BAB VIII
ALTERNATIF MODEL PENATAAN PKL
DI KOTA TASIKMALAYA
8.1Analisis Keterkaitan Karakteristik PKL, Kebijakan Penataan Ruang
tentang Penataan PKL, dan Aspirasi Masyarakat tentang Model Penataan PKL
PKL Kota Tasikmalaya, sama halnya dengan PKL di kota-kota lain menggunakan trotoar sebagai tempat yang digunakan untuk melakukan perdagangan. Trotoar yang merupakan ruang publik (public space), kini bukan hanya berperan sebagai ruang pergerakan masyarakat, namun juga ruang pertukaran (Adianto dan Dewi, 2004).
Trotoar merupakan ruang publik yang bersifat common property, dimana ruang ini merupakan sumber daya dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumber daya yang dikelola bersama (Fauzi, 2006). Sehingga semua masyarakat merasa memiliki hak untuk menggunakan trotoar, begitu pula dengan PKL di Kota Tasikmalaya.
Penggunaan trotoar ini diatur dalam Perda No. 7 Tahun 2005 tentang ketentraman dan ketertiban umum, dimana di atas trotoar tidak boleh dibangun kegiatan perdagangan, dan sebagainya. Di sisi lain, dalam RDTR BWK I terdapat arahan ruas-ruas jalan yang diperbolehkan bagi PKL untuk melakukan kegiatan perdagangan. Kelemahan dari kebijakan-kebijakan ini adalah tidak adanya peraturan zonasi (zoning regulation) sebagai pengendalian pemanfaatan ruang dari arahan tersebut.
Di sisi lain, PKL Kota Tasikmalaya memiliki kelembagaan yang kuat diantara mereka yang dituangkan dalam lembaga berupa himpunan-himpunan PKL yang memiliki aturan-aturan didalamnya. Timbulnya lembaga-lembaga itu karena adanya kapital sosial yang tinggi diantara mereka, yaitu hubungan-hubungan sosial (relasional) dan rasa saling percaya (trust) diantara PKL. Bahkan hubungan itu juga terjalin dengan pedagang formal walaupun prosentasenya kecil. Timbulnya kapital sosial itu akibat adanya rasa takut diantara mereka, sehingga memerlukan adanya suatu kepercayaan dan perlunya kerjasama diantara
mereka akibat penggunaan ruang publik ini. Sehingga keberadaaan PKL itu semakin kuat karena adanya rasa kebersamaan.
Penataan PKL tentu saja terkait dengan penggunaan ruang publik yang digunakan oleh PKL untuk berdagang. Ruang publik yang digunakan tergolong common pool resources yang merupakan sumber daya bersama dimana pengelolaannya harus diatur oleh lembaga tertentu.
Penggunaan trotoar sebagai common pool resources memerlukan kelembagaan agar tidak menimbulkan konflik. Trotoar yang digunakan untuk kegiatan berdagang PKL harus dikelola secara bersama agar kebersihan, kenyamanan, dan keberlanjutan dari ruang publik tetap terjaga. Dengan kelembagaan yang dimiliki oleh PKL berupa himpunan-himpunan pedagang kaki lima di tiap ruas jalan, mereka seharusnya dapat diberi izin untuk melakukan penataan dengan aturan-aturan pemanfaatan dan pengendalian penggunaan trotoar.
Agar trotoar itu bisa menjadi common property, maka tentunya harus ada kerjasama antara PKL, pedagang formal, dan masyarakat dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang dimana Pemerintah Kota Tasikmalaya berperan sebagai fasilitator. Hal ini sesuai dengan aspirasi berbagai pihak (stakeholder) dimana dalam setiap tahapan proses penataan ruang, PKL harus ikut berperanserta aktif.
Walau demikian, perubahan fungsi trotoar menjadi tempat berdagang bagi PKL tentunya berdampak negatif bagi pihak lain diantaranya terganggunya fungsi pejalan kaki, terganggunya arus lalu lintas, kesemrawutan, dan sebagainya. Untuk itu, perlu suatu pengendalian agar perubahan fungsi yang terjadi tidak terlalu besar.
