• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang (Coral Reef) merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar perairan dan berupa bentukan batuan kapur (CaCO3) yang cukup kuat

menahan gaya gelombang laut. Organisme-organisme yang dominan hidup di sini adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur, dan alga yang juga mengandung kapur. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat, dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993).

Terumbu karang (coral reef) sebagai ekosistem dasar laut mempunyai arsitektur yang mengagumkan dan dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut polip. Dalam bentuk sederhana, karang terdiri dari satu polip yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak di bagian atas dan dikelilingi oleh tentakel (Barnes 1987; Lalli & Parsons 1995). Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang akan berkembang menjadi banyak individu yang disebut koloni (Sorokin 1993).

Berdasarkan pada kemampuan memproduksi kapur, karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Karang hermatipik adalah karang yang dapat membentuk bangunan karang dikenal sebagai terumbu dan penyebarannya hanya di daerah tropis sementara karang ahermatipik tidak menghasilkan terumbu dan ini merupakan kelompok yang tersebar luas di seluruh dunia. Perbedaan utama diantara keduanya adalah adanya simbiosis mutualisme antara karang hermatipik dengan zooxanthellae, yaitu sejenis alga uniselular (Dinoflagellata unisular), seperti Gymnodinium microadriatum, yang terdapat di jaringan-jaringan polip binatang karang dan melaksanakan fotosintesis (Ditlev 1980; Barnes & Hughes 1990; Nybakken 1992; Veron 1995).

Karang hermatipik mempunyai sifat yang unik yaitu perpaduan antara sifat hewan dan tumbuhan sehingga arah pertumbuhannya selalu bersifat fototopik positif. Pada umumnya jenis karang ini hidup di perairan pantai yang cukup

(2)

dangkal dimana penetrasi cahaya matahari masih dapat mencapai dasar perairan tersebut (Nybakken 1992).

Hewan karang sebagai pembangun utama terumbu adalah organisme laut yang efisien karena mampu tumbuh subur dalam lingkungan sedikit nutrien (oligotrofik). Menurut Sumich (1992) dan Burke et al. (2002), sebagian besar spesies karang melakukan simbiosis dengan alga simbiotik yaitu zooxanthellae yang hidup pada jaringan tubuhnya. Dalam simbiosis tersebut, zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang, sedangkan karang menghasilkan komponen inorganik berupa nitrat, fosfat dan karbon dioksida untuk keperluan hidup zooxanthellae.

Barnes (1980) menjelaskan bahwa adanya proses fotosintesa oleh alga menyebabkan bertambahnya produksi kalsium karbonat dengan menghilangkan karbon dioksida dan merangsang reaksi kimia yaitu: Ca (HCO3) <==> CaCO3 +

H2CO3 <==>H2O + CO2. Selanjutnya menurut Ditlev (1980), fotosintesa oleh alga

yang bersimbiosis membuat karang pembentuk terumbu menghasilkan deposit cangkang yang terbuat dari kalsium karbonat, kira-kira 10 kali lebih cepat daripada karang yang tidak membentuk terumbu (ahermatipik) dan tidak bersimbiosis dengan zooxanthellae.

Terumbu adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scelaractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Kelas Anthozoa tersebut terdiri dari dua sub-kelas yaitu Hexacorallia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang dibedakan menurut asal-usul, morfologi dan fisiologi. (Nybakken 1992).

Berdasarkan morfologinya, Barnes dan Hughes (1990) membedakan karang dengan melihat bentuk skeleton sebagai berikut : (a) Devonhire cup-coral (spesies non-hermatypic), (b) Karang masif dengan bagian kepala polip terpisah, (c) Karang otak ma sif, (d) Karang kuping masif, (e) Karang masif dengan kuping, (f) Karang menyerupai daun paku, (g) Karang bercabang kecil, (h) Karang bercabang “tanduk rusa jantan”, dan (i) Karang bercabang “tanduk rusa tua”.

(3)

English et al. (1994) menggolongkan beberapa karakteristik morfologi karang keras yang digunakan sebagai kategori yaitu seperti bentuk jari, karang susun, bercabang, masif, sub- masif, karang daun, karang kerak, dan karang mushroom. Menurut Veron (1986), morfologi skeleton karang merupakan hasil jadi dari bentuk pertumbuhan koloni karang. Istilah paling umum yang digunakan olehnya untuk menggambarkan bentuk pertumbuhan karang yaitu: massive (sama dalam semua dimensi), columnar (berbentuk tonggak), branching (seperti cabang pohon atau jari), encrusting (melekat pada substrata atau berbentuk kerak, foliaceous (seperti daun), laminar (seperti lempengan) dan free living (hidup lepas dari substrat).

Dahl (1981) membagi tipe pertumbuhan dan karakteristik masing- masing genera dari terumbu karang sebagai berikut:

1. Tipe Bercabang (Branching) yaitu karang yang memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya.

2. Tipe Padat (Massive) yaitu karang yang berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika beberapa bagian dari karang tersebut mati, karang ini akan berkembang menjadi tonjolan dan bila berada di daerah dangkal, bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan terumbu adalah halus dan padat.

3. Tipe Kerak (Encrusting) yaitu karang yang tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu. Karang ini memiliki permukaan yang kasar dan keras serta lubang-lubang kecil.

