• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kota

Kota adalah suatu wilayah yang akan terus tumbuh seiring dengan waktu baik dari segi pembangunan fisik maupun non fisik. Menurut Simond (1983), kota merupakan lanskap buatan manusia yang terjadi akibat aktifitas manusia dalam mengelola lingkungan untuk memenuhi keperluan hidupnya. Dalam hal ini, kota diartikan sebagai suatu tempat yang memiliki penduduk lebih banyak daripada di desa dengan sarana dan prasarana yang juga lengkap untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Lanskap kota atau lanskap buatan tersebut didominasi oleh bangunan yang juga berfungsi sebagai pusatnya (Eckbo, 1964). Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Lanskap kota terjadi karena adanya pengorganisasian ruang yang merupakan cerminan dari kegiatan masyarakat setiap hari.

Kota memiliki berbagai unsur dan komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan dan prasarana umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Disamping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada saat unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995).

Sementara Rapoport (1985), menggunakan beberapa kriteria untuk mendefinisikan suatu kota, yaitu berukuran dan berpenduduk besar, bersifat permanen, memiliki kepadatan minimum, memiliki struktur dan pola dasar, tempat orang melakukan aktivitasnya, mempunyai sarana dan prasarana kota, masyarakat heterogen, sebagai pusat kegiatan ekonomi, pelayanan dan difusi sesuai dengan zaman dan daerahnya.

(2)

Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan dimana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala dimana pengembangan kawasan terbangun dapat dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit dimana peruntukkannya hanya untuk menjaga kualitas alam, sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi kelestarian alam.

Kota-kota di Indonesia mulai berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Peningkatan kegiatan perekonomian dan peningkatan kesejahteraan penduduk merupakan faktor utama yang meningkatkan pembangunan di perkotaan, termasuk di Indonesia. Pembangunan kota secara fisik mempunyai dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif antara lain kelancaran dan efisiensi kegiatan perekonomian yang diakibatkan oleh pembangunan berbagai fasilitas industri dan transportasi, serta pembangunan berbagai fasilitas sosial, seperti rumah sakit dan sekolah. Dampak negatif yang terjadi terutama adalah menurunnya kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkan kemampuan lingkungan perkotaan dalam dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang dibangun (Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto, 1998).

Ambarwati (2005) dalam Haris (2006) menyatakan penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan, adalah masalah perubahan cuaca dan iklim, terutama dalam hal peningkatan suhu, pencemaran udara, menurunnya permukaaan air tanah, banjir, intrusi air laut, serta meningkatnya kandungan logam berat dalam tanah. Masalah ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi dan sebagainya.

Kecepatan perkembangan kota sangat ditentukan oleh faktor-faktor percepatannya, yaitu jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang keduanya mempunyai sifat berkembang (Sujarto, 1991). Perubahan kedua faktor akan menyebabkan perkembangan aspek lainnya yang sebagian besar

(3)

membutuhkan ruang, sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkan ruang yang suplainya dari waktu ke waktu relatif tetap.

Kota mempunyai sejarah pembangunan dan pengembangan yang panjang dan kompleks. Semua kota umumnya dibangun dengan suatu perencanaan menurut kebutuhannya masing-masing yaitu sesuai dengan perubahan dinamika yang dialaminya, terutama, yang menyangkut berbagai aspek keragaman fisik wilayah, fungsi, tata letak, dan rancang bangunnya. (Anwar, 1994; Tim IPB, 1993

dalam Nurisjah, 2002).

Kota memiliki spesialisasi dalam fungsi dan kepentingan kota berdasarkan sumberdaya potensial yang dapat dimiliki atau diusahakan, terutama aspek ekonomi, telah mengubah pemikiran dalam perancangan dan pembangunan kota. Kota-kota ini selanjutnya dirancang dalam usaha mencapai tujuannya, seperti untuk kepentingan industri, wisata, perdagangan, pengembangan iptek, pendidikan, dan berbagai bentuk kota lainnya. (Lynch, 1995 dalam Nurisjah, 2002)

Lingkungan perkotaan hanya berkembang secara ekonomi namun menurun secara ekologis, padahal keseimbangan lingkungan perkotaan secara ekologi sama pentingnya dengan perkembangan nilai ekonomi kawasan perkotaan. Untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama yang berkaitan dengan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warga kota, perlu dilakukan perencanaan dan penataan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kebutuhannya. Salah satunya adalah perencanaan RTH yang sesuai dengan kebutuhan kota terkait.

