• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM MENIKAHKAN JANDA HAMIL (Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM MENIKAHKAN JANDA HAMIL (Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM

MENIKAHKAN JANDA HAMIL

(Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

Zainul Arifin

NIM 21110018

JURUSAN

AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

i

PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM

MENIKAHKAN JANDA HAMIL

(Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

Zainul Arifin

NIM 21110018

JURUSAN

AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS

SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(4)

ii

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (Empat) Eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan Dengan Hormat, Setelah Dilaksanakan Bimbingan, Arahan

Dan Koreksi, Maka Naskah Skripsi Mahasiswa:

Nama : Zainul Arifin

NIM : 21110018

Judul :PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

DAlAM MENIKAHKAN JANDA HAMIL (Studi

Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen)

Dapat diajukan kepada fakultas syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam siding munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan

digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, Maret 2015

Pembimbing

Drs. Badwan, M.Ag

(5)

iii

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA) DALAM

MENIKAHKAN JANDA HAMIL (STUDI KASUS DI KUA KUWARASAN KABUPATEN KEBUMEN)

Oleh: Zainul Arifin NIM 21110018

Telah dipertahankan dalam Sidang Munaqasyah Skripsi Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada 25 Maret 2015 dan telah

dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana dalam

hukum Islam

Dewan Sidang Munaqasyah

Ketua Sidang : Dra. Siti Zumrotun, M. Ag.

Sekretaris Sidang : Drs. Badwan, M.Ag.

Penguji I : Dr. Adang Kuswaya, M. Ag.

Penguji II : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.

KEMENTERIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Nakula Sadewa V No.9 Telp (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722

(6)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Zainul Arifin

NIM : 21110018

Jurusan : Ahwal Al Syahsiyyah

Fakultas : Syariah

Judul : PENOLAKAN KANTOR URUSAN AGAMA (KUA)

DALAM MENIKAHKAN JANDA HAMIL (STUDI

KASUS DI KUA KUWARASAN KABUPATEN

KEBUMEN)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Salatiga, 05 Maret 2015 Yang menyatakan

(7)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

َدَجَو َّدَج ْنَم

barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka pasti akan

mendapatkan

PERSEMBAHAN

Bapak Dan

Ibu Tercinta Yang Selalu Memberikan Kasih Sayang Dan Do’a

Untuk Keberhasilanku.

Saudara saya Yang Selalu Mensuport dan memberi motivasi.

Para Dosen yang selalu sabar dalam membagi ilmu

Kekasih tersayang Terbaikku

Layla

Yang Selalu Ada Disetiap

Keluh-Kesahku dan selalu menjadi penyemangatku.

Teman-Teman seperjuangan AHS 2010 Yang Akan Selalu terkenang.

(8)

vi

KATA PENGANTAR

الله الرحمن الرحيم مسب

Assalamu’alaikum wr. wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang

telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam

semoga tercurah kepada baginda Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan

syafaatnya. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang dimiliki,

sehingga bimbingan, pengarahan, dan bantuan telah banyak penulis peroleh

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Dra. Siti Zumrotun, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. 3. Drs. Badwan, M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu,

tenaga, dan pikiranya guna membimbing penulis hingga terselesaikannya

skripsi ini.

4. Sukron Ma’mun, S.HI., M.Si, selaku Ketua Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah.

5. Moh Khusen, M.Ag.,MA, selaku pembimbing akademik yang telah

membimbing penulis dalam perkuliahan.

6. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terimakasih atas ilmu yang

(9)

vii

7. Orang tuaku tersayang dan saudaraku yang telah turut serta membantu

dan memberikan dukungan baik materi maupun non-materi.

8. Sahabat-sahabati PMII yang tak lelah memberikan supportnya hingga

terselesaikan skripsi ini.

9. Teman-teman AHS 2010 yang penulis sayangi

10.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

berperan dan membantu hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirnya penulis menyadari atas keterbatasan yang dimiliki dalam

menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui

kekurangan dan ketidak sempurnaan. Oleh karena itu kritik dan saran dari

pembaca sangat penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini,

penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu

yang berkah.

Teriring doa dan harapan semoga amal baik dan jasa semua pihak

tersebut di atas akan mendapat balasan yang melimpah dari Allah SWT.

Amin.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

(10)

viii ABSTRAK

Arifin, Zainul. 2015. Penolakan Kantor Urusan Agama (Kua) Dalam Menikahkan Janda Hamil (Studi Kasus di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah.

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Drs. Badwan, M.Ag.

Kata Kunci: Penolakan , KUA, Menikahkan, Janda Hamil

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan dan dasar hukum yang digunakan Kantor Urusan Agama (KUA) Kuwarasan menolak menikahkan janda hamil. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) bagaimana penyelesaian kasus-kasus pernikahan janda hamil di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen ? (2) bagaimana tata administrasi yang dilakukan oleh KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen terhadap laporan nikah janda hamil? (3)bagaimana peran KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen dalam sosialisasi ketentuan pernikahan wanita hamil?

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan normatif sosiologis. dengan mengambil lokasi penelitian di KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode triangulasi. Selama pengumpulan data, data sudah mulai dianalisis. Data yang terkumpul, dipaparkan berdasarkan klasifikasi sehingga tergambar pola atau struktur dari fokus masalah yang dikaji kemudian diinterpretasikan sehingga mendapatkan jawaban dari fokus penelitian tersebut.

(11)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... .... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... .... ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... .... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... .... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... .... v

KATA PENGANTAR ... .... vi

ABSTRAK ... .... viii

DAFTAR ISI ... .... ix

DAFTAR TABEL ... .... xi

DAFTAR GAMBAR ... .... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... .... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... .... 1

B. Fokus Penelitian ... .... 6

C. Tujuan Penelitian ... .... 6

D. Kegunaan Penelitian... .... 7

E. Penegasan Istilah ... .... 8

F. Telaah Pustaka ... .... 8

G. Metode Penelitian... .... 9

(12)

x BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pernikahan ... 16

B. Tinjauan Fiqh Tentang Menikahi Wanita Hamil ... 40

C. Ketentuan Menikahi Wanita Hamil dalam Undang-Undang

Perkawinan dan KHI ... 45

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kuwarasan ... 47

B. Temuan Penelitian ... 58

BAB IV ANALISIS DATA

A. Analisis Penolakan KUA Menikahakan Janda Hamil ... 60

B. Prosedur Penolakan Permohonan Nikah Janda Hamil dan Peran

KUA Dalam Sosialisasi Ketentuan Pernikahan Wanita Hamil... 63

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... .... 65

B. Saran ... .... 66

DAFTAR PUSTAKA

(13)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Kecamatan Kuwarasan... 48

(14)

xii

DAFTAR GAMBAR

(15)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing

Lampiran 3 Lembar Konsultasi

Lampiran 4 Daftar Nilai SKK

Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian

Lampiran 6 Surat Bukti Penelitian

Lampiran 7 Daftar Pertanyaan

Lampiran 8 Rencana Progam Kerja KUA Kuwarasan Tahun 2014

Lampiran 9 Daftar Pegawai KUA

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

“Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah” (KHI,1991). Undang-undang

Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan menjelaskan bahwa tujuan

perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, karena

perkawinan sebagai didefenisikan dalam pasal 1, adalah ikatan lahir

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian pada pasal 2

(ayat 1) menyatakan bahwa: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu, kemudian dilanjutkan dengan: tiap - tiap perkawinan dicatat menurut

peraturan dan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2).

