• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II INTAN ANGGARANI PRASTIWI HUKUM'17

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II INTAN ANGGARANI PRASTIWI HUKUM'17"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Acara Perdata

1. Definisi Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata Indonesia” dapat diartikan sebagai hukum

yang mengatur mengenai cara untuk mengajukan hak, memeriksa, memutus perkara hingga pelaksanaan putusan tersebut. Tuntutan hak yang dimaksudkan di sini adalah tindakan yang bertujuan mendapat perlindungan hukum yang seharusnya diberikan oleh pengadilan (Sudikno Mertokusumo, 2009: 2). Sedangkan menurut (Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinata (dalam Hari Sasangka dan Ahmad Rifai (2005: 2) ) mendefinisikan hukum acara perdata sebagai berikut :

“Keseluruhan kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara

bagaimana melaksanakan hak–hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil”.

(2)

2. Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber hukum acara perdata terdiri atas kebiasaan, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, ajaran atau doctrin dan traktat. Dari beberapa sumber terebut yang dirasa sangat berperan yaitu peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi (Hari Sasangka & Ahmad Rifai, 2005:2).

Peraturan yang dimaksudkan untuk menjalankan hukum acara Perdata menurut Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 terbagi menjadi 3 (tiga) aturan pokok yang terbagi atas HIR (HetHerziene Indonesisch Reglement) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata di Pulau Jawa dan Madura, RBg (Rechsreglement Buitengwestern) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata di luar Pulau Jawa serta Madura, lain halnya dengan Rv (Reglement op de Burgeriljke rechtsvordering) yang dijadikan pedoman penegakan hukum acara perdata bagi golongan Eropa. Namun, menurut Supomo dengan dihapuskannya Raad Justitie dan Hooggerechtshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga denngan demikian hanya HIR dan RBg sajalah yang berlaku (Sudikno Mertokusumo, 2009: 7).

(3)

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksana Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama, dan lain- lain.

3. Asas- Asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas hukum acara perdata dalam praktek peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut :

a. Asas Hakim bersifat menunggu

Dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk mengajukan tuntutan diserahkan sepenuhnya kepada pihak yang berkepentingan yang merasa dan dirasa bahwa haknya telah dilanggar orang lain. Apabila tuntutan tidak diajukan para pihak yang berkepentingan maka tidak ada hakim yang mengadili perkara yang bersangkutan (nemo judex sine actore). Hakim dalam hal ini tidak boleh mempengaruhi para pihak agar mengajukan suatu gugatan, konkretnya hakim bersikap menunggu apakah suatu perkara akan diajukan atau tidak (Lilik Mulyadi, 2002: 17).

b. Asas Hakim pasif (lijdelijkheid van rehcter)

(4)

rintangan untuk tercapainya peradilan. Akan tetapi sebaliknya, hakim harus aktif dalam memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran (Sudikno Mertokusumo, 2009: 12).

Asas hakim pasif memberikan batasan kepada hakim untuk tidak dapat mencegah apabila gugatan tersebut dicabut atau para pihak akan melakukan perdamaian (Pasal 130 HIR) atau hakim hanya mengadili luas pokok sengketa yang diajukan para pihak dan dilarang mengabulkan atau menjatuhkan putusan melebihi dari apa yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR) (Lilik Mulyadi, 2002: 18).

c. Asas Pengadilan yang terbuka untuk umum (openbaarheid van Rechtcspraak).

(5)

segan atau malu mengemukakan hal yang sebenarnya secara terus terang (Abdulkadir Muhammad, 2008: 26).

Tujuan dari asas ini adalah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 2009: 14).

d. Asas mendengar kedua belah pihak yang berperkara (horen van beide partijen)

Setiap pihak-pihak yang berperkara harus didengar atau diperlakukan sama serta diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Hal ini berarti dalam pengajuan alat bukti baik berupa surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang bersengketa (Sudikno Mertokusumo, 2009: 14- 15).

(6)

e. Asas putusan harus disertai alasan

Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya (Sudikno Mertokusumo, 2009: 15). f. Beracara Dikenakan Biaya

Biaya perkara dalam acara perdata yang dikeluarkan meliputi biaya kepaniteraan, biaya untuk panggilan, pemberitahuaan para pihak, biaya materai dan biaya pengacara jika para pihak menggunakan pengacara. Sedangkan bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaran biaya perkara dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (Pasal 237 HIR, 273 RBg) (Sudikno Mertokusumo, 2009: 17).

g. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

(7)

sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa (Sudikno Mertokusumo, 2009: 18).

B. Penyelesaian sengketa

1. Sengketa Perdata

Sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian (Nurnaningsih Amriani, 2012: 13). Hal yang sama juga disampaikan oleh Takdir Rahmadi (2011: 1) yang mengartikan bahwa konflik atau sengketa merupakan situasi dan kondisi di mana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun perselisihan- perselisihan yang ada pada persepsi mereka saja.

Sedangkan menurut D. Y Witanto (2012: 2) sengketa adalah pertentangan atau konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (populasi sosial) yang membentuk oposisi/ pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.