2.2. Kota Dataran rendah

Kota Dataran rendah adalah salah satu bentuk tipologi kota yang terletak di antara kota pantai dan kota pegunungan yang umumnya berada di dataran tinggi. Dataran rendah adalah tanah yang keadaannya relatif datar dan luas sampai ketinggian 400 m dpl. Dataran rendah di Indonesia umumnya merupakan hasil sedimentasi sungai (alluvial). Tanah alluvial biasanya berhadapan dengan pantai landai dan tanahnya subur dan sangat baik untuk pertanian, perkebunan, dan industri, sehingga kota-kota dataran rendah umumnya berpenduduk padat (Anwas,

(4)

2006). Suhu udaranya berkisar antara 22 °C – 27 °C, sehingga termasuk daerah bersuhu panas.

Dataran rendah memiliki tanah relatif luas, relatif subur, dan mempunyai cadangan air yang cukup. Semua itu mendukung pertumbuhan daerah dataran rendah menjadi sebuah kota dan menjadi pusat aktivitas dari kota tersebut. Oleh karena itu, kota dataran rendah secara umum penduduknya lebih cepat maju. Mata pencaharian penduduk lebih bervariasi, ada yang bertani, nelayan, berdagang, industri, maupun bergerak dalam bidang jasa. (Anwas, 2006).

2.3. Ruang Terbuka Hijau (RTH) 2.3.1 Pengertian dan Tujuan RTH

Simonds (1983), di dalam bukunya menyatakan bahwa ruang terbuka memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidup kota tersebut. Tanpa keberadaan ruang terbuka dalam wilayah perkotaan, maka dapat menimbulkan ketegangan mental bagi masyarakat di dalamnya. Oleh karena itu, keberadaan ruang terbuka menjadi salah satu elemen penting dalam wilayah perkotaan.

Sulistyantara (2002) dalam Putri (2006), memberikan pengertian bahwa ruang terbuka kota pada dasarnya merupakan ruang yang tidak terbangun, dan memiliki fungsi utamanya untuk menunjang tuntutan akan kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, keamanan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam. Ruang terbuka hijau merupakan ruang terbuka, yang memiliki kekhususan sifat yang dimilikinya, yaitu bahwa pengisian ruang terbuka ini lebih didominasi oleh unsur hijau (tumbuhan), sedangkan unsur lainnya yaitu struktur bangunan merupakan pengisi dalam presentase penutupan yang kecil, yaitu hanya sebesar 20%.

RTH kota merupakan salah satu bentuk ruang terbuka di suatu wilayah perkotaan yang memiliki manfaat dan fungsi yang terkait erat dengan kelestarian dan keindahan lingkungan dan juga terkait erat dengan kelestarian dan keindahan lingkungan dan juga terkait erat dengan tingkat kesehatan, kenyaman, dan kesejahteraan manusia (Nurisjah, 2002). Menurut Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau

(5)

Ruang Terbangun

Wilayah Kota

Ruang Tak Terbangun

Ruang Sirkulasi

Ruang Terbuka mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH adalah sesuatu yang difungsikan untuk ditanami tumbuh-tumbuhan. Kawasan terbuka hijau dapat berupa taman, hutan kota, trotoar jalan yang ditanami pohon, areal sawah atau perkebunan.

Kota umumnya terdiri atas ruang terbangun dan ruang terbuka. Ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area atau kawasan maupun dalam bentuk area memanjang atau jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14, 1988). RTH merupakan salah satu bentuk ruang terbuka. Keberadaan RTH sangat dibutuhkan dalam kawasan perkotaan untuk mengatasi permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan, sehingga tingkat ketersediaan RTH sebagai salah satu komponen ruang kota harus selalu diperhitungkan dalam proses perencanaan kota, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Gambar 1. Pembagian Ruang Kota

RTH adalah semua ruang terbuka yang ditanami dengan tanaman, baik yang bersifat alami, seperti padang rumput, stepa, sabana, hutan raya, maupun yang bersifat buatan seperti taman lingkungan, taman bermain, taman rekreasi, dan jalur hijau tepi jalan, serta halaman rumah (Nurisjah, 1991) dalam Idawaty, Rachman Z, Pramukanto (1998).