Terkait dengan perkawinan, Sayyid Sabiq (1980:7) menyatakan

bahwa:

(17)

2

Untuk menjamin tercapainya tujuan perkawinan banyak

undang-undang yang mengatur perkawinan, salah satunya adalah aturan mengenai

pernikahan wanita hamil. Tentang hamil diluar nikah sudah kita ketahui

sebagai perbuatan zina dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah

bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina. Para ulama berbeda

pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan,

ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi

kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama itu, ketentuan

hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan

memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum

Islam, insyaAllah akan bisa mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.

Dalam Impres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan

persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga

(3) ayat , yaitu :

1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan

pria yang menghamilinya.

2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1)

dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran

anaknya.

3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil,

tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung

(18)

3

Penyelesaian persoalan pernikahkan wanita hamil apabila dilihat

dari KHI, telah jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga

ayat.Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini

termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam

pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan

untuk memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada

dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina.

Dalam kasus wanita hamil yang akan menikah dengan laki-laki

yang menghamilinya, ada dua pendapat yaitu : Imam Malik menyatakan

harus menunggu sampai kelahiran anak yang dikandung wanita tersebut.

Abu Hanafah dan Syafi’i berpendapat boleh mengawini perempuan zina

tanpa menunggu masa iddah habis. Kemudian Syafi’i juga membolehkan kawin dengan perempuan zina sekalipun di waktu hamil, sebab hamil

semacam ini tidak menyebabkan haramnya dikawini (Sabiq, 1981: 150).

Pada kasus yang terjadi di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten

Kebumen, seorang janda yang telah lama bercerai dan telah habis masa

iddah dengan mantan suaminya kemudian hamil dengan kekasihnya dan

hendak menikah tetapi ditolak oleh KUA. KUA berpendapat bahwa yang

bersangkutan harus menunggu sampai melahirkan anak yang ada dalam

kandungan dengan alasan bahwa bayi terlama dalam kandungan adalah 4

tahun. Ini pendapat Imam Syafi’i kata pegawai KUA. Padahal dalam undang-undang tidak ada yang mengatur pernikahan janda hamil harus

(19)

4

Seharusnya kasus seperti ini disikapi serius oleh kepala KUA

selaku PPN, karena PPN berkewajiban memberikan bimbingan dan

penyuluhan kepada masyarakat serta menyelesaikan masalah perkawinan

yang terjadi di masyarakat berdasarkan peraturan yang berlaku.

Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai unit kerja terdepan

Kementrian Agama melaksanakan sebagian tugas pemerintah di bidang

agama Islam, di wilayah kecamatan (KMA No.517/2001 dan PMA No.

11/2007). Dikatakan sebagai unit kerja terdepan, karena KUA secara

langsung berhadapan dengan masyarakat. Karena itu wajar apabila

keberadaan KUA sangat urgen seiring keberadaan Kementrian Agama.

Konsekuensi peran itu, aparat KUA harus mampu mengurus rumah

tangga sendiri dengan menyelenggarakan manajemen kearsipan,

administrasi surat-menyuratdan statistik serta dokumentasi yang mandiri.

Selain itu, KUA juga di tuntut betul-betul mampu menjalankan tugas di

bidang pencatatan nikah dan rujuk (NR) secara benar.

Kantor Urusan Agama Kecamatan sesuai KMA 517 tahun 2001

pasal 2 mempunyai tugas di Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama

Islam dalam wilayah kecamatan. Fungsi KUA berdasarkan pasal 3 KMA

517 tahun 2001, adalah:

1. Menyelenggarakan Statistik dan Dokumentasi (berdayakan

Penyuluh dan Pengawas).

2. Menyelenggarakan surat menyurat, pengurusan surat, kearsipan,

(20)

5

3. Pencatatan NR, mengurus dan membina Masjid, Zakat, Wakaf,

Ibadah Sosial, Pengembangan Keluarga Sakinah, Kependudukan

sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Dirjen Bimas Islam

dan Perpu yang berlaku (KMA No. 517 Tahun 2001 Pasal 3).

KUA merupakan satu-satunya lembaga pemerintah yang

berwenang melakukan pencatatan pernikahan dikalangan umat Islam.

Eksistensi KUA tidak semata karena pemenuhan tuntutan birokrasi saja

tetapi secara substansial juga bertanggung jawab penuh terhadap

pelaksanaan keabsahan sebuah pernikahan. Dewasa ini

persoalan-persoalan perkawinan yang dihadapi oleh umat muslim semakin

kompleks. KUA sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas keabsahan

pernikahan diharuskan mampu menyelesaikan permasalahan pernikahan

yang terjadi di masyarakat.

KUA Kecamatan Kuwarasan adalah salah satu KUA yang juga

menghadapi permasalahan yang kompleks, seperti kasus janda yang hamil

di luar pernikahan dan bermaksud menikah. Ternyata KUA Kecamatan

Kuwarasan tidak serta merta menerima dan menikahkan janda hamil

tersebut. Agaknya ada kesenjangan antara peraturan hukum dengan

praktek yang terjadi, yang menarik untuk diteliti. Selain itu penulis juga

ingin meneliti lebih lanjut populasi kasus penolakan menikahkan janda

hamil di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen setelah

berlakuknya UUP No.1 tahun 1974. Penulis akan membahas hal tersebut

(21)

6

(KUA) Dalam Menikahkan Janda Hamil (Study Kasus di KUA

Kuwarasan Kabupaten Kebumen)”.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, dengan demikian fokus

penelitian dalam skripsi ini adalah:

1. Bagaimana penyelesaian kasus-kasus pernikahan janda hamil di

KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen ?

