• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF BEDAH RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF BEDAH RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA) Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF BEDAH

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG

Nama Mahasiswa : Hazirah Binti Hashim Tanda Tangan :

NIM : 11-2013-104

Dokter Pembimbing : dr. Gunadi Petrus, Sp. B KBD

I. IDENTITAS PASIEN

Nama lengkap : Ny. R Jenis kelamin : Perempuan

Tempat / tanggal lahir : Karawang, Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : Udah menikah Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Umur : 39 tahun Agama : Islam

Alamat : Dsn Cermin Barat 02/01 Pendidikan : SMA Tanggal masuk rumah sakit : 03-06-2015,

pukul : 08:00 II. ANAMNESIS

Diambil dari: Autoanamnesis, Tanggal : 03-06-2015 , Jam : 08:00 WIB

Keluhan Utama: Nyeri pada kaki kiri setelah terjatuh dari pohon jambu. Anamnesis :

Os terjatuh dari pohon jambu setinggi 3 meter kira-kira pukul 07.00 WIB. Os merasa kehilangan keseimbangan, kemudian terjatuh dalam keadaan kaki kiri lurus mencecah tanah terlebih dahulu. Saat kejadian, os dalam keadaan sadar. Nyeri hebat dan tidak bisa menggerakkan kaki kiri dikeluhkan oleh os. Mual, muntah dan pingsan disangkal oleh pasien. Mechanism of Injury :

(2)

1 jam SMRS pasien jatuh dari pohon jambu dengan ketinggian 3 meter dengan posisi kaki kiri lurus mencecah tanah. OS belum pendapat penanganan dan langsung diantar oleh keluarga ke rumah sakit.

Primary Survey

Airway : Stridor (-), gurgling (-), snoring (-), darah/kotoran di hidung dan mulut (-), fraktur cervical  CLEAR

Breathing : RR 20 x/menit, pergerakan simetris kanan dan kiri, tidak ada dada yang tertinggal, saturasi 98%, nafas adekuat/spontan, sesak (-)  CLEAR

Circulation : Nadi 72 kali/menit, kuat angkat, TD 130/90 mmHg, pucat (-), sianosis (-), akral hangat, capillary refill time <2 detik  CLEAR

Disability : GCS 15 (E4 V5 M6), compos mentis/alert, ukuran pupil normal, isokor, reflex cahaya (+), lateralisasi (-)  CLEAR

Exposure : Patah tulang tertutup 1/3 proximal femur sinistra, compartment syndrome (-), tidak ditemukan luka/jejas di bagian tubuh lain yang mengancam nyawa, diselimutkan.

Secondary Survey 1. AMPLE

Allergy: tidak ada alergi makanan atau obat Medications: tidak dalam pengobatan

Past medical history: riwayat trauma sebelumnya (-), hipertensi (-), diabetes mellitus (-) Last eaten meal: jam 6.00 pagi (2 jam SMRS)

Event leading: kejadian berlaku di halaman belakang rumah 2. HEAD TO TOE

Kepala : normal, normosefali, rambut berwarna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut, tidak teraba benjolan, tidak ada jejas.

Mata : bentuk normal, kedudukan bola mata simetris, konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, kornea jernih, pupil bulat, isokor.

Hidung : bentuk normal, tidak ada deviasi septum nasi, sekret (-), darah (-), krepitasi(-)

(3)

Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, sekret , serumen , darah -/-Mulut : bentuk simetris, perioral sianosis (-), bibir lembab, gigi geligi

lengkap, lidah tidak kotor, faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tenang.

Leher : bentuk normal, trakea di tengah, KGB tidak teraba membesar.

Thorax :

Paru-paru :

Inspeksi : Bentuk normal, pernafasan abdominotorakal, tampak simetris dalam statis dan dinamis, retraksi sela iga (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus kanan kiri sama kuat, tidak teraba adanya kelainan

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler (+/+), wheezing(-/-), ronkhi (-/-)

Jantung:

Inspeksi : Ictus cordis tak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba i.c.s. V midclavicula line sinistra, kuat angkat Perkusi : Redup pada; batas atas: i.c.s. II parasternal line sinistra

batas kanan: midsternal line

batas kiri: i.c.s. V midclavicula line sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler murni, murmur (-), gallop (-) Abdomen :

Inspeksi : Datar, tidak terdapat luka post operasi, tidak tampak gambaran usus dan vena, ataupun kelainan lainnya

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-) di seluruh lapang abdomen, defans muskular (-)

Perkusi : Timpani, meteorismus (-), pekak (-) Auskultasi : Bising usus (+) normal

(4)

Tonus : normotonus normotonus Massa : normotrofi normotrofi

Sendi : normal normal

Gerakan : normal normal

Kekuatan : 5 5

Edema : (-) (-)

Ekstremitas inferior

Kanan Kiri

Tonus : normotonus normotonus

Massa : normotrofi normotrofi

Sendi : normal normal

Gerakan : normal tidak bisa digerakkan

Kekuatan : 5 5

Edema : (-) (+)

STATUS LOKALIS Regio femoralis sinistra

Look : jejas (-), deformitas (+) pada sepertiga proksimal  bengkak/ swelling (+), pemendekan dibandingkan dengan tungkai kanan (+), tidak tampak sianosis pada bagian distal, tampak tulang (-).

