• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PERKEMBANGAN DESA DI INDONESIA : DESA DI MASA LALU, MASA KINI DAN BAGAIMANA MASA DEPANNYA Oleh : M. Irwan Tahir Abstract - JURNAL MIPI PERKEMBANGAN DESA DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SEJARAH PERKEMBANGAN DESA DI INDONESIA : DESA DI MASA LALU, MASA KINI DAN BAGAIMANA MASA DEPANNYA Oleh : M. Irwan Tahir Abstract - JURNAL MIPI PERKEMBANGAN DESA DI INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN DESA DI INDONESIA :

DESA DI MASA LALU, MASA KINI DAN BAGAIMANA MASA DEPANNYA Oleh : M. Irwan Tahir

Abstract

The village's existence has been recognized since ancient times even before this country existed. Dutch colonial rule and during the Japanese occupation of Indonesia has put the village as a community that has genuine authority to regulate and manage their own households. The period after independence until the early birth of the New Order era (Soeharto’s regime), not much change the format setting of the village and still dominant guided by the Dutch and Japanese rule. In a further development as a consequence of state law, changes in political and governmental system format and then followed up with changes in legislation in the field of politics and government with the conversion rules governing the implementation of the Village. Historical considerations and consideration of adaptation and anticipation of the demands of the main considerations governing the development, must underlie the concept of village development in the future.

Keywords : village, traditional autonomy, transformation.

A. Pendahuluan

“Desa” di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jenderal Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah laporannya tertanggal 14 Juli 1817 kepada pemerintahnya disebutkan tentang adanya desa-desa di daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan di kemudian hari ditemukan juga desa-desa di kepulauan luar Jawa yang kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa (Soetardjo, 1984:36).

Kata “desa” sendiri berasal dari bahasa India yakni “swadesi” yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batas yang jelas (Soetardjo, 1984 : 15, Yuliati, 2003 : 24). Padanan kata “desa” dalam bahasa asing antara lain seperti dorp, dorpsgemeente, village, village community, rural area, rural society, dan sebagainya (Ndraha, 2010:154). Fakta empirik masa lalu di Indonesia dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat dengan peristilahannya masing-masing seperti Dusun dan Marga bagi masyarakat Sumatera Selatan, Dati di Maluku, Nagari di Minang atau Wanua di Minahasa. Pada daerah lain masyarakat setingkat desa juga memiliki berbagai istilah dan keunikan sendiri baik mata pencaharian maupun adat istiadatnya.

(2)

berdasarkan kebutuhan masyarakat di daerah tertentu yang satu dengan daerah lain berbeda kulturnya. Beberapa ahli atau pakar mengemukakan pendapatnya dari tinjauannya masing-masing.

Bintarto (1983) yang memandang desa dari segi geografi, mendefenisikan desa sebagai :

“Suatu hasil dari pewujudan antara kegiatan sekelompok manusia dengan lingkungannya. Hasil dari perpaduan itu ialah suatu ujud atau penampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial ekonomis, politis dan kultural yang saling berinteraksi antar unsur tersebut dan juga dalam hubungannya dengan daerah lain.“

Kebanyakan orang memahami desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan peradaban yang lebih terbelakang daripada kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian yang umumnya di sektor pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat bahwa desa merupakan tempat tinggal para petani.

Namun demikian pengertian desa dapat juga dilihat dari pergaulan hidup, seperti yang dikemukakan oleh Bouman (dalam Beratha, 1982 : 26) yang mendefenisikan desa :

“Sebagai salah satu bentuk kuno dari kehidupan bersama sebanyak beberapa ribu orang, hampir semuanya saling mengenal; kebanyakan yang termasuk di dalamnya hidup dari pertanian, perikanan dan sebagainya, usaha yang dapat dipengaruhi oleh hukum dan kehendak alam. Dan dalam tempat tinggal itu terdapat banyak ikatan-ikatan keluarga yang rapat, ketaatan pada tradisi dan kaidah-kaidah sosial.”

Definisi di atas memberikan berbagai gambaran tentang desa, Dalam istilah yang berbeda sebutan untuk desa dapat dilihat dari tinjauan sudut pandang suatu daerah misalnya : di Aceh dipakai nama “Gampong” atau “Meunasah” buat daerah hukum yang paling bawah. Di daerah Batak, daerah hukum setingkat desa disebut “Kuta” atau “Huta”. Di daerah Minangkabau daerah hukum yang demikian dinamakan Nagari, di Sumatera Timur daerah hukum ini dinamakan “Dusun” atau “Tiuh”, di daerah Minahasa diberi nama “wanua”, di daerah Ujung Pandang diberi nama “Gaukang”.