2. Bagaimana tata administrasi yang dilakukan oleh KUA

Kuwarasan Kabupaten Kebumen terhadap laporan nikah janda

hamil?

3. Bagaimana peran KUA Kuwarasan Kabupaten Kebumen dalam

sosialisasi ketentuan pernikahan janda hamil?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini,

maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui cara penyelesaian kasus pernikahan janda hamil di

KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen.

2. Mengetahui tata administrasi terhadap laporan nikah janda hamil

di KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen.

3. Mengetahui peran KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten

(22)

7 D. Kegunaan Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun secara praktis diantaranya adalah sebagai berikut:

1.Secara Teoritik

a. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan guna memperole

gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah IAIN Salatiga.

b. Sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan tentang munakahat

dan memperkaya khazanah keislaman khususnya yang berhubungan

dengan pernikahan wanita hamil.

2.Secara Praktis

a. Bagi KUA

Untuk menjadikan masukan agar KUA lebih selektif dan

berhati-hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai Pegawai Pencatat Nikah

dan sebagai dasar pengembangan dalam memperbaiki pemahaman

masyarakat tentang sistem perkawinan yang ada, norma agama dan

sosial yang berlaku.

b. Bagi Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir

kritis serta pemenuhan prasyarat dalam menyelesaikan pembelajaran

(23)

8 E. Penegasan Istilah

Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan

bahwa judul skripsi adalah “Penolakan Kantor Urusan Agama (KUA) Menikahkan Janda Hamil (Study Kasus di KUA Kecamatan Kuwarasan

Kabupaten Kebumen)”.

Untuk menghindari kesalahpahaman pengertian, maka penulis

kemukakan pengertian serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai

berikut:

1. Penolakan: perbuatan menolak; pencegahan

2. Kantor Urusan Agama (disingkat: KUA) adalah kantor yang

melaksanakan sebagian tugas kantor Kementerian Agama Indonesia

di kabupaten dan kotamadya di bidang urusan agama Islam dalam

wilayah kecamatan.

3. Nikah: perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami

istri. Menikahkan: mengawinkan; melakukan upacara nikah;

4. Janda : wanita yang tidak bersuami lagi karena bercerai ataupun

karena ditinggal mati suaminya.

5. Hamil: orang yang mengandung.

F. Telaah Pustaka

Sebagaimana deskripsi dalam latar belakang masalah, penelitian ini

fokus pada pembahasan mengenai perkawinan janda hamil. Ada beberapa

(24)

9

tersebut melakukan penelitian tentang perkawinan wanita hamil dengan

pendekatan yang berbeda.

Skripsi Abdul Hamid yang berjudul Menikahi Wanita Hamil

Dalam Perspektif Hukum Islam, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Salatiga, 2005. Dalam skripsi ini menjelaskan bagaimana

hukum menikahi wanita hamil dan bagaimana pandangan hukum islam.

Sedang yang dibahas disini adalah mengenai penolakan menikahkan janda

hamil oleh KUA.

Persoalan kawin hamil diantaranya dibahas oleh siti sa’adah, yang

menjelaskan tentang pasal dalam KHI yaitu pasal 53 tentang kawin hamil

(ditinjau dari teori maslahah mursalah), dalam skripsinya Siti Sa’adah

menerangkan tentang bagaimana penyelesaian kasus dalam KHI mengenai

kawin hamil, serta menekankan segi positif dan segi negative yang

ditimbulkan, serta pemecahanya, tetapi belum ditemukan pembahasan

tentang penolakan pernikahan janda hamil, untuk itu penulis tegaskan

bahwa penelitian ini membahas dari segi yang berbeda.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan

(field research) yaitu penelitian dengan terjun langsung ke lapangan

guna mengadakan penelitian pada obyek yang akan dibahas. Jenis

penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Dalam hal ini

(25)

10

penelitian, untuk memperoleh data yang berhubungan dengan alasan

melakukan pernikahan hamil zina, alasan KUA tersebut menolak

menikahkan janda hamil.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam hal ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama

karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status

peneliti dalam pengumpulan data diketahui oleh informan secara jelas

guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dan informan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di KUA Kecamatan Kuwarasan

Kabupaten Kebumen yang beralamat di Jl. Den Endro 150 m

Kecamatan Kuwarasan Kabupaten Kebumen.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui

wawancara dengan pegawai KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten

Kebumen.

b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur

buku-buku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan

ilmiah lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap

penelitian.

5. Prosedur Pengumpulan Data

(26)

11

Wawancara sebagai salah satu teknik dalam penelitian yang

bertujuan untuk mengumpulkan keterangan atau data (Daymon &

Holloway, 2002: 259). Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara

terhadap para pegawai KUA Kecamatan Kuwarasan Kabupaten

Kebumen.

b. Observasi

Observasi merupakan suatu cara pengumpulan data dengan

jalan pengamatan secara langsung di lapangan mengenai obyek

penelitian. Metode ini penulis gunakan sebagai langkah awal

mengetahui kondisi objektif objek penelitian. Dengan observasi di

lapangan peneliti akan lebih mampu memahami konteks data dalam

keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh pandangan yang

holistic atau menyeluruh (Sugiyono,2013:228).

Objek yang diteliti adalah KUA Kuwarasan Kabupaten

Kebumen. Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara

pengamatan langsung di KUA Kecamatan Kuwarasan.

c. Dokumentasi

Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,

seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat,

teori, dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan

(27)

12 6. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi

pustaka pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara

deskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan diuraikan

secara logis dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dan ditarik

kesimpulan. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan,

dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya

dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono,2013:244).

7. Pengecekan keabsahan Data

Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode

triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil

wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan

keabsahan data dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya

kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis.

Pengecekan dilakukan dengan cara membandingkan hasil

pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang

dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun

membandingkan hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.

Dalam hal triangulasi, Susan Stainback (1988) menyatakan

(28)

13

beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti

terhadap apa yang telah ditemukan (Sugiyono,2013:241).