4. Tipe Meja (Tabulate) yaitu karang yang berbentuk menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

5. Tipe Daun (Foliose) yaitu karang yang tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar.

6. Tipe Jamur (Mushroom) yaitu karang yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut.

(4)

Dilihat dari proses geologis terbentuknya dan hubungannya dengan daratan, terumbu karang dibagi menjadi tiga bentuk dasar yaitu: terumbu karang tepi (fringing reefs), terumbu karang penghalang (barrier reefs), dan terumbu karang cincin (atol). Tomascik (1993) menjelaskan tiga tipe tersebut sebagai berikut: a. Terumbu karang tepi (Fringing Reef) yaitu terumbu karang yang tumbuh dan

berkembang di tepi suatu pulau yang umumnya mempunyai lebar yang bervariasi antara 0.1-1 km.

b. Barrier reef yaitu terumbu karang yang tumbuh dan berkembang terpisah dari pulau dan umumnya dipisahkan oleh alur atau goba yang dalam.

c. Atol adalah terumbu karang yang membentuk lingkaran dan di tengah terdapat goba yang dalam. Atol biasanya terbentuk di tengah laut yang dalam dan muncul kepermukaan akibat proses penenggelaman suatu gunung.

Pertumbuhan dan perkembangan terumbu serta koloni karang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Veron (1986) mengemukakan faktor- faktor utama yang menentukan distribusi karang pada suatu terumbu adalah kedalaman, aksi gelombang, cahaya, sedimen, suhu, bathimetri dan pola sirkulasi samudera. Sementara Nybakken (1992) menyatakan bahwa beberapa faktor yang menjadi pembatas dalam pertumbuhan terumbu karang antara lain: kedalaman dan kejernihan air, suhu perairan, cahaya, salinitas, sedimentasi dan pergerakan air laut (arus).

Terumbu karang merupakan ekosistem laut dangkal daerah tropis dimana perkembangan yang terbaik berada pada suhu antara 25-29 °C (Salm & Clark 1989). Suhu berperanan penting dalam membatasi sebaran terumbu karang. Oleh sebab itu, terumbu karang tidak ditemukan di daerah beriklim sedang (temperate) apalagi di daerah dingin (Nybakken 1992). Karang hermatypic dapat bertahan hidup beberapa waktu pada suhu sedikit di bawah 20 °C, akan tetapi tidak ada yang berkembang pada suhu minimum tahunan rata-rata 18 °C (Wells 1957, diacu dalam Nybakken 1992). Perkembangan paling optimal bagi terumbu karang terjadi di perairan yang rata-rata suhu tahunannya antara 23-25 °C sedangkan suhu ekstrim yang masih dapat ditolerans i berkisar antara 36-40 °C (Nybakken 1992).

Menurut Suharsono (1999), Perubahan suhu lingkungan dapat menghambat pertumbuhan karang. Pemanasan global yang melanda perairan tropis di tahun

(5)

1998 terbukti telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching) yang diikuti dengan kematian masal mencapai 90-95%. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa selama peristiwa pemutihan tersebut, rata-rata suhu permukaan air di perairan Indonesia adalah 2-3 °C di atas suhu normal.

Perubahan salinitas juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan terumbu karang. Nybakken (1992) berpendapat bahwa karang hermatypic sebagai organisme laut sejati tidak dapat bertahan pada salinitas yang jelas menyimpang dari salinitas air laut yang normal yaitu 32-35‰. Adapun menurut Nontji (2005), kisaran untuk perubahan salinitas yang masih dapat ditoleransi terumbu karang untuk bertahan adalah pada selang nilai 27-40‰.

Karang akan menurun pertumbuhannya dengan bertambahnya kedalaman perairan dan jika air keruh, karang hanya dapat tumbuh pada kedalaman 2 m. Menurut Ditlev (1980), pada air jernih di sekitar pulau-pulau samudera, karang dapat tumbuh sampai pada kedalaman lebih dari 80 m. Sementara itu, Nybakken (1992) menyatakan bahwa terumbu karang tidak dapat berkembang pada perairan yang lebih dalam antara 50-70 m dan kebanyakan dapat hidup antara kedalaman 0-25 m dari permukaan laut.

Demikian pula halnya dengan cahaya yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan karang karena dibutuhkan zooxanthellae untuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang akibatnya kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat (CaCO3) serta

membentuk terumbu juga semakin berkurang. Titik kompensasi untuk karang yaitu kedalaman dimana intensitas cahaya berkurang hingga 15-20% dari intensitas di permukaan (Nybakken 1992).

Faktor lain yang mempengaruhi perkembangan karang adalah sedimentasi. Laju endapan yang terlalu tinggi dapat menutupi polip karang dan mengurangi cahaya yang dibutuhkan oleh zooxanthellae di dalam jaringan karang. Menurut Nontji (2005), substrat yang keras dan bersih dari lumpur diperlukan untuk pelekatan planula (larva karang) yang akan membentuk koloni baru. Ditambahkan olehnya bahwa cangkang moluska, potongan-potongan kayu bahkan juga besi yang terbenam dapat menjadi substrat penempelan larva planula.

(6)

Arus diperlukan karang untuk mendatangkan makanan berupa plankton, membersihkan diri dari endapan-endapan dan untuk menyuplai oksigen dari laut lepas (Sukarno et al. 1981). Oleh sebab itu, pertumbuhan karang di tempat yang yang selalu teraduk arus dan ombak, lebih baik daripada di perairan tenang dan terlindung Jika air tenang banyak mengandung lumpur atau pasir maka hewan karang akan mengalami kesulitan untuk membersihkan diri. Hanya ada beberapa jenis saja yang mampu membersihkan diri sendiri dari endapan-endapan lumpur atau pasir yang menutupinya (Nontji 2005).

Selain faktor-faktor fisik yang telah dijelaskan di atas, terdapat pula beberapa parameter kimia perairan yang dapat berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang. Parameter-parameter tersebut diantaranya :

a. Derajat keasaman (pH)

Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya aktivitas biologis. Aktivitas tersebut dapat berupa fotosintesis dan respirasi organisme, suhu dan keberadaan ion-ion dalam perairan, serta aktivitas manusia antara lain buangan limbah industri dan rumah tangga. Nilai pH di perairan laut yang normal berkisar antara 8.0-8.5 (Salim 1986) dan antara 7.0-8.5 (Odum 1994). Perairan dengan pH < 4 merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk hidup, sedangkan pH > 9.5 merupakan perairan yang sangat basa yang juga dapat menyebabkan kematian serta mengurangi produktivitas perairan. Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7.7-8.4 (Effendie 2003).

b. Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama pembentukan protein. Senyawa nitrogen dalam air laut terdapat dalam tiga bentuk yaitu nitrat (NO3-), nitrit (NO2-) dan ammonia (NH3-). Senyawa nitrogen

dipengaruhi oleh kandungan oksigen bebas dalam air. Nitrogen akan bergerak ke arah amonia pada tingkat oksigen rendah sementara pada tingkat oksigen yang

(7)

tinggi bergerak menuju nitrat yang merupakan hasil akhir oksidasi nitrogen dalam air (Hutagalung & Rozak 1997).

Nitrat (NO3-) adalah nutrient utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan alga.

Nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Konsentrasi nitrat di perairan dipengaruhi proses nitrifikasi, yaitu oksidasi ammonia yang berlangsung dalam kondisi aerob menjadi nitrit dan nitrat. Oksidasi amonia (NH3-N) menjadi nitrit

(NO2-N) dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas sementara oksidasi nitrit (NO2-N)

menjadi nitrat (NO3-N) dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri ini

adalah bakteri kemotrofik yang mendapatkan energi dari proses kimiawi (Effendi 2003). Menurut Fogg (1971), perairan laut yang mengalami eutrofikasi memiliki kadar nitrat 0.001-0.60 mg/l. Kadar nitrat yang masih tergolong baik untuk kesehatan karang berdasarkan hasil penelitian adalah 0.040 mg/l (Bell 1992).

Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit di

perairan alami dan kadarnya lebih rendah daripada nitrat karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Novotny & Olem 1994, diacu dalam Effendi 2003). Sumber nitrit dapat berupa limbah industri dan limbah domestik. Kadar nitrit pada perairan relatif kecil karena segera dioksidasi menjadi nitrat. Menurut Moore (1991), kadar nitrit yang melebihi 0.05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan.

Ammonia (NH3) diketahui bersifat mudah larut dalam air laut. Senyawa

ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0.1 mg/l (McNeely et al. 1979). Ammonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, ind ustri, dan limpasan (run off) pupuk pertanian. Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen baik organik (protein dan urea), dan anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, dan berasal dari dekomposisi bahan organik yang dilakukan oleh mikroba dan jamur. Kejadian ini dikenal dengan istilah ammonifikasi (Effendi 2003).

(8)

c. Fosfat

Fosfat merupakan salah satu zat hara yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan organisme di laut. Fosfat yang terdapat dalam air laut baik terlarut maupun tersuspensi berada dalam bentuk anorganik dan organik. Ortofosfat (PO4) merupakan bentuk fosfat yang dapat

dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor dalam perairan dapat berasal dari udara, pelapukan batuan, dekomposisi bahan organik, limbah industri, dan limbah domestik (Hutagalung & Rozak 1997). Perairan yang mengandung kadar fosfat yang cukup tinggi dan melebihi kebutuhan normal organisme akuatik, akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi (Perkins 1974). Menurut Fogg (1971), perairan laut yang mengalami eutrofikasi memiliki kadar fosfat 0.07 mg/l. Kadar fosfat yang baik untuk kesehatan karang menurut Bell (1992) adalah sebesar 0.007 mg/l.

Ikan Karang

a. Ekologi Ikan Karang

Kondisi fisik terumbu karang yang kompleks memberikan andil bagi keraga man produktivitas biologinya. Banyaknya lubang dan celah di terumbu karang memberikan tempat tinggal, perlindungan, tempat mencari makan dan berkembang biak bagi ikan dan biota yang ada di perairan terumbu karang (Nybakken 1992). Biota yang hidup di daerah terumbu karang merupakan suatu komunitas yang meliputi kelompok biota dari berbagai tingkat tropik dimana masing- masing komponen dalam komunitas ini mempunyai ketergantungan yang erat satu dengan yang lain (White 1987).

Jenis-jenis ikan ekonomis penting tertentu memiliki asosiasi dengan ekosistem terumbu karang. Hasil perikanan dari perairan terumbu karang dan perairan dangkal di sekitar berkisar antara 2.5-5 ton/km2/tahun dengan potensi perikanan karang seluruhnya mencapai 2.7 juta metrik ton/tahun (Berwick 1983) atau diduga sekitar 9-12 % dari total hasil perikanan dunia yang bernilai 70 juta ton/tahun (White 1987).

Kekayaan jenis ikan karang sebanding dengan jenis karang yang ada. Dapat dikatakan bahwa daerah pusat Indo Pasifik, Kepulauan Filipina dan Indone sia yang kaya akan keragaman jenis karangnya mempunyai sejumlah besar spesies

(9)

ikan dan jumlah tersebut menurun pada daerah yang semakin jauh dari kepulauan. Salah satu pendapat menerangkan bahwa diversitas spesies ikan karang yang tinggi disebabkan oleh banyaknya variasi habitat yang terdapat di terumbu karang. Pendapat lain menyatakan bahwa ikan-ikan tersebut memang memiliki relung (niche) ekologi yang lebih sempit sehingga lebih banyak spesies yang hanya bergerak di dalam area tertentu (Nybakken 1992).

Keberadaan ikan- ikan karang juga sangat dipengaruhi oleh kondis i atau kesehatan terumbu karang yang dapat ditunjukkan oleh persentase penutupan karang hidup. Perbedaan habitat terumbu karang dapat mendukung adanya perbedaan kumpulan ikan- ikan. Ikan karang dibandingkan dengan komunitas lain di terumbu karang merupakan jumlah yang paling berlimpah, dengan keanekaragaman jenis sebanding dengan keanekaragaman jenis karang batu. Tingginya keragaman ini disebabkan karena adanya variasi habitat di terumbu karang dimana semua tipe habitat tersebut ditempati oleh berbagai jenis ikan karang (Sutton 1983; Lieske & Myers 1994; Jones et al. 2004).

b. Taksonomi Ikan Karang

Ikan- ikan karang sebagian besar merupakan ikan bertulang keras (teleostei) dan merupakan ordo Percicormes. Dalam pengelompokannya, ikan- ikan karang tersebut dibedakan menurut maksud dan tujuan pengamatan yang dilakukan. Hutomo (1993) mengelompokkan ikan karang berdasarkan karakteristik taksonomi sebagai berikut: sub-ordo Labridae (terdiri dari famili Labridae, Scaridae dan Pomacentridae), sub-ordo Acanthuridae (famili Acanthuridae, Siganidae dan Zanclidae), dan sub-ordo Chaetodontidae (famili Chaetodontidae dan Pomachantidae). Berdasarkan pemanfaatannya, ikan karang dikelompokkan menjadi ikan hias (famili Pomacentridae, Labridae, Chaetodontidae, Pomacanthidae, Zanclidae, Balistidae, Scorpaenidae) (Kvalvagnaes 1980); dan ikan pangan atau konsumsi (famili Caesionidae, Serranidae, Siganidae, Haemulidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Labridae, Scaridae, Holocentridae, Priacanthidae) (McWilliams & Hatcher 1983).

Adrim (1993) membagi kelompok ikan karang menjadi tiga kategori sebagai berikut : (1) Kelompok ikan target, yaitu ikan- ikan karang yang mempnyai manfaat sebagai ikan konsumsi, seperti kelompok ikan Famili Serranidae,

(10)

Lutjanidae, Haemulidae dan Lethrinidae, (2) Kelompok ikan indikator, yaitu kelompok ikan karang yang dinyatakan sebagai indikator kelangsungan hidup terumbu karang. Hanya 1 famili yang termasuk jenis kelompok ikan indikator, yaitu ikan dari famili Chaetodontidae, dan (3) Kelompok ikan utama (mayor), yaitu ikan yang berperan dalam rantai makanan, seperti ikan dari famili Pomacentridae, Scaridae, Acanthuridae, Caesionidae, Labridae, Siganidae, Mullidae dan Apogonidae.

Berdasarkan periode aktif mencari makan, ikan karang juga dikelompokkan menjadi tiga kategori (Adrim 1993; Terangi 2004), yaitu: (1) Ikan nocturnal, jenis ikan karang yang aktif ketika malam hari. Ada sekitar 10% jenis ikan karang yang memiliki sifat nokturnal. Ikan ini bersembunyi di celah-celah karang atau gua karang sepanjang siang hari dan akan muncul ke permukaan air untuk mencari makan pada malam hari. Ikan-ikan dari suku Holocentridae (Swanggi), suku Apogonidae (Beseng), suku Hamulidae, Priacanthidae (Bigeyes), Muraenidae (Eels), Serranidae (Jew fish) dan beberapa dari suku Mullidae (Goat fish) merupakan contoh dari ikan nocturnal, (2) Ikan diurnal yaitu jenis ikan karang yang aktif di siang hari. Meliputi sekitar 75% ikan yang hidup di daerah terumbu karang. Sebagian dari ikan- ikan ini berwarna sangat menarik serta umumnya sangat erat berkaitan dengan terumbu karang, contohnya ikan dari suku Labridae (wrasse), Chaetodontidae (Butterfly fishes), Pomacentridae (Damselfishes), Scaridae (Parrot fishes), Acanthuridae (Surgeon fishes), Bleniidae (Blennies), Balistidae (Trigger fishes), Pomaccanthidae (Angel fishes), Monacanthidae, Ostracionthidae (Box fishes), Tetraodontidae, Canthigasteridae dan beberapa dari Mullidae (Goat fish), dan (3) Ikan crepuscular yaitu jenis-jenis ikan karang yang aktif pada pagi hari atau pada sore sampai menjelang malam), contohnya pada ikan-ikan dari suku Sphyraenidae (Barracudas), Serranidae (Groupers), Carrangidae (Jacks), Scorpionidae (Lion fishes), Synodontidae (Lizardi fishes), Carcharinidae, Lamnidae, Lutjanidae, Spyrnidae (Sharks) dan beberapa dari Muraenidae (Eels).

Selain ketiga kelompok seperti di atas, terdapat beberapa ikan karang yang umumnya berukuran kecil dan sangat pandai menyamarkan dirinya serta

(11)

menghabiskan sebagian besar waktunya bersembunyi di dalam struktur karang yang kompleks dan sering disebut ikan yang bersifat kriptik (tidak mudah dilihat). Sementara itu, Longhurst dan Pauly (1987) membedakan ikan karang menjadi dua kategori yaitu ikan Nocturnal dan ikan Diurnal. Ikan diurnal merupakan ikan yang sering muncul pada siang hari dimana ikan tersebut memiliki bentuk tubuh yang lebih kecil dibandingkan dengan ikan nocturnal yang sering muncul pada malam hari. Ikan nocturnal memiliki warna yang lebih terang dibandingkan dengan ikan diurnal. Namun, ikan nocturnal biasanya hidup soliter. Kebanyakan spesies ikan dari famili Holocentridae, Apogonidae, Kuhliidae dan Lutjanidae merupakan jenis ikan diurnal yang muncul siang hari dan biasanya membentuk schooling ikan.

