• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Pusaka

Asawidya dkk (2011) menjelaskan bahwa peralatan merupakan kriteria yang paling dominan dalam penerapan green construction pada proyek konstruksi di Surabaya.

Jef Franklyn Sinulingga (2012) menyimpulkan bahwa hambatan terbesar yang dialami oleh sebagian besar responden dalam menerapkan green construction

adalah pembiayaan serta perawatan green building. Hambatan dari segi pembiayaan serta perawatan green building menjadi alasan utama oleh sebagian besar responden dikarenakan tidak mudah merawat suatu gedung atau bangunan apalagi bangunan dengan konsep green building, yang harus mempertahankan manfaatnya untuk lingkungan sekitar.

Hasil analisis Korelasi Pearson nilai interprestasi (r) adalah - 0,408. Nilai tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara penerapan kriteria green construction dengan hambatan–hambatan dalam penerapan green construction memiliki hubungan yang sedang (0,40–0,599), sedangkan bertanda negatif ( - ) menunjukkan bahwa hubungannya berlawanan arah artinya jika kriteria green construction

semakin diterapkan maka hambatannya semakin tidak menghambat.

Besarnya nilai signifikasi adalah 0,014 dimana α = 5%, maka dapat diketahui bahwa nilai signifikasi lebih kecil dari nilai α (0,014 < 0,05) jadi dapat disimpulkan adanya hubungan antara kriteria dalam menerapkan green construction dengan hambatan–hambatan dalam penerapan green construction pada proyek konstruksi.

Eka Nirmala dkk (2014) menjelaskan bahwa variabel terkuat penghambat penerapan green development adalah biaya investasi yang tinggi, prosedur penerapan yang memakan waktu, keterbatasan ketersediaan produk hijau, kesulitan pelaksanaan teknis, minimnya informasi tentang bangunan hijau, perencanaan yang rumit, kurangnya keahlian serta rendahnya permintaan pasar.

(2)

commit to user

Wulfram I. Ervianto (2014) menyimpulkan bahwa hambatan yang terjadi dalam mengimplementasikan green construction adalah permasalahan teknologi, peran aktif pemilik proyek, terbatasnya regulasi, campur tangan sumber pendanaan serta faktor-faktor lain yang mencakup sosialisasi tentang lingkungan.

Taufiq Lilo Adi Sucipto dkk (2014) menyimpulkan bahwa komitmen yang kuat dari

owner sebagai pioneer dalam mewujudkan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat energi sebagai alasan utama penerapan konsep green building pada Gedung Bank Indonesia Surakarta. Aplikasi green building yang diterapkan meliputi: penggunaan solar panel sebagai sumber energi alternatif, penggunaan kaca low-e

sebagai pencahayaan alami, memanfaatkan air limbah untuk daur ulang, ruang terbuka hijau yang maksimal, adanya reflecting pool, penggunaan peralatan mekanikal-elektrikal yang hemat energi, terdapat parkir sepeda dan shower compartement, terdapat BAS (Building Automation System), perlengkapan sanitary yang ramah lingkungan, serta lingkungan kerja yang sehat dan nyaman.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Green Construction

Glavinich (2008) mengemukakan green construction adalah suatu perencanaan dan proses konstruksi terhadap lingkungan agar terjadi keseimbangan antara kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia untuk generasi sekarang dan mendatang. Konsep green construction menurut Glavinich (2008) mencakup hal sebagai berikut:

a. Perencanaan dan penjadwalan konstruksi. b. Konservasi material

c. Tepat guna lahan

d. Manajemen limbah kontruksi

e. Penyimpanan dan perlindungan material f. Kesehatan lingkungan kerja

g. Menciptakan lingkungan kerja yang ramah lingkungan h. Pemilihan dan pengoperasian peralatan konstruksi i. Dokumentasi

(3)

commit to user

Sedangkan menurut Kibert (2008) konsep green construction mencakup hal sebagai berikut:

a. Rencana pelindungan lokasi pekerjaan b. Program kesehatan dan keselamatan kerja

c. Pengelolaan limbah pembangunan atau pembongkaran d. Pelatihan bagi subkontraktor

e. Reduksi jejak ekologis proses kontruksi f. Penanganan dan instalisasi material g. Kualitas udara

2.2.2 Standar Kriteria Penerapan Green Construction

Standar yang dapat digunakan sebagai penilaian green construction antara lain sebagai berikut:

a. Greenship untuk bangunan baru versi 1.2 oleh Green Building Council Indonesia (GBCI).