8. Tahap-tahap penelitian

Adapun Tahap-tahap penelitian yang dilakukan penulis adalah

sebagai berikut:

a. Sebelum melakukan penelitian penulis menentukan ide atau tema

yang akan diteliti yaitu penolakan KUA menikahkan janda hamil.

b. Mengajukan permohonan izin observasi dari IAIN kepada KUA

Kecamatan Kuwarasan.

c. Penulis mencari informasi dari pegawai KUA yang bertugas di

KUA Kecamatan Kuwarasan.

d. Berdasar informasi yang didapatkan ada beberapa kasus penolakan

pernikahan janda hamil di KUA Kecamatan Kuwarasan.

e. Penulis terjun ke lapangan untuk mengumpulkan data dengan

melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi.

f. Melakukan analisis data sejak pengumpulan data dimulai sampai

seluruh data terkumpul.

g. Analisis data dilakukan dengan cara: pertama, membuat rekap data

berdasar klasifikasi. Kedua, penulis menjelaskan terlebih dahulu

berbagai hal tentang konsep dasar perkawinan, alasan-alasan

penolakan menikahkan janda hamil oleh KUA. Ketiga,

menginterpretasikan hasil penelitian untuk mendapatkan

(29)

14 h. Penyusunan laporan penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan dibagi

menjadi lima bab, yaitu:

BAB I pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,

fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,

telaah pustaka, metode penelitian yang meliputi; jenis penelitian, sumber

data, prosedur pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan.

BAB II penulis menyajikan pandangan secara garis besar tentang

konsep perkawinan menurut hukum islam, Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, sebagai patokan

dalam menganalisa data-data yang terkumpul, yaitu anjuran perkawinan

dan larangan zina, tujuan dan hikmah perkawinan, prinsip-prinsip

perkawinan, hukum menikahi wanita hamil menurut pendapat ulama,

menurut UUP dan KHI.

Bab III merupakan paparan data yang terdiri dari deskripsi objek

penelitian yaitu mengenai gambaran umum KUA Kecamatan Kuwarasan

Kabupaten Kebumen, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang

lembaga, visi misi, kepengurusan, tugas dan fungsi, program

lembaga,kinerja lembaga dan mengenai peranan KUA terkait penolakan

(30)

15

Bab IV yaitu pembahasan tentang analisis mengenai pernikahan

janda hamil karena zina serta alasan penolakan KUA Kecamatan

Kuwarasan menikahkan janda hamil.

(31)

16 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Pernikahan

1. Pengertian pernikahan

Perkawinan atau pernikahan menurut hukum Islam adalah suatu

akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara

laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup

keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara

yang diridloi Allah. (Basyir 1996: 11). Perkawinan adalah suatu perjanjian

yang suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk

membentuk keluarga bahagia dan kekal. Demikian menurut Dr. Anwar

Haryono, SH.

Jadi perkawinan itu adalah suatu aqad (perjanjian) yang suci untuk

hidup sebagai suami istri yang sah, membentuk keluarga bahagia dan

kekal, yang unsur umumnya adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian yang suci antara seorang pria dengan seorang wanita.

b. Membentuk keluarga bahagia dan sejahtera (makruf, sakinah,

mawaddah dan rahmah).

c. Kebagiaan yang kekal abadi penuh kesempurnaan baik moral materiil

maupun spiritual. (Ramulyo, 1996: 45)

(32)

17

Artinya:“Dan segala sesuatu Kami ciptakan

berpasang-pasangan supaya kamu mengingat

kebesaran Allah”.( Adz Dzariyaat: 49)

Menurut Imam Syafi’i, pengertian nikah ialah suatu akad yang

denganya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita

sedangkan menurut arti majazi nikah artinya hubungan seksual. Prof.

Mahmud Yunus mengatakan, nikah itu artinya hubungan seksual atau

setubuh (Ramulyo, 1996: 02).

Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih allah sebagai jalan

bagi manusia untuk beranak, berkembang biak dan beranak dimana

masing-masing pasangan harus melakukan peranannya demi terwujudnya

tujuan perkawinan. Perkawinan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an merupakan bukti dari kemahabijaksanaan Allah Swt dalam mengatur

makhluk-Nya.

(33)

18

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(ar ruum: 21).

2. Hukum Melaksanakan Pernikahan

Menurut pendapat para ulama Syafi’iyah, hukum melaksanakan

perkawinan atau pernikahan adalah mubah. Sedangkan menurut ulama

Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hukum

melaksankan perkawinan ialah sunnah, sedangkan golongan Dzahiriyah

mengatakan bahwa perkawinan ialah suatu hal yang wajib dilakukan bagi

orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan

berbuat zina apabila tidak kawin. (Daradjat dkk, 1982: 59)

Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang

melakukan dan tujuan, melaksankan perkawinan adalah wajib, tetapi

hanya bagi sebagian orang, sunnah bagi sebagian yang lain, haram bagi

sebagian yang lain, makruh bagi sebagian yang lain dan mubah bagi

sebagaian yang lain lagi.

Ada beberapa pembagian hukum melaksanakan perkawinan, yaitu

sebagai berikut:

a. Wajib

Menikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu mewujudkan

sarananya, yang dengan itu akan terpelihara dari perbuatan zina.

Menjauhkan diri dari perbuatan haram adalah wajib. Apabila seseorang

tertentu penjagaan dirinya hanya akan terjamin dengan kawin, maka

(34)

19

perkawinanan merupakan sarana memelihara diri dari maksiat. (Azam dan

Hawwas, 2009: 45)

b. Sunnah

Menikah hukumnya sunnah bagi orang yang sudah mampu

menikah dan kuat nafsunya, tetapi masih mampu mengendalikan diri dari

perbuatan haram. Dalam kondisi seperti ini, perkawinan lebih baik dari

pada membujang karena membujang (tabattul) tidak dibenarkan dalam

Islam.

c. Haram

Menikah haram hukumnya bagi orang yang tidak

menginginkannya karena tidak mampu memberi nafkah, baik nafkah lahir

maupun nafkah batin kepada isterinya kelak, serta nafsunya tidak

mendesak, atau dia mempunyai keyakinan bahwa apabila menikah, ia akan

keluar dari agama Islam. Al-Qurtubi, salah seorang ulama madhab Maliki

berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu

menafkahi istrinya kelak dan tidak mampu membayar mahar untuk

istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, haram mengawini

seseorang dan harus bersabar sampai ia mampu memenuhi hak-hak

istrinya, barulah ia boleh menikah. (Basyir, 2007: 15)

d. Makruh

Perkawinan hukumnya makruh bagi seseorang yang lemah

(35)

20

merugikan calon istri karena calon istri tergolong orang kaya. Imam

Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan

berakibat mengurangi semangat beribadah kepada allah dan semangat

bekerja dalam bidang ilmiah, hukumnya lebih makruh dari pada yang telah

disebutkan di atas. (Basyir, 2007: 16)

e. Mubah

Bagi orang yang mampu untuk melaksanakan perkawinan, tetapi

apabila tidak melaksanakannya tidak khawatir akan berbuat zina dan

apabila melaksankan tidak akan menelantarkan istri, maka hukumnya

mubah. (Sabiq, 1980: 26)

Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi:

ا

(mubah)”. (Washil dan Azzam, 2009:5)

3. Syarat- syarat dan Rukun Pernikahan

Berbicara mengenai hukum pernikahan sebenarnya kita

membicarakan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bahwa bentuk

masyarakat ditentukan atau sekurang-kurangnya banyak dipengaruhi oleh

bentuk dan sistem perkawinan. Sebelum kita membicarakan tentang syarat

dan rukun perkawinan tersebut alangkah lebih baik jika kita melihat bahwa

perkawinan menurut islam dapat ditinjau dari tiga sudut, yaitu:

Pertama, dipandang dari segi hukum, pernikahan itu merupakan

(36)

21

Nabawi dan Fiqh Kontemporer, pernikahan sebagai perjanjian mempunyai

tiga sifat, yaitu:

a. Tidak dapat dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak.

b. Ditentukan tata cara pelaksanaan dan pemutusannya jika

perjanjian itu tidak dapat terus dilangsungkan.

c. Ditentukan pula akibat-akibat perjanjian tersebut bagi kedua belah,

berupa hak dan kewajiban masing-masing.

Dalam Al Qur’an surat An Nissa’ ayat 21, dinyatakan perkawinan

adalah perjanjian yang sangat kuat, disebut juga miitsaaghan ghaliizhan.

Firman allah:

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali,

Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu)

telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat”. (An Nissa’: 21)

Kedua, dari segi sosial, bahwa orang-orang yang telah menikah

atau berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka

yang tidak kawin. Ketiga, dari segi agama perkawinan itu dianggap

sebagai suatu lembaga yang suci dimana antara suami dan istri agar dapat

hidup tentram, saling cinta mencintai, santun menyantuni dan kasih

mengasihi antara satu terhadap yang lain dengan tujuan mengembangkan

(37)

22

Seseorang dapat melangsungkan pernikahan apabila telah

terpenuhi syarat dan rukun nikah. Terkait syarat sah nikah, Sabiq

(1980:86) menjelaskan bahwa syarat sah nikah yaitu pertama perempuan

yang akan di nikahi bukan perempuan yang haram untuk dinikahi, kedua

dalam prosesi aqad atau ijab qabul nikah dihadiri dua orang saksi.

Dalam Pasal 6 sampai dengan pasal 12 Undang-Undang

Perkawinan No. 1 Tahun 1974 telah diatur mengenai syarat-syarat

perkawinan, diantaranya sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai

Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

menetapkan perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

calon mempelai. Oleh karena maksud perkawinan ialah supaya

suami dan isteri hidup bersama selama mungkin, maka sudah

selayaknya bahwa syarat penting untuk perkawinan itu adalah

persetujuan yang bersifat sukarela.

2. Adanya izin dari orang tua/wali calon mempelai yang belum

mencapai umur 21 tahun.

3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan

wanita sudah mencapai 16 tahun.

4. Antara kedua mempelai tidak ada hubungan darah atau

(38)

23

Dalam Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974

menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan

perkawinan yaitu antara orang-orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah

atau ke atas.

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping

yaitu antara saudara antara seorang dengan saudara orang

tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu

dan ibu/bapak tiri.

d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan,

saudara susuan dan bibi/paman susuan.

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri

lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan

lain yang berlaku dilarang kawin.

5. Tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain

Syarat ini disebutkan dalam pasal 9 Undang-Undang

(39)

24

lagi, kecuali dalam hal tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal

4 undang-undang ini”. Pengecualian yang diberikan oleh Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perkawinan adalah kemungkinan

seorang suami untuk melakukan poligami karena hukum

agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Namun

demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang

isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi

berbagai persyaratan tertentu, dan diputuskan oleh pengadilan.

6. Tidak bercerai untuk yang kedua kalinya

Syarat perkawinan ini diatur dalam Pasal 10

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang intinya bahwa suami isteri

yang telah bercerai untuk kedua kalinya maka keduanya tidak

boleh melangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum

masing-masing agama dan keepercayaan dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.

Ketentuan tersebut dimaksudkan supaya segala

tindakan yang dapat mengakibatkan putusnya perkawinan

harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan

masak-masak untuk mencegah kawin cerai berulang kali,

sehingga suami maupun isteri benar-benar menghargai satu

(40)

25

7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum

lewat waktu tunggu

Dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

ditentukan bahwa seorang wanita yang putus perkawinannya

tidak dapat langsung kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu.

8. Memenuhi tata cara perkawinan

Dalam Pasal 12 Undang-Undang Perkawinan No. 1

Tahun 1974 menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan

perkawinan akan diatur dalam peraturan perundang-undangan

tersendiri. Selanjutnya mengenai tata cara perkawinan ini

diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975

Tentang Pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, pada Bab III memuat tentang Tatacara

Perkawinan, antara lain adalah:

Pasal 10 berbunyi

(1) Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak

pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat

seperti yang dimaksud dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.

(2) Tatacara perkawinan dilaksanakan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(3) Dengan mengindahkan tatacara perkawinanmenurut

(41)

26

perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan

dihadiri oleh dua orang saksi.

Pasal 11 berbunyi

(1) Sesaat sesudah dilangsungkan perkawinan sesuai dengan

ketentuan-ketentuan pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua

mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah

disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang

berlaku.

(2) Akta perkawinan yang telah di tandatangani oleh mempelai

itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan

Pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan dan bagi yang

melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,

ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya.

(3) Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka

perkawinan telah tercatat secara resmi.

Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun perkawinan

ada lima dan masing-masing rukun memiliki syarat-syarat

tertentu. Untuk memudahkan pembahasan maka uraian rukun

perkawinan akan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari

rukun tersebut. (Nuruddin dan Tarigan, 2006: 62)

Berikut ini adalah rukun perkawinan menurut jumhur ulama:

a. Calon suami, syarat-syaratnya:

(42)

27 2) Laki-laki.

3) Jelas orangnya.

4) Dapat memberikan persetujuan.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Calon istri, syarat-syaratnya:

1) Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani.

2) Perempuan.

3) Jelas orangnya.

4) Dapat dimintai persetujuannya.

5) Tidak terdapat halangan perkawinan

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1) Laki-laki.

2) Dewasa.

3) Mempunyai hak perwalian.

4) Tidak terdapat halangan perwaliannya.

d. Saksi nikah

1) Minimal dua orang laki-laki.

2) Hadir dalam ijab qabul.

3) Dapat mengerti maksdu akad.

4) Islam.

