran KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen dalam sosialisasi ketentuan pernikahan wanita hamil?
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. dengan mengambil lokasi penelitian di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi. Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis. Data yang terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.
ix DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... .... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... .... ii
PENGESAHAN KELULUSAN ... .... iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... .... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... .... v
KATA PENGANTAR ... .... vi
ABSTRAK ... .... viii
DAFTAR ISI ... .... ix
DAFTAR TABEL ... .... xi
DAFTAR GAMBAR ... .... xii
DAFTAR LAMPIRAN ... .... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... .... 1
B. Fokus Penelitian ... .... 6
C. Tujuan Penelitian ... .... 6
D. Kegunaan Penelitian... .... 7
E. Penegasan Istilah ... .... 8
F. Telaah Pustaka ... .... 8
G. Metode Penelitian... .... 9
x BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pernikahan ... 16
B. Tinjauan Fiqh Tentang Menikahi Wanita Hamil ... 40
C. Ketentuan Menikahi Wanita Hamil dalam Undang-Undang
Perkawinan dan KHI ... 45
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kuwarasan ... 47
B. Temuan Penelitian ... 58
BAB IV ANALISIS DATA
A. Analisis Penolakan KUA Menikahakan Janda Hamil ... 60
B. Prosedur Penolakan Permohonan Nikah Janda Hamil dan Peran
KUA Dalam Sosialisasi Ketentuan Pernikahan Wanita Hamil... 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... .... 65
B. Saran ... .... 66
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Kecamatan Kuwarasan... 48
xii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing
Lampiran 3 Lembar Konsultasi
Lampiran 4 Daftar Nilai SKK
Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian
Lampiran 6 Surat Bukti Penelitian
Lampiran 7 Daftar Pertanyaan
Lampiran 8 Rencana Progam Kerja KUA Kuwarasan Tahun 2014
Lampiran 9 Daftar Pegawai KUA
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah” (KHI,1991). Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, karena
perkawinan sebagai didefenisikan dalam pasal 1, adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian pada pasal 2
(ayat 1) menyatakan bahwa: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, kemudian dilanjutkan dengan: tiap - tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2).
Terkait dengan perkawinan, Sayyid Sabiq (1980:7) menyatakan
bahwa:
2
Untuk menjamin tercapainya tujuan perkawinan banyak
undang-undang yang mengatur perkawinan, salah satunya adalah aturan mengenai
pernikahan wanita hamil. Tentang hamil diluar nikah sudah kita ketahui
sebagai perbuatan zina dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah
bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina. Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan,
ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi
kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan
hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan
memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum
Islam, insyaAllah akan bisa mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan
persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga
(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1)
dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran
anaknya.
3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
3
Penyelesaian persoalan pernikahkan wanita hamil apabila dilihat
dari KHI, telah jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga
ayat.Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini
termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam
pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan
untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada
dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.
Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki
yang menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : Imam Malik menyatakan
harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut.
Abu Hanafah dan Syafi’i berpendapat boleh mengawini perempuan zina
tanpa menunggu masa iddah habis. Kemudian Syafi’i juga membolehkan kawin dengan perempuan zina sekalipun di waktu hamil, sebab hamil
semacam ini tidak menyebabkan haramnya dikawini (Sabiq, 1981: 150).
Pada kasus yang terjadi di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten
Kebumen, seorang janda yang telah lama bercerai dan telah habis masa
iddah dengan mantan suaminya kemudian hamil dengan kekasihnya dan
hendak menikah tetapi ditolak oleh KUA. KUA berpendapat bahwa yang
bersangkutan harus menunggu sampai melahirkan anak yang ada dalam
kandungan dengan alasan bahwa bayi terlama dalam kandungan adalah 4
tahun. Ini pendapat Imam Syafi’i kata pegawai KUA. Padahal dalam undang-undang tidak ada yang mengatur pernikahan janda hamil harus
4
Seharusnya kasus seperti ini disikapi serius oleh kepala KUA
selaku PPN, karena PPN berkewajiban memberikan bimbingan dan
penyuluhan kepada masyarakat serta menyelesaikan masalah perkawinan
yang terjadi di masyarakat berdasarkan peraturan yang berlaku.
Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai unit kerja terdepan
Kementrian Agama melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang
agama Islam, di wilayah kecamatan (KMA No.517/2001 dan PMA No.
11/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara
langsung berhadapan dengan masyarakat. Karena itu wajar apabila
keberadaan KUA sangat urgen seiring keberadaan Kementrian Agama.
Konsekuensi peran itu, aparat KUA harus mampu mengurus rumah
tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan,
administrasi surat-menyuratdan statistik serta dokumentasi yang mandiri.
Selain itu, KUA juga di tuntut betul-betul mampu menjalankan tugas di
bidang pencatatan nikah dan rujuk (NR) secara benar.