Sebutan Kepala Desa juga menggunakan istilah yang berbeda-beda pada tiap-tiap bagian daerah seperti di daerah Tapanuli Kepala desa disebut Kepala Nagari, di Sumatera Selatan disebut dengan nama Pesirah, di daerah Jawa disebut dengan Lurah, di daerah Bali disebut Tembukung, di daerah Sulawesi Utara disebut Hukum Tua, di daerah Maluku disebut Kepala Nagari dan di berbagai daerah di Papua disebut Kurano. Masih banyak lagi sebutan yang bercorak ragam menurut istilah-istilah daerah setempat yang sebenarnya mempunyai pengertian yang sama.

(3)

1. Tipe kesatuan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial/wilayah tempat bersama sebagai dasar utama;

2. Tipe kesatuan masyarakat umum berdasarkan persamaan keturunan/ genetik (suku, warga atau calon) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal dalam suatu wilayah tersebut;

3. Tipe kesatuan hukum berdasarkan atas campuran (teritorial dan keturunan).

Demikian pula yang dikemukakan Soetardjo (1984), bahwa bentuk Desa didasarkan atas 3 (tiga) sifat, yakni:

1. Berdasarkan geneologis/keturunan (genealogische rechtgemeenscbappen) yang melahirkan keterikatan suku (stamverband); 2. Berdasarkan teritorial/wilayah (territorialle rechtgemeenschappen); 3. Campuran antara geneologis dan teritorial.

Tentang pengertian Desa tersebut, lebih lanjut Unang Sunardjo mejelaskan bahwa :

Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum berdasarkan Adat dan Hukum Adat yang menetap dalam suatu wilayah tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir bathin yang sangat kuat, baik karena seketurunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan kemanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

Desa-desa tersebut atau dengan nama aslinya yang setingkat adalah suatu kesatuan masyarakat hukum dengan karakteristik :

a. Berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya menurut adat kebiasaan setempat, menurut peraturan negara atau peraturan daerah yang berlaku;

b. Desa wajib melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah;

c. Untuk melaksanakan tugas dan kewenangan

tersebut kepala desa dapat diberikan sumbangan atau bantuan;

Selain itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang unsur-unsur desa. Menurut Bintarto (1983 : 13) unsur-unsur yang harus ada dalam suatu desa adalah:

a. Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak produktif beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis setempat.

(4)

c. Tata Kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk beluk kehidupan masyarakat desa (rural society).

Ketiga unsur ini tidak terpisah melainkan ada keterikatan satu dengan yang lain sebagai satu kesatuan yang utuh. Unsur Daerah, penduduk dan tata kehidupan merupakan suatu kesatuan hidup atau “living unit”. Maju mundurnya desa tergantung pada tiga unsur ini yang dalam kenyataan ditentukan oleh faktor usaha manusia (human effort) dan tata geografis (geographical setting). Suatu daerah dapat berarti bagi penduduk apabila ada “human effort” untuk memanfaatkan daerahnya. Tiap-tiap daerah mempunyai “geographical setting” dan “human effort” yang berbeda-beda, sehingga tingkat kemakmuran dan tingkat kemajuan penduduk tidak sama.

Unsur lain yang termasuk unsur desa yaitu, unsur letak. Letak suatu desa pada umumnya selalu jauh dari kota atau dari pusat-pusat keramaian. Peninjauan ke desa-desa atau perjalanan ke desa sama artinya dengan menjauhi kehidupan di kota dan lebih mendekati daerah-daerah yang monoton dan sunyi. Desa-desa yang letaknya pada perbatasan kota mempunyai kemungkinan berkembang lebih pesat di banding daripada desa-desa di pedalaman.

Unsur letak menentukan besar kecilnya isolasi suatu daerah terhadap daerah-daerah lainya. Desa yang terletak jauh dari perbatasan kota merupakan lahan pertanian yang luas. Ini disebabkan karena penggunaan lahannya lebih banyak dititikberatkan pada tanaman pokok dan beberapa tanaman perdagangan daripada untuk perumahan.