5) Dewasa.

e. Ijab Qabul, syarat-syaratnya:

(43)

28

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai.

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari

kedua kata tersebut.

4) Antara ijab dan qabul bersambungan.

5) Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.

6) Orang yang terkait ijab dan qabul tidak sedang ihram

haji atau umrah.

7) Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat

orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari

mempelai wanita dan dua orang saksi.

4. Akibat Hukum Dari Suatu Perkawinan Yang Sah

Akibat dari suatu perkawinan yang sah antara lain dapat

dirumuskan sebagai berikut:

a. Menjadi halal melakukan hubungan seksual dan

bersenang-senang antara suami istri tersebut.

b. Mahar (mas kawin) yang diberikan menjadi hak sang istri.

c. Timbulnya hak-hak dan kewajiban antara suami istri, suami

menjadi kepala rumah tangga dan isteri menjadi ibu rumah

tangga.

d. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu menjadi anak

(44)

29

e. Timbul kewajiban suami untuk membiayai dan mendidik

anak-anak dan istri serta mengusahakan tempat tinggal bersama.

f. Berhak saling waris-mewarisi antara suami isteri dan

anak-anak dengan orang tua.

g. Timbulnya larangan perkawinan karena hubungan semenda.

h. Bapak berhak menjadi wali nikah bagi anak perempuannya.

i. Bila diantara suami atau isteri meninggal salah satunya, maka

yang lainnya berhak menjadi wali pengawas terhadap

anak-anak dan hartanya. (Ramulyo, 1996: 49).

5. Prinsip-Prinsip Pernikahan

Perkawinan menurut ajaran islam ditandai dengan prinsip-prinsip

sebagai berikut:

a. Pilihan jodoh yang tepat.

b. Pernikahan didahului dengan peminangan.

c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan

perempuan.

d. Perkawinan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang

bersangkutan.

e. Ada persaksian dalam akad nikah.

(45)

30

g. Ada kewajiban membayar maskawin atas suami.

h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.

i. Tanggung jawab pimpinan keluarga pada suami.

j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah

tangga.

Sedangkan menurut M. Yahya Harahap asas-asas yang dipandang

cukup prinsip dalam UU perkawinan adalah:

a. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam

masyarakat bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang

perkawinan menampung didalamnya segala unsure-unsur

ketentuan hokum agama dan kepercayaan masing-masing.

b. Sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Yaitu terpenuinya

aspirasi wanita yang menuntut emansipasi.

c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia

dan kekal.

d. Kesadaran akan hokum agama dan keyakinan masing-masing

warga Negara bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus

dilakukan berdasarkan hokum agama dan kepercayaan

(46)

31

e. Undang-undang perkawinan menganut asas monogami akan

tetapi tetap terbuka peluang untuk poligami selama hukum

agamanya mengizinkannya.

f. Perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh

pribadi-pribadi yang telah matang jiwanya.

g. Kedudukan suami istri dalam rumah tangga adalah seimbang

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat.

Dalam perspektif lain, Musdah Mulia menjelaskan bahwa prinsip

perkawinan ada empat yaitu:

a. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh

b. Prinsip mawaddah wa rahmah.

c. Prinsip saling melengkapi dan melindungi.

Prinsip tersebut tersebut berdasarkan firman Allah

SWT. Yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 187 yang

menjelaskan bahwa istri-istri adalah pakaian sebagaimana

layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita.

Dimaksudkan bahwa perkawinan adalah untuk saling

melengkapi.

(47)

32

Prinsip tersbut memiliki pesan utama yaitu pengayoman

dan penghargaan kepada wanita.

6. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

Allah mensyariatkan pernikahan dan dijadikan dasar yang kuat

bagi kehidupan manusia karena adanya beberapa nilai yang tinggi dan

beberapa tujuan utama yang baik bagi manusia. Tujuan pernikahan dalam

Islam adalah untuk memenui tuntutan naluriah hidup manusia,

berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan keluarga sesuai ajaran Allah dan Rasul-Nya. Selain itu tujuan

pernikahan juga untuk memelihara keturunan dalam menjalani hidup di

dunia, juga mencegah perzinaan agar tercipta ketenangan dan ketentraman

jiwa bagi yang bersangkutan.

Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada

pemenuhan kebutuhan nafsu biologis saja tetapi memiliki tujuan penting

yang berkaitan dengan sosial, psikologis dan agama. Dalam buku fiqh

munakahat karya Azzam dan Hawwas disebutkan tujuan nikah diantaranya

yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Memelihara keturunan dan regenerasi dari masa kemasa dalam rangka memperbanyak umat rasul. Dengan pernikahan manusia akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai khalifah dari allah.

2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Al- Ghazali menjelaskan beberapa faedah nukah, diantaranya dapat menyegarkan jiwa, hati menjadi tenang, dan memperkuat ibadah.

(48)

33

melakukan hajat bilogisnya secara halal. Karena tujuan pernikahan yang begitu mulia inilah manusi dianjurkan menikah.

4. Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak istri dan anak-anak dan mendidik mereka. Nikah juga melatih kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal memperbaiki dan memberikan petunjuk jalan agama.

Selain itu dari definisi perkawinan menurut pasal 1

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maka dapat disimpulkan

bahwa tujuan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1994

adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dari keterangan di atas jelas bahwa tujuan perkawinan dalam

syariat islam sangat tinggi, yakni sebagai salah satu indikasi ketinggian

derajat manusia untuk mencapai derajat yang sempurna.

7. Tata Cara Pernikahan

Untuk melaksankan pernikahan harus dilaksanakan menurut tata

cara yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun tata cara atau prosedur melaksanakan perkawinan menurut

Nurudin dan tarigan dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia adalah

sebagai berikut:

a. Pemberitahuan

Dalam pasal 3 PP No. 9 tahun 1975 ditetapkan, bahwa setiap

orang yang akan melangsungkan pernikahan memberitahukan

(49)

34

beragama Islam, pemberitahuan disampaikan kepada Kantor

Urusan Agama, sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1954

tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

b. Penelitian

Setelah adanya pemberitahuan akan adanya pernikahan, prosedur

selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan oleh pegawai

pencatat nikah.

c. Pengumuman

Setela diadakan penelitian dan dipenuhi tata cara serta

syarat-syarat dan tiada suatu halangan pernikahan, maka pegawai

pencatat nikah menyelenggarakan pengumuman adanya kehendak

nikah.

d. Pelaksanaan

Sesuai ketentuan pemberitahuan tentang kehendak nikah calon

mempelai untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinan itu

dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman di atas

dilakukan.