(8)

memenuhi kewajiban dalam pelaksanaan kontrak yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian yang timbul itu dapat berupa kerugian materil, misalnya kerusakan atas barang atau berupa kerugian imaterial, misalnya kehilangan hak menikmati barang atau pencemaran nama baik. Pelanggaran hak seseorang itu dapat terjadi karena kesengajaan atau karena kelalaian. Pada perkara perdata, inisiatif berperkara datang dari pihak yang dirugikan. Karena itu, pihak yang yang dirugikan mengajukan perkaranya ke Pengadilan untuk memperoleh penyelesaian berupa pemulihan, penggantian kerugian, dan menghentikan perbuatan yang merugikan itu (Abdulkadir Muhammad, 2008: 19-20).

2. Penyelesaian di dalam pengadilan (Litigasi)

Litigasi merupakan proses penyelesaian sengketa di pengadilan, di mana semua pihak yang bersengketa saling berhadapan satu sama lain untuk mempertahankan hak-haknya di muka pengadilan. Hasil akhir dari suatu penyelesaian sengketa melalui litigasi adalah putusan yang menyatakan win-lose solution (Nurmaningsih Amriani, 2012: 35).

(9)

Menurut Bambang Sugeng dan Sujayadi (2011: 13), proses penyelesaian sengketa di pengadilan adalah sebagai berikut:

a. proses diawali dengan pendaftaran gugatan oleh Penggugat pada Pengadilan Negeri yang berwenang dengan membayar terlebih dahulu panjar biaya perkara, kemudian oleh Panitera akan diberi Nomor Register Perkara;

b. gugatan yang didaftarkan kemudian dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk Majelis Hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut. Majelis Hakim yang ditunjuk akan menentukan hari dan tanggal Sidang I dan memerintahkan pemanggilan para pihak dalam Sidang I;

c. pada saat Sidang I, apabila para pihak (Penggugat dan Tergugat) hadir, maka Majelis Hakim akan memerintahkan para pihak menempuh proses mediasi;

d. para pihak yang berperkara menempuh proses mediasi dengan difasilitasi oleh seorang mediator yang terdaftar di Pengadilan Negeri yang bersangkutan dalam jangka waktu tertentu (paling lama 30 hari); e. apabila dalam jangka waktu yang ditentukan para pihak tidak mencapai

(10)

f. tahap berikutnya adalah pembuktian. Pada tahap ini para pihak diberikan kesempatan untuk mengajukan alat bukti masing-masing untuk memperkeuat dalil-dalil mereka, baik bukti tertulis maupun keterangan saksi;

g. setelah tidak ada lagi alat bukti yang diajukan dan diperiksa, Hakim akan menutut proses pembuktian dan mempersilahkan para pihak menyusun kesimpulan. Kesimpulan ini merupakan pendapat para pihak yang memperkuat dalil-dalil mereka berdasarkan hasil pembuktian; h. setelah para pihak menyampaikan kesimpulannya, Majelis Hakim akan

menjatuhkan putusannya;

i. apabila terdapat pihak yang berkeberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim, dalam jangka waktu yang ditentukan, pihak yang berkeberatan dapat mengajukan upaya hukum (banding, kasasi, peninjauan kembali);

j. apabila putusan telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewujsde), pihak yang dimenangkan oleh putusan tersebut dapat memohonkan pelaksanaan putusan (eksekusi).

3. Penyelesaian di Luar Pengadilan (Non Litigasi)

(11)

perundang-undangan kolonial yang sebelumnya berlaku (D.Y. Witanto, 2011: 10). Beberapa bentuk penyelesaian sengketa yang diatur dalam Undang- Undang tersebut antara lain :

a. Arbitrase

Secara yuridis, Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan definisi arbitrase yaitu sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa.

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa di luar lembaga litigasi atau peradilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian atau kontrak yang telah mereka adakan sebelumnya atau sesudah terjadinya sengketa. Para pemutus atau arbiternya dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi diantara mereka. Pemilihan arbiter seyogyanya didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral (Rachmadi Usman, 2012: 19).

(12)

sengketa perdata mengenai hak yang menuruut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka ( Rachmadi Usman, 2012: 19).

b. Negosiasi

Negosiasi adalah perundingan langsung di antara dua pihak atau lebih yang bersengketa tanpa bantuan pihak lain dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa (Takdir Rahmadi, 2011: 16). Negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi), maupun pihak ketiga pengambil keputusan (arbitrase dan litigasi) (Nurnaningsih Amriani, 2012: 23).

Adapun kelebihan penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak yang bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak yang paling tahu masalahnya dan bagaimana cara penyelesian yang diinginkan. Dengan demikian, pihak yang bersengketa dapat mengontrol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah penyelesaian sengketa yang diharapkan (D. Y Witanto, 2012: 17).

c. Mediasi

(13)

melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar-menawar

(Nurnaningsih Amriani, 2012: 28).

Mediasi berdasarkan prosedurnya dibagi menjadi dua bagian antara lain :

1) Mediasi yang dilakukan di luar pengadilan (Undang-undang No. 30 Tahun 1999).