Penduduk merupakan unsur yang penting bagi desa. “Potential man power” terdapat di desa yang masih terikat hidupnya dalam bidang pertanian. Di beberapa desa terdapat tenaga-tenaga yang berlebihan di bidang pertanian, sehingga timbul apa yang disebut dengan istilah pengganguran tak kentara atau “disguised unemployment”, sehingga memerlukan penyaluran.

Corak kehidupan di desa didasarkan pada ikatan kekeluargaan yang erat. Masyarakat merupakan suatu “gemeinschaft” yang memiliki unsur gotong royong yang kuat. Hal ini dapat dimengerti karena penduduk desa merupakan “face to face group” dimana mereka saling mengenal betul seolah-olah mengenal dirinya sendiri. Faktor lingkungan geografis memberi pengaruh terhadap kegotong-royongan ini misalnya :

a. Faktor geografi setempat yang memberikan suatu ajang hidup dan suatu bentuk adaptasi kepada penduduk.

b. Faktor iklim yang dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif terhadap penduduk terutama petani-petaninya.

c. Faktor bencana alam seperti letusan gunung merapi, gempa bumi, banjir, dan sebagainya yang harus dihadapi dan dialami bersama.

(5)

sesuatu yang penting, sehingga tidaklah berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara.

1. Desa Dilihat dari Sudut Pandang Ekonomi

Ditinjau dari sudut pandang bidang ekonomi, desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah (raw material) dan tenaga kerja (man power) yang tidak kecil artinya. Desa-desa di Jawa banyak berfungsi sebagai desa agraris yang menunjukan perkembangan baru yaitu timbulnya industri-industri kecil di daerah pedesaan yang merupakan “rural industries”.

Menurut Sutopo Yuwono (dalam Bintarto, 1983 : 17) salah satu peranan pokok desa terletak pada bidang ekonomi. Daerah pedesaan merupakan tempat produksi pangan dan produksi komoditi ekspor. Peranan pentingnya menyangkut produksi pangan yang akan menentukan tingkat kerawanan dalam rangka pembinaan ketahanan nasional. Oleh karena itu, peranan masyarakat pedesaan dalam mencapai sasaran swasembada pangan adalah penting sekali. Masyarakat desa perkebunan adalah produsen komoditi untuk ekspor.

Peranan mereka untuk meningkatkan volume dan kualitas komoditi seperti kelapa sawit, lada, kopi, teh, karet, dan sebagainya tidak kalah pentingnya dilihat dari segi usaha untuk meningkatkan ekspor dan memperoleh devisa yang diperlukan sebagai dana guna mempercepat proses pembangunan. Peningkatan hasil dari ekspor komoditi nonminyak berarti mengurangi ketergantungan kita dari hasil ekspor minyak, yang pada giliranya akan memperkuat ketahanan ekonomi dalam rangka pembinaan ketahanan nasional.

Demikian pula sama pentingnya peranan dari masyarakat desa pantai sebagai produsen bahan pangan protein tinggi. Peranan mereka berupa ikan dan udang tidak hanya melayani kebutuhan konsumsi dalam negeri, tetapi juga untuk ekspor. Keberhasilan dalam menggali dan mengembangkan potensi di daerah pedesaan yang bermacam-macam itu akan memperkuat ketahanan secara nasional.

Menurut Suhartono (2000 : 12) desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama.

2. Desa Dilihat dari Sudut Pandang Sosiologis

(6)

Secara sosiologis, masyarakat Desa memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan kelompok masyarakat lainnya. Boeke (1971 : 9) misalnya memberikan gambaran bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah persekutuan hukum pribumi yang terkecil dengan kekuasaan sendiri; daerah sendiri; dan kekayaan atau pendapatan sendiri.

Selanjutnya Boeke mengemukakan bahwa persekutuan hukum pribumi terkecil dapat diartikan bahwa di dalamnya tercakup pengertian :

a. Persekutuan hukum adat yang tumbuh dengan sendirinya di dalam masyarakat pribumi dan mempunyai dasar tradisional;

b. Persekutuan hukum, dimana hanya penduduk pribumi atau setidak-tidaknya sebagian besar dari pada penduduk pribumi yang menjadi anggota-anggotanya.