Kantor Urusan Agama Kecamatan sesuai KMA 517 tahun 2001
pasal 2 mempunyai tugas di Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama
Islam dalam wilayah kecamatan. Fungsi KUA berdasarkan pasal 3 KMA
517 tahun 2001, adalah:
1. Menyelenggarakan Statistik dan Dokumentasi (berdayakan
Penyuluh dan Pengawas).
2. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan,
5
3. Pencatatan NR, mengurus dan membina Masjid, Zakat, Wakaf,
Ibadah Sosial, Pengembangan Keluarga Sakinah, Kependudukan
sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Dirjen Bimas Islam
dan Perpu yang berlaku (KMA No. 517 Tahun 2001 Pasal 3).
KUA merupakan satu-satunya lembaga pemerintah yang
berwenang melakukan pencatatan pernikahan dikalangan umat Islam.
Eksistensi KUA tidak semata karena pemenuhan tuntutan birokrasi saja
tetapi secara substansial juga bertanggung jawab penuh terhadap
pelaksanaan keabsahan sebuah pernikahan. Dewasa ini
persoalan-persoalan perkawinan yang dihadapi oleh umat muslim semakin
kompleks. KUA sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keabsahan
pernikahan diharuskan mampu menyelesaikan permasalahan pernikahan
yang terjadi di masyarakat.
KUA Kecamatan Kuwarasan adalah salah satu KUA yang juga
menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti kasus janda yang hamil
di luar pernikahan dan bermaksud menikah. Ternyata KUA Kecamatan
Kuwarasan tidak serta merta menerima dan menikahkan janda hamil
tersebut. Agaknya ada kesenjangan antara peraturan hukum dengan
praktek yang terjadi, yang menarik untuk diteliti. Selain itu penulis juga
ingin meneliti lebih lanjut populasi kasus penolakan menikahkan janda
hamil di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen setelah
berlakuknya UUP No.1 tahun 1974. Penulis akan membahas hal tersebut
6
(KUA) Dalam Menikahkan Janda Hamil (Study Kasus di KUA
Kuwarasan Kabupaten Kebumen)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, dengan demikian fokus
penelitian dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana penyelesaian kasus-kasus pernikahan janda hamil di
KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen ?
2. Bagaimana tata administrasi yang dilakukan oleh KUA
Kuwarasan Kabupaten Kebumen terhadap laporan nikah janda
hamil?
3. Bagaimana peran KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen dalam
sosialisasi ketentuan pernikahan janda hamil?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini,
maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui cara penyelesaian kasus pernikahan janda hamil di
KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen.
2. Mengetahui tata administrasi terhadap laporan nikah janda hamil
di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen.
3. Mengetahui peran KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten
7 D. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun secara praktis diantaranya adalah sebagai berikut:
1.Secara Teoritik
a. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan guna memperole
gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah IAIN Salatiga.
b. Sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan tentang munakahat
dan memperkaya khazanah keislaman khususnya yang berhubungan
dengan pernikahan wanita hamil.
2.Secara Praktis
a. Bagi KUA
Untuk menjadikan masukan agar KUA lebih selektif dan
berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pegawai Pencatat Nikah
dan sebagai dasar pengembangan dalam memperbaiki pemahaman
masyarakat tentang sistem perkawinan yang ada, norma agama dan
sosial yang berlaku.
b. Bagi Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir
kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan pembelajaran
8 E. Penegasan Istilah
Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan
bahwa judul skripsi adalah “Penolakan Kantor Urusan Agama (KUA) Menikahkan Janda Hamil (Study Kasus di KUA Kecamatan Kuwarasan
Kabupaten Kebumen)”.
Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian, maka penulis
kemukakan pengertian serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai
berikut:
1. Penolakan: perbuatan menolak; pencegahan
2. Kantor Urusan Agama (disingkat: KUA) adalah kantor yang
melaksanakan sebagian tugas kantor Kementerian Agama Indonesia
di kabupaten dan kotamadya di bidang urusan agama Islam dalam
wilayah kecamatan.
3. Nikah: perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami
istri. Menikahkan: mengawinkan; melakukan upacara nikah;
4. Janda : wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun
karena ditinggal mati suaminya.
5. Hamil: orang yang mengandung.
F. Telaah Pustaka
Sebagaimana deskripsi dalam latar belakang masalah, penelitian ini
fokus pada pembahasan mengenai perkawinan janda hamil. Ada beberapa
9
tersebut melakukan penelitian tentang perkawinan wanita hamil dengan
pendekatan yang berbeda.
Skripsi Abdul Hamid yang berjudul Menikahi Wanita Hamil
Dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Salatiga, 2005. Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana
hukum menikahi wanita hamil dan bagaimana pandangan hukum islam.
Sedang yang dibahas disini adalah mengenai penolakan menikahkan janda
hamil oleh KUA.