Hubungan Ikan Karang dan Keanekaragaman Habitat Terumbu Karang Ditinjau dari segi ekologi, perkembangan ikan karang disebabkan beberapa faktor sebagai berikut; (1) mobilitas dan ukuran. Ikan karang umumnya relatif tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran relatif kecil, (2) aksesibilitas (habitat yang mudah dicapai) yaitu perairan relatif dangkal, berada dilingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain, (3) skala pemanfaatan ruang/habitat yaitu ikan karang baik larva ma upun dewasanya hidup di perairan yang relatif dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan, dimana siklus hidupnya telah diketahui dan diantara mereka hidup hanya beberapa tahun walaupun beberapa diantaranya bisa berumur panjang (Suha rti 2005).

Terdapat perbedaan pendapat yang muncul mengenai hubungan keragaman jenis ikan dan keragaman habitat terumbu karang. Berbagai penelitian telah dilakukan dan akhirnya memunculkan dua teori tentang ikan karang di terumbu karang. Kedua teori tersebut berdasarkan rangkuman Nybakken (1992) adalah sebagai berikut: (1) hidup berdampingan merupakan hasil dari tingkat spesialisasi yang tinggi sehingga setiap spesies mempunyai tempat beradaptasi khusus yang diperoleh dari persaingan pada suatu keadaan di terumbu karang. Jadi dapat dikatakan bahwa ikan- ikan ini mempunyai relung ekologi yang lebih sempit dan artinya daerah itu dapat menampung lebih banyak jenis, dan (2) ikan karang tidak

(12)

mempunyai sifat khusus dimana banyak jenis serupa yang mempunyai kebutuhan sama dan terdapat persaingan aktif diantara jenis.

Choat dan Bellwood (1991) yang membahas interaksi antara ikan karang dengan terumbu karang menyimpulkan 3 (tiga) bentuk umum hubungan, yaitu: (1) Interaksi langsung, yaitu sebagai tempat berlindung dari predator atau pemangsa terutama bagi ikan-ikan muda, (2) Interaksi dalam mencari makanan, meliputi hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada karang termasuk alga, dan (3) Interaksi tidak langsung sebagai akibat dari struktur karang dan kondisi hidrologi dan sedimen.

Hubungan antara terumbu karang sebagai habitat dan distribusi komunitas ikan dapat dijelaskan oleh ketergantungan ikan karang pada terumbu karang yang menyediakan tempat makanan dan perlindungan. Keanekaragaman dan kelimpahan jenis pada komunitas ikan karang hubungannya dengan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: (1) tutupan karang hidup (Bel & Galzin 1984), (2) keanekaragaman subtratum (Jones et al. 2004), dan (3) keanekaragaman struktural (McClanahan 1994).

Kawasan terumbu karang mempunyai struktur habitat yang kompleks dan ini menyediakan banyak ruang sebagai tempat perlindungan bagi berbagai spesies ikan (Connell 1978). Banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat pengaruh kompleksitas habitat terhadap popula si ikan terumbu karang, namun hasil yang didapat berbeda-beda dari kebanyakan kajian yang dilakukan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke & Speight 2005). Kajian yang utama yang dilakukan adalah melihat pengaruh penutupan karang hidup terhadap populasi ikan karang. Banyak peneliti mendapatkan bahwa tutupan karang hidup mempunyai pengaruh positif terhadap keanekaragaman spesies dan kelimpahan inidividu ikan karang (Carpenter et al. 1982; Chabanet et al. 1997).

Hutomo et al. (1988) yang melakukan penelitian di Pulau Bali dan Batam menemukan bahwa kondisi karang yang baik ditandai dengan persentase tutupan yang tinggi, berhubungan linier dengan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Hal ini mendukung apa yang dikatakan oleh Sutton (1983) bahwa terdapat korelasi positif antara kompleksitas topografi terumbu karang dengan distribusi dan kelimpahan ikannya.

(13)

Keberadaan ikan karang pada suatu daerah terumbu karang secara langsung dipengaruhi oleh kesehatan terumbu atau persentase penutupan karang hidup yang berhub ungan dengan ketersediaan makanan, tempat berlindung dan tempat memijah bagi ikan (Sukarno et al. 1981). Distribusi dan kelimpahan komunitas ikan karang sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor biologi dan fisik seperti gelombang, beban sedimen, kedalaman perairan serta kompleksitas topografi (rugosity) dari substrat terumbu karang (Sano et al. 1984; Galzin et al. 1994; Chabanet et al. 1997).

Sebaliknya, Aktani (1990) menemukan hal yang lain di Kepulauan Seribu dimana kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang tidak selalu bergantung dari baiknya kondisi terumbu melainkan juga tergantung dari ketersediaan sumber makanan dikaitkan dengan sifat makan dari ikan karang. Dia membuktikan bahwa penurunan kondisi karang akan diganti oleh komunitas alga sebagai niche dari ikan-ikan herbivor. Luckhurst dan Luckhurst (1978) juga menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara kondisi karang hidup dan kelimpahan ikan yang hidup dan bersembunyi di kawasan terumbu karang. Demikian pula menurut Chabanet et al. (1997) yang mengatakan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kelimpahan individu ikan karnivora dan ikan pemakan plankton dengan kompleksitas habitat.

Beberapa faktor yang menyebabkan hasil yang berbeda untuk hubungan antara populasi ikan karang dan habitatnya adalah penggunaan kumpulan taksonomi dan kumpulan ikan yang berbeda serta keragaman metode yang digunakan. Selain itu, hubungan antara populasi ikan dan substrat juga berbeda diantara habitat dan kawasan karang serta kawasan biogeografi yang berlainan (Chabanet et al. 1997; Gratwicke & Speight 2005).