Lebih lanjut menurut Maschab (dalam Suhartono, 2000 : 11) dalam pengertian sosiologis desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung alam.

Kemudian Desa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat dan tradisi masih kuat, sifat jujur dan bersahaja, pendidikan relatif rendah dan sebagainnya.

3. Desa Dilihat dari Sudut Pandang Politik dan Administrasi Pemerintahan Pandangan ini lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar dalam kehidupan masyarakat, adanya wewenang atau kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan desa. Pengertian ini menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk.

Desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (Soetardjo, 1984 : 16; Wiradi, 1988). Pengertian ini menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa dan bukan pihak luar.

Keberadaan desa secara yuridis formal diakui dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Menurut ketentuan ini desa diberi pengertian sebagai berikut :

(7)

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pengejawantahan terhadap UUD 1945 khususnya Pasal 18B (Amandemen II) dan Tap MPR No. IV/MPR/2000 (Rekomendasi No.7). Dalam Pasal 18B UUD 1945 disebutkan bahwa :

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dapat dikatakan bahwa yang termuat dalam undang-undang secara jelas menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan, yang secara politis memiliki wewenang tertentu untuk mengatur warga atau anggota komunitasnya. Baik sebagai akibat posisi politisnya yang merupakan bagian dari negara atau hak asal usul dan adat istiadat yang dimilikinya. Namun demikian dalam pengertian ini masih belum tergambarkan secara jelas mengenai kualitas otoritas yang dimiliki desa, terutama berkaitan dengan kekuatan politik di atasnya, yakni negara.

Munculnya otoritas politik di dalam suatu komunitas yang disebut dengan desa secara internal mudah dipahami, dengan melihat sejarah perkembangannya. Secara faktual jumlah penduduk bertambah dan masalah-masalah berkait dengan kepentingan masyarakat bertambah. Kenyataan tersebut sudah barang tentu mendorong munculnya suatu otoritas yang diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan yang merealisasi aspirasi yang berkembang. Dari situ lahir kesatuan masyarakat hukum yang mandiri dan pemimpin mereka biasanya adalah yang tertua atau memiliki kemampuan paling tinggi di antara mereka (Maschab, 1992).

Dari berbagai pengertian desa sebagiamana di atas, maka dapat ditarik ciri desa secara umum :

1. Desa umumnya terletak di atau sangat dekat dengan pusat wilayah usaha tani (sudut pandang ekonomi);

2. Dalam wilayah itu perekonomian merupakan kegiatan ekonomi dominan. 3. Faktor-faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan

masyarakatnya;

4. Tidak seperti di kota ataupun kota besar yang penduduknya sebagian besar merupakan pendatang populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti oleh dirinya sendiri”;

5. Kontrol sosial lebih bersifat informal dan interaksi antar warga desa lebih bersifat personal dalam bentuk tatap muka; dan

(8)

Lebih lanjut menurut Roucek dan Warren (1962) sebagaimana dikutip dalam Suhartono (2000) menyebutkan karakteristik desa sebagai berikut :

1. Besarnya peranan kelompok primer;

2. Faktor geografik yang menentukan dasar pembentukan kelompok/ asosiasi; 3. hubungan lebih bersifat intim dan awet;

4. Homogen;

5. Mobilitas sosial rendah;

6. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi; 7. Populasi anak dalam proporsi yang besar.

Karakteristik yang disebutkan di atas, pada dasarnya merupakan karakteritik yang sebagian besar menjadi ciri desa tradisional. Desa masa kini pada dasarnya telah mengalami sejumlah perubahan, sejalan dengan bekerjanya kekuatan eksternal yang mendorong perubahan sosial di desa. Ikatan sosial yang ketat sebagai contoh telah mulai dilihat memudar dan sering munculnya industrialisasi yang memasuki desa, pada saat ini desa telah bergerak mencapai tingkat kemajuan tertentu yang kemudian dapat berkembang menjadi kota yang tentu saja dengan ciri yang berbeda.

B. Perkembangan Desa dari Aspek Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan aspek yuridis formal, maka perkembangan Desa di Indonesia dapat ditelusuri melalui implementasi berbagai produk perundang-undangan yang mengatur tentang Desa, mulai dari Pemerintahan Kolonial Belanda sebelum masa kemerdekaan hingga produk hukum Pemerintah Republik Indonesia setelah masa kemerdekaan.

1. Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketentuan yang mengatur khusus tentang Desa pertama kali terdapat dalam Regeringsreglement (RR) tahun 1854 yaitu Pasal 71 yang mengatur tentang Kepala Desa dan Pemerintah Desa. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) pada tahun 1906, yaitu peraturan dasar mengenai Desa khusus di Jawa dan Madura. IGO pada dasarnya tidak membentuk Desa, melainkan hanya memberikan landasan sebagai bentuk pengakuan atas adanya Desa sebelumnya.

IGO Stbl. 83 tahun 1906 yang berlaku untuk Desa-desa di Jawa dan Madura mengalami perubahan sebanyak 3 (tiga) kali yakni Stbl. 1910 No. 591, Stbl. 1913 No. 235 dan Stbl. 1919 No. 217. Peraturan RR sendiri kemudian diganti dengan Indische Staatsregelling (IS) 1925, dimana pasal 71 yang mengatur tentang Desa diganti dengan Pasal 128 IS. Untuk Desa-desa di luar Jawa dan Madura sendiri diatur antara lain dengan :

(9)

3. Stbl. 1919 No. 453 untuk Bangka; 4. Stbl. 1919 No. 1814 untuk Palembang;

5. Stbl. 1922 No. 574 untuk Lampung;

6. Stbl. 1923 No. 469 untuk Tapanuli; 7. Stbl. 1924 No. 75 untuk Belitung; 8. Stbl. 1924 No. 275 untuk Kalimantan;

9. Stbl. 1931 No. 6 untuk Bengkulu;

10. Stbl. 1931 No. 138 untuk Minahasa.

Peraturan-peraturan tersebut dirangkum dalam Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB) yang artinya IGO untuk luar Jawa dan Madura, disingkat IGOB Tahun 1938 No. 490.

Sebagai peraturan (pranata) tentang Pemerintahan Desa IGO Stbl. 1906 No. 83 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dan IGOB Stbl. 1938 No. 490 untuk daerah di luar Jawa dan Madura merupakan landasan pokok bagi ketentuan-ketentuan tentang susunan organisasi, rumah tangga dan tugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang Pemerintah Desa, Kepala Desa dan anggota Pamong Desa (Saparin, 1986 : 31).

Adapun perbedaan mendasar antara kedua peraturan ini menurut Saparin (1986 : 31-2) adalaha antara lain :

1) Adanya ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah Desa untuk setiap akhir triwulan membuat anggaran belanja. Dalam IGO, hal ini tidak dijumpai; 2) Ketentuan mengenai kerja bakti bagi warga desa untuk kepentingan

umum. Di dalam IGOB warga desa yang tidak melaksanakan kerja bakti diwajibkan membayar ganti rugi dengan membayar sejumlah uang yang disetor ke kas desa;

3) Mengenai tanah bengkok, di dalam IGOB tidak dijumpai. Hal ini disebabkan karena di luar Jawa dan Madura tersedia banyak tanah yang bisa diusahakan oleh siapa saja.

2. Pendudukan Militer Jepang

Berdasar pada Undang Undang No. 1 Tahun 1942 yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer Jepang pada waktu itu, mengamanatkan tidak adanya perubahan yang berarti terhadap peraturan yang ada sebelumnya mengenai Desa sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.

Satu-satunya peraturan mengnai desa yang dikeluarkan oleh Penguasa Milter Jepang adalah Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 (1944). Peraturan ini hanya mengatur dan merubah Pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo) yang menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi 4 (empat) tahun.

(10)

3.1 UUD Tahun 1945

Sejak awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan dan keberadaan Desa. Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 nomor romawi II disebutkan bahwa :

Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurundelandschappen dan Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah-daerah tersebut.

Pengakuan UUD 1945 tersebut terhadap eksistensi Desa tidak segera diikuti dengan aturan pelaksanaan lebih lanjut, utamanya menyangkut kedudukan Desa dalam sistem pemerintahan nasional. Bahkan dengan adanya amandemen UUD 1945 yang hingga saat ini telah diubah sebanyak empat kali, Desa sama sekali tidak termaktub di dalam salah satu pasal pun dari konstitusi tersebut. UUD 1945 Amandemen IV hanya mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat, dimana pada Pasal 18B ayat (4) berbunyi :

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat yang memilik hak-hak tradisional tersebut tentunya tidak serta merta mengakui kedudukan Desa sebagai unit pemerintahan sebagai bagian dari susunan sistem pemerintahan nasional. Hal in dapat dilihat pada Pasal 18 UUD 1945 (Amandemen IV) yang mengatur bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah-daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan ketentuan tersbut, maka secara tidak langsung Desa ditempatkan dalam rezim pemerintahan kabupaten/ kota karena secara administratif teritorial Desa berada dalam wialayah kabupaten/kota.