Feel : Nyeri tekan (+), sensibilitas  perabaan kasar dan halus (+), denyut arteri dorsalis pedis, suhu rabaan hangat. Pengukuran panjang:

Anatomical length = 90 cm Apparent length = 88 cm

Move : ROM menurun paha terdapat keterbatasan gerak aktif dan pasif, jari-jari kaki dapat digerakkan.

(5)

3. Put your finger in every hole

Rectal touché: Tidak dilakukan karena tidak ada indikasi Vaginal touché: Tidak dilakukan karena tidak ada indikasi III. DIAGNOSIS

Fraktur tertutup 1/3 proximal os femur sinistra

Dasar diagnosis: deformitas (+) pada sepertiga proksimal femur à bengkak/ swelling (+), pemendekan dibandingkan dengan tungkai kanan ±2 cm, nyeri tekan (+), keterbatasan gerak paha aktif dan pasif.

IV. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG - Pemeriksaan laboratorium

- Foto Rontgen femur sinistra AP/Lateral - Foto Rontgen pelvis

- Foto Rontgen thoraks V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Darah Rutin Hemoglobin Leukosit Hematokrit LED/BSE Trombosit Eritrosit 11,5 13,3 [L] 34 [K] 12 190 3,73 [K] 11,5-18 4,6-10,2 37-54 0-20 150-400 3,8-6,5 g/dl K/uL % mm/1jam K/uL M/uL Hitung Jenis Leukosit

Basofil Eosinofil Batang/stat Limfosit Monosit 0 0 0 13 [K] 6 0-1 0-3 0-5 25-50 2-10 % % % % %

(6)

Segmen 81 [L] 50-80 % Nilai eritrosit rata-rata

VER (MCV) HER (MCH) KHER (MCHC) 92 30,8 33,5 80-100 26-32 31-36 fL pg g/dl

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

Golongan Darah + Rhesus

Golongan darah ABO Rhesus

O Positif Faktor Pembekuan

Masa Perdarahan

Masa Pembekuan 39 1-64-15 MenitMenit

Fungsi Ginjal Ureum Creatinin Uric acid 15 [K] 0,5 4,6 20-40 0,5-1,5 2,5-7 Mg/dl Mg/dl Mg/dl Gula Darah Sewaktu

GDS 103 80-140 Mg/dl

Foto Rongent:

Pemeriksaan radiografi femur sinistra proyeksi AP dan lateral dengan hasil:

Tampak fraktur oblik komplit proksimal diafisis os femur sinistra, melibatkan trokhanter minor dengan pergeseran fragmen distal fraktur ke medial. Celah sendi dan permukaan sendi femoracetabulum terlihat baik. Celah sendi femorotibial tidak tervisualisasi dengan baik. Penebalan/edema jaringan lunak region proksimal femur terutama sisi lateral.

Kesan: fraktur oblik komplit trokhanter minor – proksimal diafisis os femur sinistra.

VI. RESUME

Perempuan, 39 tahun, terjatuh dari pohon jambu dengan ketinggian 3 meter dengan posisi kaki kiri lurus mencecah tanah terlebih dahulu. Saat kejadian, os dalam keadaan sadar dan ingat kejadian. Nyeri hebat dan tidak bisa menggerakkan kaki kiri dikeluhkan oleh os.

Pada primary survey ABCDE clear. Terdapat fraktur tertutup di 1/3 proximal os femur sinistra. Pada secondary survey, regio femoralis sinistra, terdapat deformitas (+) pada

(7)

sepertiga proksimal  bengkak/ swelling (+), pemendekan dibandingkan dengan tungkai kanan (+) dengan perbedaan ±2 cm, terdapat nyeri tekan (+), keterbatasan gerak aktif dan pasif.

Pemeriksaan penunjang: leukositosis (13,3 K/uL)

Pemeriksaan foto rongent femur sinistra AP/lat: fraktur oblik komplit trokhanter minor – proksimal diafisis os femur sinistra.

VII. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

-VIII. PENATALAKSANAAN - Infus RL 20 tpm

- Injeksi Ketorolak 2 x 30 mg - Traksi tulang yang patah - Pemasangan bidai

- Observasi TTV setiap setengah jam. - Edukasi

- Konsul dokter spesialis ortopaedi - Rencana Operasi

IX. RENCANA TATALAKSANA

 Tindakan: pemasangan plat trokanter  Post Operasi : infuse RL 20 tpm

X. RENCANA PEMERIKSAAN LANJUTAN

Foto rontgen femur sinistra. Observasi post operasi.