RTH pun sangat penting nilainya tidak hanya dari segi fisik dan sosial, tetapi juga dari penilaian ekonomi dan ekologis serta penting bagi masyarakat

(6)

sekitarnya. Dalam Perda No.6/1999 juga disebutkan bahwa RTH mempunyai peran yang penting dalam suatu kawasan perkotaan, terutama karena fungsi serta manfaatnya yang tinggi dalam memperbaiki dan meningkatkan kualitas lingkungan alami perkotaan.

Sedangkan dalam Permendagri No. 1 Tahun 2007 Pasal 2 dijelaskan pula tujuan pembentukan RTH di wilayah perkotaan, yaitu:

1. Menjaga keserasian dan keseimbangan ekosistem lingkungan perkotaan 2. Mewujudkan keseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan

buatan di perkotaan; dan

3. Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang sehat, indah, bersih, dan nyaman.

2.3.2 Fungsi dan Manfaat RTH

RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi bio-ekologis dan fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu fungsi arsitektural, sosial dan ekonomi. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi (Purnomohadi, 2006 dalam Hartini, Harintaka, Istarno, 2007)

RTH, dengan seleksi dan struktur tanaman-tanaman pengisinya serta lokasi yang tepat, dapat mengendalikan kondisi lingkungan kota sehingga penurunan kualitas lingkungan yang lebih lanjut dapat dicegah atau diminimumkan. Seleksi tanaman pengisi RTH juga dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam meningkatkan kualitas keindahan kawasan perkotaan (misalnya bentuk arsitektur pohon, warna daun dan bunganya, tata letak, dan waktu keindahan pohon atau jenis-jenis tanaman), serta untuk meningkatkan kesejahteraan sosial manusia (misalnya, untuk menarik wisatawan, kebanggaan warga kota, ketersediaan bahan yang dapat dijual, suplai oksigen atau paru-paru kota, penyangga ketersediaan air tanah, dan penambahan pengetahuan hayati).

Simond (1983) menyatakan bahwa fungsi RTH di perkotaan, antara lain: (1) Sebagai penjaga kualitas lingkungan, (2) sebagai penyumbang ruang bernapas yang segar dan keindahan visual, (3) sebagai paru-paru kota, (4) sebagai penyangga sumber air dalam tanah, (5) mencegah erosi, dan (6) unsur dan sarana

(7)

pendidikan. Sedangkan menurut Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto (1998), RTH dalam lanskap perkotaan berfungsi untuk membentuk suasana visual yang estetis, penyatu ruang serta melunakkan wajah kota, juga berfungsi sebagai paru-paru kota untuk meminimalkan pencemaran udara, dan penghasil O2, juga berfungsi sebagai daerah resapan air sehingga dapat mengurangi intrusi air laut, mereduksi dan menyaring polutan di udara, ameliorasi iklim mikro, mengurangi erosi, tempat rekreasi, dan sebagai habitat satwa liar.

Nurisjah dan Pramukanto (1995) mengemukakan RTH dapat berfungsi sebagai tempat rekreasi, olahraga, bersosialisasi, dan untuk melepaskan kejenuhan serta kemonotonan kerja. Secara ekologis, RTH dapat berfungsi untuk menciptakan iklim mikro (suplai oksigen, memperbaiki kualitas udara, dan suplai air bersih), konservasi tanah dan air, serta pelestarian habitat satwa.

Berdasarkan INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 fungsi RTH adalah sebagai berikut:

1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan.

2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan kehidupan lingkungan.

3. Sebagai sarana rekreasi.

4. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran.

5. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan, serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.

6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah.

7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. 8. Sebagai pengatur tata air.