3.2 UU Nomor 22 Tahun 1948

UU Nomor 22 Tahun 1948 sebenarnya telah mengarahkan Desa (dan kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, menjadi Daerah Otonom Tingkat III. Hal ini termaktub dalam pasal 1 Undang Undang tersebut :

(11)

Lebih lanjut menurut Aturan Peralihan (Pasal 46) dari Undang Undang tersebut menyebutkan bahwa segala daerah yang berhak mengatur dan dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut menurut UU No. 1 Tahun 1945 tanggal 23 Nopember 1945 di antaranya Desa, Marga, Nagari, dan sebagainya berjalan terus sehingga diadakan pemben-tukan pemerintahan baru untuk daerah-daerah itu.

Dalam penjelasannya disebutkan bahwa daerah otonom yang terbawah, yaitu Desa, Marga, Nagari, dan sebagainya, dianggap sendi negara, dan sendi negara itu harus diperbaiki, segala-galanya diperluas dan didinamisir supaya dengan demikian Negara bisa mengalami kemajuan.

3.3 UU Nomor 1 Tahun 1957

Meskipun di dalam Undang Undang yang mengatur tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah ini disebutkan tentang kemungkinan dibentuknya Daerah Otonom III, namun tidak ada rincian yang jelas yang mengatur tentang hal tersebut. Sedangkan menyangkut hal yang berkaitan dengan Desa, tidak diatur sama sekali.

3.4 UU Nomor 19 Tahun 1965

Undang Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja dikeluarkan bersamaan dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 19 Tahun 1965 merupakan UU pertama yang khusus mengatur tentang Desa, namun dalam prakteknya belum sempat diimplementasikan dan kemudian dicabut dengan alasan politis.

Hal-hal yang diatur tentang Desa dalam UU ini adalah antara lain : Bab I memuat Ketentuan Umum, Bab II memuat Bentuk, Susunan dan Alat Kelengkapan Desapraja, Bab III tentang Tugas dan Kewenangan Desapraja, Bab IV tentang Harta Benda, Keuangan dan Penghasilan Desapraja, Bab V tentang Pengawasan dan Bimbingan atas Desapraja, Bab VI tentang Peningkatan Desapraja menjadi Daerah Tingkat III, Bab VII memuat Peraturan Peralihan, Bab VIII Aturan Tambahan, dan Bab IX Ketentuan Penutup.

Lebih lanjut Pasal 1 UU tersebut menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desapraja adalah “kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta bendanya sendiri”. Substansi terpenting dari materi UU ini adalah tentang peningkatan Desapraja menjadi Daerah Tingkat III. Berdasarkan usul Pemerintah Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri untuk meningkatkan satu atau beberapa Desapraja dalam daerahnya untuk menjadi Daerah Tingkat III.

(12)

UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan produk hukum Pemerintah Orde Baru yang yang dipandang sangat condong menopang Orde Baru dengan politik stabilitas dan sentralisasinya, sehingga menghambat demokratisasi masyarakat Desa. Demikian juga kebijakan pengaturan tentang Desa pada masa itu, sejauh mungkin diatur secara seragam dan sentralistis, dengan tujuan untuk kepentingan politik pemerintah. Hal ini secara jelas disebutkan dalam konsideran menimbang dalam UU No. Tahun 1979 bahwa “…..sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka kedudukan Desa sejauh mungkin diseragamkan, dengan mengindahkan keragaman keadaan Desa dan ketentuan adat istiadat yang masih berlaku”.

Namun upaya penyeragaman pengaturan masyarakat desa justru menghambat tumbuhnya kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam memenuhi kehidupan dan penghidupannya secara mandiri, sehingga akhirnya hanya membuatnya tertinggal dibanding masyarakat lainnya. Pengalaman menunjukkan bahwa pengaturan terhadap pemerintah desa yang kurang berdasar pada karakteristik masyarakatnya, hanya akan menimbulkan ketidakberdayaan dan ketergantungan.