Dengan demikian, walaupun penataan trotoar untuk PKL dikelola oleh himpunan-himpunan PKL tentu saja harus melibatkan pedagang formal yang lokasi halaman tokonya digunakan oleh PKL, dan peran pemerintah sebagai fasilitator.
Kelembagaan yang ada harus mengatur mengenai keanggotaan dari pengelola kegiatan ini. Anggota pengelola trotoar yang digunakan oleh PKL Tasikmalaya diantaranya ketua himpunan PKL dan perwakilan pedagang formal tiap ruas jalan. Kelembagaan itu akan mengatur jumlah PKL yang berhak
melakukan perdagangan yaitu PKL yang saat ini merupakan anggota himpunan agar jumlah PKL tidak semakin bertambah, aturan-aturan mengenai kegiatan berdagang, dan sebagainya.
Agar keberlanjutan fungsi trotoar ini tidak terganggu, maka selain perlu rencana tata ruang untuk kegiatan PKL juga perlu pengaturan zonasi (zoning regulation) dalam pengendalian pemanfaatan ruang yang digunakan.
8.2Pengaturan Zonasi (Zoning Regulation) dalam Penataan PKL
Pengaturan zonasi (zoning regulation) merupakan instrumen pengendalian pemanfaatan ruang. Timbulnya kesemrawutan akibat penggunaan trotoar oleh PKL akibat tidak adanya arahan untuk sektor informal ini dalam rencana tata ruang kota dan tidak adanya pengaturan zonasi sebagai pengendali kegiatan yang ada di kota.
Penataan PKL di Kota Tasikmalaya bisa dilakukan dengan menentukan arahan lokasi untuk PKL disertai pengaturan zonasi (zoning regulation) tiap ruas jalan yang digunakan oleh PKL. Dalam menentukan arahan lokasi yang diperbolehkan untuk PKL harus mempertimbangkan berbagai aspek.
Pengaturan zonasi PKL sama halnya dengan pengaturan zonasi dalam menyusun rencana tata ruang kota, yaitu harus memuat :
1. Ketentuan tentang prosedur pengembangan lahan
Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam prosedur pengembangan lahan antara lain tentang kelembagaan yang terkait dengan penyelenggaraan penataan ruang, jenis-jenis perizinan dan proses pengambilan keputusannya, prosedur penyesuaian rencana dan banyak prosedur lainnya.
Terkait dengan penataan PKL Kota Tasikmalaya, kelembagaan yang mengatur ialah ketua-ketua himpunan PKL dan perwakilan pedagang formal. Kelembagaan itu harus membuat aturan mengenai siapa saja yang berhak memanfaatkan trotoar, pembatasan jumlah PKL, pengalihan kepemilikan lapak, jenis dagangan yang diperbolehkan pada tiap ruas jalan, dan sebagainya. Selain itu, juga harus dirumuskan prosedur perizinan agar mereka mendapatkan izin melakukan kegiatan berdagang yang tentunya difasilitasi oleh pemerintah.
2. Ketentuan tentang zoning
Pada dasarnya materi yang terkandung dalam ketentuan zoning dalam pengendalian rencana tata ruang kota mencakup : 1). Penetapan zonasi; 2). Aplikasi ruang; 3). Ketentuan teknis perpetakan; dan 4). Peraturan umum.
Begitu pula dengan penataan PKL Kota Tasikmalaya diperlukan ketentuan zoning diantaranya:
1) Penentuan zonasi yang boleh dilakukan untuk kegiatan berdagang disertai tujuannya
2) Aplikasi ruang tiap ruas jalan, mengatur jumlah lapak yang diperbolehkan di tiap ruas jalan, jenis dagangan tiap ruas jalan, dan waktu melakukan perdagangan.
3) Ketentuan teknis perpetakan yaitu mengatur lebar, tinggi, dan panjang lapak yang diperbolehkan sebagai sarana berdagang PKL, jarak antar lapak, jenis sarananya (bangku, gerobak/roda, tenda).