8. Larangan Pernikahan

Dalam hokum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut

dengan asas selekstivitas. Maksud dari asas tersebut adalah seorang yang

hendak menikah harus terlebih dahulu menyeleksi dengan siapa ia boleh

menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. (Nurudin dan

(50)

35

Dalam perspektif hukum Islam juga mengenal adanya larangan

perkawinan yang dalam fikih disebut mahram (orang yang haram

dinikahi). Ulama fikih telah membagi mahram kepada dua macam yaitu

mahram mu’aqqat(larangan untuk waktu tertentu) dan mahram mu’abad(

haram untuk selamanya). Wanita yang haram dinikahi selamanya terbagi

dalam tiga kelompok yaitu, wanita-wanita seketurunan (al-muharramat

min an-nasab), wanita sepersusuan (al-muharramat min ar-rada’ah), dan

wanita yang haram dinikahi karena hubungan semenda (al-muharramat

min al-musaharah). Dijelaskan dalam surah An-Nisa’ ayat 22-23:

(51)

36

Artinya: Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;

anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang

perempuan, saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan

yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu

perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya.

sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam

pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang

tidak dalam pemeliharaannya.

9. Anjuran Pernikahan dan Larangan Zina

Hidup berpasang-pasang merupakan pembawaan naluriah manusia

dan makluk hidup lainya bahkan segala sesuatu diciptakan

berpasang-pasang. Dalam Al-Qur’an Surat Yasin: 36 dinyatakan, “Mahasuci tuhan yang telah mencipakan pasang-pasangan semuanya, baik apa yang

(52)

37

tidak ketahui”. Dengan hidup berpasang-pasang keturunan manusia dapat

berlangsung, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl: 72

dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari

nikmat Allah ?"

Islam menganjurkan agar orang-orang menempuh hidup

perkawinan dan tidak dibenarkan membujang atau berzina. QS An-Nur: 32

memerintahkan, ”Dan kawinlah orang-orang yang sendirian laki-laki yang

tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang

laki-laki maupun perempuan; bila mereka miskin Allah akan memberi

kecukupan dengan karunia-Nya dan Dia Maha Mengetahui peri keadaan

hamba-hamba-Nya.” Perintah mengawinkan perempuan tak bersuami dan laki-laki tak beristri tersebut tertuju kepada seluruh umat Islam. Dari

ayat-ayat Al-Qur’an tersebut dapat kita peroleh bahwa Islam menganjurkan perkawinan. Islam memandang perkawinan memiliki nilai keagamaan

sebagai ibadah kepada Allah dan mengikuti sunah Nabi. Dari segi lain,

(53)

38

naluri hidupnya dan dan menumbuhkan serta memupuk rasa kasih sayang

dalam kehidupan bermasyarakat.(Basyir,2000:13)

Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Islam menutup rapat-rapat

semua celah yang dapat mengantarkan seorang hamba kepada kejelekan

dan kebinasaan. Atas dasar ini Allah melarang perbuatan zina, maka Allah

melarang semua perantara yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut.

Ditegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra ayat 32:

Artinya: dan janganlah kamu mendekati zina;

Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.

Dari ayat tersebut dengan jelas Allah melarang perbuatan zina.

Islam telah melarang kita untuk melakukan perbuatan zina. Jangankan

melakukannya, mendekati saja kita sudah tidak boleh. Tentunya perintah

untuk tidak mendekati dan melakukan perbuatan zina bukanlah tanpa

sebab. Perbuatan zina merupakan sebuah perbuatan yang keji, yang dapat

mendatangkan kemudharatan bukan hanya kepada pelakunya, namun juga

kepada orang lain. Dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 juga ditegaskan mengenai hukuman bagi orang yang berzina. Firman Allah:

(54)

39

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Dari dalil-dalil tersebut, penulis menyimpulkan tentang larangan

zina dalam Islam. Zina adalah seburuk-buruk jalan dan sejelek-jelek

perbuatan. Terkumpul padanya seluruh bentuk kejelekan yakni kurangnya

agama, rusaknya muru’ah (kehormatan) dan tipisnya rasa cemburu.Yang

ada hanyalah tipu daya, kedustaan, khianat, tidak memiliki rasa malu,

tidak muraqabah, tidak menjauhi perkara haram, dan telah hilang

kecemburuan dalam hatinya dari cabang-cabang dan perkara-perkara yang

(55)

40

B. Tinjauan Fiqh Tentang Menikahi Wanita Hamil

Perkawinan telah di atur secara jelas oleh ketentuan – ketentuan hukum Islam yang digali dari sumber-sumbernya baik dari Al-Quran, As

sunnah dan hasil ijtiad para ulama. Kehidupan dan peradapan manusia

tidak akan berlanjut tanpa adanya kesinambungan perkawinan dari setiap

generasi manusia. Perkawinan dalam Islam juga merupakan Sunnah

Rasul.(Saleh,2008:297)

Sebagaimana sabda Nabi Saw, dalam hadisnya menyatakan:

م نب سنأ نعو

menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku sholat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." Muttafaq Alaihi. (Riwayat Al Bukhari, 5/1949, hadits no: 4776, dan Muslim, 2/1020, hadits no: 1401)

Seorang wanita tentu tidak akan hamil tanpa didahului dengan

pernikahan dengan seorang laki-laki. Namun yang menjadi persoalan

ketika seorang wanita hamil di luar pernikahan yang sah. Ini bisa

dikatakan sebagai perzinaan yang di dalam nash telah jelas keharamannya.

Para ulama berbeda pendapat tentang perkawinan yang terjadi terhadap

wanita yang sedang hamil akibat zina. Tentu yang menjadi pertanyaan

(56)

41

perkawinan terhadap wanita yang hamil di luar nikah menurut syariat

Islam. Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita

yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status

nikah atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang

mengakibatkan kehamilannya.(Ali,2006:45)

Dalam hal pelaksanaan perkawinan wanita hamil akibat zina,

ulama berbeda pendapat terkait boleh atau tidaknya dilangsungkan

perkawinan, namun kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa perkawinan

laki-laki dengan wanita zina dibolehkan sebab ia tidak tersangkut kepada

orang lain, bukan istri dan bukan pula orang yang sedang menjalani iddah.