Green Building Council Indonesia adalah lembaga mandiri (non government) dan nirlaba (non-for profit) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan. GBC Indonesia merupakan Emerging Member dari World Green Building Council (WGBC) yang berpusat di Toronto, Kanada. WGBC saat ini beranggotakan 102 negara dan hanya memiliki satu GBC di setiap negara.

Kategori yang digunakan dalam sistem rating greenship antara lain sebagai berikut: 1) Appropriate Side Development (ASD) atau tepat guna lahan

2) Energy Efficiency and Refrigerat (EER) atau efisiensi energi dan refrigeran 3) Water Conservation (WC) atau konservasi air

4) Material Resources and Cycle (MRC) atau sumber dan siklus material 5) Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan kenyamanan

udara

6) Building and Environment Management (BEM) atau menejemen lingkungan bangunan

(4)

commit to user Tahap penilaian Greenship terdiri dari:

1) Tahap rekognisi desain (design recognition – DR) dengan maksimum nilai 77 poin.

Pada tahap ini, tim proyek mendapat kesempatan untuk mendapatkan penghargaan sementara untuk proyek pada tahap finalisasi desain dan perencanaan berdasarkan perangkat penilaian Greenship. Tahap ini dilalui selama gedung masih dalam tahap perencanaan.

2) Tahap penilaian akhir (final assessment – FA) dengan maksimum nilai 101 poin.

Pada tahap ini, proyek dinilai secara menyeluruh baik dari aspek desain maupun konstruksi dan merupakan tahap akhir yang menentukan kinerja gedung menyeluruh. Penjabaran nilai pada setiap kategori greenship rating tool dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.

Tabel 2.1 Penjabaran Nilai Kategori Kriteria Green Construction by Greenship

Rating Tool GBCI

Kategori

Jumlah nilai untuk DR Jumlah nilai untuk FA

Prasyarat Kredit Bonus Prasyarat Kredit Bonus

ASD - 17 - - 17 - EEC - 26 5 - 26 5 WAC - 21 - - 21 - MRC - 2 - - 14 - IHC - 5 - - 10 - BEM - 6 - - 13 - Jumlah - 77 5 - 101 5

Grafik persentase penilaian greenship untuk bangunan baru v1.2 dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.

(5)

commit to user

Gambar 2.1 Grafik Persentase Penilaian Greenship untuk Bangunan Baru v1.2

b. Green Contractor Assessment Sheet oleh PT. PP (Persero) Tbk.

Green Contractor Assessment Sheet adalah upaya penerapan green construction

yang dilakukan oleh PT. PP (Persero) Tbk. Hal-hal yang tertuang dalam Green Contractor Assessment Sheet antara lain sebagai berikut:

1) Tepat guna lahan

Memelihara kehijauan lingkungan proyek serta mengurangi emisi CO2 dan gas

polutan. Mengurangi beban drainasi kota akan limpasan air hujan maupun air dari kegiatan konstruksi baik kualitas maupun kuantitas.

2) Efisiensi dan konservasi energi

Mendorong penghematan konsumsi/pemakaian energi selama kegiatan kontruksi dengan cara pemantauan pemakaian serta melakukan aplikasi upaya efisiensi energi.

3) Konservasi air

Mendorong penghematan konsumsi/pemakaian air selama kegiatan kontruksi dengan cara pemantauan pemakaian serta melakukan aplikasi upaya efisiensi penggunaan air.

4) Manajemen lingkungan proyek konstruksi

Melaksanakan pengolahan sampah selama proses konstruksi dan mendorong mengurangi terjadinya sampah sehingga mengurangi beban Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) serta melaksanakan program kampanye/promosi green

0 5 10 15 20 25 30 35 40

ASD EEC WAC MRC IHC BEM

DR FA

(6)

commit to user

construction dalam rangka sosialisasi dan edukasi akan pentingnya pengolahan kontruksi ramah lingkungan.

5) Sumber dan siklus material

Mengoptimalkan penggunaan material yang ada untuk mengurangi pemakaian bahan mentah atau material baru serta melaksanakan proses produksi yang ramah lingkungan.

6) Kesehatan dan kenyamanan di dalam lokasi proyek konstruksi

Menjaga dan meningkatkan kualitas udara serta kenyamanan udara serta menjaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan seperti mengurangi dampak asap rokok, debu, serta mengurangi pemakaian material yang dapat membahayakan kesehatan.

7) Lubang resapan biopori (LRB)

Merupakan teknologi tepat guna untuk mengatasi permasalahan air dan sampah serta menjaga kualitas tanah. LRB adalah lubang silinder yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan diameter lubang ± 10 cm dan kedalaman sekitar 100cm dengan catatan tidak melebihi kedalaman permukaan air tanah.

2.2.3 Pelaksanaan Kriteria Green Construction

Pelaksanaan green construction dimulai dari perencanaan hingga pelaksanaan sebuah proyek. Dalam implementasinya, green construction tidak hanya digunakan untuk green building saja, namun juga untuk bangunan konvensional.

Berdasarkan Greenship versi 1.2 oleh Green Building Council Indonesia (GBCI) terdapat enam kriteria yang digunakan dalam penilaian pelaksanaan green construction. Secara spesifik kriteria tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.

1) Appropriate Side Development (ASD) atau tepat guna lahan

Dalam aspek ini terdapat kriteria prasyarat yang mengharuskan dalam proses pekerjaan tetap memelihara atau memperluas kehijauan kota untuk meningkatkan kualitas iklim mikro, mengurangi CO2 dan zat polutan, mencegah erosi tanah,

mengurangi beban sistem drainasi menjaga keseimbangan neraca air bersih dan sistem air tanah. Selain itu terdapat kriteria kredit yang mendukung kriteria prasyarat. Kriteria-kriteria kredit tersebut diantaranya:

(7)

commit to user a. Pemilihan tapak

Tujuan dari kriteria ini adalah menghindari pembangunan di daerah penghijauan dan pembukaan lahan baru. Tolak ukurnya adalah pemilihan lokasi yang terdapat prasarana dan melakukan revitalisasi lahan yang bernilai negatif.

b. Aksesibilitas komunitas

Tujuan dari kriteria ini adalah mendorong pembangunan di tempat yang telah memiliki jaringan konektivitas dan meningkatkan pencapaian penggunaan gedung sehingga mempermudah masyarakat dan menghindari penggunaan kendaraan bermotor.

c. Transportasi umum

Tujuan dari kriteria ini adalah mendorong pengguna gedung untuk menggunakan kendaraan umum.

d. Fasilitas pengguna sepeda

Tujuan dari kriteria ini adalah mendorong pengguna gedung untuk menggunakan sepeda agar mengurangi penggunaan sepeda bermotor. e. Lansekap pada lahan

Tujuan dari kriteria ini adalah memelihara dan memperluas kehijauan kota untuk meningkatkan kualitas iklim mikro, mengurangi CO2 dan zat polutan,

menjaga keseimbangan neraca air bersih dan sistem air tanah. f. Iklim mikro

Tujuan dari kriteria ini adalah meningkatkan kualitas iklim mikro di sekitar gedung yang mencakup kenyamanan manusia dan habitat sekitar gedung. Penggunaan material-material yang tidak mengakibatkan heat island effect

dan penambahan luas lansekap sangat dianjurkan dalam kriteria ini. g. Manajemen air limpasan

Tujuan dari kriteria ini adalah mengurangi beban sistem drainasi lingkungan dari kuantitas air limpasan air hujan dengan sistem manajemen air hujan secara terpadu.

2) Energy Efficiency and Refrigerat (EER) atau efisiensi energi dan refrigeran Dalam aspek ini terdapat kriteria prasyarat yang mengharuskan pemantauan penggunaan energi sehingga dapat menjadi dasar penerapan manajemen energi

(8)

commit to user

yang baik seperti memperhatikan kWh meter secara berkala. Selain itu juga terdapat kriteria kredit yang menunjang kriteria prasyarat diantaranya efisiensi dan konversi energi, penggunakan pencahayaan alami, penggunaan ventilasi, pemahaman tentang pengaruh perubahan iklim, serta menggunakan energi yang dapat terbarukan.

