• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Fakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis. Program Studi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Pembatalan Perkawinan Karena Saudara Sesusuan dan Akibat

Hukum Terhadap Anak Hasil Perkawinan (Studi Kasus Permohonan

Pembatalan Perkawinan Nomor 15/Pdt.G/2012/PA.PKc)

Fakhrani Ahliyah, Farida Prihatini, dan Sulaikin Lubis

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia

E-mail: fahliyah@gmail.com

Abstrak

Penulisan skripsi ini berfokus pada pembatalan perkawinan karena saudara sesusuan yang ditinjau dari Hukum Islam. Menurut Hukum Islam, perkawinan yang dilakukan oleh saudara sesusuan dilarang. Selain itu, pembuktian hubungan sesusuan menjadi fokus skripsi ini karena pembuktiannya tidak mudah. Apabila perkawinan dibatalkan, maka perkawinan dianggap tidak pernah terjadi sehingga akan berakibat pada status hukum suami-istri, harta dalam perkawinan, dan anak. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kepustakaan yang bersifat deskriptif-analitis dengan data sekunder sebagai sumber datanya. Pembatalan perkawinan karena hubungan sesusuan belum mempunyai pengaturan mengenai batasan timbulnya hubungan sesusuan, sehingga berdampak pada sulitnya pembuktian di pengadilan. Akibat dari pembatalan perkawinan tidak membuat anak sah kehilangan hak dari orang tuanya.

Analysis of Marriage’s Annulment Caused By Nest Relationship and Legal Implication Againts Children in That Marriage (Case Study on Annulment of Marriage No.

15/Pdt.G/2012/PA.Pkc) Abstract

This thesis focus is annulment of marriage which caused by acknowledgement by the “nest-mother” that the spouses are related by nest relationship. In Islamic Law perspective, marriage that happens between people who related by nest relationship is forbidden. In case of the marriage is annulment occurs, the marriage will be considered as never happened, so this will affect the legal status of the child from the marriage. The writing of this thesis uses literature based research method with secondary data as its data resources. There is no specific regulation concerning about annulment of marriage which caused by nest relation yet, and it will has an impact on authentication process in the Court. Annulment of marriage has no impact to the child’s rights in that marriage.

Keywords: Annulment of marriage; Marriage; Nest relationship.

Pendahuluan

Dalam rangka mewujudkan perkawinan, tentu saja terdapat persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan demi

(2)

sahnya perkawinan tersebut. Terhadap perkawinan yang sudah dilangsungkan namun ternyata tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan. Artinya, apabila perkawinan dilakukan dengan tidak memperhatikan mengenai apa saja yang menjadi syarat dan larangan perkawinan, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan.

Pembatalan perkawinan merupakan tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah. Sesuatu yang dinyatakan

tidak sah itu dianggap tidak pernah ada.1 Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan

bahwa perkawinan dianggap tidak sah dan dengan sendirinya dianggap tidak pernah ada atau batal. Oleh karena itu, pihak laki-laki dan perempuan yang perkawinannya dibatalkan dianggap tidak pernah melakukan perkawinan.

Adapun yang menjadi perhatian dalam hal ini adalah adanya pembatalan perkawinan yang disebabkan oleh dilanggarnya larangan perkawinan yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 70 Kompilasi Hukum Islam, yaitu larangan perkawinan antara saudara sesusuan. Saudara sesusuan adalah saudara yang diakibatkan oleh satu susu ibu yang diminumnya yang bukan merupakan ibunya sendiri, dengan beberapa syarat hingga memiliki akibat kemahraman. Sehingga sebenarnya tidak semua orang yang pernah satu susu dapat menjadi saudara sesusuan, namun perlu dilihat lagi

syarat-syarat yang dapat menjadikannya sebagai mahram.2

Adanya upaya pembatalan perkawinan dengan alasan bahwa pasangan suami istri ternyata adalah saudara sesusuan ini penulis temukan kasusnya dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc. Berdasarkan kasus tersebut, penulis menemukan hal-hal yang menarik untuk diteliti lebih mendalam yaitu mengenai pembuktian bahwa pihak suami dan istri tersebut adalah benar-benar saudara sesusuan dikarenakan penetapan saudara sesusuan juga membutuhkan beberapa syarat tertentu yang harus terlebih dahulu terpenuhi. Selain itu, anak juga menjadi hal yang dipersoalkan status dan kedudukannya apabila pembatalan perkawinan ini dikabulkan mengingat bahwa akibat                                                                                                                          

1 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Gitama Jaya: Jakarta, 2005), hlm. 59.