XI. PROGNOSIS

 Ad vitam : dubia ad bonam  Ad functionam : dubia ad bonam  Ad sanationam : dubia ad bonam

(8)

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi Tulang

Secara umum, tulang dibagi menjadi 4 bagian yaitu epifisis, lempeng pertumbuhan, metafisis, dan diafisis. Masing-masing bagian tersebut memiliki karakteristik yang menentukan kelainan apa yang sering pada daerah tersebut. Epifisis adalah bagian tulang yang terletak di dalam artikulasi. Lempeng pertumbuhan berfungsi sebagai pusat pertumbuhan tulang yang hilang pada usia +15 tahun, cedera pada bagian ini pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang. Metafisis adalah daerah yang kaya akan pembuluh darah (end artery) sehingga rawan terjadi infeksi. Diafisis adalah bagian tengah dari sebuah tulang panjang yang tersusun dari tulang kortikal yang biasanya berisi sumsum tulang dan jaringan adiposa.1

(9)

Gambar 1. (a) tampak anterior, (b) tampak posterior

Tulang femur adalah salah satu bagian dari ekstremitas tubuh bagian bawah. Ekstremitas tubuh bagian bawah secara khusus berfungsi untuk menopang berat tubuh dan fungsi lokomotif/berjalan, serta mempertahankan keseimbangan. Ekstremitas bawah terdiri dari 6 regio mayor, yaitu: regio gluteal, regio femoral, regio genu, regio cruris, regio talocrural, dan regio tarsal.

Regio femur adalah bagian regio tungkai bawah yang dibatasi regio gluteal, abdominal, dan perineal pada bagian proximal dan regio genu pada bagian distal. Regio femur terutama disusun oleh struktur os femur. Bagian transisi dari badan dan ekstremitas bawah disusun oleh struktur regio inguinal.

Tulang femur adalah tulang terkuat, terpanjang, dan terberat yang dimiliki tubuh yang berfungsi penting untuk mobilisasi atau berjalan. Fungsi femur secara khusus adalah mentransmisikan berat badan dari panggul ke tibia ketika seseorang berdiri. Panjang tulang femur kurang lebih seperempat tinggi badan.Tulang femur terdiri dari tiga bagian, yaitu corpus femoris atau diafisis, metafisis proksimal, dan distal metafisis. Corpus femoris berbentuk tubular dengan sedikit lengkungan ke arah anterior, yang membentang dari trochanter minor melebar ke arah condylus. Selama menahan berat tubuh, lengkung anterior menghasilkan gaya kompresi pada sisi medial dan gaya tarik pada sisi lateral. Struktur femur adalah struktur tulang untuk berdiri dan berjalan, dan femur menumpu berbagai gaya selama berjalan, termasuk beban aksial, membungkuk, dan gaya torsial. Selama kontraksi, otot-otot besar mengelilingi femur dan menyerap sebagian besar gaya.

(10)

Beberapa otot-otot besar melekat pada femur. Di bagian proksimal, m. gluteus medius dan minimus melekat pada trochanter mayor, mengakibatkan abduksi pada fraktur femur. M. iliopsoas melekat pada trochanter minor, mengakibatkan adanya rotasi internal dan eksternal pada fraktur femur. Linea aspera (garis kasar pada bagian posterior dari corpus femoris) memperkuat kekuatan dan tempat menempelnya m. gluteus maksimus, adductor magnus, adductor brevis, vastus lateralis, vastus medialis, dan caput brevis m. biceps femoris. Di bagian distal, m. adductor magnus melekat pada sisi medial, menyebabkan deformitas apeks lateral pada fraktur femur. Caput medial dan lateral m. gastrocnemius melekat di femoral condylus femoral posterior, menyebabkan deformitas fleksi pada fraktur sepertiga distal femur.2

Definisi Fraktur

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya yang biasanya disebabkan oleh rudapaksa atau tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang.2

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami fraktur, kondisi fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat menyebabkan tulang patah harus diketahui terlebih dahulu. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan membengkok, memutar dan tarikan akibat trauma yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan sedangkan trauma tidak langsung apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan extensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.

Tekanan pada tulang dapat berupa: (1) tekanan berputar yang dapat menyebabkan fraktur bersifat spiral atau oblik, (2) tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal, (3) tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, (4) kompresi vertikal dapat menyebabkan fraktur komunitif atau memecah misalnya pada vertebra, (5) trauma langsung disertai dengan resistensi pada satu jarak tertentu akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z, (6) trauma karena tarikan pada ligamen atau tendo akan menarik sebagian tulang.3

Gejala Klasik Fraktur 1. Adanya riwayat trauma.

(11)

2. Rasa nyeri dan bengkak di wilayah tulang yang patah. 3. Deformitas pada daerah yang patah.

4. Nyeri tekan. 5. Krepitasi.

6. Gangguan fungsi muskuloskeletal akibat nyeri. 7. Gangguan neurovaskular.4

Klasifikasi Fraktur

Berdasarkan hubungan dengan dunia luar terbagi atas :

1. Tertutup : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. 2. Terbuka : bila terdapat hubungan antara fragmen dengan dunia luar karena adanya

perlukaan dikulit.

Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur yang terjadi.3

Tabel 1. Derajat Fraktur Terbuka4

Derajat Luka Fraktur

I Laserasi < 1 cm kerusakan jaringan tidak berarti, relatif bersih.

Sederhana, transversal atau oblik.

II Laserasi > 1 cm, tidak ada kerusakan jaringan yang hebat atau avulsi. Ada kontaminasi.

Dislokasi fragmen jelas.

III Terjadi kerusakan jaringan lunak luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovascular. Kontaminasi derajat tinggi.

Kominutif, segmentasi, fragmen tulang ada yang hilang.

IIIA Jaringan lunak yang

menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi.

IIIB Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar, adanya kontaminasi massif.