(Basyir,1996:31)

Perbedaan yang terjadi yaitu mengenai ketentuan – ketentuan hukum perkawinan wanita hamil. Pendapat tersebut dapat dikelompokkan

menjadi dua kelompok yaitu:

1. Imam Hanafi dan Imam Syafi’i

Mereka mengatakan wanita hamil akibat zina boleh

melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya

atau dengan laki-laki lain. Menurut Imam Hanafi: Wanita hamil

karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya,

tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan

kandungannya. (Mughniyah: 1994: 202)

Menurut Imam Syafi’i: Hubungan seks karena zina itu tidak

(57)

42

dihormati. Dengan demikian Wanita yang hamil karena zina itu

boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun

dalam keadaan hamil.

Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan

ketentuan-ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam

nikah. Bagi mereka iddah hanya ditentukan untuk menghargai

sperma yang ada dalam kandungan istri dalam perkawinan yang sah,

namun sperma hasil hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan

oleh hukum dengan alasan tidak ditetapkan keturunan anak zina

kepada ayah.

Menurut Imam Hanafi meskipun perkawinan wanita hamil

dapat dilangsungkan dengan dengan laki-laki tetapi dia tidak boleh

disetubuhi, sehingga bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini

didasarkan kepada sabda Nabi saw:

، كاهد وْلا ي ب أ ْن ع ،ٍب ه و نْب سْي ق ْن ع ،ٌكْي ر ش ا ن ْر بْخ أ ،ٍن ْو ع نْب و رْم ع ا ن ث د ح

Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas: "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang

tidak hamil hingga datang haidnya sekali." (Sunan Abu

Dawud jus 2 halaman 248 hadist nomor 2157)

Menurut Imam Syafi’i perkawinan wanita hamil itu dapat

(58)

43

Ini di dasarkan pada Hadist ‘Aisyah, ketika Rasululloh SAW ditanya tentang seorang lelaki yang berzina dengan seorang perempuan,

kemudian lelaki itu berniat mengawininya, Nabi SAW. bersabda:

سابع نبا نعو

Dari Ibnu Abbas: “permulaannya berzina, akhirnya menikah itu

tidak apa-apa. (Baihaqi dalam As-Sunan al-Qubra 7:155)

Memperhatikan pendapat Imam Syafi’i, maka seorang wanita

hamil karena hasil melakukan hubungan seks di luar nikah jika dia

melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki, maka

kehamilannya tersebut tidak mempengaruhi pernikahannya

(Sabiq,1980:150)

Tetapi melihat pendapat Imam Hanafi, meskipun boleh

wanita hamil melangsungkan pernikahan dengan seorang laki-laki,

tetapi dia dilarang melakukan hubungan seksual. Berarti

kehamilannya mempengaruhi terhadap kelangsungan kehidupan

rumah tangga.

2. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal

Mereka mengatakan tidak boleh melangsungkan pernikahan

antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia

melahirkan kandungannya. Imam Malik berpendapat sama halnya

dengan yang dikawini dalam bentuk zina atau syubhat atau kawin

pasid, dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan

(59)

44 Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan hasan menurut al-Bazzar. Dari Umar Radliyallaahu 'anhu tentang seorang istri yang ditinggal suaminya tanpa berita: Ia menunggu empat tahun dan menghitung iddahnya empat bulan

sepuluh hari. Riwayat Malik dan Syafi'i. (Sunan Abu Dawud

jus 2 halaman 248 hadist nomor 2158)

Dari hadits di atas, Imam Malik dan Imam Ahmad

berkesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia

perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita

hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat

perbuatan zina.

Bahkan menurut Imam Ahmad, wanita hamil karena zina

harus bertaubat dan wajib menjalani iddah sebagaimana halnya pada

orang yang ditalak baru dapat melangsungkan perkawinan dengan

laki-laki yang mengawininya.

C. Ketentuan Menikahi Wanita Hamil dalam Undang-Undang

(60)

45

Di Indonesia masalah kawin hamil di luar nikah memang tidak

diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

namun diatur secara khusus dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam.

Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan perkawinan

bagi wanita hamil diluar nikah. Meskipun demikian ada aturan khusus

yang harus dipenuhi dalam perkawinan tersebut. Diantaranya:

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria

yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seorang

wanita yang hamil di luar ikatan perkawinan yang sah dapat dinikahkan

dengan pria yang menghamilinya tanpa menunggu kelahiran anak dalam

kandungannya. Dalam KHI perkawinan wanita hamil akibat zina tidak

mengenal iddah, oleh karena itu tidak mengakibatkan adanya iddah.

Namun perkawinan wanita hamil seperti pasal 53 ayat 1, hanya boleh

dikawinkan dengan laki-laki yang menghamilinya. Hal tersebut sesuai

(61)

46

Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu

diharamkan atas orang-orang yang mukmin.( An Nuur ayat: 3)

Ayat Al Qur’an di atas menunjukan bahwa kebolehan kawin

dengan perempuan hamil bagi laki-laki yang menghamilinya adalah

merupakan pengecualian. Karena laki-laki yang menghamili itulah yang

tepat menjadi jodoh mereka. Selaian itu, pengidentifikasian dengan

laki-laki musyrik menunjukan keharaman wanita yang hamil tadi adalah isyarat

larangan bagi laki-laki baik untuk mengawini mereka. Jadi bagi selain

laki-laki yang menghamili perempuan yang hamil tersebut diharamkan

untuk menikahinya. Hal tersebut bertujuan untuk menjaga kehormatan

Gambar

Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Kecamatan Kuwarasan
Gambar 3.1 Struktur Organisasi KUA Kecamatan Kuwarasan
Tabel 4.1

Referensi

Dokumen terkait

Mencermati naskah kuno Aksara Incung Kerinci sebagai produk budaya masa lampau, dapat dilihat sisi pendekatan fungsi yang dikandungnya yaitu; (1) sebagai sumber ide

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar

: (1) Ruang lingkup hukum agraria dan sejarah hukum agraria di Indonesia; (2) Konsepsi Hukum Agraria nasional dan asas-asas hukum Agraria; (3) Jenis-jenis hak-hak atas tanah di

siklus I baru mencapai 68,01%, siklus II mencapai 86,26%, dan pada siklus III meningkat mencapai 90,91%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil kinerja guru

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Terjadi kelebihan air pada saat musim penghujan yang hanya akan terbuang dan menimbulkan banjir, sedangkan pada musim kemarau

Pengaruh Penambahan Molase Dengan Konsentrasi Yang Berbeda Terhadap Berat Segar Tubuh Buah Jamur Jamur Kuping Hitam (Auricularia polytrica) .... Pengaruh Penambahan

Kalsium karbonat sendiri memiliki densitas yang mirip dengan aluminium yaitu sekitar 2710 kg m 3 sehingga dapat terdispersi secara baik pada lelehan aluminium dan telah