Persoalan kawin hamil diantaranya dibahas oleh siti sa’adah, yang
menjelaskan tentang pasal dalam KHI yaitu pasal 53 tentang kawin hamil
(ditinjau dari teori maslahah mursalah), dalam skripsinya Siti Sa’adah
menerangkan tentang bagaimana penyelesaian kasus dalam KHI mengenai
kawin hamil, serta menekankan segi positif dan segi negative yang
ditimbulkan, serta pemecahanya, tetapi belum ditemukan pembahasan
tentang penolakan pernikahan janda hamil, untuk itu penulis tegaskan
bahwa penelitian ini membahas dari segi yang berbeda.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan
(field research) yaitu penelitian dengan terjun langsung ke lapangan
guna mengadakan penelitian pada obyek yang akan dibahas. Jenis
penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Dalam hal ini
10
penelitian, untuk memperoleh data yang berhubungan dengan alasan
melakukan pernikahan hamil zina, alasan KUA tersebut menolak
menikahkan janda hamil.
2. Kehadiran Peneliti
Dalam hal ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama
karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status
peneliti dalam pengumpulan data diketahui oleh informan secara jelas
guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dan informan.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di KUA Kecamatan Kuwarasan
Kabupaten Kebumen yang beralamat di Jl. Den Endro 150 m
Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui
wawancara dengan pegawai KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten
Kebumen.
b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur
buku-buku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan
ilmiah lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap
penelitian.
5. Prosedur Pengumpulan Data
11
Wawancara sebagai salah satu teknik dalam penelitian yang
bertujuan untuk mengumpulkan keterangan atau data (Daymon &
Holloway, 2002: 259). Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara
terhadap para pegawai KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten
Kebumen.
b. Observasi
Observasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan
jalan pengamatan secara langsung di lapangan mengenai obyek
penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal
mengetahui kondisi objektif objek penelitian. Dengan observasi di
lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam
keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang
holistic atau menyeluruh (Sugiyono,2013:228).
Objek yang diteliti adalah KUA Kuwarasan Kabupaten
Kebumen. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara
pengamatan langsung di KUA Kecamatan Kuwarasan.
c. Dokumentasi
Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,
seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat,
teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan
12 6. Analisis Data
Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi
pustaka pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara
deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan diuraikan
secara logis dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dan ditarik
kesimpulan. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,
dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya
dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono,2013:244).
7. Pengecekan keabsahan Data
Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode
triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil
wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan
keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya
kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis.
Pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang
dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun
membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.
Dalam hal triangulasi, Susan Stainback (1988) menyatakan
13
beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti
terhadap apa yang telah ditemukan (Sugiyono,2013:241).
8. Tahap-tahap penelitian
Adapun Tahap-tahap penelitian yang dilakukan penulis adalah
sebagai berikut:
a. Sebelum melakukan penelitian penulis menentukan ide atau tema
yang akan diteliti yaitu penolakan KUA menikahkan janda hamil.
b. Mengajukan permohonan izin observasi dari IAIN kepada KUA
Kecamatan Kuwarasan.
c. Penulis mencari informasi dari pegawai KUA yang bertugas di
KUA Kecamatan Kuwarasan.
d. Berdasar informasi yang didapatkan ada beberapa kasus penolakan
pernikahan janda hamil di KUA Kecamatan Kuwarasan.
e. Penulis terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan
melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi.
f. Melakukan analisis data sejak pengumpulan data dimulai sampai
seluruh data terkumpul.
g. Analisis data dilakukan dengan cara: pertama, membuat rekap data
berdasar klasifikasi. Kedua, penulis menjelaskan terlebih dahulu
berbagai hal tentang konsep dasar perkawinan, alasan-alasan
penolakan menikahkan janda hamil oleh KUA. Ketiga,
menginterpretasikan hasil penelitian untuk mendapatkan
14 h. Penyusunan laporan penelitian.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan dibagi
menjadi lima bab, yaitu:
BAB I pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
telaah pustaka, metode penelitian yang meliputi; jenis penelitian, sumber
data, prosedur pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan.
BAB II penulis menyajikan pandangan secara garis besar tentang
konsep perkawinan menurut hukum islam, Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, sebagai patokan
dalam menganalisa data-data yang terkumpul, yaitu anjuran perkawinan
dan larangan zina, tujuan dan hikmah perkawinan, prinsip-prinsip
perkawinan, hukum menikahi wanita hamil menurut pendapat ulama,
menurut UUP dan KHI.
Bab III merupakan paparan data yang terdiri dari deskripsi objek
penelitian yaitu mengenai gambaran umum KUA Kecamatan Kuwarasan
Kabupaten Kebumen, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang
lembaga, visi misi, kepengurusan, tugas dan fungsi, program
lembaga,kinerja lembaga dan mengenai peranan KUA terkait penolakan
15
Bab IV yaitu pembahasan tentang analisis mengenai pernikahan
janda hamil karena zina serta alasan penolakan KUA Kecamatan
Kuwarasan menikahkan janda hamil.