2 Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, persusuan,

dan pernikahan dalam hukum atau syariat Islam. Dikutip dari buku Hukum Perdata Islam di Indonesia, penulis Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, pada halaman 145.

(3)

dari pembatalan perkawinan adalah perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena suami-istri

merupakan saudara sesusuan?

2) Bagaimana pembuktian saudara sesusuan dalam hal permohonan pembatalan perkawinan

dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc?

3) Bagaimana akibat hukum apabila terjadi pembatalan perkawinan dengan Putusan

Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut?

Tujuan umum yang hendak dicapai adalah untuk memberikan suatu pemahaman yang lebih jelas mengenai pembatalan perkawinan menurut hukum yang berlaku di Indonesia serta akibat-akibat hukumnya. Sementara tujuan khususnya adalah:

1) Menjelaskan mengenai pembatalan perkawinan karena suami-istri merupakan saudara

sesusuan berdasarkan Hukum Islam.

2) Menjelaskan mengenai pembuktian saudara sesusuan dalam permohonan pembatalan

perkawinan dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor: 15/Pdt.G/2012/PA.Pkc.

3) Mengetahui apa saja akibat hukum yang dapat ditimbulkan dari adanya pembatalan

perkawinan terhadap anak yang dihasilkan dalam perkawinan tersebut. Tinjauan Teoritis

Perkawinan menurut Pasal 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiizhan untuk menaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Perkawinan menurut Wahbah al-Zuhaily adalah akad yang membolehkan terjadinya al-istimta’ (persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wath’i, dan berkumpul

(4)

selama wanita tersebut bukan wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan, atau

sepersusuan.3

Pembatalan perkawinan menurut para Sarjana Hukum adalah tindakan pengadilan berupa keputusan yang menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah, dan

dengan sendirinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada atau batal.4

Larangan perkawinan menurut Amir Syarifuddin adalah orang-orang yang tidak boleh dikawini oleh seseorang, yaitu perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang

laki-laki atau laki-laki mana saja yang tidak boleh dikawini oleh seorang perempuan.5

Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif yaitu penelitian yang menekankan penggunaan norma-norma hukum tertulis yang terdapat di peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pembatalan perkawinan. Jenis data yang digunakan utamanya adalah data sekunder yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku referensi, dan hasil penelitian yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan, serta didukung oleh data primer berupa hasil wawancara dengan narasumber. Oleh karena jenis data utama yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder, maka alat pengumpulan data yang digunakan guna memperoleh data-data tersebut adalah studi dokumen. Selain itu, data primer juga digunakan untuk mendukung penelitian ini dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa wawancara dengan salah satu Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.

Hasil Penelitian

Metode kualitatif merupakan metode analisis data yang menghasilkan data deskriptif-analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh objek penelitian yang bersangkutan secara tertulis

serta penerapan nyatanya.6 Penelitian deskriptif bertujuan untuk menganalisis suatu

permasalahan yang timbul atau juga yang mungkin dapat terjadi.7 Penelitian ini akan

                                                                                                                         

3 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), hlm. 29. 4 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga Indonesia, ed. 1, cet. 2,

(Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 59.

5 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, ed. 1, cet. 1, (Bogor: Kencana, 2003), hlm. 106.

6 Sri Mamudji, dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2005), hlm. 67.

(5)

menggambarkan bagaimana hukum perdata nasional dan hukum Islam memandang mengenai pembatalan perkawinan karena pasangan suami-istri merupakan saudara sesusuan dan juga akibat hukumnya terhadap anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut apabila terjadi pembatalan perkawinan.