(12)

arteri/syaraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.

Etiologi Fraktur Femur

Berdasarkan penyebab terjadinya fraktur femur, dapat dibedakan menjadi tiga berdasarkan besar energi penyebab trauma, yaitu:

a) High energy trauma atau trauma karena energi yang cukup besar, jenis kecelakaan yang menyebabkan terjadinya fraktur jenis ini antara lain adalah trauma kecelakaan bermotor (kecelakaan sepeda motor, kecelakaan mobil, pesawat jatuh, dsb); olahraga —terutama yang olahraga yang berkaitan dengan kecepatan seperti misalnya: ski, sepeda balap, naik gunung; jatuh, jatuh dari tempat tinggi; serta luka tembak.

b) Low energy trauma atau trauma karena energi yang lemah, karena struktur femur adalah sturktur yang cukup kuat, ada kecenderungan trauma karena energi yang lemah lebih disebabkan karena tulang kehilangan kekuatannya terutama pada orang-orang yang mengalami penurunan densitas tulang karena osteoporosis; penderita kanker metastasis tulang dan orang yang mengkonsumsi kortikosteroid jangka panjang juga beresiko tinggi mengalami fraktur femur karena kekuatan tulang akan berkurang.

c) Stress fracture atau fraktur karena tekanan, penyebab ketiga dari fraktur femur adalah tekanan atau trauma yang berulang. Trauma jenis ini mengakibatkan jenis fraktur yang berbeda karena biasanya terjadi secara bertahap. Trauma tekanan berulang mengakibatkan kerusakan internal dari struktur arsitektur tulang. Fraktur jenis ini seringkali terjadi pada atlet atau pada militer yang menjalani pelatihan yang berat. Fraktur jenis ini biasanya mempengaruhi area corpus femoris.4

Kategori fraktur femur

Fraktur femur dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori berdasarkan letak frakturnya: a. Fraktur Collum Femoris

(13)

Fraktur collum femoris dibagi atas intra- (rusaknya suplai darah ke head femur) dan extra- (suplai darah intak) capsular. Diklasifikasikan berdasarkan anatominya. Intracapsular dibagi kedalam subcapital, transcervical dan basicervical. Extracapsular tergantung dari fraktur pertrochanteric.2

Fraktur collum femoris disebabkan oleh trauma yang biasanya terjadi karena kecelakaan, jatuh dari ketinggian atau jatuh dari sepeda dan biasanya disertai trauma pada tempat lain. Jatuh pada daerah trochanter baik karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari tempat yang tidak terlalu tinggi seperti terpeleset di kamar mandi di mana panggul dalam keadaan fleksi dan rotasi dapat menyebabkan fraktur collum femoris.

Berikut ini adalah klasifikasi fraktur collum femur berdasarkan Garden, yaitu: (a) stadium I adalah fraktur yang tak sepenuhnya terimpaksi; (b) stadium II adalah fraktur lengkap tetapi tidak bergeser; (c) stadium III adalah fraktur lengkap dengan pergeseran sedang; (d) stadium IV adalah fraktur yang bergeser secara hebat.3

Gambar 2. Klasifikasi fraktur collum femoris menurut Garden

Fraktur collum femoris harus ditangani dengan cepat dan tepat sekalipun merupakan fraktur collum femoris stadium I. Jika tidak, maka akan berkembang dengan cepat menjadi fraktur collum femur stadium IV. Selain Garden, Pauwel juga membuat klasifikasi berdasarkan atas sudut inklinasi collum femoris sebagai berikut: (a) tipe I, yaitu fraktur dengan garis fraktur 30; (b) tipe II, yaitu fraktur dengan garis fraktur 50; dan (c) tipe III, yaitu fraktur dengan garis fraktur 70.

(14)

Gambar 3. Klasifikasi fraktur collum femoris menurut Pauwel

Anamnesis biasanya menunjukkan adanya riwayat jatuh dari ketinggian disertai nyeri panggul terutama daerah inguinal depan. Tungkai pasien dalam posisi rotasi lateral dan anggota gerak bawah tampak pendek. Pada foto polos penting dinilai pergeseran melalui bentuk bayangan yang tulang yang abnormal dan tingkat ketidakcocokan garis trabekular pada caput femoris dan ujung collum femoris. Penilaian ini penting karena fraktur yang terimpaksi atau tak bergeser (stadium I dan stadium II berdasarkan Garden) dapat membaik setelah fiksasi internal, sementara fraktur yang bergeser sering mengalami non-union dan nekrosis avaskular.

Pengobatan fraktur collum femoralis dapat berupa terapi konservatif dengan indikasi yang sangat terbatas dan terapi operatif. Pengobatan operatif hampir selalu dilakukan baik pada orang dewasa muda ataupun pada orang tua karena perlu reduksi yang akurat dan stabil dan diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah komplikasi. Jenis operasi yang dapat dilakukan, yaitu pemasangan pin, pemasangan plate dan screw, dan artroplasti yang dilakukan pada penderita umur di atas 55 tahun, berupa: eksisi artroplasti, herniartroplasti, dan artroplasti total.