16 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Pernikahan
1. Pengertian pernikahan
Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam adalah suatu
akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara
laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara
yang diridloi Allah. (Basyir 1996: 11). Perkawinan adalah suatu perjanjian
yang suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk
membentuk keluarga bahagia dan kekal. Demikian menurut Dr. Anwar
Haryono, SH.
Jadi perkawinan itu adalah suatu aqad (perjanjian) yang suci untuk
hidup sebagai suami istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan
kekal, yang unsur umumnya adalah sebagai berikut:
a. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita.
b. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah,
mawaddah dan rahmah).
c. Kebagiaan yang kekal abadi penuh kesempurnaan baik moral materiil
maupun spiritual. (Ramulyo, 1996: 45)
17
Artinya:“Dan segala sesuatu Kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah”.( Adz Dzariyaat: 49)
Menurut Imam Syafi’i, pengertian nikah ialah suatu akad yang
denganya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita
sedangkan menurut arti majazi nikah artinya hubungan seksual. Prof.
Mahmud Yunus mengatakan, nikah itu artinya hubungan seksual atau
setubuh (Ramulyo, 1996: 02).
Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih allah sebagai jalan
bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan beranak dimana
masing-masing pasangan harus melakukan peranannya demi terwujudnya
tujuan perkawinan. Perkawinan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an merupakan bukti dari kemahabijaksanaan Allah Swt dalam mengatur
makhluk-Nya.
18
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(ar ruum: 21).
2. Hukum Melaksanakan Pernikahan
Menurut pendapat para ulama Syafi’iyah, hukum melaksanakan
perkawinan atau pernikahan adalah mubah. Sedangkan menurut ulama
Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hukum
melaksankan perkawinan ialah sunnah, sedangkan golongan Dzahiriyah
mengatakan bahwa perkawinan ialah suatu hal yang wajib dilakukan bagi
orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan
berbuat zina apabila tidak kawin. (Daradjat dkk, 1982: 59)
Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang
melakukan dan tujuan, melaksankan perkawinan adalah wajib, tetapi
hanya bagi sebagian orang, sunnah bagi sebagian yang lain, haram bagi
sebagian yang lain, makruh bagi sebagian yang lain dan mubah bagi
sebagaian yang lain lagi.
Ada beberapa pembagian hukum melaksanakan perkawinan, yaitu
sebagai berikut:
a. Wajib
Menikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu mewujudkan
sarananya, yang dengan itu akan terpelihara dari perbuatan zina.
Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib. Apabila seseorang
tertentu penjagaan dirinya hanya akan terjamin dengan kawin, maka
19
perkawinanan merupakan sarana memelihara diri dari maksiat. (Azam dan
Hawwas, 2009: 45)
b. Sunnah
Menikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu
menikah dan kuat nafsunya, tetapi masih mampu mengendalikan diri dari
perbuatan haram. Dalam kondisi seperti ini, perkawinan lebih baik dari
pada membujang karena membujang (tabattul) tidak dibenarkan dalam
Islam.
c. Haram
Menikah haram hukumnya bagi orang yang tidak
menginginkannya karena tidak mampu memberi nafkah, baik nafkah lahir
maupun nafkah batin kepada isterinya kelak, serta nafsunya tidak
mendesak, atau dia mempunyai keyakinan bahwa apabila menikah, ia akan
keluar dari agama Islam. Al-Qurtubi, salah seorang ulama madhab Maliki
berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu
menafkahi istrinya kelak dan tidak mampu membayar mahar untuk
istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, haram mengawini
seseorang dan harus bersabar sampai ia mampu memenuhi hak-hak
istrinya, barulah ia boleh menikah. (Basyir, 2007: 15)
d. Makruh
Perkawinan hukumnya makruh bagi seseorang yang lemah
20
merugikan calon istri karena calon istri tergolong orang kaya. Imam
Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan
berakibat mengurangi semangat beribadah kepada allah dan semangat
bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh dari pada yang telah
disebutkan di atas. (Basyir, 2007: 16)
e. Mubah
Bagi orang yang mampu untuk melaksanakan perkawinan, tetapi
apabila tidak melaksanakannya tidak khawatir akan berbuat zina dan
apabila melaksankan tidak akan menelantarkan istri, maka hukumnya
mubah. (Sabiq, 1980: 26)
Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:
ا
(mubah)”. (Washil dan Azzam, 2009:5)
3. Syarat- syarat dan Rukun Pernikahan
Berbicara mengenai hukum pernikahan sebenarnya kita
membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahwa bentuk
masyarakat ditentukan atau sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh
bentuk dan sistem perkawinan. Sebelum kita membicarakan tentang syarat
dan rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa
perkawinan menurut islam dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu:
Pertama, dipandang dari segi hukum, pernikahan itu merupakan
21
Nabawi dan Fiqh Kontemporer, pernikahan sebagai perjanjian mempunyai
tiga sifat, yaitu:
a. Tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak.
b. Ditentukan tata cara pelaksanaan dan pemutusannya jika
perjanjian itu tidak dapat terus dilangsungkan.
c. Ditentukan pula akibat-akibat perjanjian tersebut bagi kedua belah,
berupa hak dan kewajiban masing-masing.