2) Mediasi yang dilakukan di pengadilan (Pasal 130 HIR/154 RBg jo PERMA No. 1 Tahun 2016).

Mediasi di luar pengadilan dilakukan oleh para pihak tanpa adanya proses perkara di pengadilan, hasil kesepakatan yang diperoleh dari proses mediasi di luar pengadilan dapat diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan pengukuhan sebagai akta perdamaian yang memiliki kekuatan layaknnya Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap. Sedangkan mediasi yang dilakukan di pengadilan adalah proses mediasi yang dilakukan sebagai akibat dari adanya gugatan perdata ke pengadilan ( D. Y. Witanto, 2012: 18- 19).

d. Konsiliasi

(14)

fungsi yang lebih aktif mencari bentuk-bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para pihak (Rachmadi Usman, 2012: 22).

Konsiliasi berbeda dengan mediasi meskipun keduanya sama- sama menghadirkan pihak ketiga sebagai pihak yang netral untuk membantu menyelesaikan sengketa. Salah satu perbedaan antara mediasi dan konsiliasi adalah berdasarkan rekomendasi yaang diberikan oleh pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa. Hanya dalam konsiliasi ada rekomendasi pada pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan mediator dalam suatu mediasi hanya berusaha membimbing para pihak yang bersengketa menuju suatu kesepakatan. Selain itu, beberapa bentuk konsiliasi melibatkan intervensi pihak ketiga yang lebih dalam (lebih memaksa) dan aktif, mengasumsikan kecenderungan terhadap norma tertentu dan memiliki orientasi edukatif bagi satu atau lebih pihak terkait (Nurnaningsih Amriani, 2012: 34- 35).

e. Penilaian Ahli

(15)

memperjelas duduk persoalan di antara yang dipertentangkan oleh para pihak (Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000: 39).

C. Mediasi

1. Pengertian Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, yaitu : “mediare”yang berarti “berada di tengah”. Makna ini merujuk pada peran

yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak. “Berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi

netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa (Syahrizal Abbas, 2011: 1- 2).

Selain itu mediasi juga berasal dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penengahan atau pendamaian (Susilo Riwayadi dan Suci Nur Anisyah, 289). Gerry Goodpaster (1999: 241) memberikan pengertian tentang mediasi sebagai proses negosiasi penyelesaian masalah dimana suatu pihak luar yang tidak berpihak, netral, tidak bekerja bersama para pihak yang bersengketa untuk membantu mereka guna mencapai suatu kesepakatan hasil negosiasi yang memuaskan.

(16)

atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Sedangkan Kovach memberikan pengertian mediasi sebagai berikut :

“Facilitated negotiation. It is a process by which a neutral third

party. The mediator, assists disputing parties in reaching a mutually

satisfactory resolution” (Suyud Margono, 2000: 59).

Pengertian Mediasi dalam kaitannya terhadap sistem peradilan sebagaimana dijelaskan menurut PERMA No. 1 Tahun 2016 Pasal 1 angka (1), mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.

Dari beberapa definisi mediasi yang diuraikan di atas, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur menurut Sujud Margono (dalam H. P. Panggabean) sebagai berikut:

a. mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas kesukarelaan melalui suatu perundingan;

b. mediator yang terlibat harus diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundangan;

c. mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian;

(17)

e. tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau mnghasilkan kesepakatan yang dapat diterima dari pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa (H. P. Panggabean, 2011: 206- 207).

2. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Tujuan mediasi adalah tidak untuk menghakimi salah atau benar namun lebih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk :

a. menemukan jalan keluar dan pembaruan perasaan; b. melenyapkan kesalahpahaman;

c. menentukan kepentingan yang pokok;

d. menemukan bidang-bidang yang mungkin dapat persetujuan; dan e. menyatukan bidang-bidang tersebut menjadi solusi yang disusun sendiri

oleh para pihak (Bambang Sutiyoso, 2008: 57).

Dalam mediasi diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi para pihak, keuntungan tersebut diantaranya :

a. mediasi diharapkan dapat menyelesaikan perkara dengan cepat dan murah dibandingkan dengan membawa perkara kepengadilan atau lembaga arbitrase;

b. mediasi tidak hanya terpaku pada hak-hak hukumnya tetapi juga memfokuskan pada psikologi para pihak;

c. mediasi memberikan kesempatan kepada para pihak dalam berpartisipasi menyelesaikan sengketa mereka;

(18)

e. mediasi memberikan hasil yang tahan uji sehingga saling menciptakan pengertian yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa;

f. mediasi dapat menghilangkan konflik, daripada lembaga pengadilan dan lembaga arbitrase yang seolah-olah bentuk putusannya adalah memaksa ( Syahrizal Abbas, 2011: 25).