Komplikasi tergantung dari beberapa faktor, yaitu: (a) komplikasi yang bersifat umum: trombosis vena, emboli paru, pneumonia, dekubitus; (b) nekrosis avaskuler caput femoris. Komplikasi ini biasanya terjadi pada 30% pasien fraktur collum femoris dengan pergeseran dan 10% pada fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasilisasi fraktur lebih ke proksimal maka kemungkinan untuk terjadi nekrosis avaskuler menjadi lebih besar; (c) nonunion—lebih dari 1/

3 pasien fraktur collum femoris tidak dapat mengalami union terutama

pada fraktur yang bergeser. Komplikasi lebih sering pada fraktur dengan lokasi yang lebih ke proksimal. Ini disebabkan karena vaskularisasi yang jelek, reduksi yang tidak akurat, fiksasi yang tidak adekuat, dan lokasi fraktur adalah intraartikuler. Metode pengobatan tergantung pada penyebab terjadinya nonunion dan umur penderita; (d) Osteoartritis sekunder dapat

(15)

terjadi karena kolaps caput femoris atau nekrosis avaskuler; (e) anggota gerak memendek; (f) malunion; (g) malrotasi berupa rotasi eksterna.

b. Fraktur corpus femoris

Pada patah tulang diafisis femur biasanya mengalami pendarahan dalam yang cukup luas dan besar sehingga dapat menimbulkan resiko syok. Secara klinis penderita tidak dapat bangun, bukan saja karena nyeri, tetapi juga karena ketidakstabilan fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi ke luar, terlihat lebih pendek, dan bengkak pada bagian proksimal sebagai akibat pendarahan ke dalam jaringan lunak dan adanya tarikan m. gluteus dan m. illiopsoas. Pertautan biasanya diperoleh dengan penanganan secara tertutup, dan normalnya memerlukan waktu 20 minggu atau lebih.

Gambar 4. (a) Fraktur 1/3 tengah corpus femoris; (b) Fraktur corpus femoris paska fiksasi internal

Berdasarkan klasifikasi Winguist-Hansen yang didasarkan pada pola dasar fraktur dan derajat kestabilannya—meskipun sekarang lebih digunakan untuk menentukan derajat kominutif dari fraktur, fraktur corpus femoris dapat diklasifikasikan sebagai berikut11: (1) tipe 0—non kominutif—termasuk didalamnya fraktur transfersal, oblik, dan spiral, (2) tipe I— kominutif non signifikan atau fragmen kecil, (3) tipe II—fragmen besar dengan aposisi kortikal sampai dengan 50%, (4) tipe III—fragmen besar dengan aposisi kortikal kurang dari 50%, (5) tipe IV—fraktur segmental, tidak ada kontak antara fragmen distal dan fragmen proksimal.

(16)

Gambar 5. dari kiri ke kanan.(a) tipe 0, (b) tipe I, (c) tipe II, (d) tipe III, (e) tipe IV c. Fraktur femur distal

Yang meliputi fraktur femur distal adalah fraktur pada daerah supracondylar, condylar, dan intercondylar.

Daerah suprakondiler adalah daerah antara batas proksimal kondilus femur dan batas metafisis dengan diafisis femur. Fraktur terjadi karena tekanan varus atau valgus disertai kekuatan aksial dan putaran. Klasifikasi fraktur suprakondiler femur terbagi atas: tidak bergeser, impaksi, bergeser, dan komunitif.

Gambar 6. Klasifikasi fraktur suprakondiler

Gambaran klinis pada pasien ditemukan riwayat trauma yang disertai pembengkakan dan deformitas pada daerah suprakondiler. Krepitasi mungkin ditemukan.

Pengobatan dapat dilakukan secara konservatif, berupa: traksi berimbang dengan mempergunakan bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, Cast-bracing, dan spika panggul. Terapi operatif dapat dilakuan pada fraktur terbuka atau adanya pergeseran fraktur yang tidak dapat direduksi secara konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail-plate dan screw dengan macam-macam tipe yang tersedia8.

(17)

Komplikasi dini yang dapat terjadi berupa: penetrasi fragmen fraktur ke kulit yang menyebabkan fraktur menjadi terbuka, trauma pembuluh darah besar, dan trauma saraf. Komplikasi lanjut dapat berupa malunion dan kekakuan sendi.5

Pemeriksaan Fraktur Femur

Diagnosis fraktur femur dapat ditegakkan dengan anamnesis yang lengkap mengenai kejadian trauma meliputi waktu, tempat, dan mekanisme trauma—hal ini berkaitan dengan resiko infeksi penyakit, prognosis, dan tindakan yang perlu dilakukan; pemeriksaan fisik yang lengkap dan menyeluruh, serta pemeriksaan imejing menggunakan foto polos sinar-x.

1. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda syok, anemia atau pendarahan, kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen. Apabila kondisi jiwa pasien terancam, lakukan resusitasi untuk menstabilkan kondisi pasien.

Setelah kondisi pasien stabil, perlu diperhatikan faktor predisposisi lain, misalnya pada fraktur patologissebagai salah satu penyebab terjadinya fraktur.