Dalam Al Qur’an surat An Nissa’ ayat 21, dinyatakan perkawinan
adalah perjanjian yang sangat kuat, disebut juga miitsaaghan ghaliizhan.
Firman allah:
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,
Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu)
telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (An Nissa’: 21)
Kedua, dari segi sosial, bahwa orang-orang yang telah menikah
atau berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka
yang tidak kawin. Ketiga, dari segi agama perkawinan itu dianggap
sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat
hidup tentram, saling cinta mencintai, santun menyantuni dan kasih
mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan
22
Seseorang dapat melangsungkan pernikahan apabila telah
terpenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait syarat sah nikah, Sabiq
(1980:86) menjelaskan bahwa syarat sah nikah yaitu pertama perempuan
yang akan di nikahi bukan perempuan yang haram untuk dinikahi, kedua
dalam prosesi aqad atau ijab qabul nikah dihadiri dua orang saksi.
Dalam Pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah diatur mengenai syarat-syarat
perkawinan, diantaranya sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai
Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan
menetapkan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
calon mempelai. Oleh karena maksud perkawinan ialah supaya
suami dan isteri hidup bersama selama mungkin, maka sudah
selayaknya bahwa syarat penting untuk perkawinan itu adalah
persetujuan yang bersifat sukarela.
2. Adanya izin dari orang tua/wali calon mempelai yang belum
mencapai umur 21 tahun.
3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
wanita sudah mencapai 16 tahun.
4. Antara kedua mempelai tidak ada hubungan darah atau
23
Dalam Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974
menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan
perkawinan yaitu antara orang-orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah
atau ke atas.
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang
tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu
dan ibu/bapak tiri.
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,
saudara susuan dan bibi/paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri
lebih dari seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain yang berlaku dilarang kawin.
5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain
Syarat ini disebutkan dalam pasal 9 Undang-Undang
24
lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal
4 undang-undang ini”. Pengecualian yang diberikan oleh Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perkawinan adalah kemungkinan
seorang suami untuk melakukan poligami karena hukum
agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang
isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi
berbagai persyaratan tertentu, dan diputuskan oleh pengadilan.
6. Tidak bercerai untuk yang kedua kalinya
Syarat perkawinan ini diatur dalam Pasal 10
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang intinya bahwa suami isteri
yang telah bercerai untuk kedua kalinya maka keduanya tidak
boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum
masing-masing agama dan keepercayaan dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Ketentuan tersebut dimaksudkan supaya segala
tindakan yang dapat mengakibatkan putusnya perkawinan
harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan
masak-masak untuk mencegah kawin cerai berulang kali,
sehingga suami maupun isteri benar-benar menghargai satu
25
7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum
lewat waktu tunggu
Dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
ditentukan bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya
tidak dapat langsung kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu.
8. Memenuhi tata cara perkawinan
Dalam Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan
perkawinan akan diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri. Selanjutnya mengenai tata cara perkawinan ini
diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, pada Bab III memuat tentang Tatacara
Perkawinan, antara lain adalah:
Pasal 10 berbunyi
(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat
seperti yang dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
(2) Tatacara perkawinan dilaksanakan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinanmenurut
26
perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi.
Pasal 11 berbunyi
(1) Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua
mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah
disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
(2) Akta perkawinan yang telah di tandatangani oleh mempelai
itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan
Pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.
(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka
perkawinan telah tercatat secara resmi.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan
ada lima dan masing-masing rukun memiliki syarat-syarat
tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun
perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari
rukun tersebut. (Nuruddin dan Tarigan, 2006: 62)
Berikut ini adalah rukun perkawinan menurut jumhur ulama:
a. Calon suami, syarat-syaratnya:
27 2) Laki-laki.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat memberikan persetujuan.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan.
b. Calon istri, syarat-syaratnya:
1) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.
2) Perempuan.
3) Jelas orangnya.
4) Dapat dimintai persetujuannya.
5) Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1) Laki-laki.
2) Dewasa.
3) Mempunyai hak perwalian.
4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.
d. Saksi nikah
1) Minimal dua orang laki-laki.
2) Hadir dalam ijab qabul.
3) Dapat mengerti maksdu akad.
4) Islam.
5) Dewasa.
e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
28
2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.
3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari
kedua kata tersebut.
4) Antara ijab dan qabul bersambungan.
5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram
haji atau umrah.
7) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat
orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari
mempelai wanita dan dua orang saksi.
4. Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan Yang Sah
Akibat dari suatu perkawinan yang sah antara lain dapat
dirumuskan sebagai berikut:
a. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan
bersenang-senang antara suami istri tersebut.
b. Mahar (mas kawin) yang diberikan menjadi hak sang istri.
c. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami istri, suami
menjadi kepala rumah tangga dan isteri menjadi ibu rumah
tangga.
d. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak
29
e. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik
anak-anak dan istri serta mengusahakan tempat tinggal bersama.
f. Berhak saling waris-mewarisi antara suami isteri dan
anak-anak dengan orang tua.
g. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.
h. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.
i. Bila diantara suami atau isteri meninggal salah satunya, maka
yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap
anak-anak dan hartanya. (Ramulyo, 1996: 49).
5. Prinsip-Prinsip Pernikahan
Perkawinan menurut ajaran islam ditandai dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a. Pilihan jodoh yang tepat.
b. Pernikahan didahului dengan peminangan.
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan.
d. Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Ada persaksian dalam akad nikah.
30
g. Ada kewajiban membayar maskawin atas suami.
h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.
i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami.
j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah
tangga.
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang
cukup prinsip dalam UU perkawinan adalah:
a. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam
masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang
perkawinan menampung didalamnya segala unsure-unsur
ketentuan hokum agama dan kepercayaan masing-masing.
b. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Yaitu terpenuinya
aspirasi wanita yang menuntut emansipasi.
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia
dan kekal.
d. Kesadaran akan hokum agama dan keyakinan masing-masing
warga Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus
dilakukan berdasarkan hokum agama dan kepercayaan
31
e. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami akan
tetapi tetap terbuka peluang untuk poligami selama hukum
agamanya mengizinkannya.
f. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh
pribadi-pribadi yang telah matang jiwanya.
g. Kedudukan suami istri dalam rumah tangga adalah seimbang
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat.
Dalam perspektif lain, Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip
perkawinan ada empat yaitu:
a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh
b. Prinsip mawaddah wa rahmah.
c. Prinsip saling melengkapi dan melindungi.
Prinsip tersebut tersebut berdasarkan firman Allah
SWT. Yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 187 yang
menjelaskan bahwa istri-istri adalah pakaian sebagaimana
layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita.
Dimaksudkan bahwa perkawinan adalah untuk saling
melengkapi.
32
Prinsip tersbut memiliki pesan utama yaitu pengayoman
dan penghargaan kepada wanita.
6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan
Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat
bagi kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan
beberapa tujuan utama yang baik bagi manusia. Tujuan pernikahan dalam
Islam adalah untuk memenui tuntutan naluriah hidup manusia,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya. Selain itu tujuan
pernikahan juga untuk memelihara keturunan dalam menjalani hidup di
dunia, juga mencegah perzinaan agar tercipta ketenangan dan ketentraman
jiwa bagi yang bersangkutan.
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada
pemenuhan kebutuhan nafsu biologis saja tetapi memiliki tujuan penting
yang berkaitan dengan sosial, psikologis dan agama. Dalam buku fiqh
munakahat karya Azzam dan Hawwas disebutkan tujuan nikah diantaranya
yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Memelihara keturunan dan regenerasi dari masa kemasa dalam rangka memperbanyak umat rasul. Dengan pernikahan manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah dari allah.
2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Al- Ghazali menjelaskan beberapa faedah nukah, diantaranya dapat menyegarkan jiwa, hati menjadi tenang, dan memperkuat ibadah.
33
melakukan hajat bilogisnya secara halal. Karena tujuan pernikahan yang begitu mulia inilah manusi dianjurkan menikah.
4. Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan mendidik mereka. Nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal memperbaiki dan memberikan petunjuk jalan agama.
Selain itu dari definisi perkawinan menurut pasal 1
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maka dapat disimpulkan
bahwa tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1994
adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan perkawinan dalam
syariat islam sangat tinggi, yakni sebagai salah satu indikasi ketinggian
derajat manusia untuk mencapai derajat yang sempurna.
7. Tata Cara Pernikahan
Untuk melaksankan pernikahan harus dilaksanakan menurut tata
cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan menurut
Nurudin dan tarigan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah
sebagai berikut:
a. Pemberitahuan
Dalam pasal 3 PP No. 9 tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap
orang yang akan melangsungkan pernikahan memberitahukan
34
beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada Kantor
Urusan Agama, sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954
tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
b. Penelitian
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya pernikahan, prosedur
selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan oleh pegawai
pencatat nikah.
c. Pengumuman
Setela diadakan penelitian dan dipenuhi tata cara serta
syarat-syarat dan tiada suatu halangan pernikahan, maka pegawai
pencatat nikah menyelenggarakan pengumuman adanya kehendak
nikah.
d. Pelaksanaan
Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak nikah calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu
dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas
dilakukan.