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas manfaat langsung (tangible) seperti mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga), dan kenyaman fisik (teduh, segar), sedangkan manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible) seperti perlindungan tata air dan konservasi hayati atau keanekaragaman hayati (Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005)

(8)

2.3.3 Bentuk dan Pola RTH

Ditinjau dari tujuan pemanfaatan suatu RTH, menurut Inmendagri No. 14 tahun 1988 tentang ruang terbuka hijau, ada tujuh bentuk RTH di kawasan perkotaan, yaitu:

1. RTH yang berlokasi pasti karena adanya tujuan konservasi 2. RTH untuk keindahan kota

3. RTH karena adanya tuntutan dari fungsi tertentu, misalnya untuk lingkungan sekitar pusat olahraga

4. RTH untuk peraturan lalu lintas

5. RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan lingkungan perumahan 6. RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang

Pola RTH kota merupakan struktur RTH yang ditentukan oleh hubungan fungsional (ekologis, sosial, ekonomi, arsitektural) antar komponen pemben-tuknya. Pola RTH terdiri dari (a) RTH struktural, dan (b) RTH non struktural.

RTH struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang mempunyai pola hierarki planologis yang bersifat antroposentris. RTH tipe ini didominasi oleh fungsi-fungsi non ekologis dengan struktur RTH binaan yang berhierarkhi. Contohnya adalah struktur RTH berdasarkan fungsi sosial dalam melayani kebutuhan rekreasi luar ruang (outdoor recreation) penduduk perkotaan. Struktur RTH ini dapat dilihat melalui taman lingkungan, taman perumahan, taman kota, taman regional, dan sebagainya.

RTH non-struktural merupakan pola RTH yang dibangun oleh hubungan fungsional antar komponen pembentuknya yang umumnya tidak mengikuti pola hierarki planologis karena bersifat ekosentris. RTH tipe ini memiliki fungsi ekologis yang sangat dominan dengan struktur RTH alami. Contohnya adalah struktur RTH yang dibentuk oleh konfigurasi ekologis bentang alam perkotaan tersebut, seperti RTH kawasan lindung, RTH perbukitan yang terjal, RTH sempadan sungai, RTH sempadan danau, RTH pesisir.

Untuk suatu wilayah perkotaan, maka pola RTH kota tersebut dapat dibangun dengan mengintegrasikan dua pola RTH ini berdasarkan bobot tertinggi pada kerawanan ekologis kota (tipologi alamiah kota: kota lembah, kota

(9)

pegunungan, kota pantai, kota pulau, dan lain - lain) sehingga dihasilkan suatu pola RTH struktural.

Menurut Grey and Denneke (1986) dan Fakultas Kehutan IPB (1987) berdasarkan kriteria sasaran, fungsi penting, jenis vegetasi, intensitas manajemen, status pemilik, serta pengelolanya; komponen penyusun RTH dapat dikelompokkan ke dalam empat bentuk yaitu hutan kota, taman kota, jalur hijau kota, serta kebun dan pekarangan. Selanjutnya, menurut Nazaruddin (1994) dan Irwan (2005) sempadan sungai, sempadan pantai, dan lereng/bukit/gunung yang tersebar di dalam kota juga merupakan komponen penyusun RTH yang penting keberadaannya (Tabel 1).

Hutan Kota, menurut Grey and Denneke (1986) diartikan sebagai tempat yang ditumbuhi oleh pepohonan berasosiasi dengan vegetasi atau bentuk-bentuk lahan lainnya sehingga dapat memberikan sumbangan lingkungan hidup yang baik kepada manusia. Selain itu, menurut Departemen Kehutanan (1991), hutan kota didefinisikan sebagai suatu lahan yang bertumbuhan pohon-pohon di dalam wilayah perkotaan di tanah Negara, ataupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan air, udara, habitat, flora, dan fauna yang memiliki estetika dan dengan luas yang solid yang merupakan ruang terbuka hijau pohon-pohonan, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat yang berwenang atau berdasarkan peraturan perundangan (Perda) sebagai hutan kota.