Pemeriksaan status lokalis dilakukan setelah pemeriksaan skrining awal dilakukan. Berikut adalah langkah pemeriksaan status lokalis:

a. Inspeksi (Look)

- Bandingkan dengan bagian yang sehat - Perhatikan posisi anggota gerak

- Keadaan umum penderita secara keseluruhan - Ekspresi wajah karena nyeri

- Lidah kering atau basah

- Adanya tanda-tanda anemia karena pendarahan, Lakukan survei pada seluruh tubuh apakah ada trauma pada organ-organ lain

- Apakah terdapat luka pada kulit dan jaringan lunak untuk membedakan fraktur tertutup atau terbuka

- Ekstravasasi darah subkutan dalam beberapa jam sampai beberapa hari - Perhatikan adanya deformitas berupa angulasi, rotasi dan kependekan - Perhatikan kondisi mental penderita

- Keadaan vaskularisasi5 b. Palpasi/Raba (Feel)

Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan palpasi adalah sebagai berikut:

(18)

- Nyeri tekan; nyeri tekan yang bersifat superfisial biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang

- Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati - Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri femoralis,

arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena Refilling (pengisian) arteri pada kuku, warna kulit pada bagian distal daerah trauma, temperatur kulit.

- Pengukuran panjang tungkai untuk mengetahui adanya perbedaan panjang tungkai c. Pergerakan (Move)

Pergerakan dengan mengajak penderita untuk menggerakkan secara aktif dan pasif sendi proksimal dan distal dari daerah yang mengalami trauma. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.4

2. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis berupa pemeriksaan saraf secara sensoris dan motoris serta gradasi kelainan neurologis yaitu neuropraksia, aksonotmesis atau neurotmesis. Kelainan saraf yang didapatkan harus dicatat dengan baik karena dapat menimbulkan masalah asuransi dan tuntutan (klaim) penderita serta merupakan patokan untuk pengobatan selanjutnya.

Pemeriksaan Radiologis

Macam-macam pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan untuk menetapkan kelainan tulang dan sendi :5

a. Foto Polos

Dengan pemeriksaan klinik, sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.

b. CT-Scan

Suatu jenis pemeriksaan untuk melihat lebih detail mengenai bagian tulang atau sendi, dengan membuat foto irisan lapis demi lapis. Pemeriksaan ini menggunakan pesawat khusus.

(19)

MRI dapat digunakan untuk memeriksa hampir semua tulang, sendi, dan jaringan lunak. MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi cedera tendon, ligament, otot, tulang rawan, dan tulang.

Prinsip Penanganan Fraktur

Fraktur biasanya menyertai trauma. Life saving dan life limb adalah tindakan prioritas utama pada penderita trauma, untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation). Tindakan pembebasan jalan nafas perlu dilakukan terhadap gangguan jalan nafas. Demikian juga penanganan sok karena perdarahan dengan mengontrol perdarahan secara balut menekan dan resusitasi cairan kristalloid maupun tranfusi.

Setelah tindakan life saving dan life limb diatasi, tindakan awal untuk menangani fraktur dapat dilakukan. Prinsip-prinsip tindakan/penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.3,4

a. Reduksi

Yaitu restorasi fragmen fraktur sehingga didapati posisi yang dapat diterima.

 Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan posisi anatomis normal.

 Sasarannya adalah untuk memperbaiki fragmen-fragmen fraktur pada posisi anatomik normalnya.

 Metode untuk reduksi adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edemadan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

Metode Reduksi

1. Reduksi tertutup, pada kebanyakan kasus reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan “manipulasi dan traksi manual”. Sebelum reduksi dan imobilisasi, pasien harus dimintakan persetujuan tindakan, analgetik sesuai ketentuan dan bila diperlukan diberi anesthesia. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan. Sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan

(20)

ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.

2. Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Macam-macam traksi :

 Skin traction : tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.

 Skeletal traction : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin. Dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus (fraktur kruris).

3. Reduksi terbuka, pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.

b. Imobilisasi

 Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.

 Sasarannya adalah mempertahankan reduksi di tempatnya sampai terjadi penyembuhan.

 Metode untuk mempertahankan imobilisasi adalah dengan alat-alat “eksternal” (bebat, brace, case, pen dalam plester, fiksator eksterna, traksi, balutan) dan alat-alat “internal” (nail, lempeng, sekrup, kawat, batang).

c. Rehabilitasi

- Sasarannya meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan normal pada bagian yang sakit.

- Untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi dengan mempertahankan reeduksi dan imobilisasi adalah peninggian untuk meminimalkan bengkak, memantau status neurovaskuler, mengontrol ansietas dan nyeri, latihan isometric dan pengaturan otot, partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari, dan melakukan aktivitas kembali secara bertahap dapat memperbaiki kemandirian fungsi. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik.3

(21)

Penyembuhan dan Penyatuan Tulang

Berbeda dengan jaringan lain, tulang dapat sembuh secara sempurna tanpa disertai pembentukan jaringan parut, disini berbagai faktor berpengaruh, seperti suplai darah dan posisi dari tulang yang fraktur sendiri, itulah sebabnya memposisikan tulang sedemikian rupa sangat diperlukan. Penyembuhan tulang terdiri dari beberapa fase, diantaranya :5

1. Fase Kerusakan Jaringan dan Hematoma

Fraktur menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kecil di dalam kanalikuli havers, akibatnya terbentuk hematoma yang mengelilingi kedua sisi fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, kehilangan pasokan darah, mati kembali untuk satu atau dua millimeter.