Pengaturan zonasi PKL Kota Tasikmalaya disesuaikan dengan jenis dagangan yang ada di tiap ruas jalan. Berdasarkan hal itu, penataan PKL di Kota Tasikmalaya bia dilakukan dengan penataan setempat (in-situ) atau relokasi (eks-situ).
8.3Alternatif Model Penataan PKL di Kota Tasikmalaya
Berdasarkan uraian sebelumnya, alternatif model penataan PKL di Kota Tasikmalaya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : Relokasi In-Situ dan Relokasi Eks-Situ.
1. Relokasi In-Situ, yaitu penataan yang bersifat pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktiu berjualan. Dalam model penataan ini ada beberapa variabel yang dipertimbangkan yaitu:
a. sarana dan prasarana yang digunakan. b. kenyamanan masyarakat.
c. adanya kompetisi dengan pedagang formal. d. interaksi dengan pedagang formal.
Berdasarkan karakteristik PKL, kebijakan yang ada, dan aspirasi masyarakat tentang penataan PKL Kota Tasikmalaya dihasilkan ruas jalan yang diperbolehkan untuk PKL beserta jenis penataannya yang disajikan pada Tabel 35.
Tabel 35 Jenis Penataan PKL Berdasarkan Modifikasi Kondisi Saat Ini, Kebijakan yang ada, dan Aspirasi Masyarakat
No. Nama Jalan Variabel Jenis Penataan
1. - Jl. KHZ. Mustofa - Jl. Veteran
8.Menggunakan trotoar dan bahu jalan 9.Masyarakat tidak keberatan
10. Tidak ada kompetisi dengan pedagang formal
11. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
12. Rute angkutan umum dapat
mencapai daerah ini
13. Tidak menimbulkan kemacetan 14. Jenis dagangan sesuai eksisting 15. Tidak menghabiskan tro-toar 16. Tidak menggunakan ba-hu jalan
2. Jl. Cihideung 17. Menggunakan trotoar dan
bahu jalan
18. Terdapat dua jalur dalam
satu bagian trotoar
19. Pejalan kaki terganggu
karena trotoar dan bahu jalan digunakan PKL
20. Masyarakat tidak keberatan 21. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
22. Ada interaksi dengan
pedagang formal 23. Tidak menimbulkan kemacetan 24. Jenis dagangan sandang 25. Tidak menghabiskan tro-toar 26. PKL yang
memakai bahu jalan direlokasi ke Selakaso
3. Jl. Cihideung Balong 27. Menggunakan trotoar jalan 28. Masyarakat tidak keberatan 29. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
30. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
31. Rute angkutan umum
melewati daerah ini
32. Tidak menimbulkan kemacetan 33. Jenis dagangan elektro-nik 34. Tidak menghabiskan tro-toar
4. Jl. Tentara Pelajar 35. Tidak ada PKL yang
berjualan
36. Rute angkutan umum
banyak yang lewat daerah ini
37. Cenderung menimbulkan
kemacetan
38. Tidak ada aspirasi
masyarakat yang menginginkan PKL disini
Tidak memungkinkan PKL untuk berjualan karena akan menimbul-kan kemacetan akibat banyaknya rute angkutan umum yang lewat
5. Jl. Pataruman 39. Menggunakan trotoar
40. Masyarakat tidak keberatan 41. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
42. Tidak ada interaksi dengan
43. Pengaturan
waktu jualan (time sharing)
44. Pagi hari untuk
No. Nama Jalan Variabel Jenis Penataan
pedagang formal (pisang) dan malam hari
untuk makanan dan minuman
6. - Jl. Sukawarni - Jl. Empang Sari
45. Tidak ada PKL