3.6 UU Nomor 22 Tahun 1999

Dalam pasal 1 huruf (o) Undang Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa :

“Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”

(13)

Tabel : Perkembangan Desa berdasarkan Peraturan Perundangan-undangan di Indonesia

No

. Dimensi Waktu Produk Hukum Substansi

1 2 3 4

1. 1906-1942

(Kolonial Belanda)

Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) Stbl. 83 / 1906

Desa di Jawa dan Madura 2. 1938-1942

(Kolonial Belanda)

Inlandse Gemeente Ordonantie Buiten-geweesten (IGOB) Stbl. 490/1938

Desa di luar Jawa dan Madura 3. 1942-1945

(Militer Jepang)

UU No. 1 Tahun 1942 Osamu Seirei

IGO dan IGOB masih berlaku 4. 1948-1965

(Pemerintah RI)

UU No. 22/1948 UU No. 1/1957

Kemungkinan Desa sebagai Daerah Tkt III 5. 1965-1979

(Pemerintah RI)

UU No. 19/1965 Desapraja 6. 1979-1999

(Pemerin-tah RI)

UU No. 5/1979 Desa (sebutan secara seragam) 7. 1999-Skrg

(Pemerintah RI)

UU No. 22/1999 UU No. 32/2004

Desa / disebut dengan nama lain

C. Desa di Era UU Nomor 32 Tahun 2004

Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 Amandemen IV menegaskan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” jadi secara implisit menurut ketentuan ini sebenarnya pemerintahan desa adalah bagian dari pemerintahan daerah. Oleh karenanya pemerintahan desa saat ini diatur dalam perundang-undangan tentang pemerintahan daerah, yaitu Undang Undang No. 32 Tahun 2004.

Menurut ketentuan Undang Undang tersebut, Desa diberi pengertian sebagai :

(14)

GEJALA MASA TRANSISI : -Adanya pemberian ADD

-Pengangkatan Sekdes menjadi PNS

-Adanya urusan pemerintahan yang diserahkan pengaturannya kepada Desa

-Perdes bagian dari Perda

-Adanya tugas pembantuan kepada desa

-RPJMDesa menjadi bagian Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

Berdasarkan ketentuan di atas disimpulkan bahwa Desa merupakan bagian integral dari sistem pemerintahan nasional. Sejauh ini yang terjadi pemerintah nasional sebenarnya telah melakukan perubahan secara mendasar terhadap pengaturan mengenai desa dan pemerintahannya. Hal ini dapat dilihat dari implementasi berbagai peraturan yang barkaitan dengan Desa, sehingga Desa saat ini berada dalam masa transisi dari otonomi pengakuan menuju otonomi pemberian. Beberapa indikasi perubahan tersebut antara lain berupa pemberian sumber keuangan desa yang berasal dari sumber keuangan negara yang disalurkan melalui Alokasi Dana Desa (ADD); pengisian Sekretaris Desa oleh pegawai negeri sipil; adanya urusan pemerintahan kabupaten/kota yang pengaturannya diserahkan kepada desa; dimasukkannya peraturan desa dalam tata urut peraturan perundang-undangan; serta adanya pemberian tugas pembantuan kepada desa.

Pada saat berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999, desa diberi bantuan dari dana perimbangan yang diperoleh daerah kabupaten/kota, yang bersifat tentatif – dalam arti dapat diberi atau tidak terserah pada pemerintah daerah kabupaten/kota masing-masing. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004, desa menerima bagian dari dana perimbangan, jadi sifatnya wajib. Desa berhak menuntut bagian dana perimbangan dari pemerintah kabupaten/kota.

Pergeseran paradigma pengaturan tentang desa dari paradigma otonomi pengakuan menuju paradigm otonomi pemberian melalui masa transisi dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar : Pergeseran Paradigma Pengaturan Tentang Desa di Era UU No. 32 Tahun 2004 (Sumber : Wasistiono, 2009)

OTONOMI PENGAKUAN

(15)

D. Penutup

Beragam peraturan perundang-undangan tentang Desa sudah berlaku di Indonesia, baik masa sebelum kemerdekaan maupun setelah kemerdekaan. Pemerintahan kolonial Belanda dan masa pendudukan Jepang di Indonesia sudah menempatkan Desa sebagai komunitas yang memiliki kewenangan asli untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Masa setelah kemerdekaan hingga awal lahirnya masa Orde Baru, tidak banyak perubahan format pengaturan tentang Desa dan masih dominan berpedoman pada aturan peninggalan Belanda dan Jepang. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai konsekuensi negara hukum, perubahan format politik dan sistem pemerintahan kemudian ditindaklanjuti dengan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang politik dan pemerintahan dengan dilakukannya perubahan peraturan pelaksanaan yang mengatur tentang Desa.