2. Fase Radang dan Proliferasi Selular

Dalam waktu 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel dibawah periosteum dan di dalam saluran medulla yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan-lahan di absorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu.

3. Fase Pembentukan Kalus

Sel yang berkembang biak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sekarang juga mencakup osteoklas (mungkin dihasilkan dari pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang immature menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang dan pada 4 minggu setelah cedera fraktur menyatu.

4. Fase Konsolidasi

Bila aktivitas osteoklasik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk membawa beban yang normal. Woven bone akan berubah menjadi lamellar bone, dimana proses ini berlangsung cukup lama, bisa beberapa bulan hingga terbentuk kesatuan yang kuat. Kalus primer mulai berubah menjadi kalus intermediate.

5. Fase Remodelling

(22)

dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamella yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi, dinding-dinding yang tidak dibutuhkan dibuang, rongga sumsum di bentuk. Akhirnya terbentuk proses remodeling untuk merapikan penyatuan tulang. Bagian yang berlebihan akan diresorpsi oleh osteoclast, sementara kalus intermediate akan berubah menjadi tulang kompak, lengkap dengan pembentukan sistem havers dan pembentukan ruang sumsum.5

Perbaikan fraktur adalah suatu proses yang terus-menerus. Proses yang terjadi diantaranya :  Penyatuan (union)

Perbaikan yang tidak lengkap, kalus meliputinya akan mengalami kalsifikasi. Secara klinik tempat fraktur masih sedikit nyeri dan meskipun tulang dapat bergerak sebagai satu potong tulang (dan dalam arti ini sudah menyatu), usaha menekuknya akan menimbulkan nyeri. Sinar-X memperlihatkan garis fraktur yang masih jelas terlihat. Dengan kalus mirip bulu halus di sekitarnya. Perbaikan tidak lengkap dan tidaklah aman untuk membiarkan tulang yang tidak terlindungi itu menghadapi tekanan.

 Konsolidasi

Perbaikan yang lengkap, kalus berkapur itu mengalami osifikasi. Secara klinik tempat fraktur tidak nyeri. Fragmen-fragmen tidak dapat bergerak dalam percobaan angulasi tidak terasa nyeri. Sinar-X memperlihatkan garis fraktur hampir terhapus dan dijembatani oleh trabekula tulang, dengan kalus yang jelas di sekitarnya. Perbaikan lengkap dan tidak perlu perlindungan lebih jauh.

 Lama waktu pemulihan

Tidak ada jawaban yang tepat untuk mengetahui waktu pemulihan. Tetapi dapat dilakukan perkiraan yang mendekati dan jadwal Perkins. Fraktur spiral pada tungkai atas bersatu dalam 3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2 lagi, jadi untuk fraktur melintang kalikan dengan 2. Rumus lainnya adalah sebagai berikut : fraktur spiral pada tungkai atas memakan waktu 6-8 minggu untuk konsolidasi, tungkai bwah perlu 2x lebih lama. Tambahkan 25% kalau fraktur tidak bersifat spiral atau kalau fraktur melibatkan femur. Fraktur pada anak-anak, tentu saja akan menyambung lebih cepat.

 Non-union

Kadang-kadang proses normal dalam perbaikan fraktur terhalang dan tulang gagal menyatu. Penyebab ketidakmampuan menyatu ini adalah : distraksi dan pemisahan

(23)

fragmen, interposisi jaringan lunak diantara fragmen-fragmen, terlalu banyak gerakan pada garis fraktur dan persediaan darah lokal yang buruk.

Proliferasi sel terutama fibroblastic, celah fraktur diisi dengan jaringan fibrosa dan fragmen tulang tetap dapat bergerak, menciptakan sendi palsu atau pseudoartosis. Pada beberapa kasus, pembentukan tulang periosteum berlangsung aktif sehingga tulang yang baru gagal menjembatani celah fraktur, ujung fragmen akan menebal atau melebar, non-union hipertrofik ini pada akhirnya akan berlanjut ke penyatuan asalkan fragmen-fragmen tulang dan dipertahankan kurang lebih tidak bergerak hingga terjadi proses penciptaan jembatan. Pada kasus lain pembentukan tulang tampaknyaberhenti sama sekali, mengakibatkan non-union atrofikyang tidak akan pernah sembuh kecuali kalau fragmen-fragmen diimobilisasi dan dicangkok dengan tulang berspon.1,3

Komplikasi

Komplikasi dari fraktur femur cukup beragam tergantung lokasi dan tingkat keparahan fraktur. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:

1. Infeksi

Pada kasus fraktur terbuka, dimana tulang merobek jaringan kulit, ada kemungkinan resiko infeksi. Resiko infeksi ini dapat berkurang dengan pemberian antibiotik.

2. Permasalahan dalam penyembuhan tulang

Jika pada proses penyembuhan angulasi tulang tidak baik serta timbul iritasi pada bagian tulang yang patah akibat terjadinya infeksi, proses penyembuhan tulang dapat terhambat bahkan membutuhkan terapi operatif lebih lanjut.