46. Lebar jalan sempit
47. Akses angkutan umum tidak ada yang langsung melewati daerah ini
Tidak memungkinkan PKL untuk berjualan ka-rena lebar jalan sempit sehingga mengganggu kenyamanan pejalan kaki 7. - Jl. Yudanegara
- Jl. Empang
48. Menggunakan trotoar dan
halaman bangunan
49. Masyarakat tidak keberatan 50. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
51. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
52. Rute angkutan umum dapat
mencapai daerah ini
53. Tidak menimbulkan
kemacetan
54. Jenis dagangan
makanan dan minuman
55. Tidak
menghabiskan tro-toar
56. Tidak
menggunakan ba-hu jalan
8. Jl. Pasar Kidul 57. Menggunakan trotoar dan
bahu jalan
58. Sarana yang ada sudah
permanen
59. Dikelola oleh swasta 60. Masyarakat tidak keberatan
61. Ada kompetisi dengan
pedagang formal
62. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
63. Rute angkutan umum dapat
mencapai daerah ini
64. Menimbulkan kemacetan
65. Jenis dagangan
buah-buah dan sepeda
66. Perlu melibatkan
peda-gang formal dalam penataan PKL
9. Jl. Pasar Wetan 67. Menggunakan trotoar
68. Masyarakat tidak keberatan 69. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
70. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
71. Rute angkutan umum dapat
mencapai daerah ini
72. Tidak menimbulkan kemacetan 73. Jenis dagangan buah-buahan 74. Tidak menghabiskan tro-toar 75. Tidak menggunakan ba-hu jalan
10. Jl. Bekas Rel 76. Menggunakan trotoar dan
bahu jalan
77. Sarana yang digunakan
sudah permanen
78. Dikelola oleh swasta 79. Masyarakat tidak keberatan
80. Ada kompetisi dengan
pedagang formal
81. Ada interaksi dengan
pedagang formal
82. Rute angkutan umum dapat
mencapai daerah ini
83. Menimbulkan kemacetan
84. Jenis dagangan
sembako
85. Perlu pelibatan
pedagang formal dalam penataan
11. Jl. Pasar Baru 86. Menggunakan trotoar dan
bahu jalan
94. Jenis dagangan
No. Nama Jalan Variabel Jenis Penataan
87. Sarana yang digunakan
sudah permanen
88. Dikelola oleh swasta 89. Masyarakat tidak keberatan 90. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
91. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
92. Rute angkutan umum dapat
mencapai daerah ini
93. Tidak menimbulkan
kemacetan
95. Perlu pelibatan
pedagang formal dalam penataan
12. Jl. Pasar Lama 96. Menggunakan trotoar dan
bahu jalan
97. Sarana yang digunakan
sudah permanen
98. Dikelola oleh swasta 99. Masyarakat tidak keberatan 100. Tidak ada kompetisi dengan
pedagang formal
101. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
102. Rute angkutan umum dapat mencapai daerah ini
103. Tidak menimbulkan
kemacetan
104. Jenis dagangan
makanan dan minuman
105. Berdagang
sesuai lapak yang sudah ditentukan
13. Jl. Empang Sari 106. Tidak ada PKL yang
berjualan
107. Akses ke tempat ini susah 108. Lebar trotoar sempit
Tidak memungkinkan PKL untuk berjualan karena lebar jalan sempit sehingga dapat meng-ganggu kenyamanan pejalan kaki
14. Jl. Pemuda dan Jl. Otto Iskandar Dinata
109. Tidak ada PKL yang
berjualan
110. Terdapat kantor Bupati
Kabupaten Tasikmalaya, Bapeda Kabupaten Tasikmalaya, Kodim, dsb.
111. Merupakan jalan protokol/ propinsi
112. Menimbulkan kemacetan
PKL tidak dapat berjualan karena dapat menimbulkan kemacetan
15. Jl. RSU 113. Menggunakan trotoar
114. Konsumen tidak keberatan
115. Ada kompetisi dengan
pedagang formal
116. Tidak ada interaksi dengan pedagang formal
117. Rute angkutan umum dapat mencapai daerah ini
118. Dapat menimbulkan
kemacetan
119. Jenis dagangan
makanan, minuman, dan buah-buahan 120. Tidak menghabiskan tro-toar 121. Tidak menggunakan ba-hu jalan
16. Jl. Dadaha 122. Menggunakan trotoar dan
parkir
123. Masyarakat tidak keberatan, kecuali yang berupa kafe
124. Tidak ada kompetisi dengan pedagang formal
128. Jenis dagangan
yang mendukung kegiatan oleharaga, yaitu makanan dan minuman serta akse-soris untuk olahraga
No. Nama Jalan Variabel Jenis Penataan 125. Tidak ada interaksi dengan
pedagang formal
126. Rute angkutan umum dapat mencapai daerah ini
127. Daerah ini sebagai sarana olahraga 129. Tidak menghabiskan tro-toar 130. Tidak mengganggu fung-si parkir
Untuk menerapkan alternatif model ini ada beberapa hal sebagai prasayarat agar alternatif ini bisa dilaksanakan diantaranya :
a. PKL yang memperoleh sumber modal dari rentenir harus mendapat bantuan dan pembinaan dari pemerintah.
b. Bagi PKL yang direlokasi ke lokasi lain harus mendapat pengawasan baik dari PKL, pemerintah maupun masyarakat.
c. Kebijakan pemerintah harus diubah dari top-down menjadi partisipatif, dimana pemerintah sebagai fasilitator.
d. Dalam melaksanakan perencanaan dan pengendalian ruang PKL, sesuai aspirasi masyarakat maka PKL harus diikutsertakan karena mempunyai peran yang besar disamping pemerintah.
e. Sesuai aspirasi masyarakat, dalam pemanfaatan ruang PKL dan masyarakat mempunyai peran yang besar untuk ikutserta.
f. Tetap mempertahankan rute angkutan umum yang ada.
g. Perlu perubahan peraturan yang melarang PKL menggunakan trotoar menjadi boleh menggunakan trotoar asal tidak mengganggu fungsi lokasi untuk pejalan kaki.
Disamping prasyarat di atas, seperti telah disebutkan sebelumnya perlu pengaturan zonasi sebagai instrumen dalam pengendalian pemanfaatan ruang, diantaranya:
a. Yang mengelola penggunaan trotoar adalah ketua PKL, perwakilan pedagang formal yang memiliki interaksi dengan PKL yang tergabung dalam suatu wadah lembaga, yang berhak memanfaatkan trotoar untuk berdagang adalah PKL yang merupakan anggota himpunan, pembatasan jumlah PKL berdasarkan ruang tiap jalan, larangan pengalihan kepemilikan lapak, jenis dagangan yang diperbolehkan pada tiap ruas jalan berdasarkan dominasi yang ada saat ini.
b. Penentuan zonasi yang boleh dilakukan untuk kegiatan berdagang, yaitu: ruas Jalan KHZ Mustofa (mulai dari Jl. Sukawarni hingga Jl. Nagarawangi dengan jenis dagangan non maknaan dan minuman), Jl. Cihideung, Jl. Cihideung Balong, Jl. Tentara Pelajar, Jl. Pataruman, Jl. Yudanegara, Jl. Bekas Rel, Jl. Pasar Kidul, Jl. Pasar Wetan, Jl. Pasar Lama, Jl. Pasar Baru, Jl. Empang, dan Jl. RSU.
c. Jumlah lapak yang diperbolehkan di tiap ruas jalan dihitung berdasarkan panjang jalan dikurangi area yang digunakan toko dibagi panjang lapak (1,5 meter).
d. Pengaturan waktu melakukan perdagangan, yaitu di luar jam sibuk (pick hour) dari jam 08.00 hingga 15.00 bagi pedagang yang berjualan pagi hingga sore, sedangkan pedagang yang berjualan malam dari jam 17.00 hingga jam 04.00 dan harus sudah rapi.
e. Untuk pedagang makanan harus memenuhi syarat kesehatan/higienis dan ditempatkan di Jl. Empang untuk memudahkan pengelolaan.
f. PKL yang berada di Jl. Bekas Rel, Jl. Pasar Baru, Jl. Pasar Lama, Jl. Pasar Kidul dikelola oleh swasta seperti saat ini.
g. Ketentuan teknis mengenai lebar, tinggi, dan panjang lapak yang diperbolehkan sebagai sarana berdagang PKL jika mengadop dari aturan yang diterapkan di Fukuoka Jepang tidaklah sesuai sehingga untuk aturan di Kota Tasikmalaya, lebarnya 1 meter dan panjangnya 1,5 meter dengan jarak antar lapak minimal 75 meter, jenis sarana untuk tiap PKL tergantung jenis dagangannya, yaitu:
131. PKL asesoris, sandang, elektronik menggunakan bangku. 132. PKL makanan dan minuman menggunakan roda/tenda 133. PKL buah-buahan menggunakan roda.
2. Relokasi Eks-Situ ialah relokasi PKL ke lokasi lain yaitu memindahkan kegiatan PKL dari jalan – jalan di wilayah kota ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung para PKL. Berdasarkan aspirasi masyarakat yang didapat melalui kuesioner dan wawancara didapatkan tiga lokasi yang dapat dijadikan tempat untuk relokasi PKL, diantaranya :
a. Pasar Cikurubuk
b. Bekas Terminal Cilembang c. Kawasan Dadaha
Berdasarkan tiga lokasi ini dapat dinilai lokasi mana yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai tempat untuk relokasi PKL. Berdasarkan matriks di bawah ini, lokasi yang memungkinkan untuk relokasi PKL pusat kota adalah bekas Terminal Cilembang. Namun, tidak menutup kemungkinan lokasi-lokasi lain dijadikan lokasi untuk relokasi sehingga memudahkan pengawasan dan pengendalian kegiatan PKL.
Tabel 36 Matriks Alternatif Lokasi untuk Relokasi PKL
No. Lokasi Fakta Kemungkinan Relokasi
1. Pasar Cikurubuk 134. PKL yang ada
menempati troroar dan bahu jalan
135. Menimbulkan
kemacetan karena badan jalan terpakai
136. Pedagang formal
keberatan jika dilakukan penambahan PKL
137. Akan terjadi konflik
antara PKL lama dan pedagang formal dengan PKL baru
138. Banyak trayek
angkutan umum yang melalui lokasi ini
Tidak mungkin dijadikan lokasi untuk relokasi PKL karena akan menimbulkan kemacetan dan konflik ruang dengan PKL lama
2. Bekas Terminal Cilembang
139. Saat ini tidak
digunakan untuk peruntukkan apapun
140. Rute angkutan
umum yang lewat hanya 2 trayek
141. Masyarakat tidak
keberatan
Memungkinkan untuk dijadikan lokasi untuk relokasi PKL
3. Kawasan Dadaha 142. Merupakan sarana
olahraga
143. PKL yang ada saat
ini menggunakan trotoar dan lahan parkir
Tidak memungkinkan karena lokasi ini merupakan sarana olahraga dan PKL yang ada sekarang pun akan ditertibkan
No. Lokasi Fakta Kemungkinan Relokasi 144. Masyarakat tidak keberatan, kecuali PKL berupa kafe 145. Pemeritah Kota sedang berupayan mengembalikan fungsi utama kawasan dadaha sebagai sarana olahraga dan Ruang terbuka Hijau (RTH)
146. Sedang terjadi
konflik karena akan ada penertiban
Untuk menerapkan alternatif ini perlu tindak lanjut/prasyarat yang harus dipertimbangkan diantaranya:
a. Dalam proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian ruang PKL harus diikutsertakan.
b. Dalam proses pemanfaatan ruang, masyarakat juga ingin dilibatkan c. Kebijakan pemerintah harus diubah menjadi kebijakan yang partisipatif d. Perlu pengendalian terhadap lokasi bekas PKL agar tidak digunakan oleh PKL
baru atau PKL lama kembali ke lokasi itu
e. Perlu pengaturan trayek yang ada sehingga sumber daya ekonomi tersebar ke daerah yang baru
f. Harus ada akses yang mudah bagi masyarakat dalam maupun luar Kota Tasikmalaya ke lokasi baru
Pengaturan zonasi untuk lokasi baru hampir sama dengan model 1 hanya harus disertai pengaturan zonasi untuk lokasi bekas PKL agar PKL benar-benar tidak kembali ke tempat asal berupa aturan-aturan disertai penguatan kelembagaan yang ada di lokasi bekas PKL untuk menolak kembalinya PKL.
Kedua alternatif di atas dapat digambarkan pada Gambar 33 di bawah ini dimana pada alternatif 2 di setiap lokasi harus dibebaskan dari PKL karena pusat kota harus bersih dari PKL dan direlokasi ke tempat lain, baik di dalam Kota Tasikmalaya maupun di luar Kota Tasikmalaya.
Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa diantara kedua alternatif di atas alternatif 1 merupakan alternatif yang menjadi prioritas karena alternatif ini merupakan perpaduan antara aspirasi PKL dan masyarakat
(bottom-up) dan aspirasi dari pemerintah (top-down). Hal itu disebabkan perencanaan yang baik adalah perencanaan yang berdasarkan pendekatan partisipatif karena akan lebih menjamin penerimaan (acceptability) dari pihak-pihak yang berkepentingan yaitu PKL, masyarakat, dan pemerintah (Rustiadi, 2006: XIV-12).
Kelebihan lain dari alternatif ini, yaitu terakomodasinya aspirasi berbagai pihak akan lebih menjamin kemudahan-kemudahan di dalam pelaksanaan dan pengendalian karena adanya rasa memiliki dan tanggungjawab bersama.
Jl. Cihideung
1. Jenis dagangan Dominasi
Sandang (a1)
2. Menggunakan Totoar dan Bahu
jalan (a1)
3. Bebas PKL (a4)
Jl.Selakaso
1. Menampung PKL dari Cihideung
dan HZ (a1)
2. Menampung PKL dari Cihideung
3. Bebas PKL (a2)
Jl.Cihideung Balong
1. Jenis Dagangan elektronik dan
DVD/CD (a1)
2. Penyeragaman Lapak (a1)
3. Bebas PKL (a2)
Jl. Yudanegara
1. Jenis dagangan Makanan dan
Minuman (a1)
2. Terbatas pada Trotoar dan halaman
(a1)
3. Bebas PKL (a2)
Jl. KHZ.Mustopa
1.Dominasi dagangan Aksesoris (a1)
2.Peyeragaman lapak (a1)
3.Hanya trotoar yang mungkin (a1)
4.Bebas PKL (a2) Jl. Empang sari 1.Bebas PKL (a1,a2) Jl. Tentara Pelajar 1. Bebas PKL (a1,a2) Jl. Pataruman 1. Bebas PKL (a1,a2) Jl. RSU
1. Jenis dagangan khusus
makanan dan minuman (a1)
2. Penyeragaman Lapak (a1)
3. Menenmpati trotoar (a1)
4. Relokasi ke sekitar RSU (a2)
Kawasan Dadaha
1. Bebas PKL dikembalikan
pada fungsinya (a1,a2) Jl. Panyerutan
1.Alternatif Relokasi PKL dari
HZ (a1)
2.Penyeragaman Lapak (a1)
3.Bebas PKL (a2)
Jl. Pasar Lama
1. Jenis dagangan Dominasi
Makanan (a1)
2. Menggunakan Totoar (a1)
3. Bebas PKL (a2)
Jl.Bekas rel
1. Jenis Dagangan Dominasi
Sandang (a1)
2. Menggunakan Trotoar dan Bahu
(a1)
3. Penyeragaman Lapak (a1)
4. Bebas PKL (a2)
Jl. Pasar Baru dan Kidul
1. Pengaturan Blok untuk Jenis
dagangan tertentu (a1)
2. Menggunakan Bahu Jalan (a1)
3. Waktu jualan siang hari (a1)
4. Bebas PKL (a2) Keterangan: a1 : Alternatif 1 a2 : Alternatif 2 a3 : Alterntaif 3 a4 : Alternatif 4