Berdasarkan karakteristik habitat, sebagian kecil ikan di terumbu karang hidupnya menguburkan diri di pasir, lumpur atau pecahan karang, contohnya ikan bloso (Saurida spp.), ikan lidah sebelah (suku Cynoglossidae) dan ikan gobi (suku Gobiidae). Sebagian kelompok ikan berlindung dan menjelajah di terumbu karang yang termasuk didalamnya adalah ikan butane (herbivora), dan kelompok karnivora seperti ikan kakap dan ikan kerapu (Adrim 1993). Banyak jenis ikan karang yang hidupnya soliter, berpasangan atau berkelompok (schooling) baik

(14)

dalam jumlah kecil maupun besar. Hal ini merupakan satu strategi bagi ikan yang hidupnya lebih banyak menjelajah kolom air terbuka (Suharti 2005).

Karakteristik Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus) sebagai ikan karang Ikan kakap marga Lutjanus adalah kelompok ikan demersal yang umumnya hidup soliter pada daerah berlumpur keras dan berasosiasi secara terbuka dengan komunitas karang terutama yang didominasi oleh Sponge sp. dan Gorgonian sp. (Sale 1991; Kailola et al. 1993). Nama kakap diberikan kepada kelompok ikan yang termasuk dalam famili Lutjanidae, Latidae dan Lobotidae. Jenis yang termasuk Lutjanidae biasanya disebut kakap merah. Dua jenis lainnya, yaitu Lates calcalifer termasuk famili Latidae yang umumnya disebut kakap putih dan Labotos surinamensis termasuk famili Lobotidae yang disebut kakap batu (Djamali et al. 1986).

Di Indonesia marga Lutjanus ada 31 jenis (Weber & Beaufort 1936, diacu dalam Adrim 1991). Kemudian Djamali et al. (1986) menjelaskan terdapat 16 jenis ikan kakap merah (bambangan) di Indonesia. Allen dan Talbot (1985) mengemukakan marga Lutjanus bloch memiliki 64 jenis dan merupakan marga terbesar dalam suku Lutjanidae (7 marga dengan 100 jenis).

Penelitian yang dilakukan Adrim (1991) di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa Lutjanus decussatus adalah jenis yang paling umum ditemukan baik di kedalaman 3 m maupun 10 m. Ikan yang oleh nelayan setempat dikenal denga n nama ikan menggaru ini bersifat aktif dan ukuran dewasa mencapai 28,7 cm. Ikan menggaru merupakan predator aktif dan bersifat karnivor, hidup soliter dan tidak termasuk jenis ikan yang berkelompok. Aktif mencari ikan pada malam hari dengan memakan biota dasar terutama ikan kecil, avertebrata dasar, kepiting, udang dan lainnya (Allen 1985). Menggaru tergolong ikan pangan dan bernilai niaga namun relatif sedikit dijual di pasar-pasar. Menurut Adrim (1991), kondisi ini diduga karena ikan tersebut hidup soliter sehingga sulit tertangkap dalam jumlah banyak.

Morfologi Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus)

Menurut Saanin (1968) , Famili Lutjanidae memiliki ciri-ciri yaitu pada bagian kepala antara kedua mata berbentuk cekung, pre-operculum bergerigi dan ujung berbentuk tonjolan yang tajam atau ringan, sirip punggung umumnya

(15)

berkesinambungan meskipun ada bagian yang berlekuk pada bagian antara yang berduri keras dan bagian yang berduri lunak.

Ikan kakap dari marga Lutjanus pada umumnya memiliki ciri-ciri morfologi sebagai berikut: bentuk badan bulat memanjang, sedikit pipih, tertutup sisik sampai kepala, terdapat 3 deretan sisik atau lebih pada keping tutup insang depan, pada tepi belakang keping tutup insang depan bergerigi dan membentuk lekukan dangkal atau dalam, di belakang lekukan itu diikuti oleh tonjolan membulat pada keping tutup insang antara, sirip dada panjang meruncing, kurang lebih sama dengan sirip perut, sirip punggung mempunyai 11 duri keras dan jari-jari lunak dibelakangnya, warna bervariasi berdasar jenis atau umurnya, merah darah, merah kekuningan, coklat hingga berwarna pucat keperakan (Saanin 1968).

Ciri-ciri morfologi dari ikan menggaru yakni, badan memanjang, melebar dan gepeng, profil kepala cukup landai, bagian belakang dan bawah pra-penutup insang bergerigi, jari-jari keras sirip punggung 10, dan 13-14 lemah, sirip dubur berjari- jari keras 3, dan 8-9 lemah, Tulang Preorbital biasanya mencapai garis tengah mata atau sedikit lebih dekat, sisik-sisik pada kepala mulai dibelakang mata, deretan sisik di atas gurat sisi serong ke atas, panjang tubuh dapat mencapai 35 cm, Preopercular notch dan knob kurang berkembang. Ciri khusus dari ikan ini adalah pola garis yang berubah-ubah pada tubuhnya yang secara umum berwarna merah muda sampai keputih-putihan dengan kemilau perak di bagian dada dan samping kepala (Allen 1985).

Ikan menggaru sebagai salah satu jenis kakap dari marga Lutjanus mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Pisces Sub Kelas : Teleostei Ordo : Percomorphi Sub Ordo : Percoidae Famili : Lutjanidae Genus : Lutjanus

(16)

Gambar 2 Ikan menggaru (Lutjanus decussatus).

Habitat dan Daerah Penyebaran Ikan Menggaru (Lutjanus decussatus)

Pada umumnya ikan kakap hidup di perairan pantai, berkarang hingga kedalaman 100 m ke daerah pasang surut. Beberapa spesies bahkan cenderung menembus sampai ke perairan estuaria. Jenis ikan kakap berukuran besar umumnya soliter dan beruaya ke dasar perairan menempati bagian yang lebih dalam. Ikan kakap merah tertangkap pada kedalaman dasar antara 40-50 m dengan substrat sedikit karang dan salinitas 30-33 ppm serta suhu antara 5-32oC (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan 1991).

Berdasarkan penelitian Djamali et al. (1986) diketahui bahwa ikan kakap menempati lingkungan yang beragam yaitu mulai dari lingkungan terumbu karang hingga daerah pasang surut. Penyebaran ikan kakap merah atau bambangan yaitu perairan pantai, muara-muara sungai dan perairan karang. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian dengan metode tagging di Teluk Thailand dimana dapat disimpulkan bahwa ikan- ikan demersal tidak melakukan ruaya yang luas (Pauly 1979).

Ikan menggaru (Lutjanus decusssatus) merupakan jenis kakap yang seringkali dijumpai beragregasi di dekat permukaan perairan karang waktu siang hari dan umumnya menyebar di dasar perairan guna mencari makan baik berupa jenis ikan maupun crustacea pada malam hari. Ikan- ikan berukuran kecil untuk beberapa jenis kakap biasanya menempati daerah bakau yang dangkal atau daerah-daerah yang ditumbuhi rumput laut. Populasi ikan kakap merah jarang ditemukan dalam gerombolan besar dan cenderung hidup soliter dengan lingkungan yang beragam dari mulai perairan dangkal, muara sungai, hutan bakau, daerah pantai sampai daerah berkarang (Gunarso 1995).

(17)

Hubungan Panjang-Berat Ikan

Hubungan panjang dan berat merupakan salah satu aspek biologi perikanan yang perlu dipelajari. Menurut Effendie (1997), panjang tubuh sangat berhubungan dengan berat tubuh. Hubungan panjang dengan berat seperti hukum kubik yaitu bahwa berat sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Apabila panjang dan berat ikan diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan hasil seperti pada Gambar 3. Hubungan tadi tidak selamanya mengikuti hukum kubik tetapi dalam suatu bentuk rumus yang umum yaitu:

W = aLb

Dengan: W = Berat ikan (gram)

L = Panjang total tubuh ikan (cm) a dan b = Konstanta yang dicari

Gambar 3 Hub ungan panjang dan berat pada ikan.

Apabila rumus umum tersebut ditranformasikan menjadi logaritma, maka akan didapatkan persamaan Log W = log a + b log L, yaitu persamaan linier atau persamaan garis lurus. Harga konstanta b ialah harga pangkat yang harus cocok dari panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan. Menurut Carlander (1969), diacu dalam Effendie (1997), harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1.2-4.0. Namun biasanya harga konstanta b berkisar dari 2.4-3.5. Bilamana harga konstanta b sama dengan 3.0 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya yaitu pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya, yang disebut pertumbuhan isometrik. Apabila harga

Berat (gram)

(18)

konstanta b lebih besar atau lebih kecil dari 3.0 dinamakan pertumbuhan allometrik. Harga konstanta b yang kurang dari 3.0 menunjukkan keadaan ikan yang kurus yaitu pertambahan panjangnya lebih cepat dari pertambahan beratnya, sedangkan harga konstanta b lebih besar dari 3.0 menunjukkan ikan itu montok, pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.

Tingkat Kematangan Gonad (TKG)

Pengelolaan sumberdaya perikanan untuk menjaga kelestariannya tidak hanya terpusat pada aspek produksi ikan, melainkan juga pada aspek biologi dan faktor lingkungan hidupnya. Beberapa aspek biologi reproduksi diperlukan untuk penelaahan frekwensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan dan ukuran ikan pada saat pertama kali mencapai kematangan gonad (Nikolsky 1963).

Tingkat kematangan gonad (TKG) yang merupakan salah satu aspek biologi reproduksi adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Keterangan tentang TKG ikan diperlukan untuk mengetahui perbandingan antara ikan yang berada di perairan, ukuran atau unsur ikan pertama kali matang gonadnya, dan apakah ikan sudah memijah atau belum. Berdasarkan pengetahuan tentang TKG akan dapat diperoleh informasi kapan satu jenis memijah, baru memijah atau sudah memijah. Setiap spesies ikan pada waktu pertama gonadnya menjadi masak tidak sama ukurannya (Effendie 1997).

Semakin meningkat TKG ikan, garis tengah telur yang ada dalam gonad umumnya semakin besar. Dengan kata lain, ukuran dan berat gonad serta garis tengah telur bervariasi dari TKG individu ikan betina (Lagler et al. 1977). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa saat ikan pertama kali mencapai matang gonad dipengaruhi oleh beberapa faktor luar seperti suhu, arus, adanya individu yang berjenis kelamin yang berbeda dan faktor dalam seperti umur, ukuran dan perbedaan species. Menurut Effendie (1997), di dalam proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan gonad semakin bertambah besar dan berat. Berat gonad akan mencapai maksimum sesaat ikan memijah kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan sampai selesai.

Pengamatan kematangan gonad dapat dilakukan dengan dua cara yaitu histologis dan morfologis. Pengamatan cara histologis dilakukan di laboratorium. Melalui pengamatan cara ini, anatomi perkembangan gonad akan diketahui secara

(19)

jelas dan mendetail. Cara kedua, pengamatan morfologi selain dilakukan di laboratorium juga dapat dilakukan di lapangan. Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan cara ini ialah bentuk, panjang, berat dan warna serta perkembangan gonad melalui fase perkembangan gonad. Hasil pengamatan dengan cara morfologi tidak akan sedetail cara histologis namun cara ini banyak dilakukan para peneliti (Effendie 1997).