3. Kerusakan saraf

Kerusakan saraf paska fraktur femur terbilang jarang, namun kerusakan saraf pada fraktur femur dapat menyebabkan mati rasa serta kelemahan yang persisten. 4. Sindrom kompartemen

Sindrom kompartemen jarang terjadi pada fraktur femur, namun ini dapat terjadi sehingga resiko terjadinya sindrom kompartemen harus selalu diantisipasi. Sindrom kompartemen teradi akibat kompresi nervus, pembuluh darah, dan otot di dalam spatium tertutup atau kompartemen di dalam tubuh. Sindrom kompartemen terjadi pada tungkai yang mengalami inflamasi dan perdarahan selama trauma yang sering diasosiasikan dengan fraktur. Jika sindrom kompartemen terjadi, maka dibutuhkan tindakan bedah segera.

Berikut adalah hal yang perlu diperhatikan untuk identifikasi dini terjadinya sindrom kompartemen:

(24)

a. Sindroma kompartemen dapat timbul perlahan dan berakibat berat

b. Dapat timbul pada ekstremitas karena kompresi atau remuk dan tanpa cedera luar atau fraktur yang jelas

c. Reevaluasi yang sering sangat penting

d. Penderita dengan hipotensi atau tidak sadar meningkatkan resiko terjadinya kejadian sindrom kompartemen

e. Nyeri merupakan tanda awal dimulainya iskemia kompartemen, terutama nyeri pada tarikan otot pasif

f. Hilangnya pulsasi dan tanda iskemia lain merupakan gejala lanjut, setelah kerusakan yang menetap terjadi

5. Komplikasi operatif

Komplikasi operatif biasanya terjadi karena kegagalan plate atau piranti keras untuk menstabilisasi tulang, atau bagian piranti keras yang menonjol mengakibatkan iritasi dan nyeri.

Komplikasi yang spesifik pada fraktur femur antara lain: 1. Fraktur femur distal

Karena lokasi tipe fraktur ini, lutut dapat ikut terpengaruh. Seringkali muncul kekakuan pada lutut yang secara perlahan akan berkurang namun tidak dapat hilang sama sekali. Selain kekakuan pada lutut, fraktur pada femur distal menjadi faktor presdiposisi terjadinya osteoarthritis. Terutama pada fraktur yang melewati atikulasio genu, yang mengganggu lapisan kartilago yang melapisi sendi.

2. Fraktur corpus femoris

Jenis fraktur ini juga dapat mempengaruhi lutut, tetapi dengan cara yang berbeda. Karena pergerakan femur ketika terjadi fraktur, seringkali merusak ligament pada lutut yang membutuhkan tindakan operatif untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Fraktur corpus femoris yang terjadi pada anak-anak dan remaja yang masih dalam masa pertumbuhan beresiko mengalami perbedaan panjang tulang di satu tungkai dibandingkan yang lainnya. Hal ini disebabkan karena patah tulang tumbuh terlalu banyak, atau justru kurang tumbuh setelah fraktur. 2,4

(25)

Penyembuhan fraktur merupakan suatu proses biologis yang menakjubkan. Tidak seperti jaringan lainnya, tulang yang mengalami fraktur dapat sembuh tanpa jaringan parut. Pengertian tentang reaksi tulang yang hidup dan periosteum pada penyembuhan fraktur mulai terjadi segera setelah tulang mengalami kerusakan apabila lingkungan untuk penyembuhan memadai smapai terjadi konsolidasi. Faktor mekanis yang penting seperti imobilisasi fragmen tulang secara fisik sangat penting dalam penyembuhan, selain faktor biologis yang juga merupakan suatu faktor yang sangat esensial dalam penyembuhan fraktur.1,3

DAFTAR PUSTAKA

1. R. Sjamsuhidajat R, KarnadihardjaW, Prasetyono TOH, Rudiman R. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidajat-de-jong. Edisi ke-3. Jakarta : EGC; 2010. h. 1039-62.

2. Rasjad, Chairuddin. Pengantar ilmu bedah ortopedi. Jakarta : Penerbit PT. Yarsif Watampone; 2009. h. 82-5, 92-4, 355-64.

3. Apley GA, Solomon L. Buku ajar ortopedi dan fraktur sistem Apley. Edisi ke-7. Jakarta : Widya Medika ; 2007.

4. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Volume ke-2. Jakarta : EGC; 2005. h. 1365.

Gambar

Gambar 1. (a) tampak anterior, (b) tampak posterior
Gambar 2. Klasifikasi fraktur collum femoris menurut Garden
Gambar 3. Klasifikasi fraktur collum femoris menurut Pauwel
Gambar 5. dari kiri ke kanan.(a) tipe 0, (b) tipe I, (c) tipe II, (d) tipe III, (e) tipe IV c

Referensi

Dokumen terkait

Kedua penyakit ini mempunyai mekanisme yang sama, yaitu dapat berasal dari cedera langsung kepada sawar darah retina atau kerusakan sekunder dikarenakan rusaknya sel neuron atau

Pasien An. F, berusia 10 bulan datang berobat ke Poliklinik Umum Kulit dan Kelamin RS Husada pada tanggal 27 September 2013 jam 11.05 WIB dengan keluhan yang berawal dari

Hasil pemeriksaan tajam penglihatan jauh pasien dengan ETDRS chart di unit low vision mengalami peningkatan sampai 2/40 setelah operasi katarak pada mata kanan, meskipun