8. Larangan Pernikahan
Dalam hokum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
dengan asas selekstivitas. Maksud dari asas tersebut adalah seorang yang
hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh
menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. (Nurudin dan
35
Dalam perspektif hukum Islam juga mengenal adanya larangan
perkawinan yang dalam fikih disebut mahram (orang yang haram
dinikahi). Ulama fikih telah membagi mahram kepada dua macam yaitu
mahram mu’aqqat(larangan untuk waktu tertentu) dan mahram mu’abad(
haram untuk selamanya). Wanita yang haram dinikahi selamanya terbagi
dalam tiga kelompok yaitu, wanita-wanita seketurunan (al-muharramat
min an-nasab), wanita sepersusuan (al-muharramat min ar-rada’ah), dan
wanita yang haram dinikahi karena hubungan semenda (al-muharramat
min al-musaharah). Dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 22-23:
36
Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan
yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu
perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya.
sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam
pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang
tidak dalam pemeliharaannya.
9. Anjuran Pernikahan dan Larangan Zina
Hidup berpasang-pasang merupakan pembawaan naluriah manusia
dan makluk hidup lainya bahkan segala sesuatu diciptakan
berpasang-pasang. Dalam Al-Qur’an Surat Yasin: 36 dinyatakan, “Mahasuci tuhan yang telah mencipakan pasang-pasangan semuanya, baik apa yang
37
tidak ketahui”. Dengan hidup berpasang-pasang keturunan manusia dapat
berlangsung, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl: 72
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah ?"
Islam menganjurkan agar orang-orang menempuh hidup
perkawinan dan tidak dibenarkan membujang atau berzina. QS An-Nur: 32
memerintahkan, ”Dan kawinlah orang-orang yang sendirian laki-laki yang
tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
laki-laki maupun perempuan; bila mereka miskin Allah akan memberi
kecukupan dengan karunia-Nya dan Dia Maha Mengetahui peri keadaan
hamba-hamba-Nya.” Perintah mengawinkan perempuan tak bersuami dan laki-laki tak beristri tersebut tertuju kepada seluruh umat Islam. Dari
ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dapat kita peroleh bahwa Islam menganjurkan perkawinan. Islam memandang perkawinan memiliki nilai keagamaan
sebagai ibadah kepada Allah dan mengikuti sunah Nabi. Dari segi lain,
38
naluri hidupnya dan dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang
dalam kehidupan bermasyarakat.(Basyir,2000:13)
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Islam menutup rapat-rapat
semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan
dan kebinasaan. Atas dasar ini Allah melarang perbuatan zina, maka Allah
melarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut.
Ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 32:
Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina;
Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
Dari ayat tersebut dengan jelas Allah melarang perbuatan zina.
Islam telah melarang kita untuk melakukan perbuatan zina. Jangankan
melakukannya, mendekati saja kita sudah tidak boleh. Tentunya perintah
untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa
sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji, yang dapat
mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga
kepada orang lain. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 juga ditegaskan mengenai hukuman bagi orang yang berzina. Firman Allah:
39
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Dari dalil-dalil tersebut, penulis menyimpulkan tentang larangan
zina dalam Islam. Zina adalah seburuk-buruk jalan dan sejelek-jelek
perbuatan. Terkumpul padanya seluruh bentuk kejelekan yakni kurangnya
agama, rusaknya muru’ah (kehormatan) dan tipisnya rasa cemburu.Yang
ada hanyalah tipu daya, kedustaan, khianat, tidak memiliki rasa malu,
tidak muraqabah, tidak menjauhi perkara haram, dan telah hilang
kecemburuan dalam hatinya dari cabang-cabang dan perkara-perkara yang
40
B. Tinjauan Fiqh Tentang Menikahi Wanita Hamil
Perkawinan telah di atur secara jelas oleh ketentuan – ketentuan hukum Islam yang digali dari sumber-sumbernya baik dari Al-Quran, As
sunnah dan hasil ijtiad para ulama. Kehidupan dan peradapan manusia
tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap
generasi manusia. Perkawinan dalam Islam juga merupakan Sunnah
Rasul.(Saleh,2008:297)
Sebagaimana sabda Nabi Saw, dalam hadisnya menyatakan:
م نب سنأ نعو
menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq Alaihi. (Riwayat Al Bukhari, 5/1949, hadits no: 4776, dan Muslim, 2/1020, hadits no: 1401)Seorang wanita tentu tidak akan hamil tanpa didahului dengan
pernikahan dengan seorang laki-laki. Namun yang menjadi persoalan
ketika seorang wanita hamil di luar pernikahan yang sah. Ini bisa
dikatakan sebagai perzinaan yang di dalam nash telah jelas keharamannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan yang terjadi terhadap
wanita yang sedang hamil akibat zina. Tentu yang menjadi pertanyaan
41
perkawinan terhadap wanita yang hamil di luar nikah menurut syariat
Islam. Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita
yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status
nikah atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang
mengakibatkan kehamilannya.(Ali,2006:45)
Dalam hal pelaksanaan perkawinan wanita hamil akibat zina,
ulama berbeda pendapat terkait boleh atau tidaknya dilangsungkan
perkawinan, namun kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa perkawinan
laki-laki dengan wanita zina dibolehkan sebab ia tidak tersangkut kepada
orang lain, bukan istri dan bukan pula orang yang sedang menjalani iddah.
(Basyir,1996:31)
Perbedaan yang terjadi yaitu mengenai ketentuan – ketentuan hukum perkawinan wanita hamil. Pendapat tersebut dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok yaitu:
1. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i
Mereka mengatakan wanita hamil akibat zina boleh
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya
atau dengan laki-laki lain. Menurut Imam Hanafi: Wanita hamil
karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya,
tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan
kandungannya. (Mughniyah: 1994: 202)
Menurut Imam Syafi’i: Hubungan seks karena zina itu tidak
42
dihormati. Dengan demikian Wanita yang hamil karena zina itu
boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun
dalam keadaan hamil.
Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan
ketentuan-ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam
nikah. Bagi mereka iddah hanya ditentukan untuk menghargai
sperma yang ada dalam kandungan istri dalam perkawinan yang sah,
namun sperma hasil hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan
oleh hukum dengan alasan tidak ditetapkan keturunan anak zina
kepada ayah.
Menurut Imam Hanafi meskipun perkawinan wanita hamil
dapat dilangsungkan dengan dengan laki-laki tetapi dia tidak boleh
disetubuhi, sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini
didasarkan kepada sabda Nabi saw:
، كاهد وْلا ي ب أ ْن ع ،ٍب ه و نْب سْي ق ْن ع ،ٌكْي ر ش ا ن ْر بْخ أ ،ٍن ْو ع نْب و رْم ع ا ن ث د ح
Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas: "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang
tidak hamil hingga datang haidnya sekali." (Sunan Abu
Dawud jus 2 halaman 248 hadist nomor 2157)
Menurut Imam Syafi’i perkawinan wanita hamil itu dapat
43
Ini di dasarkan pada Hadist ‘Aisyah, ketika Rasululloh SAW ditanya tentang seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan,
kemudian lelaki itu berniat mengawininya, Nabi SAW. bersabda:
سابع نبا نعو
Dari Ibnu Abbas: “permulaannya berzina, akhirnya menikah itu
tidak apa-apa. (Baihaqi dalam As-Sunan al-Qubra 7:155)
Memperhatikan pendapat Imam Syafi’i, maka seorang wanita
hamil karena hasil melakukan hubungan seks di luar nikah jika dia
melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki, maka
kehamilannya tersebut tidak mempengaruhi pernikahannya
(Sabiq,1980:150)
Tetapi melihat pendapat Imam Hanafi, meskipun boleh
wanita hamil melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki,
tetapi dia dilarang melakukan hubungan seksual. Berarti
kehamilannya mempengaruhi terhadap kelangsungan kehidupan
rumah tangga.
2. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal
Mereka mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan
antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia
melahirkan kandungannya. Imam Malik berpendapat sama halnya
dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin
pasid, dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan
44 Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan hasan menurut al-Bazzar. Dari Umar Radliyallaahu 'anhu tentang seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa berita: Ia menunggu empat tahun dan menghitung iddahnya empat bulan
sepuluh hari. Riwayat Malik dan Syafi'i. (Sunan Abu Dawud
jus 2 halaman 248 hadist nomor 2158)
Dari hadits di atas, Imam Malik dan Imam Ahmad
berkesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia
perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita
hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat
perbuatan zina.
Bahkan menurut Imam Ahmad, wanita hamil karena zina
harus bertaubat dan wajib menjalani iddah sebagaimana halnya pada
orang yang ditalak baru dapat melangsungkan perkawinan dengan
laki-laki yang mengawininya.
C. Ketentuan Menikahi Wanita Hamil dalam Undang-Undang
45
Di Indonesia masalah kawin hamil di luar nikah memang tidak
diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,
namun diatur secara khusus dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam.
Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan perkawinan
bagi wanita hamil diluar nikah. Meskipun demikian ada aturan khusus
yang harus dipenuhi dalam perkawinan tersebut. Diantaranya:
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang
wanita yang hamil di luar ikatan perkawinan yang sah dapat dinikahkan
dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak dalam
kandungannya. Dalam KHI perkawinan wanita hamil akibat zina tidak
mengenal iddah, oleh karena itu tidak mengakibatkan adanya iddah.
Namun perkawinan wanita hamil seperti pasal 53 ayat 1, hanya boleh
dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal tersebut sesuai
46
Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas orang-orang yang mukmin.( An Nuur ayat: 3)
Ayat Al Qur’an di atas menunjukan bahwa kebolehan kawin
dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya adalah
merupakan pengecualian. Karena laki-laki yang menghamili itulah yang
tepat menjadi jodoh mereka. Selaian itu, pengidentifikasian dengan
laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang hamil tadi adalah isyarat
larangan bagi laki-laki baik untuk mengawini mereka. Jadi bagi selain
laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut diharamkan
untuk menikahinya. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kehormatan