• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menanggapi Seruan Bubarkan Perkumpulan Tionghoa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menanggapi Seruan Bubarkan Perkumpulan Tionghoa"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Menanggapi Seruan “Bubarkan Perkumpulan Tionghoa”

ChanCT

(GELORA45 – 16-05-2012)

Cukup menarik surat Pembaca di Tempo yang ditulis oleh Sastrawinata dengan judul "Bubarkan Perkumpulan Tionghoa", hanya karena mendengar pendapat seorang pejabat Kantor Urusan Huakiao (Overseas Chinenes), Li In Zhe yang sedang berkunjung di Jakarta dan sangat mengkawatirkan Tionghoa di Indonesia dijadikan KOLONE-5 Pemerintah Tiongkok, ... masih saja termakan propaganda AS dalam rangka memusuhi dan menjalankan politik blokade sejagad untuk mencekik mati Pemerintah RRT (Republik Rakyat Tiongkok) yang baru terbentuk 1 Oktober 1949.

Siapa sesungguhnya Sastrawinata ini saya tidak tahu dan tidak pernah mendengar nama ini, tapi opini yang diajukan menggelitik saya untuk memberikan sedikit pendapat dalam masalah Tionghoa yang sejak awal Kemerdekaan RI menjadi masalah bangsa ini sampai sekarang. Bukankah masalah berorganisasi adalah hak-asasi manusia yang mendasar dan harus dijamin oleh Pemerintah yang berkuasa? Lalu dimana kesalahan organisasi TIonghoa, sehingga harus dibubarkan? Bisakah dikatakan mengancam Keamanan negara dan dijadikan KOLONE-5 oleh Pemerintah TIongkok? Bagaimana seharusnya kita melihat masalah dengan memposisikan diri secara tepat?

Saya sependapat semua pihak, Pemerintah Tiongkok, Pemerintah Indodnesia harus dengan jernih membedakan yang dinamakan Huakiao, orang Tiongkok yang hidup di luar Tiongkok dengan tetap mempertahankan WN-Tiongkok dengan orang Tionghoa yang sudah menjadi WN-Negara setempat, sudah menjadi Orang-Asing dimata Pemerintah Tiongkok. Dan dengan sendirinya pihak Tionghoa yang sudah menjadi WN-Negara setempat dimana mereka hidup, juga harus dengan jernih memposisikan dirinya, dalam menghadapi Pemerintah Tiongkok, negeri leluhur dan Pemerintah Indonesia dimana mereka hidup, ... Tanpa kejernihan posisi itulah yang selama ini membuat kericuhan dan membuat masalah-masalah Tionghoa tidak berkesudahan.

I. Posisi Pemerintah Tiongkok.

Menurut hemat saya, posisi Pemerintah Tiongkok sebenarnya sudah jernih dan ada ketegasan terhadap Huakiao, orang Tiongkok yang tetap mempertahankan WN-Tiongkok dan Huaren, Tionghoa yang sudah menjadi WN-Indonesia, saat PM Chou menandatangi Perjanjian masalah dwi-Kewarganegaraan di Jakarta tahun 1955. Hanya saja disana-sini, masih saja ada sementara pejabat yang kurang jelas dan dirasakan mengaburkan atau mengacau balaukan sikapnya terhadap Huakiao dan Huaren. Contoh yang tipikal, saat

(2)

2

politik pintu-terbuka dilancarkan, dengan seruan Huakiao-Huaren yang cinta Tanah-air, ikut menanamkan modal dan membantu mempercepat pembangunan ekonomi nasional di Tiongkok, tanpa membedakan pengusaha itu statusnya Huakio atau Huaren, sama-sama diperlakukan sebagai pengusaha yang Cinta Tanah-air dan kampung halamannya. Padahal bagi Huaren yang jelas statusnya WN-Asing (dimata pejabat Tiongkok), sebagai orang-asing, tidak lagi bisa dinilai sebagai Hoakio yang masih cinta-tanahair dan kampung halaman. Penanaman modal yang dilakukan di negeri leluhur atau kampung halaman yang dipilih semata dari sudut kesempatan penanaman modal untuk meraih keuntungan yang lebih besar, ... Sebutan kecintaan pada tanahair sudah seharusnya Indonesia, bukan lagi Tiongkok!

Begitu juga dengan contoh kata sambutan pejabat Qiaoban, Kantor Urusan Huakiao-Huaren, Li Inzhe yang disinggung dibawah ini, entah dia salah ucap, atau salah pengertian, atau mungkin juga penyampaian wartawan yang salah, saya tidak jelas. Tapi sebagaimana apa yang diajukan di Suara Pembaca Tempo, Sastrawinata tsb. jelas ada

KESALAHAN yang dikatakan Li Inzhe itu! Saat Li berbicara dihadapan Perkumpulan Dagang Tionghoa Indonesia, dihadapan pengusaha Tionghoa yang sudah menjadi WN-Indonesia, mutlak harus diperlakukan sebagai pengusaha Indonesia, bukan pengusaha Huakiao yang masih tetap WN-Tiongkok! Jadi, tidak seharusnya menggunakan sebutan "Cinta Tanah-air", "Pembangunan Bangsa", sedang usaha membantu belajar bahasa Tionghoa juga tidak berarti untuk membangun atau memperkuat kebangsaan diantara pemuda Tionghoa di Indonesia dan di Tiongkok, .... itu namanya Li masih saja menganggap mereka, pengusaha Tionghoa yang sudah WNI, tetap sebagai Huakiao yang sebangsa! Seandainya, dilihat usaha-usaha yang dilakukan pejabat Li Inzhe sebatas mempererat dan memperkuat PERSAHABATAN Rakyat kedua negara saja, tentu saja boleh dan harus dilakukan! Baik dalam rangka usaha meningkatkan hubungan perdagangan, dengan Pengusaha Tionghoa maupun non-Tionghoa yang harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Begitu juga usaha membantu belajar dan mengusai bahasa Tionghoa juga sangat baik, khususnya menguntungkan usaha meningkatkan dan mengembangkan hubungan dagang diantara kedua negeri.

Oleh karena itu, untuk menghindari terjadi kesalah pahaman yang tidak perlu, pejabat-pejabat Pemerintah Tiongkok mutlak harus lebih jernih memahami perbedaan Huakiao dan Huaren dan tidak mengacau-balaukan status Huakiao dan Huaren.

II. Posisi Pemerintah Indonesia.

Kita menghadapi kenyataan juga, sekalipun dimasa Orla Presiden Soekarno berkuasa, tetap saja ada sementara pejabat rasialis yang selalu berusaha mendahulukan yang

(3)

3

dinamakan "PRIBUMI/ASLI" dengan menyingkirkan Tionghoa. Tidak hanya dibidang pendidikan dengan membatasi penerimaan siswa/mahasiswa Tionghoa disekolah negeri, tidak lebih dari 3-5%, tapi juga berusaha menggantikan posisi ekonomi yang selama ini dipegang Tionghoa dengan "PRIBUMI/ASLI". Itulah politik BENTENG yang dikeluarkan Prof.Dr. Soemitro yang akhirnya melahirkan Ali-Baba, si Ali yang tidak bermodal menjadi GM perusahaan, sedang si Baba yang tetap menjalankan perusahaan itu sesungguhnya. Kebijaksanaan mendahulukan yang pribumi berlanjut dengan yang dikenal KENSI, Kongres Ekonomi Nasional Seluruh Indonesia yang digencarkan Mr. Asaat. Kemudian dikeluarkan PP-10, tahun 1959 yang mengakibatkan penggusuran besar-besaran Tionghoa dari desa-desa diseluruh Indonesia, ... dan diikuti oleh kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa yang meletus pada bulan Mei-1963 di Bandung dan Cirebon.

Sedang dimasa ORBA, setelah Soeharto berkuasa keadaan Tionghoa di Indonesia menjadi lebih celaka, dibidang ekonomi pengusaha Tionghoa lebih-lebih ditekan, dengan ketentuan yang dikeluarkan, misalnya:

31 Desember 1966, Mayor Jenderal Sumitro sebagai Panglima Jawa Timur mengeluarkan peraturan penguasa perang daerah, yang isinya antara lain:

 Melarang orang Tionghoa asing untuk melakukan perdagangan grossier di luar ibukota propinsi, Surabaya;

 Melarang orang Tionghoa untuk pindah domisili dari satu bagian wilayah ke lain bagian wilayah Jawa Timur;

 Melarang digunakannya huruf dan bahasa Tionghoa dilapangan ekonomi, keuangan, pembukuan dagang dan telekomunikasi.

Kemudian diikuti dengan UU No.6/1968, yang merupakan peningkatan lebih lanjut dari PP-10, dengan melarang modal domestik meneruskan usaha dagang dalam waktu 10 tahun. Dan untuk lebih lanjut mem-"pribumisasi", Presiden Soeharto juga tidak mau ketinggalan, pada tanggal 29 Maret 1972 dalam amanatnya, tidak segan-segan "menganjurkan" agar supaya pengusaha-pengusaha Cina suka menyerahkan 50% saham perusahaan mereka kepada yang dinyatakan "pribumi".

Namun dipihak lain, khususnya setelah tahun 80-an, Soeharto mengambil kebijakan menggunakan segelintir pengusaha Tionghoa yang dipelihara menjadi Konglomerat deengan hak monopoli usaha. Dalam waktu singkat tumbuh konglomerat Tionghoa yang dijadikan sapi perah oleh klik Soeharto, … menjadi lebih celaka bagi Tionghoa umumnya di Indonesia, karena begitu cepatnya tumbuh sekelompok konglomerat Tionghoa dengan persekongkolan yang terjadi dengan penguasa, saat menghadapi krisis-moneter akhir 1997, justru pernyataan “Tionghoa yang tidak lebih dari 3% dari penduduk tapi menguasai lebih

(4)

4

70% ekonomi Indonesia” inilah yang mengakibatkan ekonomi terpuruk, dan rakyat Indonesia selama ini menderita kemiskinan. Satu pernyataan yang jelas disiapkan untuk mengalihkan kemarahan Rakyat atas kegagalan pembangunan ekonomi pada pengusaha Tionghoa umumnya, … membakar kemarahan Rakyat pada pengusaha Tionghoa dengan meletupkan Tragedi Mei 1998 yl. Konglomerat-hitam yang bersekongkol dengan penguasa justru berhasil selamat dari kerusuhan, setelah berhasil menggondol keluar BLBI yang dikucurkan pemerintah, tetapi mayoritas pengusaha Tionghoa yang tidak berdosa selama ini menjadi korban, dikambing-hitamkan oleh penguasa.

Baru setelah Indonesia memasuki masa reformasi/demokrasi, posisi Tionghoa di Indonesia berangsur-angsur membaik. Banyak politik, ketentuan dan UU yang berbau rasis satu persatu dicabut. Presiden Habibie mulai dengan mencabut sebutan ‘Pribumi’ dan ‘Non-Pribumi’, Presiden Gus Dur mencabut Instruksi Presiden N0.14/1967, satu Instruksi Presiden yang berusaha menghilangkan segala yang berbau Tionghoa. Dilanjutkan oleh Presiden Megawati Tahun Baru Imlek diangkat jadi hari libur nasional. Sedang Presiden SBY juga tidak mau ketinggalan, tidak hanya Konghucu kembali dinyatakan sebagai salah satu Agama sah di Indonesia, tapi juga mensahkan UU Kewarganegaraan No.12/2006 yang secara resmi mencabut UU No.62/1958 yang menimbulkan banyak masalah dengan adanya SBKRI.

Dihadapan HUKUM, Tionghoa di Indonesia tidak lagi bisa dibedakan dengan warga lain hanya karena perbedaan suku, etnis dan agama. Tionghoa akan diperlakukan sebagai Bangsa Indonesia Asli yang mempunyai hak dan kewajiban sama dengan warga lainnya. Bahkan lebih lanjut telah disahkan UU Anti-Rasialisme, untuk benar-benar menjatuhi sanksi bagi siapapun yang berbuat diskriminasi rasial.

Tapi, bagaimanakah kenyataan praktek kehidupan bermasyarakat nyata? Apakah setiap pejabat dari atas sampai kebawah, dari pusat sampai kedaerah sudah bisa mewujutkan dalam praktek kehidupan nyata? Sudah bisa memperlakukan etnis Tionghoa sama dengan warga dari suku-suku lain, ...? Tentu masih harus dilihat dan diuji dalam masa panjang.

III. Posisi Tionghoa di Indonesia sendiri.

Dalam kenyataan hidup dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kesadaran dan pikiran masing-masing, tidak mungkin digenerasi begitu saja sebagai satu kelompok yang bulat. Sejak jaman koloni Belanda, Tionghoa juga sudah terbagi dalam 3 kelompok, pertama kelompok yang pro Belanda; kedua, kelompok yang pro perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan 3. Kelompok yang tetap mempertahankan WN-Tiongkok, baik pro Kuomintang maupun pro Kongchantang (Komunis).

(5)

5

Setelah Kemerdekaan RI, yang semula pro Belanda sebagian kecil hijrah ke Belanda, yang mayoritas mutlak tinggal di Indonesia, dengan sendirinya berpihak pada RI untuk meneruskan hidup, sebagaimana juga warga Indonesia lainnya. Yang menjadi masalah kelompok ke-3, yang pro Tiongkok, setelah G30S, sebagian kecil hijrah pulang kampung kembali ke Tiongkok daratan untuk menghindari tekanan politik, sedang mayoritas mutlak tetap tinggal meneruskan hidupnya di Indonesia. Bahkan pada saat awal tahun 1980 dilaksanakan pemutihan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia), artinya bagi Tionghoa yang ditahun 1980 belum mendapatkan SBKRI bisa dapat kemudahan, juga bagi yang ingin naturanlisasi menjadi WNI, ... Sejak itulah banyak Tionghoa yang semula mempertahankan WN-Tiongkok berubah menjadi WN-Indonesia.

Yang menjadi masalah, bagaimana menjadikan orang-orang Tionghoa yang semula mempertahankan WN-Tiongkok menjadi warganegara Indonesia yang baik. Disatu pihak orang bersangkutan harus bisa dengan rela menerima Indonesia sebagai tanahairnya, dengan kesadaran penuh itulah pilihan yang tepat untuk meneruskan hidup di Indonesia. Untuk mempercepat proses kesadaran itu, peran yang sangat menentukan adalah bagaimana sikap Pemerintah terhadap mereka. Pemerintah harus menciptakan suasana kehidupan masyarakat yang harmonis, menjamin pada setiap warga ketentraman dan keamanan yang baik dalam masyarakat. Jangan membuat suasana saling curiga-mencurigai diantara sesama warga, menuding kedekatan Tionghoa akan menjadi Kolone-5 Tiongkok, ... Lalu bagaimana dengan sementara kelompok yang begitu dekat dan akrabnya dengan kedutaan AS, misalnya? Kenapa tidak dituding akan menjadi Kolone-5 AS? Perang Dingin sudah puluhan tahun berakhir, tidak seharusnya kembali membuat suasana menjadi tegang, dengan saling menuduh begitu. Tapi, yang pasti kebijakan berbau rasis untuk mendahulukan sekelompok ras-suku dengan menyisihkan ras-suku yang lain benar-benar harus diakhiri! Harus bisa memperlakukan sama setiap warga, hak dan kewajiban, sekalipun kenyataan berbeda-beda, ya beda ras, ya beda suku, ya beda etnis, maupun beda Agama yang dianut.

Dikatakan 700 organisasi Tionghoa yang harus dibubarkan? Entah termasuk INTI dan PSMTI atau tidak? Adakah diantara organisasi Tionghoa itu melakukan kegiatan politik? Nampaknya TIDAK ada! Yang saya ketahui, umumnya organisasi-Tionghoa sampai segitu banyaknya, hanya sekadar ngumpul berdasarkan kampung halaman asal mereka, seperti Fu Ching, Hokian, Khe, Tiao Chu, ... bahkan berdasarkan marga saja, makanya sampai sebegitu banyak. Mereka berorganisasi untuk melangsungkan saling bantu, bersifat sosial, ... apa salahnya? Hanya karena mereka lebih suka menggunakan bahasa Tionghoa atau dialek asal kampung mereka? Atau mau disalahkan karena mereka lebih suka berpesta-pora ditengah-tengah rakyat Indonesia yang masih papa-miskin?

(6)

6

Bukankah akan lebih bijaksana seandainya mengarahkan organisasi mereka itu untuk kepentingan sosial, yang lebih berarti dan bermanfaat bagi masyarakat daripada secara provokatif menyerukan “BUBARKAN Organisasi Tionghoa!”

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dan dokumentasi gambar yang diperoleh bahwa mural tersebut diatas memiliki karakter tersendiri dibanding mural lainnya. Adapun Mural

Sebagai komunitas gereja dan pribadi, kita bisa berpaling kepada Sang Hidup dengan mengambil waktu teduh dan berdoa, mengu- rangi suara yang menghalangi kita

Pada perbandingan antara pasien dengan kelenturan antrioventrikuler (Cn) ≤4 mL/mmHg dan yang >4 mmHg menunjukkan data yang homogen, factor usia, jenis kelamin,

Untuk informasi kesehatan dan keselamatan untuk komponen masing-masing yang digunakan dalam proses manufaktur, mengacu ke lembar data keselamatan yang sesuai untuk

Pada saat yang sama dengan sampling auditor harus menerima resiko bahwa sampel yang dipilih tidak benar- benar mencerminkan populasi yaitu bahwa karakteristik yang

melaksanakan fungsi represif dengan membawa pelaku ke pengadilan, melainkan juga tidak berhasil mengendalikan laju peningkatan tindak pidana korupsi.. 43 tindak pidana

Tujuan umum dari penelitian ini merujuk pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian adalah mengembangkan pembelajaran pada konsep fotosintesis untuk siswa SMP