Pada umumnya ikan kakap merah melakukan pemijahan pada sekitar bulan Maret hingga bulan Juni. Berdasarkan hasil penelitian Senta et al. (1973) yang dilakukan di Laut Cina Selatan, diketahui bahwa persentasi tingkat kematangan gonad IV meningkat mulai dari bulan Maret ke April dan menurun pada bulan Juni. Hal tersebut didasarkan pada bulan April hingga bulan Juni persentase gabungan tingkat kematangan gonad III dan IV mencapai 60%, sehingga dapat diduga bahwa puncak pemijahan berlangsung pada bulan-bulan tersebut. Penelitian tersebut didukung pula oleh hasil penelitian larva ikan kakap merah di Laut Cina Selatan dimana larva Lutjanidae muncul pada bulan Juni hingga November dan puncaknya pada bulan Agustus. Sedangkan ukuran mínimum ikan kakap merah untuk mencapai tingkat kematangan gonad III dan IV adalah 50 cm (Andrade 2003).

Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan

Makanan merupakan faktor pengendali yang penting dan menentukan bagi populasi, pertumbuhan dan kondisi ikan di suatu perairan (Effendie 1997). Di alam terdapat berbagai jenis makanan yang tersedia dan ikan telah menyesuaikan diri dengan tipe makanan khusus dan telah dikelompokkan secara luas sesuai dengan cara makannya, walaupun dengan macam- macam ukuran dan umur ikan itu sendiri (Nikolsky 1963).

Ikan dapat dikelompokkan berdasarkan jumlah dan variasi makanannya menjadi euryphagous yaitu ikan yang memakan berbagai jenis makanan; stenophagous yaitu ikan yang memakan makanan yang sedikit jenisnya; dan monophagous yaitu ikan yang hanya memakan satu jenis makanan saja (Moyle & Chech 1988).

Kebiasaan makanan adalah jenis, kuantitas dan kualitas makanan yang dimakan oleh ikan, sedangkan kebiasaan cara makan adalah segala sesuatu yang

(20)

berhubungan dengan waktu, tempat dan bagaimana cara ikan memperoleh makanannya. Faktor- faktor yang menentukan suatu jenis ikan akan memakan suatu jenis organisme adalah ukuran makanan, ketersediaan makanan, warna, rasa, tekstur makanan dan selera ikan terhadap makanan. Dengan mengetahui kebiasaan makan maka dapat dilihat hubungan ekologi diantara organisme di suatu perairan (Effendie 1997).

Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang dan Ikan karang

Terumbu karang merupakan ekosistem yang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini disebabkan kemampuan terumbu karang menahan nutrien dalam sistem dan peran sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Disamping itu, terumbu karang kaya akan keanekaragaman spesies penghuninya karena variasi habitat yang terdapat pada terumbu. Ikan merupakan salah satu organisme yang terbanyak ditemukan pada ekosistem terumbu karang. Fungsi ekologis lainnya adalah tempat hidup berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, teripang dan kerang mutiara (Dahuri et al. 1996).

Dilihat dari fungsi biodiversity, ekosistem ini mempunyai produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi, keanekaragaman hidup di ekosistem ini per unit area sebanding atau lebih besar dibandingkan hal yang sama dengan di hutan tropis. Terumbu karang dikenal sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi (White et al. 1994). Keterkaitan antara berbagai organisme pada ekosistem terumbu karang sangat ditentukan oleh kondisi terumbu karang dan degradasi pada suatu komunitas organisme dapat menyebabkan akibat buruk bagi organisme lainnya.

Pemanfaatan sumberdaya ikan oleh manusia berhubungan erat dengan kondisi lingkungan tempat ikan tersebut tinggal. Dengan adanya interaksi antara sumberdaya ikan, lingkungan perairan serta manusia sebagai pengguna, maka diperlukan sebuah pengelolaan agar ketiga interaksi tersebut dapat berjalan secara seimbang dalam sebuah ekosistem. Artinya, pengelolaan sumberdaya ikan adalah penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan manusia sebagai pengguna (Johanes & Suadi 2006).

Pelaksanaan suatu pengelolaan di wilayah pesisir harus diawali dengan perencanaan berdasarkan berbagai potensi sumberdaya yang ada sehingga dapat

(21)

tertata dengan rapi. Tujuan dari pengelolaan terumbu karang adalah untuk menjaga dan melindungi kawasan ekosistem atau habitat terumbu karang supaya keanekaragaman hayati dari kawasan ekosistem atau habitat tersebut dapat dijaga dan dipelihara kelestariannya dari kegiatan pengambilan atau perusakan (Sup riharyono 2000).

Gambar

Gambar 2  Ikan menggaru (Lutjanus decussatus).

Referensi

Dokumen terkait

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

Analisis data hasil pengukuran menunjukkan bahwa peserta didik di Madrasah Tsanawiyah kode S mempunyai sikap-sikap spiritual yang unggul pada aspek beriman kepada Allah

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Aset pajak tangguhan diakui untuk semua perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dan akumulasi rugi fiskal yang belum digunakan, sepanjang besar kemungkinan beda temporer yang

Pemberian perasan daun pepaya disetiap konsentrasi tidak berbeda nyata.Rata-rata peningkatan kadar hemoglobin tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol pembanding

Penulis akan membahas rencana dan tujuan kriteria hasil yang mana setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 8 jam, bahwa suhu tubuh pasien dalam rentang normal

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

• Degree of bodily arousal influences the intensity of emotion felt Schachter’s Theory Type Intensity Emotion (Fear) Perception (Interpretation of stimulus-- danger) Stimulus