Pembahasan

Perkawinan menurut Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan didefinisikan sebagai berikut:

Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganggap bahwa ikatan lahir batin merupakan hal yang penting dalam perkawinan sehingga tujuan melakukan perkawinan bukan sekadar untuk memenuhi hawa

nafsu.8 Perkawinan dikatakan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada dasarnya, tujuan perkawinan menurut perintah Allah SWT adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan rumah tangga yang

damai dan teratur.9 Selain itu, Kompilasi Hukum Islam mengatakan bahwa perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan

rahmah.10 Oleh karena itu, untuk dapat mewujudkan perkawinan dan mencapai tujuan tersebut, maka terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun dan syarat itu terdapat pengaturannya dalam al-Qur’an, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam hal perkawinan belum dilaksanakan dan ternyata terdapat rukun atau syarat yang belum terpenuhi, maka dapat dilakukan pencegahan perkawinan. Namun apabila tidak                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          

8 Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 1991), hlm. 5.

9 Yunus Mahmud, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: CV Al-Hidayah, 1964), hlm. 1.

10 Indonesia, Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991,

(6)

terpenuhinya rukun atau syarat perkawinan itu setelah perkawinan dilangsungkan, maka dapat dilakukan pembatalan perkawinan.

Pembatalan perkawinan dalam Islam dapat dilakukan dengan beberapa cara. Salah

satunya adalah dengan fasakh, yaitu membatalkan perkawinan antara suami dan istri karena

disebabkan oleh terjadinya kerusakan atau cacat pada akad perkawinan maupun disebabkan

oleh hal-hal yang datang kemudian sehingga perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.11

Sayuti Thalib mengartikan fasakh sebagai diputuskannya hubungan perkawinan atas

permintaan dari salah satu pihak oleh Hakim Agama karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang telah terjadi tersebut sebenarnya sah, namun

karena difasakhkan maka menjadi bubar hubungan perkawinannya.12

Terjadinya kerusakan atau kecacatan pada akad perkawinan dapat disebabkan oleh

tidak terpenuhinya salah satu rukun maupun syarat-syarat perkawinan. Dalam istilah fiqih,

hal ini disebut dengan nikah al-fasid untuk perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat

perkawinan dan nikah al-batil untuk perkawinan yang tidak memenuhi rukun-rukun

perkawinan.

Kasus yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Pangkalan Kerinci Nomor 15/Pdt.G/2012/PA.PKc adalah mengenai permohonan pembatalan perkawinan. Dalam kasus ini terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu istri sebagai Pemohon, suami sebagai Termohon I, dan Termohon II yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Bunut tempat perkawinan antara Pemohon dan Termohon I dicatatkan.

Dalam permohonannya, Pemohon meminta Majelis Hakim untuk membatalkan perkawinan antara Pemohon dengan Termohon I yang terjalin sejak tahun 1992. Alasan permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Pemohon adalah bahwa pernikahan yang terjadi antara Pemohon dan Termohon I tidak sah karena telah melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang telah diatur dalam al-Qur’an maupun UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

                                                                                                                         

11 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru, 2003), hlm. 217.

12 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, cet.5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press),

(7)

Dalam kasus, semua rukun nikah berdasarkan Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam seperti calon suami, calon istri, wali nikah, 2 (dua) orang saksi, serta Ijab dan kabul telah terpenuhi. Pada saat berlangsungnya perkawinan, Termohon I sebagai calon suami dan Pemohon sebagai calon istri. Sementara wali nikah pada perkawinan mereka adalah ayah Pemohon dan juga dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi seperti yang telah disampaikan Termohon I. Dengan demikian, perkawinan yang dilakukan oleh Pemohon dan Termohon I

tidak melanggar rukun-rukun perkawinan sehingga perkawinan mereka bukan nikah al-batil.

Pemohon mengajukan pembatalan perkawinan dengan alasan bahwa Pemohon dan Termohon I merupakan saudara sesusuan. Salah satu syarat umum perkawinan dalam Islam adalah perkawinan tidak boleh melanggar ketentuan mengenai larangan perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu Q.S. an-Nisaa ayat 22, 23, dan 24 mengenai larangan perkawinan karena hubungan darah, semenda, dan saudara sesusuan. Selain dalam al-Qur’an, syarat-syarat perkawinan yang tidak terpenuhi dalam perkawinan antara Pemohon dan Termohon I juga terdapat ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melakukan perkawinan dengan saudara sesusuan telah melanggar ketentuan Pasal 8 huruf d UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana terdapat larangan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita apabila berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.

Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 39 angka 3 juga telah menentukan larangan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena pertalian sesusuan, yaitu dengan wanita yang menyusuinya dan garis keturunannya ke atas, dengan wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis keturunan ke bawah, dengan wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah, dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas, serta dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya. Dalam kasus ini, Termohon I diduga mengawini saudara sesusuannya sendiri, yaitu Pemohon.

Apabila melihat ketentuan di atas, perkawinan Pemohon dan Termohon I telah melanggar syarat perkawinan yaitu perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan perkawinan yang terdapat dalam Q.S. an-Nisaa ayat 23, Pasal 8 huruf d UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 39 angka 3 KHI. Dalam hal ini larangan perkawinan

(8)

yang dimaksud adalah larangan perkawinan karena saudara sesusuan sehingga perkawinan tersebut tidak sah dan batal dengan sendirinya menurut hukum Islam.

Menurut ketentuan Hukum Islam, satu atau dua isapan saja dalam menyusu terhadap seorang wanita belum menimbulkan hubungan sesusuan. Setidaknya terdapat 2 (dua) syarat

timbulnya hubungan sesusuan, yaitu:13

1) Anak yang menyusu masih berusia 2 tahun sehingga air susu ibu pada masa

tersebut akan menjadi pertumbuhannya.

2) Anak tersebut menyusu sebanyak 5 (lima) kali dengan waktu yang berlainan.

Sementara menurut Majelis Ulama Indonesia dalam Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Nomor 28 Tahun 2013 tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu (Istirdla’), terjadinya

mahram atau larangan pernikahan karena hubungan sesusuan ini tidak jauh berbeda dengan

apa yang disebutkan sebelumnya, yaitu harus memenuhi syarat sebagai berikut:14

1) Usia anak yang menerima susuan maksimal 2 (dua) tahun;

2) Ibu yang menyusui diketahui identitasnya secara jelas;

3) Jumlah air susu yang dikonsumsi sebanyak minimal 5 (lima) kali persusuan;

4) Cara penyusuannya dilakukan secara langsung maupun melalui perahan;

5) Air susu yang dikonsumsi oleh anak tersebut mengenyangkan.

Pada dasarnya, penentuan syarat seperti yang telah disebutkan di atas bertujuan untuk memastikan bahwa penyusuan yang dilakukan oleh si ibu terhadap anak yang bukan anak kandungnya itu telah sempurna. Sempurna dalam hal ini artinya air susu tersebut telah bercampur menjadi darah dan daging dari si anak sehingga timbul hubungan sesusuan yang mengakibatkan ibu susuannya menjadi seperti ibu kandungnya dan saudara-saudara sesusuannya seperti saudara-saudara kandungnya.

Terhadap perkawinan yang terjadi antara saudara sesusuan, berdasarkan Pasal 25 UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 74 ayat (1) KHI dapat dimohonkan

pembatalan perkawinan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami                                                                                                                          

13 Syarifuddin, loc. cit..

(9)

atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Adapun tata cara permohonan pembatalan perkawinan diatur dalam Bab VI Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian.

Dengan demikian, meskipun perkawinan yang dilakukan antara saudara sesusuan apabila dilihat menurut hukum Islam telah batal dengan sendirinya tanpa memerlukan permohonan pembatalan dari pihak-pihak yang berhak, namun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengharuskan diajukannya pembatalan perkawinan demi kepastian hukum.

Untuk dapat membuktikan adanya hubungan sesusuan di antara Pemohon dengan Termohon I, maka Pemohon mengajukan alat bukti berupa alat bukti surat dan alat bukti saksi. Pemohon dalam kasus mengajukan alat bukti surat berupa akta otentik, yaitu fotokopi Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 124/03/I/1993, fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon, fotokopi Kartu Keluarga, dan fotokopi Akta Kelahiran anak Pemohon dan Termohon I. Fotokopi dapat diterima sebagai alat bukti apabila fotokopi itu disertai dengan keterangan atau dengan jalan apapun secara sah bahwa fotokopi-fotokopi tersebut sama