3) Water Conservation (WC) atau konservasi air

Kriteria prasyarat dalam aspek ini adalah perhitungan penggunaan air dengan pemantauan berkala pada meteran air agar penggunaan air dapat lebih efisien. Selain itu juga terdapat beberapa kriteria kredit seperti pengurangan penggunaan air, pengalokasian penggunaan fitur air, daur ulang air, sumber air alternatif, penampungan air hujan, serta efisiensi penggunaan air lansekap.

4) Material Resources and Cycle (MRC) atau sumber dan siklus material Refrigeran fundamental menjadi kriteria prasyarat pada aspek ini, maksudnya adalah mencegah penggunaan material yang memiliki potensi merusak ozon yang tinggi. Selain itu terdapat juga kriteria kredit lainnya yaitu:

a. Penggunaan gedung dan material

Yang dimaksudkan disini adalah penggunaan kembali material bekas bangunan lama dan/atau dari tempat lain untuk mengurangi penggunaan bahan mentah baru, sehingga dapat mengurangi limbah pembuangan akhir. b. Material ramah lingkungan

Mengurangi jejak ekologi dari proses ekstraksi bahan mentah dan proses produksi material.

c. Mengurangi refrigeran tanpa ODP

Menggunakan bahan yang tidak memiliki potensi merusak ozon. d. Kayu bersertifikat

Menggunakan bahan baku kayu yang dapat dipertanggung jawabkan asal-usulnya untuk melindungi kelestarian alam.

e. Material prafabrikasi

Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan material dan mengurangi sampah konstruksi.

f. Material regional

(9)

commit to user

5) Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan kenyamanan udara

Melakukan introduksi dengan udara luar merupakan kriteria prasyarat. Tujuannya untuk menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan dengan melakukan introduksi udara luar sesuai dengan kebutuhan laju ventilasi untuk kesehatan pengguna gedung. Kriteria kreditnya antara lain:

a. Pemantauan kadar CO2

b. Kendali asap rokok di lingkungan c. Mengontrol polutan kimia

d. Pemandangan keluar gedung e. Kenyamanan visual

f. Kenyamanan termal ruangan g. Mengontrol tingkat kebisingan

6) Building and Environment Management (BEM) atau menejemen lingkungan bangunan

Kriteria prasyaratnya adalah terdapat dasar pengelolaan sampah yang bertujuan untuk mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana untuk memudahkan proses daur ulang. Selain itu terdapat kriteria kredit sebagai berikut:

a. Melibatkan minimal 1 tenaga ahli (greenship professional) dalam perencanaan proyek.

b. Manajemen sampah yang disebabkan proses konstruksi. c. Pengolahan sampah tingkat lanjut.

d. Membuat sistem komisioning yang baik dan benar agar pelaksanaan sesuai dengan perencanaan.

e. Menyerahkan data untuk melengkapi data implementasi konstruksi ramah lingkungan di Indonesia.

2.2.4 Faktor Penghambat Penerapan Green Construction

Nirmala Eka dkk (2014) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh penting dalam penerapan green construction diantaranya:

(10)

commit to user 1) Biaya investasi yang tinggi

Biaya investasi merupakan penghambat utama yang disebabkan oleh kecanggihan teknologi yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan. Kecanggihan teknologi yang dimaksudkan tersebut, dapat diterapkan dengan adanya sistem sel surya, teknologi smart home dan sebagainya menurut seorang manajer proyek. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa apabila konsep bangunan hijau yang diterapkan berbasis pada kecanggihan teknologi hijau dengan melibatkan keseluruhan kinerja sistem mekanikal-elektrikal gedung yang bahkan dapat memproduksi on-site energy (Priatman,2002), maka biaya investasi dapat menjadi sangat tinggi (Zhang,2011; Hwang,2012). Sedangkan beberapa manajer proyek yang menyatakan kurang setuju pada variabel ini menyatakan bahwa perencanaan konsep bangunan hijau yang berbasis pada strategi desain pasif tidaklah memerlukan biaya tinggi meskipun tidak mendukung efisiensi energi sepenuhnya bahkan tidak menghasilkan energi baru yang merupakan inovasi terpenting dalam pembangunan hijau.