Sedangkan Christopher W. Moore dalam “Mediasi Lingkungan”

menyebutkan beberapa keuntungan yang seringkali didapatkan dari hasil mediasi, yaitu :

a. keputusan yang hemat. Mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah jika dilihat dari pertimbangan keuangan dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi yang berlarut-larut atau bentuk- bentuk pertikaian lainnya;

b. penyelesaian secara cepat. Di zaman dimana persoalan bisa makan waktu sampai satu tahun untuk disidangkan di pengadilan, dan bertahun-tahun lamanya jika kasus tersebut terus naik banding, pilihan untuk melakukan mediasi seringkali menjadi salah satu cara yang lebih singkat untuk meyelesaikan sengketa;

(19)

d. kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”. Penyelesaian sengketa melalui cara mediasi bisa menyelesaikan sekaligus masalah hukum maupun yang diluar jangkauan hukum;

e. praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif. Mediasi mengajarkan orang mengenai teknik-teknik penyelesaian sengketa secara praktis yang bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa di masa mendatang;

f. tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga. Pihak-pihak yang menegosiasikan sendiri pilihan penyelesaian sengketa mempunyai kontrol yang lebih besar terhadap hasil-hasil sengketa. Keuntungan dan kerugian menjadi lebih mudah diperkirakan dalam suatu penyelesaian masalah melalui negosiasi atau mediasi daripada melalui proses arbitrase dan sidang pengadilan;

g. pemberdayaan individu (personal empowermen). Orang-orang yang menegosiasikan sendiri masalah cara pemecahan masalah mereka serinngkali meras mempunyai lebih banyak kuasa daripada mereka yang melakukan advokasi melalui wali;

(20)

sebuah hubungan yang baik, hal ini berarti bahwa penyelsaian sengketa tidak bisa dilakukan dengan prosedur menang-kalah (win-lose);

i. keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan. Pihak-pihak yang memediasikan perbedaan kepentingan mereka bisa melihat sampai pada detail-detail pelaksanaan keputusan. Kesepakatan yang dinegosiasikan atau dimediasikan dahulu bisa mencakup prosedur-prosedur yang ditambalsulamkan ungtuk mereka-reka bagaimana caranya keputusan-keputusan tersebut bisa dilaksanakan;

j. kesepakatan yang lebih baik daripada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah. Negosiasi-negosiasi yang dilakukan melalui mediasi berwawasan kepentingan bisa menghasilkan pernyataan-pernyataan yang lebih memuaskan bagi semua pihak jika dibandingkan dengan keputusan kompromi dimana sebagian pihak menanggung kerugian dan sebagian lagi menikmati keuntungan. Mediasi berwawasan kepentingan memungkinkan semua pihak untuk melihat cara-cara untuk memperbesar kue yang akan dibagi, meningkatkan kepuasan, atau mencari jalan keluar yang seratus persen menjamin keuntungan bagi semua pihak dan tidak akan ada kerugian bagi siapapun;

(21)

masalah untuk mencari jalan tengah perbedaan kepentingan mereka daripada mencoba menyelesaikan masalah dengan pendekatan adversarial.

3. Dasar Hukum Mediasi di Pengadilan

Pengaturan mengenai mediasi secara tertulis di Indonesia, awalnya terdapat dalam hukum acara perdata yaitu Pasal 130 HIR/154 RBg yang mengatur tentang perdamaian di pengadilan. Hakim yang mengadili wajib terlebih dahulu mendamaikan para pihak yang berperkara sebeum perkaranya dilanjutkan ke proses berikutnya.

Adapun landasan formil mengenai integrasi mediasi dalam sistem peradilan adalah sebagai berikut:

a. SEMA No. 1 Tahun 2002

M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa:

(22)

Dalam SEMA No. 1 Tahun 2002 diberikan petunjuk kepada hakim pengadilan tingkat pertama untuk lebih mengoptimaliisasikan penyelesaian sengketa dengan cara menerapkan lembaga perdamaian. Karenanya, agar semua hakim yang menyidangkan perkara dengan sungguh-sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan dalam Pasal 132 HIR/154 RBg tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian (Rachmadi Usman, 2012: 29). b. PERMA No. 2 Tahun 2003

SEMA No. 1 Tahun 2002 ternyata tidak mampu memberikan solusi yang memuaskan, karena secara substansial SEMA hanya berisi himbauan atau petunjuk saja, sehingga dalam pelaksanaannya tidak begitu banyak memberikan hasil yang signifikan. Pada tahun 2003 tepatnya satu tahun sembilan bulan sejak terbitnya SEMA No. 1 Tahun 2002, Mahkamah Agung mulai merumuskan aturan dalam bentuk hukum acara yaitu dengan menerbitkan PERMA No. 2 Tahun 2003 yang berjudul “Proses Mediasi di Pengadilan” (D. Y. Witanto, 2012:

54).

(23)

c. PERMA No. 1 Tahun 2008

PERMA No. 1 Tahun 2008 terbit setelah melalui sebuah kajian oleh tim yang dibentuk Mahkamah Agung. Mulai tahun 2006 dibentuk suatu tim working group untuk meneliti hal-hal yang perlu disempurnakan. Produk akhirnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. Konsiderans PERMA No. 1 tahun 2008 huruf e memuat sebagai berikut:

Bahwa setelah dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Indonesia No. 2 Tahun 2003 ternyata ditemukan beberapa permasalahan yang bersumber dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 perlu direvisi dengan maksud untuk lebih mendayagunakan mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan (Tumian Lian Daya Purba, 2015: 14).

Beberapa perubahan dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tersebut antara lain (D. Y. Witanto, 2012: 55) :

1) tentang batas waktu pelaksanaan mediasi;

2) tentang ancaman “batal demi hukum” tergadap persidangan tanpa menempuh mediasi terlebih dahulu;

3) tentang pengecualian perkara yang dapat dimediasi;

(24)

5) tentang perdamaian pada tingkat upaya hukum; 6) tentang kesepakatan di luar pengadilan;

7) tentang pedoman perilaku mediator, honorarium, dan insentif. d. PERMA No. 1 Tahun 2016

PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan bentuk pembaruan dari peraturan Mahkamah Agung sebelumnya, yakni PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan. Terdapat banyak perubahan yang dibawa oleh PERMA No. 1 tahun 2016 tersebut. Salah satu diantaranya adalah mengenai iktikad baik para pihak yang berperkara dalam menempuh mediasi.

Penyempurnaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan tersebut ditemukan beberapa masalah, sehingga perlu dikeluarkan PERMA baru dalam rangka memepercepat dan mempermudah penyelesaian sengketa serta memberikan akses yang lebih luas kepada pencari keadilan.

(Bidang Akademik dan Profesi (AKPRO) SERAMBI FHUI. 2016. Perbandingan PERMA No. 1 Tahun 2016 vs PERMA No. 1

Tahun 2008.

(25)

4. Mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2016

Pada dasarnya mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa secara damai yang tepat, efektif, dan dapat membuka akses yang lebih luas kepada para pihak untuk memperoleh penyelesaian yang memuaskan serta berkeadilan. Namun demikian, pada praktiknya selama ini prosedur mediasi di Pengadilan belum menghasilkan tingkat keberhasilan mediasi yang baik. Berdasarkan hal tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2016 untuk mencabut PERMA No. 1 Tahun 2008, dengan harapan kenaikan tingkat keberhasilan dalam mediasi.

Hal-hal baru dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 yang diyakini dapat mengoptimalkan tingkat keberhasilan proses mediasi, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban Para Pihak Untuk Menghadiri Proses Mediasi Dengan/Tanpa Kuasa Hukum

(26)

Dalam hal memudahkan penerapan ini, PERMA No. 1 Tahun 2016 memfasilitasi para pihak dengan memudahkan para pihak untuk melakukan mediasi melalui media komunikasi visual (Pasal 5 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2016) dan menganggap kehadiran para pihak melalui komunikasi audio visual sebagai kehadiran langsung (Pasal 6 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016).

Apabila para pihak tidak bisa hadir, alasan ketidakhadiran tersebut harus sesuai dengan alasan tidak hadir yang sah (Pasal 6 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2016). Berikut yang merupakan alasan yang sah bagi para pihak untuk tidak menghadiri proses mediasi (Pasal 6 ayat (4) PERMA No. 1 Tahun 2016):

1) kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;

2) di bawah pengampuan;

3) mempunyai tempat tinggal, kediaman atau kedudukan di luar negeri; atau

4) menjalankan tugas negara, tuntutan profesi atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.

b. Iktikad Tidak Baik Para Pihak dalam Proses Mediasi

(27)

atau para pihak dan/atau kuasa hukumnya dapat dinyatakan tidak beriktikad baik (Pasal 7 ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2016), yaitu: 1) ketidakhadiran salah satu pihak atau para pihak setelah dipanggil

secara patut 2 (dua) kali berturut-turut dalam pertemuan Mediasi tanpa alasan sah;

2) menghadiri pertemuan mediasi pertama, tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan berikutnya meskipun telah dipanggil secara patut 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;

3) ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan Mediasi tanpa alasan yang sah;

4) menghadiri pertemuan mediasi, tetapi tidak mengajukan dan/atau tidak menanggapi Resume Perkara pihak lain; dan/atau 5) tidak menandatangani konsep kesepakatan Perdamaian yang telah

disepakati tanpa alasan sah.

(28)

pokok sengketa baik yang primer maupun yang tersier. Sehingga dari resume tersebut mediator bisa mengarahkan dialog dalam sesi mediasi ke arah yang konstruktif bagi percepatan penyelesaian sengketa ( Maskur Hidayat, 2016: 69).

Akibat hukum salah satu pihak atau para pihak beriktikad tidak baik dalam proses mediasi adalah pengenaan kewajiban pembayaran biaya mediasi. Namun, apabila pihak yang beriktikad tidak baik itu merupakan pihak penggugat, maka gugatannya juga akan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Hakim Pemeriksa Perkara (Pasal 22-23 PERMA No. 1 Tahun 2016). Lebih lanjut, terhadap putusan yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima serta penetapan pengenaan kewajiban pembayaran biaya mediasi tidak dapat dilakukan upaya hukum lebih lanjut (Pasal 35 ayat (2) PERMA No. Nomor 1 Tahun 2016) (Damar Ariotomo, http://www.abnp.co.id/news/harapan-optimalisasi-proses-mediasi-pasca-perma-nomor-1-tahun-2016).

c. Jangka Waktu Penyelesaian Mediasi Sejak Adanya Penetapan Perintah Untuk Melakukan Mediasi

(29)

yang lebih banyak dibandingkan jangka waktu perpanjangan proses mediasi yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008. Saat ini jangka waktu perpanjangan mediasi dapat diberikan hingga 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya jangka waktu proses mediasi (Pasal 24 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2016).

d. Kesepakatan Sebagian

Hal baru lainnya dalam PERMA No. 1 Tahun 2016 ini adalah pengaturan mengenai kesepakatan sebagian. Adapun hal penting pada kesepakatan sebagian itu diantaranya:

1) Kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa (Pasal 29 PERMA No. 1 Tahun 2016);

Maksud dari kesepakatan sebagian pihak yang bersengketa adalah kesepakatan antara sebagian pihak baik penggugat ataupun Tergugat yang berperkara di tahapan mediasi. Dalam hal suatu sengketa terdiri dari penggugat dan beberapa tergugat apabila dalam proses mediasi tercapai kesepakatan antara penggugat dengan salah satu tergugat (tetapi tidak menyangkut seluruh tergugat), maka kesepakatan tersebut dapat dibuat dan ditanda tangani oleh sebagian pihak tergugat serta mediator (Maskur Hidayat, 2016: 81).

(30)

kesepakatan sebagai pihak lawan. Selanjutnya, terhadap para pihak (tergugat) yang tidak mencapai kesepakatan damai tersebut, penggugat dapat mengajukan kembali gugatan terhadap pihak tersebut (Damar Ariotomo, http://www.abnp.co.id/news/harapan-optimalisasi-proses-mediasi-pasca-perma-nomor-1-tahun-2016). Kesepakatan perdamaian model ini tidak dapat dilakukan pada perdamaian sukarela tahap pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali (Pasal 29 ayat (6) PERMA No. 1 Tahun 2016).

Tetapi apabila jumlah penggugat lebih dari satu dan sebagian atau seluruh pihak tergugat, tetapi sebagian penggugat yang tidak mencapai kesepakatan tidak bersedia mengubah gugatan, maa mediasi tersebut dinyatakan tidak berhasil (Pasal 29 ayat (5) PERMA No. 1 Tahun 2016) (Maskur Hidayat, 2016: 81).

2) Kesepakatan sebagian objek perkara atau tuntutan hukum (Pasal 30-31 PERMA No. 1 Tahun 2016);

(31)

tahapan mediasi (Ariotomo, Damar,

http://www.abnp.co.id/news/harapan-optimalisasi-proses-mediasi-pasca-perma-nomor-1-tahun-2016).

Terhadap hal yang sudah disepakati, maka hakim pemeriksa wajib

mencantumkan dalam pertimbangan serta amar putusan. Kesepakatan

perdamaian model ini juga berlaku pada perdamaian sukarela pada tahap

pemeriksaan perkara dan tingkat upaya hukum banding, kasasi, atau

peninjauan kembali (Maskur Hidayat, 2016: 82).

5. Tahapan mediasi

(32)

Adapun dalam proses mediasi di Pengadilan diatur prosedur beracara mediasi yakni :

a. Tahap Pra mediasi

Dalam tahap ini penggugat terlebih dahulu memasukan

gugatannya ke Pengadilan Negeri, kemudian gugatan diterima oleh

Pengadilan Negeri. Pada hari yang telah ditentukan dan dihadiri kedua

belah pihak, Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi sesuai PERMA No. 1 Tahun 2016 kepada para pihak yang bersengketa (Pasal 17 PERMA No. 1 Tahun 2016) (Nurnaningsih Amriani, 2012: 148).

(33)

b. Tahap proses mediasi

Dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah Ketua Majelis Hakim Pemeriksa Perkara menerbitkan penetapan untuk melakukan mediasi dan penunjukan mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada pihak lain dan mediator yang telah ditunjuk (Pasal 24 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2016).

Setiap pihak diberi kesempatan untuk mempresentasikan suatu pandangan mereka tentang sengketa kepada mediator. Meskipun biasanya pihak yang mengajukan kasus memulai presentasi namun hal itu bukanlah hal yang tidak dapat diubah. Tujuan dari presentasi ini adalah untuk memberi informasi kepada mediator tentang situasi perkara serta keinginan dan harapan para pihak dan apabila pokok sengketa sudah diketahui, maka mediator (Maskur Hidayat, 2016: 100).

(34)

mediator tanpa dihadiri pihak lainnya (Maskur Hidayat, 2016: 111-112).

Proses mediasi berlangsung paling lama 30 hari kerja sejak penetapan perintah melakukan mediasi. Mediator atas permintaan para pihak dapat mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu mediasi atas dasar kesepakatan para pihak kepada Hakim Peeriksa Perkara disertai alasannya (Pasal 24 ayat (3) PERMA No. 1 Tahun 2016).

c. Mediasi mencapai kesepakatan

Dalam hal para pihak telah mencapai kesepakatan untuk berdamai, maka mediator harus merumuskan kesepakatan dalam suatu formulasi yang tepat. Kesepakatan yang sudah diformulasikan tersebut haruslah diarahakan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator (Maskur Hidayat, 2016: 108). Dengan adanya kesepakatan perdamaian secara tertulis, maka terdapat bukti tertulis bahwa diantara para pihak yang bersengketa tersebut telah mencapai kesepakatan perdamaian melalui mediasi, seihingga tidak ada pihak yang dapat mengingkari adanya kesepakatan damai ini (Rachmadi Usman, 2012: 199).

(35)

kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, maka kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan/atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai (Pasal 27 ayat (4) dan (5) PERMA No. 1 Tahun 2016) (Maskur Hidayat, 2016: 109).

d. Mediasi tidak mencapai kesepakatan

Berdasarkan Pasal 32 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2016, mediator wajibmenyatakan mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis kepada Hakim Pemeriksa Perkara, dalam hal :

1) Para pihak tidak menghasilkan kesepakatan sampai batas waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari berikkut perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3), atau 2) Para pihak dinyatakan tidak beriktikad baik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dan e.

Menurut Maskur Hidayat (2016: 110), apabila mediasi gagal, maka sengketa yang ditangani dalam proses mediasi berarti dilanjutkan pada pemeriksaan dan pembuktian dalam sidang perdata di pengadilan. Hal-hal yang harus diperhatikan apabila mediasi gagal adalah :

(36)

2) Notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan.

Dua hal di atas merupakan penekanan bahwa proses mediasi meskipun terintegrasi ke dalam proses beracara di pengadilan tetapi ketika tidak berhasil, maka proses pemeriksaan harus tetap dilaksanakan tanpa boleh dipengaruhi oleh hasil atau efek dari prosedur penyelesaian sengketa yang sudah dilaksanakan sebelumnya (mediasi) (Maskur Hidayat, 2016: 110).

D. Mediator

1. Mediator

Mediasi merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa dimana terdapat pihak ketiga yang posisinya netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak, masuk dan melibatkan diri ke dalam sengketa yang sedang berlangsung guna membantu dan memafasilitasi para pihak dalam menyelesaikan sengketa itu secara damai, pihak ketiga tersebut biasa disebut dengan istilah mediator (D. Y. Witanto, 2012: 87).

(37)

Pada prinsipnya, daftar mediator yang terpampang di ruang lobby pengadilan tersebut akan memuat beberapa nama mediator yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :

a. Mediator yang berasal dari dalam pengadilan yaitu Hakim bukan pemeriksa perkara maupun Hakim pemeriksa perkara dan pegawai pengadilan

b. Mediator yang berasal dari luar pengadilan baik dari kalangan advokat, akademisi maupun profesional lainnya yang telah bersertifikat mediator (D. Y. Witanto, 2012: 91).

Dalam proses mediasi, seorang mediator berperan sebagai pemacu dan fasilitator yang harus mengarahkan para pihak yang bersengketa untuk menemukan sendiri jalan penyelesaiannya, disebutkan dalam Black’s Law Dictionary bahwa “The mediator has no power to impose a decission on the parties”. Hal ini serupa juga diungkapkan oleh Mark E. Roszkowsky yang menyebutkan bahwa “A mediator generally has noppower to impose

a resolusion” yang artinya di dalam penyelsaian sengketa para pihaklah yang memiliki kewenangan penuh untuk menentukan bentuk penyelesaian (Gunawan Widjaja dan Ahmad yani, 2000:33).

(38)

memuaskan kedua belah pihak, setidaknya pera utama seorang mediator adalah mempertemukan kepentingan yang saling berbeda antara para pihak agar mencapai titik temu yang dapat dijadikan sebagai titik temu penyelesaian maslah yang sedang dihadapi.

2. Persyaratan Menjadi Seorang Mediator

Persyaratan seseorang yang menjadi seorang mediator di pengadilan tidak diatur secara rinci dalam PERMA No. 1 Tahun 2016, hanya saja secara implisit maupun eksplisit telah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 3, dan Pasal 13 PERMA No. 1 Tahun 2016. Berdasarkan kepada ketentuan-ketentuan dalam PERMA No.1 Tahun 2016 dimaksud, persyaratan menjadi mediator meliputi :

a. Pihak yang Netral dan Tidak Memihak

Pengertian pihak yang netral ini meliputi sikap independen, yang mencakup bersikap bebas dan merdeka dari pengaruh siapapun dan bebas secara mutlak dari paksaan dan direktiva pihak manapun. Syarat pihak tidak memihak mengandung arti harus benar-benar bersifat imparsialitas, tidak boleh parsial kepada salah satu pihak dan tidak boleh bersikap diskriminatif, tetapi harus memberi perlakuan yang sama (equal treatment) kepada para pihak (M. Yahya harahap, 2008: 247).

(39)

yang berasal dari kalangan akademisi hukum dan profesi non hukum, selain juga harus memiliki independensi dengan sengketa para pihak, juga sedikitnya harus memahami tentang persoalan-persoalan hukum. Jika sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang hukum, dikhawatirkan akan mengalami kesulitan ketika merumuskan butir-butir kesepakatan perdamaian (D. Y. Witanto, 2012: 94).

b. Wajib Memiliki Sertifikat sebagai Mediator

Persyaratan bagi setiap mediator wajib bersertifikat (memiliki Sertifikat Mediator) ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2016 yang menyatakan sebagai berikut :

Setiap mediator wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti dan dinyatakan lulus dalam pelatihan sertifikasi mediator yang diselenggarakan oleh Mahkamah agung atau lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung.

Perlunya sertifikat bagi mediator dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas jasa mediator. Karena saat ini, teknik dan keterampilan mediasi dapat dipelajari setiap orang, maka sebaiknya orang yang memberi jasa mediasi itu adalah orang-orang yang telah mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi (Rachmadi Usman, 2012: 88).

(40)

dapat disimpangi yaitu apabila dalam sebuah wilayah tidak ada hakim, pegawai pengadilan, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat sehingga semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator meskipun mereka tidak memiliki sertifikat karena upaya mediasi tidak boleh ditunda hanya karena ketiadaan sertifikat. Karena PERMA No. 1 Tahun 2016 mengatur prosedur mediasi di pengadilan, maka pengecualian itu diberikan kepada hakim (Takdir Rahmadi, 2012: 163- 164).

c. Wajib Mengikuti Pendidikan atau Pelatihan Mediasi

Untuk memperoleh seertifikasi mediator sudah tentu hal itu akan diberikan setelah seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi. Sertifikat mediator adalah sebuah dokumen yang menyatakan seseorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atau Lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung (Rachmadi Usman, 012: 92).

(41)

Mahkamah Agung berpandangan bahwa keberhasilan kebijakan penggunaan mediasi terintegrasi ke dalam proses peradilan tidak hanya ditentukan oleh aturan-aturan hukum, khususnya ketentuan- ketentuan dalam PERMA No. 1 Tahun 2016, tetapi juga harus didukung oleh ketersediaan orang-orang yang memiliki kemampuan dan keterampilan sebagai mediator. Kemampuan dan keterampilan mediator dapat diperoleh melalui pelatihan atau kursus atau kuliah. Sertifikasi merupakan salah satu indikator bahwa pemilik sertifikat telah memiliki kemampuan dan keterampilan sebagai mediator (Rachmadi Usman, 2012: 93- 94).

3. Tugas Mediator

Leonard L. Rsikin, mengatakan bahwa mediator mempunyai tujuh fungsi yaitu sebagai catalyst (katalisator), educator (pendidik), translator (penerjemah), resource person (narasumber), beare of bad news (penyandang berita jelek), dan scapegoat (kambing hitam) (Suyud Margono, 2000: 60).

Untuk menjalankan fungsinya itu, mediator memiliki tugas-tugas yang tercermin dalam ketentuan Pasal 14 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 yaitu:

a. memperkenalkan diri dan memberi kesempatan kepada para pihak untuk saling memperkenalkan diri;

(42)

c. menjelaskan kedudukan dan peran Mediator yang netral dan tidak mengambil keputusan;

d. membuat aturan pelaksanaan Mediasi bersama para pihak;

e. menjelaskan bahwa Mediator dapat mengadakan pertemuan dengan satu pihak tanpa kehadiran pihak lainnya (kaukus);

f. menyusun jadwal Mediasi bersama para pihak; g. mengisi formulir jadwal mediasi;

h. memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menyampaikan permasalahan dan usulan perdamaian;

i. menginventarisasi permasalahan dan mengagendakan pembahasan berdasarkan skala proritas;

j. memfasilitasi dan mendorong para pihak untuk: 1) menelusuri dan menggali kepentingan para pihak;

2) mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak;

3) bekerja sama mencapai penyelesaian;

k. membantu para pihak dalam membuat dan merumuskan Kesepakatan Perdamaian;

l. menyampaikan laporan keberhasilan, ketidakberhasilan dan/atau tidak dapat dilaksanakannya Mediasi kepada Hakim Pemeriksa Perkara;

Referensi

Dokumen terkait

Posebnost te vrste hipoteke je, da vpisi glede skupne hipoteke pri glavni nepremi nini u inkuje tudi pri vseh drugih nepremi ninah, ki so obremenjene s skupno hipoteko, razen kadar

Tujuan dari program pelatihan ini adalah 1) memberikan pengetahuan tentang mindset pada siswa, 2) memberikan pengetahuan tentang pentingnya belajar dan tujuan

Perlu ditekankan kembali bahwasanya, perdarahan pascapersalinan adalah penyebab paling sering terjadinya kematian pada ibu, yang terjadi dalam waktu 4

model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi dari pada kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam berkomunikasi mahasiswa yang dibelajarkan dengan

Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di

Mint ahogyan a hagyományos könyvtár sem azonos csupán a katalógusán keresztül elérhető, polcokon tárolt dokumentumaival, a digitális könyvtár sem pusztán

Proses perendaman pada suhu tinggi dapat meningkatkan laju oksidasi terhadap antioksidan yang terkandung dalam kulit pisang, namun perendaman pada suhu 45C dengan waktu

Bagi persepsi responden terhadap kemudahan sukan pula, didapati majoriti responden berpendapat bahawa kemudahan sukan untuk staf wanita di UTM adalah tidak mencukupi, kurang