Tabel 1. Bentuk dan Kriteria Komponen Ruang Terbuka Hijau

No Kriteria Hutan Kota Sempadan Sungai dan pantai Lereng/ Bukit/ Gunung Taman Kota Jalur Hijau Kota Halaman dan Pekarangan 1 Sasaran Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dan pertanian tanaman keras Kawasan industri dan pusat kegiatan Jalan dan Kawasan Komersial Permukiman 2 Fungsi yang penting Hidrologis dan ameliorasi iklim Perlindungan setempat dan hidrologi Hidrologi, ameliorasi iklim, dan komersial Estetika dan Produksi Oksigen Ameliorasi Iklim Produksi oksigen dan tujuan komersial

(10)

3 Vegetasi Pohon dengan tajuk dan perakaran yang intensif Pohon dengan tajuk dan perakaran yang intensif Pohon dengan tajuk dan perakaran yang intensif Tanaman Hias Tumbuhan Semua Strata Buah-buahan, tanaman hias, atau lainnya 4 Intensitas Manajemen

Rendah Sedang Rendah Tinggi Sedang Tinggi

5 Status Milik

Umum Umum Umum dan

Pribadi Umum dan Pribadi Umum Pribadi 6 Pengelola Dinas Kehutanan atau perorangan Dinas Pekerjaan Umum dan atau Pertamanan Dinas Pertamanan atau Pribadi Dinas Pertamanan atau Pribadi Dinas Pertamanan Pribadi

Sumber: Grey and Danneke, 1986; Fakultas Kehutanan IPB, 1987; Nazaruddin, 1984; dan Irwan, 2005

Sempadan sungai dan sempadan pantai menurut Keppres No. 32 tahun 1990, tentang pengelolaan Kawasan Lindung dikatergorikan sebagai kawasan lindung yang memberikan perlindungan setempat. Bentuk perlindungan sempadan sungai maupun sempadan pantai adalah menjadikan kawasan sempadan tersebut sebagai ruang bervegetasi (RTH).

Perlindungan lereng, bukit, dan gunung pada dasarnya merupakan perlindungan setempat, mengingat pemanfaatan lahan yang memiliki kelerengan terjal dikhawatirkan akan mengganngu fungsi tata air dan mengakibatkan erosi maupun tanah longsor. Bentuk perlindungan adalah dengan menjadikan kawasan lereng, bukit, dan gunung tersebut sebagai ruang bervegetasi (RTH).

Taman kota yang dimaksud adalah taman yang mempunyai vegetasi yang berfungsi utama menghasilkan oksigen yang diperlukan untuk mendukung kehidupan di perkotaan. Jenis tanaman yang akan ditanam sebaiknya dipilih jenis tanaman yang dapat memproduksi oksigen yang tinggi, sehingga taman yang bersangkutan tidak semata-mata dibangun hanya untuk keindahan saja.

Jalur hijau yang dibangun untuk menyusun RTH dapat berupa jalur beberapa meter saja sampai dengan puluhan kilometer. Jalur hijau biasanya diintegrasikan dengan ruas jalan, dengan penanaman vegetasi pada median jalan atau bahu jalan. Jenis tanaman yang ditanam tergantung pada tujuan atau fungsi tertentu, misalnya peredam kebisingan, penangkal angin, dan penghasil oksigen.

(11)

Kebun, halaman, dan pekarangan mempunyai peran penting sebagai komponen RTH, bahkan dengan sifatnya yang merupakan milik pribadi, maka upaya pemanfaatan kebun, halaman, dan pekarangan diarahkan pada penanaman vegetasi yang memiliki nilai ekonomi tinggi (buah-buahan atau hasil lainnya) dan sekaligus mampu memproduksi oksigen untuk keperluan penduduk kota.

Dikaitkan dengan kecenderungan perubahan ke arah serba beton, Irwan (2005) mengatakan bahwa kecenderungan tersebut harus diimbangi dengan pengembangan lingkungan atau lanskap yang bertumpu pada alam. Gejala yang terlihat sekarang adalah lahan-lahan hijau selalu menjadi korban dan berubah menjadi beton, taman-taman banyak yang berubah fungsi. Untuk itu, orientasi perencanaan tata ruang perlu pula diimbangi dengan perencanaan keberadaan RTH.

Dalam rencana pembangunan dan pengembangan RTH yang fungsional suatu wilayah perkotaan, ada 4 (empat) hal utama yang harus diperhatikan yaitu:

1. Luas RTH minimum yang diperlukan dalam suatu wilayah perkotaan di-tentukan secara komposit oleh tiga komponen berikut ini, yaitu:

a) Kapasitas atau daya dukung alami wilayah

b) Kebutuhan per kapita (kenyamanan, kesehatan, dan bentuk pelayanan lainnya

c) Arah dan tujuan pembangunan kota

2. Lokasi lahan kota yang potensial dan tersedia untuk RTH

3. Sruktur dan pola RTH yang akan dikembangkan (bentuk, konfigurasi, dan distribusi)

4. Seleksi tanaman sesuai kepentingan dan tujuan pembangunan kota.

Pemerintah Republik Indonesia menetapkan luas minimum RTH melalui Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 9 yang menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota. Proporsi tersebut merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat, maupun sistem ekologis lain. Selain itu, dapat juga dilakukan perhitungan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk dan berdasarkan isu penting yang dihadapi suatu kota, seperti kebutuhan oksigen dan air untuk warga kota.

(12)

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi atau dengan kata lain SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk menangani data yang bereferensi keruangan (spasial) bersamaan dengan seperangkat operasi kerja (Barus dan Wiradisastra, 2000). Definisi lain diberikan oleh Prahasta (2001) yang mendefinisikan bahwa SIG merupakan alat bantu yang sangat penting dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan spasial. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis.

Terdapat empat komponen penting yang saling berkaitan bila bekerja dengan Sistem Informasi Geografi, yaitu sebagai berikut:

1. Hardware (perangkat keras), merupakan wadah komputer yang berfungsi untuk mengoperasikan Sistem Informasi Geografi

2. Software, merupakan perangkat lunak yang berfungsi untuk menganalisis informasi geografi

3. Data dan metadata, yang berupa data tabular dan spasial. SIG akan mengintegrasikan data spasial dengan sumber data lainnya dan kemudian dapat mengatur dan menyimpan data dalam bentuk data spasial maupun non spasial

4. Manusia, merupakan komponen penting yang mengatur sistem dan membangun rencana untuk mengaplikasikannya.

SIG mampu mendekripsikan objek permukaan bumi dalam hal:

1. Spasial, yaitu data yang berkaitan dengan koordinat geografis (lintang, bujur, dan ketinggian)

2. Atribut, yaitu data yang tidak berkaitan dengan posisi geografis 3. Hubungan antara data spasial, atribut, dan waktu

Salah satu aktivitas penting dalam kegiatan Sistem Informasi Geografi adalah pengisian basis data berupa digitasi dan memasukkan angka, kemudian analisa dapat dilakukan setelah basis data tersedia. Pemasukan data ke dalam

(13)

sistem adalah data input diubah menjadi format data digital agar dapat disimpan dan dimanipulasi.

2.5. Penginderaan Jauh dan Analisis Citra

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Komponen dasar suatu sistem pengindearaan jauh lokal ditunjukkan dengan adanya suatu sumber tenaga yang seragam, atsmosfer yang tidak mengganggu, sensor sempurna, serangkaian interaksi yang unik antara tenaga dengan benda di muka bumi, sistem pengolahan data tepat waktu, berbagai penggunaan data (Lillesand dan Kiefer, 1979).

Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai obyek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Tujuan utama penginderaan jauh adalah untuk mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungan. Biasanya teknik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan, dan bidang-bidang lainnya.

Satelit pengindraan jauh yang sering digunakan adalah untuk melihat penutupan lahan adalah satelit Landsat. Citra landsat komposit warna cocok digunakan untuk menduga cakupan lahan dan penggunaannnya. Salah satu sensor dari satelit landsat adalah sensor TM (Thematic Mapper), yang memiliki resolusi spasial 30 x 30 meter dengan karakteristik tertentu.

Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1979), dibagi ke dalam dua klasifikasi yaitu klasifikasi terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification). Proses pengklasifikasian klasifikasi terbimbing dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Pada klasifikasi tidak terbimbing,

(14)

pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi kedalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokkan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan Kelas-kelas-Kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.

Citra satelit dan foto udara merupakan hasil dari penginderaan jauh yang dapat diintegrasikan ke dalam SIG dengan beberapa cara. Cara pengintegrasian tersebut dapat ditempuh dengan foto udara discan, digitasi peta rupa bumi, menggunakan perangkat lunak pengolah citra dan datanya dikonversi ke dalam format SIG, atau langsung menggunakan perangkat lunak SIG seteah citra di digeoreferensi. Hasilnya dapat berupa data vektor maupun data raster.

Saat ini semakin banyak sistem satelit penginderaan jarak jauh yang telah membuat kemajuan yang sangat spektakuler di bidang penginderaan jauh, sehingga menghasilkan data input untuk SIG. Data input SIG dapat beragam jenis formatnya. Salah satu contohnya adalah informasi yang diperoleh melalui pemanfaatan penginderaan jauh baik berupa hasil interpretasi foto udara maupun dari penerapan metode citra digital yang dikonversikan ke dalam teknologi SIG. Dengan berbasis kepada georeference dalam SIG, dimungkinkan adanya penggabungan beragam informasi, baik data spasial maupun deskriptif.

http://jentonmelawon.blogspot.com/2007/05/aplikasi-citra-landsat-pada-gis.html

2.6. Penggunaan dan Penutupan Lahan

Istilah penggunaan lahan menunjukkan hasil pekerjaan manusia pada suatu lahan. Arsyad (2000) mengemukakan bahwa penggunaan lahan diartikan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian (tegalan, kebun, sawah, hutan, dan sebagainya) dan penggunaan bukan pertanian (permukiman, industri, rekreasi, pertambangan, dan sebagainya). Sedangkan istilah penutupan lahan menunjukkan pada perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut, misalnya badan

(15)

air, hutan (vegetasi), batuan, tanah, struktur buatan manusia, dan sebagainya. (Sherbinin dalam Putri, 2006)

Dalam Turner dan Meyer, 1994 dijelaskan bahwa perubahan penutupan dan penggunaan lahan merupakan kombinasi dari hasil interaksi faktor sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Manusia menjadi faktor utama terbentuknya berbagai macam pola penggunaan dan penutupan lahan serta terhadap perubahan-perubahannya sebagai akibat dari aktivitas manusia di atas permukaan bumi.

Di perkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi permukiman, industri, infrastruktur kota. Perubahan demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya. (Grigg, 1984

dalam Sitorus, 2004).

Perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982), dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia, seperti dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri-ciri permukiman, penduduk, pola lapangan kerja, dan pola pemanfaatan sumber daya yang ada.

Dilihat dari sistem keruangan kota, penggunaan lahan memiliki peran yang berpengaruh terhadap pola tata ruang suatu wilayah. Yunus (2004) menjelaskan bahwa pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota tergantung dari beberapa faktor. Kemudahan transportasi dan komunikasi dari dan ke daerah-daerah di sekitar kota utama, kondisi topografi, kondisi hidrografis merupakan beberapa faktor yang menentukan pengaruh penggunaan lahan terhadap pola tata ruang kota.

Gambar

Tabel 1. Bentuk dan Kriteria Komponen Ruang Terbuka Hijau

Referensi

Dokumen terkait

Pemuda Pancasila adalah merapatnya kepada pemerintah yang sedang memegang kekuasaan dan juga kepentingan proyek yang di berikan oleh Risma ketika Risma berhasil menjadi

Kegiatan refleksi dilakukan setelah melakukan proses belajar pembelajaran. Evaluasi dilakukan sebanyak 2 kali tiap pertemuan. Kegiatan refleksi dilakukan berdasarkan

Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian tersebut mengatakan bahwa, untuk aspal cair jenis MC-250 yang digunakan sebagai tack coat pada perkerasan lama-baru dengan

Dengan keteladanan yang dimiliki, guru diharapkan mampu mengetahui nilai-nilai karakter yang harus diajarkannya kepada peserta didik, memahami bagaimana

Berdasarkan hasil penelitia n diperoleh nilai rata-rata postes kelas eksperimen 79,3 dengan standar deviasi 10,9 dan kelas kontrol 59,1 dengan standar deviasi 9,72, sehingga

Setelah dilakukan perekapan data dan analisa pada tabel distribusi frekuensi yang berhasil dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner kepada para responden untuk mengetahui distribusi

Sejumlah kelompok serangga seperti kumbang (terutama kumbang pupuk), semut, kupu-kupu dan rayap memberikan respons yang khas terhadap tingkat kerusakan hutan sehingga memiliki

Hasil penelitian di kelas X MIA 2 SMA Batik 1 Surakarta menunjukkan setiap aspek keterampilan proses sains peserta didik meningkat dan miskonsepsi peserta didik pada