Proses transformasi atau perubahan pada pemerintahan desa sebagai akibat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, berdampak terhadap perubahan terhadap struktur dan perubahan terhadap tindakan sosial yang dilakukan oleh komunitas di dalam struktur pemerintahan. Jadi, perubahan sebagaimana yang diharapkan oleh kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus didukung secara insitusional maupun secara individual dan sosial. Hal tersebut terkait dengan kedudukan pemerintahan desa sebagai salah satu unsur dari sistem sosial.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU – BUKU

Ardiwilaga, Anwar R., 1970. Pemerintahan Desa, Tarase, Bandung.

Bayu Surianingrat, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Yayasan Beringin Korpri Unit Depdagri, Jakarta.

Beratha, I Nyoman, 1982, Desa, Masyrakat Desa dan Pembangunan Desa, Ghalia indoensia, Jakarta.

Bertrand, Alvin L., editor, 1958, Rural Sosiolog – An Analysis of Contemporary Rural Life, McGraw Hill Book Company Inc., USA.

Bintarto R., 1983, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Boeke, J.H., 1971, Batas-batas dari Masyarakat Pedesaan di Indonesia (Terjemahan), LP3ES, Jakarta.

Etzioni, Amitai and Eva-Halevy, Etzioni, editor, 1973, Social Change – Sources, Patterns and Consequences, second editor, Basic Books Inc Publisher, New York USA.

Karsyno, Faisal dan Joseph F. Stepanek, penyunting, Dinamika Pembangunan Pedesaan, Gramedia, Jakarta.

Koentjaraningrat, 1964, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Yayasan Badan Penerbit FE UI, Jakarta.

Maschab, Mashuri, 1992, Pemerintahan Desa di Indonesia, PAU Studi Sosial, Yogyakarta.

Mubyarto, Sartono Kartodirdjo, 1988, Pembangunan Pedesaan di Indonesia, Lilberty, Yogyakarta.

Ndraha, Taliziduhu, 2003. Ilmu Pemerintahan (Kybernology), PT. Rineka Cipta, Jakarta.

---, 1991, Dimensi - dimensi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta.

---, 2009, Kybernologi dan Pengharapan, Sirao Credentia Center, Jakarta.

Sanafiah Faisal, 1981, Menggalang Gerakan Bangun Diri Masyarakat Desa, Usaha Nasional, Surabaya.

Saparin, Sumber, 1986, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Bumi Aksara, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1984, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, cetakan kedua, CV Rajawali Press, Jakarta.

(17)

Soepomo R, 1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel – Perubahan Sosial di Pedesaan

Surakarta 1830-1920, Tiara Wacana Yogayakarta.

---, 2000, Parlemen Desa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Unang Sunardjo, R.H., 1984, Tinjauan Sepintas tentang Pemerintahan Desa dan

Kelurahan, Tarsito, Bandung.

Wasistiono, Sadu, 1996, Pengembangan Keorganisasian Pemerintah Desa (Disertasi), Universitas Padjadjaran, Bandung.

---, 2002, Esensi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai) Alqaprint, Jatinangor.

Wasistiono, Sadu, dan M. Irwan Tahir, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Fokusmedia, Bandung.

Yuliati, Yayuk dan Mangku Purnomo, 2003, Sosiologi Pedesaan, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta.

B. PERATURAN – PERATURAN

Undang Undang Dasar 1945 Amandemen I-IV

Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang Undang Nomor 19 Tahun 1957 tentang Desapraja.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah.

Gambar

Tabel : Perkembangan Desa berdasarkan Peraturan Perundangan-undangan di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Desa atau yang di daerah tertentu disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

(5) Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas- batas wilayah yang berwenang mengatur dan

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan

disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan

“Desa merupakan desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan hukum memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

Desa atau disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memilih kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul

Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan