• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUPATI ALOR PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BUPATI ALOR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI ALOR

NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

KAWASAN EKONOMI CEPAT TUMBUH PERKOTAAN MARITAING KECAMATAN ALOR TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kawasan yang tertata, asri, menyenangkan dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur, maka perlu upaya penataan dan pengembangan kawasan secara terarah dan terpadu;

b. bahwa dalam upaya menata dan mengembangkan kawasan secara terarah dan terpadu, diperlukan pedoman penataan sebagai acuan kegiatan penataan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

BUPATI ALOR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI ALOR

NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

KAWASAN EKONOMI CEPAT TUMBUH PERKOTAAN MARITAING KECAMATAN ALOR TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kawasan yang tertata, asri, menyenangkan dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur, maka perlu upaya penataan dan pengembangan kawasan secara terarah dan terpadu;

b. bahwa dalam upaya menata dan mengembangkan kawasan secara terarah dan terpadu, diperlukan pedoman penataan sebagai acuan kegiatan penataan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

BUPATI ALOR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI ALOR

NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

KAWASAN EKONOMI CEPAT TUMBUH PERKOTAAN MARITAING KECAMATAN ALOR TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kawasan yang tertata, asri, menyenangkan dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur, maka perlu upaya penataan dan pengembangan kawasan secara terarah dan terpadu;

b. bahwa dalam upaya menata dan mengembangkan kawasan secara terarah dan terpadu, diperlukan pedoman penataan sebagai acuan kegiatan penataan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

BUPATI ALOR

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN BUPATI ALOR

NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG

RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

KAWASAN EKONOMI CEPAT TUMBUH PERKOTAAN MARITAING KECAMATAN ALOR TIMUR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,

Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kawasan yang tertata, asri, menyenangkan dan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur, maka perlu upaya penataan dan pengembangan kawasan secara terarah dan terpadu;

b. bahwa dalam upaya menata dan mengembangkan kawasan secara terarah dan terpadu, diperlukan pedoman penataan sebagai acuan kegiatan penataan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

(2)

4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5589);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);

8. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan; 9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06/PRT/M/

2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan;

10. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/PRT/M/ 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di KawasanPerkotaan;

11. Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 2013-2014 (Lembaran Daerah Kabupaten Alor Tahun 2013 Nomor 02, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Alor Nomor 500);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN KAWASAN EKONOMI CEPAT TUMBUH PERKOTAAN MARITAING KECAMATAN ALOR TIMUR.

(3)

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan Bupati ini, yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Kabupaten Alor.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Daerah Kabupaten Alor. 3. Bupati adalah Bupati Alor.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah Kabupaten Alor.

5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

6. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

7. Struktur Pemanfaatan Ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya. 8. Pola Pemanfaatan Ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumber

daya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, air, udara, dan sumber daya alam lainnya.

9. Penataan Ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian ruang.

10. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang.

11. Rencana Tata Ruang Wilayah selanjutnya disingkat RTRW adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor.

12. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

13. Kawasan adalah satuan ruang wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional serta memiliki ciri tertentu.

14. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan selanjutnya disingkat RTBL adalah panduan rancang bangun suatu kawasan/lingkungan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan atau kawasan.

15. Rencana Tata Bangunan Dan Lingkungan Kawasan Ekonomi Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur yang selanjutnya disebut RTBL KCTPM adalah panduan rancang bangun Kawasan Ekonomi Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta membuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan kawasan.

(4)

16. Program Bangunan dan Lingkungan adalah penjabaran lebih lanjut dari perencanaan dan peruntukan lahan yang telah ditetapkan untuk kurun waktu tertentu yang memuat jenis, jumlah, besaran, dan luasan bangunan gedung serta kebutuhan ruang terbuka hijau, fasilitas umum, fasilitas sosial, prasarana aksesibilitas, sarana pencahayaan dan sarana penyehatan lingkungan, baik berupa penataan prasarana dan sarana yang sudah ada maupun baru.

17. Rencana Umum dan Panduan Rancangan adalah ketentuan-ketentuan tata bangunan dan lingkungan pada suatu lingkungan atau kawasan yang memuat rencana peruntukan lahan makro dan mikro, rencana perpetakan, rencana tapak, rencana sistem pergerakan, rencana aksesibilitas lingkungan, rencana prasarana dan sarana lingkungan, rencana wujud visual bangunan, dan ruang terbuka hijau.

18. Ketentuan Pengendalian Rencana adalah ketentuan-ketentuan yang bertujuan untuk mengendalikan berbagai rencana kerja, program kerja maupun kelembagaan kerja pada masa pemberlakuan aturan dalam RTBL dan pelaksanaan penataan suatu kawasan.

19. Pedoman Pengendalian Pelaksanaan adalah pedoman yang dimaksudkan untuk mengarahkan perwujudan pelaksanaan penataan bangunan dan kawasan yang berdasarkan dokumen RTBL, dan memandu pengelolaan kawasan agar dapat berkualitas, meningkat, dan berkelanjutan.

20. Struktur Peruntukan Lahan merupakan komponen rancang kawasan yang berperan penting dalam alokasi penggunaan dan penguasaan lahan atau tata guna lahan yang telah ditetapkan dalam suatu kawasan perencanaan tertentu berdasarkan ketentuan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.

21. Intensitas Pemanfaatan Lahan adalah tingkat alokasi dan distribusi luas lantai maksimum bangunan terhadap lahan atau tapak peruntukannya. 22. Koefisien Dasar Bangunan selanjutnya disingkat KDB adalah angka

presentase perbandingan antara luas seluruh lantai dasar bangunan gedung yang dapat dibangun dan luas lahan atau tanah perpetakan atau daerah perencanaan yang dikuasai.

23. Koefisien Lantai Bangunan selanjutnya disingkat KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas seluruh lantai bangunan gedung dan luas tanah perpetakan atau daerah perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan lingkungan.

24. Tata Bangunan adalah produk dari penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungan sebagai wujud pemanfaatan ruang, meliputi berbagai aspek termasuk pembentukan citra atau karakter fisik lingkungan, besaran, dan konfigurasi dari elemen blok, kaveling atau petak lahan, bangunan, serta ketinggian dan elevasi lantai bangunan yang dapat menciptakan dan mendefinisikan berbagai kualitas ruang kota yang akomodatif terhadap keragaman kegiatan yang ada, terutama yang berlangsung dalam ruang publik.

25. Garis Sempadan Bangunan selanjutnya disingkat GSB adalah garis pada halaman pekarangan bangunan yang ditarik sejajar dari garis as jalan, tepi sungai atau as pagar dan merupakan batas antara kavling atau pekarangan yang boleh dibangun dan yang tidak boleh dibangun.

(5)

27. Garis Sempadan Pantai selanjutnya disingkat GSP adalah jarak bebas atau wilayah pantai yang tidak boleh dimanfaatkan untuk lahan budi daya, atau untuk didirikan bangunan yang diukur dari titik pasang tertinggi.

28. Garis Sempadan Sungai selanjutnya disingkat GSS adalah jarak bebas atau batas wilayah sungai yang tidak boleh dimanfaatkan untuk lahan budi daya atau untuk didirikan bangunan yang diukur dari garis bibir sungai. 29. Tinggi Bangunan adalah jarak yang diukur dari permukaan tanah, dimana

bangunan tersebut didirikan, sampai dengan titik puncak bangunan.

30. Sistem Jaringan Jalan dan Pergerakan adalah rancangan pergerakan yang terkait antara jenis-jenis hierarki atau kelas jalan yang tersebar pada kawasan perencanaan (jalan lokal atau lingkungan) dan jenis pergerakan yang melalui, baik masuk dan keluar kawasan, maupun masuk dan keluar kaveling.

31. Sistem Sirkulasi Kendaraan Umum adalah rancangan sistem arus pergerakan kendaraan umum formal, yang dipetakan pada hierarki atau kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan.

32. Sistem Sirkulasi Kendaraan Pribadi adalah rancangan sistem arus pergerakan bagi kendaraan pribadi sesuai dengan hierarki atau kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan.

33. Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau merupakan komponen rancangan kawasan, yang tidak sekedar terbentuk sebagai elemen tambahan ataupun elemen sisa setelah proses rancang arsitektural diselesaikan, melainkan juga diciptakan sebagai bagian integral dari suatu lingkungan yang lebih luas.

34. Tata Kualitas Lingkungan merupakan rekayasa elemen-elemen kawasan yang sedemikian rupa, sehingga tercipta suatu kawasan atau sub-area dengan sistem lingkungan yang informatif, berkarakter khas, dan memiliki orientasi tertentu.

35. Sistem Prasarana dan Utilitas Lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan berfungsi sebagaimana mestinya.

BAB II

MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP Pasal 2

(1) Penyusunan RTBL KCTPM dimaksudkan sebagai panduan rancang bangun lingkungan Kawasan Ekonomi Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan serta sebagai acuan Pemerintah Daerah dalam penerbitan Izin Mendirikan Bangunan.

(2) RTBL KCTPM bertujuan mewujudkan tata bangunan dan lingkungan yang layak huni, berjati diri, produktif, dan berkelanjutan di Kawasan Ekonomi Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur.

(3) Ruang Lingkup RTBL KCTPM adalah pengembangan kawasan/lingkungan Kawasan Ekonomi Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur yang meliputi:

a. pengaturan; b. pelaksanaan; dan

(6)

BAB III

MATERI POKOK RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN Pasal 3

(1) RTBL KCTPM berisi materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan Kawasan Ekonomi Cepat Tumbuh Perkotaan Maritaing Kecamatan Alor Timur.

(2) Dokumen RTBLKCTPM disusun dengan sistematika sebagai berikut: BAB – I : KETENTUAN UMUM

BAB – II : MAKSUD, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

BAB – III : MATERI POKOK RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

BAB – IV : PROGRAM BANGUNAN DAN LINGKUNGAN BAB – V : RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN BAB –VI : RENCANA INVESTASI

BAB –VII : KETENTUAN PENGENDALIAN RENCANA BAB –VIII : PEDOMAN PENGENDALIAN PELAKSANAAN BAB – IX : PENUTUP

(3) Uraian sistematika RTBL KCTPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum pada Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

BAB IV

PROGRAM BANGUNAN DAN LINGKUNGAN Bagian Kesatu

Batasan Lokasi Kawasan Pasal 4

(1) Lokasi perencanaan RTBL KCTPM adalah Desa Maritaing Kecamatan Alor Timur seluas 60 (enam puluh) hekto are.

(2) Secara geografis batas-batas perencanaan RTBL KCTPM meliputi: a. utara : Komplek Militer Pertahanan Perbatasan;

b. selatan : Jalan lingkungan; c. timur : Laut;

d. barat : Jalan Nasional;

(3) Batas-batas kawasan perencanaan RTBL KCTPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran Dokumen RTBL KCTPM dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

Bagian Kedua

Pembagian Blok Kawasan Pasal 5

(1) Pembagian blok kawasan meliputi:

(7)

b. Blok II fungsi campuran;

c. Blok III wisata dan permukiman pesisir; dan d. Blok IV pemerintahan dan permukiman.

(2) Letak lingkungan blok kawasan dan pemanfaatannya tercantum dalam Dokumen RTBL KCTPM dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

BAB V

RENCANA UMUM DAN PANDUAN RANCANGAN Bagian Kesatu

Struktur Peruntukan Lahan Pasal 6

(1) Struktur peruntukan lahan di kawasan RTBL KCTPM adalah kawasan campuran (mix used area)yang peruntukan lahannya meliputi:

a. perdagangan, jasa, komersial dan hotel; b. ruang publik;

c. perkantoran; d. pasar;

e. perumahan; dan

f. ruang terbuka hijau dan non hijau.

(2) Struktur peruntukan lahan direncanakan untuk menampung: a. peningkatan perdagangan tradisional;

b. peningkatan atau pembangunan baru bangunan komersial, perdagangan, jasa dan hotel dan perkantoran milik swasta;

c. peningkatan atau pembangunan baru bangunan publik (terminal dan fasilitas sejenis) milik pemerintah daerah;

d. peningkatan atau pembangunan ruang publik berupa area waterfront, diperuntukan bagi kegiatan ruang terbuka hijau, komersial sekaligus rekreasi warga;

e. peningkatan atau pembangunan ruang publik berupa pelataran dan plaza ruang kota diperuntukan bagi kegiatan pedagang kaki lima, kegiatan pameran, kegiatan kuliner, atau kegiatan luar ruangan lainnya;

f. pengaturan pembangunan ruang hijau milik swasta dengan tetap mempertahankan sebagian besar ruang hijau untuk kota, membatasi kepadatan dan ketinggian bangunan yang rendah; dan

g. peningkatan ruang hijau pada koridor, taman dan ruang terbuka kawasan.

Pasal 7

Struktur Peruntukan Lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 tercantum dalam Dokumen RTBL KCTPM dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.

(8)

Bagian Kedua

Rencana Perpetakan dan dan Rencana Tapak Pasal 8

Rencana perpetakan lahan pada kawasan perencanaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu perpetakan tanah berupa sistem blok yang terdiri dari gabungan beberapa persil, dan sistem kapling/persil.

Pasal 9

(1) Rencana tapak pada wilayah perencanaan, secara umum mengalami peningkatan intensitas dan peruntukan sebagai kawasan pusat perkotaan. (2) Rencana tapak sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) meliputi:

a. pembangunan jaringan jalan;

b. pembentukan jaringan jalur pejalan kaki; c. upaya bantaran menjadi ruang terbuka hijau; d. penetapan jarak dan ketinggian bangunan;

e. pembentukan gerbang dan penempatan landmark berupa patung pada bundaran jalan; dan

f. pemberian link antar bangunan berupa jalur pejalan kaki. Bagian Ketiga

Intensitas Pemanfaatan Lahan Pasal 10

(1) Intensitas pemanfaatan lahan dilakukan dengan pengaturan ketinggian banguan.

(2) Pengaturan ketingian bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:

a. ketinggian bangunan pada blok I adalah 1-2 lantai atau 3-6 meter dengan tinggi puncak bangunan 12 meter dari lantai dasar, kecuali bangunan ibadah dan bangunan monumental;

b. ketinggian bangunan pada blok II adalah 1-2 lantai atau 3-6 meter dengan tinggi puncak bangunan 12 meter dari lantai dasar;

c. ketinggian bangunan pada blok III adalah 1-3 lantai atau 3-9 meter dengan tinggi puncak bangunan 18 meter dari lantai dasar;

d. ketinggian bangunan pada blok IV adalah 1-2 lantai atau 3-6 meter dengan tinggi puncak bangunan 12 meter dari lantai dasar; dan

e. ketinggian bangunan pada blok VIII adalah 1-2 lantai atau 3-6 meter dengan tinggi puncak bangunan 12 meter dari lantai dasar.

Pasal 11

KLB di kawasan perencanaan ditetapkan maksimal sebesar 1,5 (satu koma lima).

Pasal 12 Pengaturan KDB sebagai berikut:

a. KDB pada kawasan permukiman adalah 40-60% (empat puluh sampai dengan enam puluh persen);

(9)

c. KDB pada kawasan komersil, perdagangan dan jasa adalah 60% (enam puluh persen); dan

d. KDB pada kawasan ruang terbuka hijau adalah 0-30% (nol sampai dengan tiga puluh persen).

Bagian Keempat Tata Bangunan

Pasal 13 Pengaturan tata bangunan terdiri atas: a. GSB;

b. elevasi lantai dasar; c. orientasi bangunan; dan d. bentuk dasar bangunan.

Pasal 14

(1) GSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, meliputi: a. GSB muka bangunan;

b. GSB samping bangunan; dan c. GSB belakang bangunan.

(2) GSB muka bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

a. pada koridor jalan nasional minimal 10 (sepuluh) meter; b. pada koridor jalan kabupaten minimal 8 (delapan) meter; dan c. pada koridor jalan lingkungan minimal 7 (tujuh) meter.

(3) GSB samping bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditentukan minimal 4 (empat) meter.

(4) GSB belakang bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, ditentukan minimal 4 (empat) meter.

Pasal 15

Setiap penambahan lantai bangunan, jarak bebas di atasnya ditambah 0,5 (nol koma lima) meter dari jarak bebas lantai di bawahnya.

Pasal 16

Elevasi lantai dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b ditentukan sebagai berikut:

a. lantai dasar bangunan pada kavling pertokoan dan kawasan komersial dengan ketinggian 75 (tujuh puluh lima) centi meter; dan

b. lantai dasar bangunan pada kavling hunian rumah deret dengan ketinggian 75 (tujuh puluh lima) centi meter.

Pasal 17

Orientasi bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c ditentukan sebagai berikut:

a. di sepanjang koridor jalan ditetapkan ke arah muka, atau tegak lurus menghadap ke jalan;

b. di atas kapling yang miring terhadap jalan tetap dianjurkan agar membangun sisi muka yang sejajar jalan;

(10)

c. di sisi persimpangan jalan atau bangunan sudut di anjurkan untuk menghadap ke dua arah jalan; dan

d. di sepanjang koridor tepian laut dan taman kota wajib menghadap taman dan perairan tersebut.

Pasal 18

Bentuk dasar bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d, mempertimbangkan kebutuhan ruangan, ekspresi budaya dan nilai-nilai arsitektur.

Pasal 19

(1) Penetapan bentuk dan posisi massa bangunan mempertimbangkan bahaya gempa dan tsunami.

(2) Bentuk dan massa bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. bentuk sederhana, simetris, seragam dan membentuk satu kesatuan; b. sisi panjang bangunan tegak lurus jalur jalan dan garis pantai.

Pasal 20

(1) Selubung bangunan bercirikan rancangan arsitektur tropis-basah dengan kearifan lokal.

(2) Garis langit-langit bangunan terbentuk oleh perbedaan ketinggian masing-masing bangunan pada tiap-tiap zona yang direncanakan.

Pasal 21

Rencana arsitektur bangunan diarahkan dengan mengembangkan gaya arsitektural Kolana yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi.

Pasal 22

Petanda untuk kawasan perencanaan ditetapkan sebagai berikut:

a. identitas, sebagai pengenal/karakter lingkungan dan sebagai titik referensi/orientasi pergerakan masyarakat;

b. nama bangunan, memberi tanda identitas suatu bangunan yang dapat dibarengi dengan petunjuk jenis kegiatan yang ada di dalamnya;

c. petunjuk sirkulasi, sebagai rambu lalu-lintas, sekaligus sebagai pengatur dan pengarah dalam pergerakan; dan

d. papan informasi, sebagai tempat untuk informasi kegiatan atau keterangan-keterangan kondisi/keadaan lingkungan.

Pasal 23

Pengembangan bangunan di kawasan perencanaan diharapkan memenuhi persyaratan bangunan yang memberikan kenyamanan dan keamanan bagi penghuninya.

Bagian Kelima

Rencana Sistem Sirkulasi dan Jalur Penghubung Pasal 24

(1) Rencana sistem sirkulasi dan jalur penghubung di kawasan perencanaan diatur sebagai berikut:

(11)

a. pengaturan sirkulasi dan aksesibilitas pada Kawasan Perencanaan dan Pusat Kegiatan:

1. sistem parkir direkomendasikan menggunakan sistem parkir di luar badan jalan (off street parking) dan kantong parkir; dan

2. penyediaan sarana dan prasarana untuk AKDP, mikrolet, ojek; dan 3. peningkatan kelengkapan perabot jalan (street furniture) dan rambu

jalan yang terkait dengan akses, sirkulasi dan transportasi.

b. pengaturan sirkulasi dan aksesibilitas pada jalan nasional, jalan kabupaten dan jalan lingkungan:

1. sistem parkir menggunakan di kantong parkir;

2. setiap kavling menyediakan area untuk parkir dalam bentuk ruang parkir;

3. penyediaan sarana dan prasarana angkutan umum; dan

4. peningkatan kelengkapan perabot jalan (street ffurniture) dan rambu jalan.

(2) Sistem pelayanan lingkungan direncanakan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan.

(3) Sisitem pelayanan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. pelayanan persampahan; dan b. pelayanan pemadam kebakaran. (4) Sistem pergerakan transit, meliputi:

a. lokasi tempat transit (transit point) ditempatkan pada kawasan publik antara lain pasar tradisional, ruang terbuka tepi jalan, pusat perdagangan dan pertokoan; dan

b. pengembangan halte sepanjang jalan yang dilintasi angkutan umum dengan jarak perletakan setiap 300 – 500 meter, atau pada pertemuan jalan yang strategis dengan minimal jarak dari ujung rambu adalah 50 meter.

Bagian Keenam

Sistem Utilitas Lingkungan Pasal 25

(1) Sistem utilitas lingkungan meliputi: a. jaringan listrik;

b. jaringan air bersih; c. jaringan drainase; dan

d. jaringan pembuangan air limbah.

(2) Penempatan jaringan listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, menggunakan sistem kabel listrik bawah tanah.

(3) Penempatan jaringan air bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, di ruang utilitas yang disediakan.

(4) Pelaksanaan sistem drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, mengacu pada standar teknis yang berlaku.

(5) Sistem pengelolaan air limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pada kawasan komersial maupun rumah hunian diresapkan ke dalam tanah dengan menggunakan unit tangki septik dan unit bidang resapan. (6) Setiap persil di kawasan perencanaan wajib membuat biopori.

(12)

Bagian Ketujuh

Ruang Terbuka dan Tata Hijau Pasal 26

(1) Ruang terbuka dan tata hijau meliputi kawasan sempadan sungai, kawasan sempadan pantai, tepi jalan dan taman/rekreasi kota.

(2) Ruang terbuka dan tata hijau privat, meliputi ruang sempadan bangunan dan sempadan antar bangunan.

Bagian Kedelapan

Tata Informasi dan Wajah Jalan Pasal 27

(1) Peletakan tata informasi dan wajah jalan dalam kawasan perencanaan diatur sebagai berikut:

a. permukaan trotoar/jalur pedestrian terbebas 2,1 (dua koma satu) meter dari tepi trotoar/jalur pedestrian;

b. permukaan jalan terbebas 5 (lima) meter dari tepi jalan; dan

c. persimpangan jalan terbebas 10 (sepuluh) meter dari tepi persimpangan jalan.

(2) Pemasangan penunjuk nama bangunan diarahkan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. menempel pada bangunan dengan posisi horisontal, ukuran yang diperkenankan adalah 1 x 5 (satu kali lima) meter;

b. menempel pada bangunan dengan posisi vertikal, ukuran yang diperkenankan adalah 1 x 3 (satu kali tiga) meter;

c. menggantung pada bangunan (arcade/kanopi), ukuran yang diperkenankan adalah 2 x 3 (dua kali tiga) meter; dan

d. pola bangunan tunggal diarahkan untuk membuat penunjuk informasi bangunan yang berdiri sendiri.

(3) Penunjuk nama jalan pada setiap kawasan ditempatkan pada ujung jalan. (4) Rambu pertandaan jalan maupun rambu untuk jalur penyelamatan

bencana alam, diarahkan terletak pada lokasi yang mudah terlihat, kuat, dan terpelihara.

Pasal 28

Penataan perabot jalan (street furniture)terdiri dari: a. halte ataushelter angkutan kota yang meliputi:

1. perletakkan halte tidak mengganggu sirkulasi pejalan kaki;

2. bangunan halte dilengkapi dengan nama halte dan ruang untuk reklame; dan

3. bentuk halte bercirikhas lokal. b. tempat sampah meliputi:

1. perletakkan tempat sampah pada tiap jarak 50 (lima puluh) meter atau disesuaikan dengan perletakan perabot jalan lainnya (halte, telepon umum, tempat duduk);

2. perletakkan tempat sampah tidak boleh mengganggu sirkulasi pejalan kaki;

(13)

4. bentuk tempat sampah disesuaikan dengan konsepstreet furniture. c. bangku jalan meliputi:

1. perletakkan bangku jalan pada tiap jarak 250 (dua ratus lima puluh) meter atau disesuaikan dengan tema dan kebutuhan kawasan dan berdekatan dengan tempat sampah;

2. perletakkan bangku jalan tidak mengganggu sirkulasi pejalan kaki; dan 3. bentuk bangku jalan secara fungsional tidak dapat dijadikan sebagai

tempat tidur dan/atau fungsi lain.

d. pos jaga polisi ditempatkan pada simpul jalan yang potensial terjadi kemacetan dan tidak mengganggu sirkulasi pejalan kaki;

e. lampu penerangan jalan dan lampu pedestrian:

1. perletakkan lampu penerangan jalan umum ditempatkan pada jalur tanaman pengarah;

2. peletakkan lampu pedestrian ditempatkan diantara pohon peneduh dibelakang bangku taman;

3. jarak peletakan, bentuk dan lumenasi mengacu pada standar teknis yang berlaku;

4. sumber tenaga listrik menggunakan sistem tenaga surya (solar system); dan

5. lampu penerangan umum dan lampu pedestrian tidak digunakan untuk menempatkan reklame tempel, spanduk, selebaran atau lainnya.

Bagian Kesembilan Batas Halaman dan Pagar

Pasal 29

(1) Batas halaman dan pagar diatur sebagai berikut: a. halaman depan bangunan;

b. halaman samping dan belakang bangunan; dan c. pagar.

(2) Halaman depan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diatur sebagai berikut:

a. penanaman pohon tidak menggangu estetika fasade bangunan dan lingkungannya secara keseluruhan;

b. penataan taman pada halaman depan bangunan diarahkan untuk menambah nilai estetika bangunan dan lingkungan;

c. perkerasan pada halaman depan bangunan menggunakan bahan yang berfungsi sebagai penyerap air; dan

d. halaman yang dipergunakan sebagai tempat parkir kendaraan, direncanakan dengan seksama sesuai kapasitas dan sirkulasi sehingga tidak mengganggu nilai estetika bangunan dan lingkungan.

(3) Halaman samping dan belakang bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tercantum dalam Dokumen RTBL KTCTPM.

(4) Pagar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur sebagai berikut: a. ketinggian maksimum pagar 1,5 (satu koma lima) meter; dan

(14)

Bagian Kesepuluh Mitigasi Bencana

Pasal 30 (1) Mitigasi bencana dilakukan dengan cara:

a. pelaksanaan peringatan dini;

b. peningkatan kesadaran warga; dan c. penataan jalur dan arah penyelamatan.

(2) Peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, direncanakan menggunakan sistem peringatan dini yang terintegrasi untuk kawasan yang lebih luas. (kecamatan).

(3) Peningkatan kesadaran warga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibentuk melalui jalur pendidikan formal maupun informal.

(4) Penataan jalur dan arah penyelamatan (evacuation/escape routes) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:

a. jalur evakuasi/penyelamatan, menggunakan jaringan jalan yang ada; dan

b. arah evakuasi/penyelamatan, menuju area penyelamatan/escape area yang terdiri dari bangunan penyelamatan, gedung penyelamatan dan lokasi evakuasi yang lebih tinggi permukaannya.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP Pasal 31

Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Alor.

Ditetapkan di Kalabahi

pada tanggal 16 Pebruari 2015 BUPATI ALOR,

AMON DJOBO Diundangkan di Kalabahi

pada tanggal 16 Pebruari 2015

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN ALOR,

HOPNI BUKANG

(15)

PENJELASAN ATAS

PERATURAN BUPATI ALOR NOMOR 4 TAHUN 2015

TENTANG

RENCANA TATA BANGUNAN DAN LINGKUNGAN

KAWASAN EKONOMI CEPAT TUMBUH PERKOTAAN MARITAING KECAMATAN ALOR TIMUR

I. UMUM

Kabupaten Alor merupakan salah satu kabupaten yang berbatasan laut dengan Negara Republik Timor Leste, karena itu merupakan salah satu kabupaten yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) dalam sudut kepentingan pertahan keamanan. Kota Kalabahi sebagai ibukota kabupaten Alor dengan sendirinya menjadi kota Pusat Kegiatan Strataegis Nasional (PKSN), sekaligus juga merupakan Kawasan Statagis Kabupaten (KSK). Dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor, kota Kalabahi ditetapkan sebagai Kawasan Statagis Kabupaten karena beberapa perimbangan atau sudut kepentingan sebagai berikut:

a. Sudut kepentingan pertahanan keamanan merupakan Kota Pusat Kegiatan Strategis Nasional;

b. Sudut Kepentingan Ekonomi kawasan cepat tumbuh, kawasan pelabuhan laut dan kawasan minapolitan;

c. Sudut Kepentingan Sosial Budaya merupakan kampung tradisional Aninfar dan museum Alor di kota Kalabahi;

Dalam kedudukan sebagai kota Pusat Kegiatan Strataegis Nasional perbatasan antar negara maka citra kota Kalabahi perlu diatur agar dapat menampilkan diri secara bermartabat sebagai wajah depan Negara Republik Indonesia. Pada sisi lain, sebagai kawasan strategis cepat tumbuh maka dinamika pembangunan fisik bangunan dan lingkungan di Kecamatan Alor Timur yang cenderung pesat dan bersifat organik perlu dikendalikan secara ketat.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1997 Penataan Ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, termasuk di dalamnya pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan stretgis kabupaten/kota dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Daerah tentang Rencana Umum dan Rencana Rinci Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten Alor maupun RDTR Maritaing diharapkan akan menjadi acuan spasial bagi program pembangunan sektoral di Kabupaten Alor dan Maritaing. Akan tetapi sesuai dengan tingkatan hierarkhi, skala dan kedalaman materi yang diatur di dalamnya, produk rencana tata ruang wilayah maupun kota pada umumnya hanya mengatur pola pemanfaatan lahan dalam dua dimensi, dan tidak cukup rinci untuk dijadikan landasan operasional pengendalian wujud fisik arsitektur atau bangunan gedung serta sarana dan prasarana lingkungan. Pengendalian pemanfaatan ruang, khususnya dalam bentuk pembangunan gedung, karena itu didasarkan pada Peraturan Daerah Bangunan Gedung, yang umumnya berlaku pada skala/tingkat

(16)

kabupaten/kota atau yang disebut sebagai Peraturan Bangunan Setempat (PBS). Masalahnya, PBS tidak dapat mengimbangi pertumbuhan fisik pembangunan pada bagian tertentu di perkotaan dan atau pengembangan daerah baru yang cenderung berskala relatif besar, serta pengembangan kawasan khusus seperti kawasan wisata, pusat pemerintahan atau kawasan pusat kota lama yang memiliki karateristik fisik yang khas.

Untuk mengendalikan perwujudan fisik tata bangunan di kawasan-kawasan khusus tersebut diperlukan suatu pengaturan tentang bangunan yang bersifat khusus berlaku di kawasan tersebut, yang bersifat lebih detail dan lebih spesifik dari pada PBS, serta dapat memberikan arahan tiga dimensional mengenai wujud fisik tata bangunan pada kawasan tersebut, atau yang lebih dikenal dengan Peraturan Bangunan Khusus (PBK). Untuk memberikan muatan teknis yang bermanfaat sebagai pedoman penyusunan rencana teknis bangunan maka suatu Peraturan Bangunan Khusus harus didasarkan pada suatu Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.

Pada dasarnya Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan penjabaran lebih lanjut dari kebijakan makro keruangan sebagaimana diatur di dalam produk Rencana Umum Tata Ruang Wilayah maupun Rencana Detail Tata Ruang Kota, untuk selanjutnya akan dijadikan acuan operasional dalam penyusunan Detail Engineering Design bangunan dan lingkungan. Dalam kedudukan ini maka Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) setidaknya memuat kebijakan teknis operasional pengendalian tata bangunan dan lingkungan untuk suatu kawasan yang telah ditetapkan pemanfaaatannya, dan berisi arahan program bangunan dan lingkungan, arahan investasi, panduan rancang bangun dan model simulasi desain bangunan dan lingkungan termasuk pedoman pengendalian perwujudannya.

Kerangka pemahaman ini menempatkan RTBL sebagai salah satu simpul penting di dalam hierarkhi konsep penataan ruang, yakni sebagai jembatan yang menghubungkan kebijakan Rencana Umum Tata Ruang dengan rekayasa rancang bangun lingkungan binaan. Sebagai jembatan maka RTBL bukanlah merupakan produk hilir yang dapat langsung dipakai sebagai acuan pembangunan fisik namun RTBL merupakan produk antara yang memiliki peran penting yang sangat menentukan kualitas produk akhir bangunan dan lingkungan. Oleh sebab itu maka menjadi penting dan mendesak bahwa setiap pengembangan kawasan strategis kabupaten, termasuk KSK Kota Kalabahi perlu dilengkapi dengan dokumen Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Untuk memberikan kekuatan hukum dalam pelaksanaannya maka RTBL KCTPM ini perlu ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas. Pasal 2

(17)

Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1)

Pembagian blok kawasan meliputi:

Blok I. Perdagangan Tradisional dan Pendukung Aktifitas Perbatasan, terdiri atas:

a. Rencana peruntukan lahan pada blok ini sebagian besar diperuntukkan bagi perkembangan fungsi perdagangan tradisional dan jasa, perkembangan fungsi areal budaya patung Sudirman;

b. Blok lingkungan ini diapit lautan lepas dan kegiatan perkotaan Maritaing. Diapit pertokoan dan komplek Pelni dan pada areal sekitar patung Sudirman.

c. Kegiatan fungsi ruang pada blok ini antara lain adalah Pasar tradisional, Pusat kerajinan, retail dan lain-lain, Parkir pasar, Kios usaha. Juga sebagai tepian laut (water front) di sepanjang tepian laut maritaing dengan konsep waterfront city, dan fungsi penunjang sebagai fasilitas umum (sarana rekreasi, budaya) dan sempadan pantai, serta ruang terbuka. Terdapat Pendopo budaya dan pusat informasi, Komplek pelni, Pusat informasi dan budaya dan Kebun buah asam dan mete, Plasa tepi laut (sekaligus sebagai sempadan pantai), Jalan lingkar tepi laut, Plasa Komplek Militer Pertahanan, Plasa budaya pelni, Plaza nyiur, Plasa rawa dan Tower gardu pandang.

Blok II : Fungsi Campuran, terdiri atas:

a. Rencana peruntukan lahan pada blok ini sebagian besar diperuntukkan bagi perkembangan fungsi campuran, perkantoran, perdagangan dan jasa, fasilitas umum (sarana peribadatan dan sarana pendidikan) serta Ruang Terbuka Hijau pada beberapa lokasi.

b. Blok lingkungan ini berada antara kawasan pertokoan dan jalan baru. Terdapat Kebun Agro, Ruang terbuka publik dan taman bermain, Peningkatan puskesmas dan balai, Kantor militer pertahanan perbatasan, masjid.

c. Kegiatan fungsi ruang pada blok ini antara lain adalah Pertokoan dan kantor-kantor.

Blok III : Wisata dan Permukiman pesisir, terdiri dari:

a. Rencana peruntukan lahan pada blok ini sebagian besar diperuntukkan bagi perkembangan fungsi utama kawasan yaitu guna lahan komersial permukiman sebagai fungsi pendukung water front. Juga fungsi areal wisata rawa yang dapat dikombinasikan dengan fungsi water front

(18)

c. Kegiatan fungsi ruang pada blok ini antara lain adalah Rumah makan apung, Kolam ikan bakau, Gasebo dan Kebun jagung dan ketela, Penginapan/losmen/hotel dan Kampung wisata.

Blok IV : Pemerintahan dan Permukiman

a. Rencana peruntukan lahan pada blok ini sebagian besar diperuntukkan bagi perkembangan fungsi campuran, perumahan, fasilitas umum (sarana pendidikan, sarana peribadatan) serta Ruang Terbuka Hijau pada beberapa lokasi. Juga lahan permukiman dan fungsi pendukung sebagai perdagangan dan jasa skala lingkungan dan ruang terbuka.

b. Blok lingkungan ini pada koridor poros utama perkotaan. c. Kegiatan fungsi ruang pada blok ini antara lain adalah

Komplek permukiman baru, Ruang terbuka permukiman dan area bermain, Peningkatan kualitas permukiman eksisting Peningkatan kualitas permukiman eksisting.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15

Hal ini bertujuan untuk menjaga penghawaan dan pencahayaan masing-masing bangunan dan keamanan dan keselamatan bangunan. Selain itu ruang tersebut dapat digunakan untuk jalur sirkulasi internal kavling dan jalur darurat apabila terjadi kebakaran. Pasal 16

Elevasi/peil lantai dasar dengan ketinggian 75 (tujuh puluh lima) centi meter ditentukan bagi seluruh bangunan pada kavling hunian rumah deret dengan tujuan agar tercipta pembedaan yang jelas antara ruang dalam dan ruang luar hunian sehingga konsep privat-publik dapat terjaga sehingga fungsi hunian sebagai tempat tinggal dapat berjalan dengan baik.

(19)

Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21

Peraturan bangunan berkaitan dengan konsep penggunaan bahan bangunan eksterior untuk Kawasan perencanaan dibuat dengan mempertimbangkan karakter langgam arsitektur lokal meliputi pengembangan ornamen, facade dan sebagainya yang bercirikan corak lokal. Untuk bahan bangunan diupayakan menggunakan bahan dari material yang kuat dan tidak rentan terhadap bencana alam dengan memperhatikan ketentuan corak lokal.

Penggunaan bahan bangunan diupayakan semaksimal mungkin menggunakan bahan bangunan lokal seta/kayu, bahan bangunan produksi dalam negeri/tempat, dengan kandungan lokal minimal 60%. Penggunaan bahan bangunan harus mempertimbangkan keawetan dan kesehatan dalam pemanfaatan bangunannya.

Pasal 22

Cukup jelas. Pasal 23

Adapun persyaratan bangunan yang harus dipenuhi meliputi: a. Persyaratan Kesehatan

1) Ventilasi

a) Setiap bangunan rumah tinggal harus memiliki ventilasi b) Ventilasi alami harus terdiri dari bukaan permanent, jendela,

pintu, atau sarana lainnya yang dapat dibuka sesuai dengan standar teknis yang berlaku

c) Luas ventilasi alami diperhitungkan minimal seluas 5% dari luas lantai ruangan yang diventilasi.

d) Sistem ventilasi buatan harus diberikan jika ventilasi alami yang ada tidak memenuhi persyaratan. Penempatan fan pada ventilasi buatan harus memungkinkan pelepasan udara secara maksimal dan masuknya udara segar, atau sebaliknya.

e) Bilamana digunakan ventilasi buatan, system tersebut harus bekerja terus menerus selama ruang tersebut dihuni.

f) Penggunaan ventilasi buatan harus memperhitungkan besarnya pertukaran udara yang disarankan untuk berbagai fungsi ruang dalam bangunan gedung sesuai pedoman dan standar teknis yang berlaku

2) Pencahayaan

a) Setiap bangunan harus memiliki pencahayaan alami dan/atau buatan sesuai dengan fungsinya.

b) Penerangan alami dapat diberikan pada siang hari untuk rumah dan gedung

(20)

c) Untuk penerangan malam hari digunakan penerangan buatan

d) Perencanaan sistem pencahayaan diarahkan dengan menggunakan lampu hemat energi dengan menggunakan kebutuhan dan mempertimbangkan upaya konservasi energi pada bangunan gedung.

b. Persyaratan Kenyamanan 1) Sirkulasi Udara

a) Setiap bangunan diharuskan untuk memberikan pengaturan udara untuk menjaga suhu udara dan kelembaban ruang b) Sistem sirkulasi udara ini bisa diarahkan untuk dilakukan di

dinding dan atap bangunan 2) Pandangan

a) Perletakan dan penataan elemen-elemen alam dan buatan pada bagian bangunan mau pun ruang luarnya untuk tujuan melindungi hak pribadi.

b) Perletakan bukaan pada bagian-bagian persimpangan jalan agar pengguna jalan saling dapat melihat sebelum tiba pada persimpangan.

3) Kebisingan

a) Elemen-elemen alami berupa deretan tanaman dengan daun lebat, atau elemen buatan berupa pagar dapat mengurangi kebisingan yang diterima oleh penghuni di dalam bangunan. b) Perletakan elemen-elemen alam dan buatan untuk

mengurangi/meredam kebisingan yang datang dari luar bangunan dan luar lingkungan.

4) Getaran

a) Penggunaan material dan sistem konstruksi bangunan untuk meredam getaran yang datang dari bangunan lain dan dari luar lingkungan.

b) Bangunan-bangunan baru berlantai dua ke atas konstruksinya harus memperhitungkan bahaya getaran terhadap kerusakan konstruksi dan elemen bangunan.

c. Persyaratan Struktur Bangunan 1) Bangunan Bawah

a) Bangunan bawah harus mampu mendukung semua beban yang diteruskan oleh struktur atas tanpa mengalami penurunan yang berlabihan.

b) Bangunan bawah direncanakan sedemikian rupa hingga bila terjadi penurunan akan bersifat merata.

c) Bangunan bawah harus diberi faktor keamanan yang lebih besar dibandingkan bangunan atas untuk menghindari kegagalan struktur yang dini, khususnya akibat terjadinya suatu gempa

2) Bangunan Atas

a) Bangunan atas harus mampu mendukung semua beban tanpa mengalami lendutan yang berlebihan.

b) Bangunan atas harus direncanakan sedemikian rupa hingga bila terjadi keruntuhan akan bersifat daktail.

(21)

Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b

halte dilengkapi dengan area drop-off penumpang sehingga tidak menyebabkan gangguan tundaan lalu lintas perjalanan kendaraan yang melewati ruas jalan dan dapat meningkatkan keselamatan dan kenyamanan penumpang angkutan umum. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas.

Referensi

Dokumen terkait

4. Untuk mencegah terjadinya erosi pada lereng gunung dibuat. Karang Bolong merupakan pantai tempat wisata yang indah, pembentukannya disebabkan oleh. Pohon yang ditanam di pantai

penambahan fasilitas pada Perpustakaan Nasional salah satu diantaranya area audiovisual yang tidak terwadahi dalam satu ruang sehingga dibutuhkan ruangan yang luas, (c)

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perancangan buku interaktif practical life dalam Montessori method dilakukan melalui analisis masalah yang ada di

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 402 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah

Ketetapan pemerintah RI dalam mengatur proses pemilu juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Pasal 1 mengenai pencalonan wakil rakyat perseorangan yang telah di tetapkan

Penelitian ini membahas mengenai pengaruh motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi, motivasi kekuasaan terhadap kinerja pegawai dengan kepuasan sebagai

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan hasil regresi menggunakan 3 model pendekatan Common Effect Model (CEM), Fixed Effect Model (FEM) dan Random

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2021 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya dan Gaji Ketiga Belas Kepada