dengan aslinya.15

Mengenai keterangan saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 284 R.Bg harus terbatas pada peristiwa-peristiwa yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri, dan disertai alasan-alasan bagaimana diketahuinya peristiwa yang diterangkan oleh saksi-saksi tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Imam Al Kahlani yang mengatakan bahwa saksi tidak boleh memberikan

kesaksian, kecuali apa yang ia lihat dan alami sendiri.16

Sedangkan saksi-saksi yang diajukan oleh Pemohon ini tidak secara langsung mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa saat ibu kandung Pemohon menyusui Termohon I waktu masih kecil, melainkan hanya sebatas mendengar dari cerita, baik dari ibu                                                                                                                          

15 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 7, cet. 1, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm.

165.

16 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, cet. 3, (Jakarta:

(10)

kandung Pemohon maupun orang lain. Kesaksian semacam itu disebut dengan testimonium de auditu.17

Mengenai nilai pembuktian dari kesaksian testimonium de auditu ini tidak ada

nilainya sama sekali, akan tetapi keterangan-keterangan yang demikian itu dapat digunakan untuk menyusun persangkaan atau untuk melengkapi keterangan saksi-saksi yang bisa

dipercayai.18 Sehingga Majelis Hakim seharusnya dapat pula mempertimbangkan mengenai

kesaksian testimonium de auditu yang diajukan Pemohon. Pendapat ini kemudian didukung

dengan adanya pendapat dari Imam Syafi’i yang memperbolehkan seorang hakim untuk

menggunakan saksi testimonium de auditu dalam hal-hal yang berhubungan dengan nikah

dan permasalahannya. Begitu pula pendapat yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah dan

Imam Ahmad bahwa saksi testimonium de auditu tersebut dapat digunakan dalam hal yang

berhubungan dengan pernikahan.19

Diperbolehkannya penggunaan saksi testimonium de auditu juga dapat dilihat dalam

Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959. Sehingga Majelis Hakim seharusnya menggunakan kebebasan untuk membuat persangkaan berdasarkan keterangan pihak ketiga yang disampaikan oleh saksi. Keterangan saksi berdasarkan pendengaran dari pihak ketiga dapat dianggap sebagai bukti langsung tentang kebenaran bahwa pihak ketiga menyatakan demikian, lepas dari kebenaran materiil yang

dikatakan oleh pihak ketiga tersebut.20

Pembatalan perkawinan pasti menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila dalam perkawinan sebelum dibatalkan tersebut telah lahir anak, maka tentu saja dengan adanya pembatalan perkawinan ini dapat menimbulkan akibat hukum pula bagi anak dalam perkawinan yang dibatalkan itu. Hal ini dikarenakan adanya hubungan hukum antara orang tua dan anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

                                                                                                                         

17 Testimonium de auditu adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain, ia tidak melihatnya atau

mengalaminya sendiri, melainkan hanya mendengarnya saja dari orang lain tentang kejadian tersebut atau adanya hal-hal tersebut. Dikutip dari buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, penulis Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, pada halaman 74.

18 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, cet.

11, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 74.

19 Manan, op. cit., hlm. 375. 20 Mertokusumo, op. cit., hlm. 170.

(11)

Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI, pembatalan perkawinan baru akan menimbulkan akibat hukum saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan tersebut. Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 74 ayat (2) KHI dikatakan bahwa:

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Ketentuan Pasal di atas menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Menurut penulis, kalimat “sejak saat berlangsungnya perkawinan” berarti bahwa perkawinan yang dibatalkan tersebut dianggap sama sekali tidak pernah ada karena pembatalan itu berlaku dari saat berlangsungnya perkawinan. Sehingga akibat-akibat hukum yang timbul karena adanya pembatalan perkawinan ini adalah segala akibat hukum yang timbul karena perkawinan akan kembali seperti semula sebelum adanya perkawinan.

Namun menurut Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap:

1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan;

2) Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta

bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;

3) Orang-orang ketiga lainnya yang tidak termasuk anak-anak atau suami atau

istri sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Berdasarkan Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam, keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

1) Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad.

2) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

3) Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,

sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.

(12)

Apabila melihat ketentuan di atas, maka akibat-akibat hukum pembatalan perkawinan tidak mempengaruhi status anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibatalkan tersebut. Dengan demikian, anak yang dilahirkan dalam perkawinan tetap mempunyai hubungan hukum dengan kedua orang tuanya sehingga tetap dapat mempunyai hak dan kewajiban dengan kedua orang tuanya.

Bagi pernikahan yang batal karena tidak dipenuhinya salah satu syarat perkawinan

atau nikah al-fasid, anak yang lahir dalam perkawinan tersebut secara sah dinisbahkan

kepada suami atau ayah si anak demi kepentingan anak tersebut. Menurut Abu Hanifah, hal ini dilakukan karena wujud dari akad nikah itu dianggap sudah ada sedangkan yang cacat

adalah syaratnya.21

Kemudian, kewajiban orang tua menurut Pasal 45 dan 48 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap berlaku dan diberikan kepada anak. Kewajiban tersebut adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya

hingga anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri.22 Berdiri sendiri dalam hal ini maksudnya

adalah anak tersebut sudah dapat hidup secara mandiri atau lepas dari ketergantungan terhadap orang tuanya, biasanya diartikan pula sebagai sudah mempunyai pekerjaan.

Dalam hal kewarisan, anak tersebut juga tetap dapat mewaris, baik dari garis

keturunan ayah maupun garis keturunan ibu.23 Namun sebelumnya harus dilihat terlebih

dahulu apakah kedua orang tua yang membatalkan perkawinan ini sudah mengetahui dari awal bahwa terdapat hubungan sesusuan di antara mereka atau belum. Dalam kasus, sebenarnya kedua orang tua si anak, yaitu Pemohon dan Termohon I, sejak awal telah mengetahui bahwa mereka adalah saudara sesusuan dengan adanya pengakuan dari ibu Pemohon, sehingga apabila perkawinan dibatalkan maka si anak tidak berhak untuk saling mewaris dengan kedua orang tuanya, melainkan dapat digantikan dengan cara hibah.

Selanjutnya, anak dalam kasus ini berhak untuk memilih akan tinggal dengan ayah

atau ibunya karena ia telah mumayyiz, yaitu berusia sekitar 18 tahun ketika putusan

Pengadilan. Baik anak tersebut memilih tinggal bersama ayah atau ibunya, biaya                                                                                                                          

21Neng Djubaedah, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:

PT. Hecca Mitra Utama, 2005), hlm. 180.

22 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, Ps. 45.

23 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Gitama Jaya: Jakarta, 2005), hlm.

(13)

pemeliharaan anak tetap menjadi tanggungan ayahnya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 105 KHI.

Walaupun anak hanya akan tinggal dengan salah satu orang tuanya setelah adanya pembatalan perkawinan, namun kedua orang tua tetap mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sebaik-baiknya sampai anak tersebut kawin atau setidaknya dapat berdiri sendiri. Hal tersebut diatur dalam Pasal 4 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa:

1) Perkawinan yang dilakukan antara saudara sesusuan apabila dilihat menurut hukum

Islam seharusnya batal dengan sendirinya demi hukum tanpa memerlukan permohonan pembatalan dari pihak-pihak yang berhak. Para pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan telah ditentukan dalam Pasal 23 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 73 KHI.

Meskipun seharusnya perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan yaitu larangan antara saudara sesusuan batal demi hukum, namun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengharuskan diajukannya permohonan pembatalan perkawinan. Hal ini diperlukan demi kepentingan administratif, sehingga pembatalan perkawinan tersebut dapat mempunyai kekuatan hukum tetap dengan diputuskannya dalam Pengadilan berkaitan dengan akibat hukum yang akan timbul dengan adanya pembatalan perkawinan.

2) Alat bukti yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada dasarnya sama dengan alat

bukti pada Pengadilan dalam lingkup umum, yaitu alat buti surat, alat bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Pembuktian hubungan sesusuan ini cukup sulit. Alat bukti saksi yang diajukan harus mengalami, melihat, dan mendengar sendiri peristiwa yang diperkarakan. Sementara itu dalam pembuktian hubungan persusuan ini sangat sulit mendapatkan saksi yang secara langsung mengalami, melihat, dan

mendengar sendiri peristiwa penyusuan itu. Sehingga seharusnya saksi testimonium de

(14)

3) Apabila pembatalan perkawinan diputuskan oleh Pengadilan, akibat-akibat hukum yang timbul dari adanya pembatalan perkawinan tersebut tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang dibatalkan. Dengan demikian, anak-anak-anak-anak tersebut tetap memiliki hubungan hukum, baik dengan ayah maupun ibunya. Ayah dan ibu anak tersebut tetap harus melaksanakan kewajibannya terhadap si anak, serta memberikan apa yang menjadi hak si anak, termasuk dalam hal ini hak untuk saling mewaris.

Saran

1) Majelis Hakim sebaiknya tetap mempertimbangkan keterangan yang diberikan oleh

saksi-saksi testimonium de auditu dari pihak Pemohon dengan persangkaan hakim karena

untuk mendapatkan saksi yang secara langsung benar-benar menyaksikan peristiwa penyusuan itu sangatlah sulit, apalagi ibu Pemohon yang secara nyata mengetahui peristiwa tersebut sudah meninggal dunia.

2) Majelis Hakim sebaiknya melihat yurisprudensi-yurisprudensi yang ada mengenai

permasalahan yang sama, dalam kasus ini contohnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959, dimana dalam yurisprudensi

tersebut saksi testimonium de auditu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam

memutuskan suatu perkara. Daftar Referensi

Al-Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu. Juz VII. Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ikhtiar Baru, 2003.

Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di

Indonesia. Ed. 1. Cet. 2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Djubaedah, Neng, Sulaikin Lubis, dan Farida Prihatini. Hukum Perkawinan Islam di

Indonesia. Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama, 2005.

Indonesia. Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974.

Indonesia. Undang-Undang Peradilan Agama, UU No. 59 Tahun 2009, LN No. 59 Tahun

2009.

Indonesia. Instruksi Presiden tentang Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden Nomor 1

(15)

Mahmud, Yunus. Hukum Perkawinan Dalam Islam. Jakarta: CV Al-Hidayah, 1964.

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Seputar Masalah Donor Air Susu Ibu.

Mamudji, Sri, dkk. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Cet. 3.

Jakarta: Kencana, 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Ed. 7. Cet. 1. Yogyakarta: Liberty,

2006.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Rasjidi, Lili. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 1991.

Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan

Perdata Barat. Gitama Jaya: Jakarta, 2005.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori

dan Praktek. Cet. 11. Bandung: Mandar Maju, 2009.

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Fiqh. Ed. 1. Cet. 1. Bogor: Kencana, 2003.

_______________ Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Cet.5. Jakarta: Penerbit Universitas

Referensi

Dokumen terkait

Maka atas pertimbangan tersebut, penulis melakukan penelitian dengan mengambil judul “ Pengaruh Tingkat Suku Bunga, Bagi Hasil, FDR, NPF, dan Jumlah Kantor Terhadap Deposito

Penelitian ini membahas tentang perkuatan lentur balok beton bertulang menggunakan GFRP (glass fiber reinforced polymer) dan Wiremesh. Balok yang digunakan mempunyai dimensi

Beberapa hal yang menjadi faktor pendukung maraknya praktek perikanan destruktif di pulau-pulau kecil kawasan Taman Nasional Taka Bonerate ini yaitu, karena masih lengahnya

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa implementasi dari metode DFT yang diimplementasikan pada bahasa pemrograman C untuk menghitung energy keadaan dasar pada

Sampel yang digunakan adalah Quota sampling yaitu sampel dikumpulkan sampai mencapai jumlah yang diinginkan, jumlah sampel yang diinginkan adalah 50 responden persalinan

Dari uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa Media Masa Harian Pagi Riau Pos memiliki program dan alat-alat yang baik dan canggih dalam mendukung

Persoalan lainnya dalam piutang negara adalah kasus BLBI yang disalurkan oleh Bank Indonesia kepada perbankan nasional, yang sudah menjadi piutang negara , tidak

Dari hasil analisis diperoleh nilai-nilai parameter Marshall pada setiap kelompok benda uji dimana gradasi batas tengah kelompok benda uji I adalah gradasi yang