2) Prosedur penerapan yang memakan waktu

Dominasi jawaban responden pada perusahaan pengembang di Surabaya sesuai dengan pernyataan Hwang (2012) dan Choi (2009) yang menyebutkan bahwa alokasi waktu yang lebih panjang diperlukan untuk menjalankan rumitnya pengawasan, pengendalian dan proses persetujuan pada tiap tahapan pekerjaan dimana terdapat cukup banyak metode dan teknologi baru yang belum cukup dikenal, sehingga konsep ini masih perlu dipelajari dan didiskusikan dalam beberapa saat sebelum diterapkan. U.S EPA (2007) juga menambahkan bahwa pemenuhan kebutuhan perencanaan yang lebih detail dan komprehensif menuntut keterlibatan dan interaksi berbagai stakeholder sehingga memperlambat prosedur penerapan yang ada. Sedangkan sebagian kecil pendapat responden yang berlawanan, mengarah pada keunggulan elemen konstruksi hijau seperti yang dicontohkan Ervianto (2012) diantaranya adalah pemasangan sistem modular beton pracetak yang ternyata mempersingkat durasi proyek karena pelaksanaannya yang tidak terpengaruh cuaca sehingga meminimalkan terjadinya keterlambatan.

(11)

commit to user 3) Keterbatasan ketersediaan produk hijau

Pengalaman dari beberapa perusahaan pengembang di Kota Surabaya yaitu seringkali material hijau hanya dapat diperoleh dari segelintir pemasok saja sehingga mau tidak mau material tersebut harus diterima bagaimanapun adanya tanpa dapat membandingkan harga maupun kualitas dengan material sejenis dari pemasok lain. Kendala keterbatasan ketersediaan material dan peralatan bersertifikasi hijau yang disediakan oleh supplier menurut Dair (2006) dan Lam et al (2009) ini disebabkan karena material dan peralatan bersertifikasi hijau seringkali berada di luar standar umum rantai pasok proyek konstruksi sehingga berdampak pada resiko ketidakpastian persediaan pasokan dan minimnya jenis alternatif pengganti. Hwang (2012) pun menambahkan ketersediaan material hijau tidak mudah didapat karena tidak tersedia secara lokal sehingga sebagian besar harus diperoleh secara import. Hal ini juga disebabkan oleh rendahnya demand yang ada menurut Landman (1999).

4) Kesulitan pelaksanaan teknis

Terdapat cukup banyak komponen sistem pada proyek pembangunan hijau yang terbentuk oleh adanya teknologi yang masih tergolong baru, sehingga muncullah kesulitan teknis pada masa konstruksi (Marchman,2011). Suatu contoh yang disebutkan oleh seorang responden bahwa terdapat kesulitan dalam pemasangan sistem sistem ventilasi pengalihan udara untuk perbaikan kenyamanan termal dan kualitas udara ruang pada gedung. Sistem ini menyalurkan 100% udara luar ke dalam ruangan melewati bagian bawah lantai atau dinding bawah, kemudian secara perlahan hawa panas pun terserap ke arah saluran pemipaan pada plafon tanpa memindahkan debu dan kotoran dari lantai. Pelaksanaan sistem ini tampak cukup rumit karena sulitnya integrasi sistem ini dengan sistem lain yang ada pada lantai, dinding dan plafon.

5) Minimnya informasi tentang bangunan hijau

Menurut Yudelson (2008), hal-hal yang perlu diinformasikan tentang bangunan hijau adalah bagaimana aplikasi konsep hijau yang harus dilakukan secara tepat, serta berbagai keuntungan sosial dan ekonomi yang penting untuk dijadikan motivasi bagi stakeholder. Bahkan menurut salah seorang responden, informasi yang ada tentang bangunan hijau sebenarnya telah cukup tersedia dan mudah

(12)

commit to user

ditemui di Surabaya yang notabene merupakan sebuah kota besar, namun di antara cukup banyaknya informasi tersebut yang paling penting namun sulit diperoleh adalah informasi aplikasi teknologi hijau pada bangunan dengan gambaran nyata mengenai nilai manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan keseluruhan biaya yang telah diinvestasikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa informasi detail mengenai perbandingan biaya dan manfaat (cost-benefit) yang ada pada konsep pembangunan hijau masih sangatlah rendah karena minimnya penerapan yang ada menurut Tomkiewicks (2011).

6) Perencanaan yang rumit

Perencanaan pada proses konstruksi di dalam proyek pembangunan hijau memerlukan peran semua pihak secara terintegrasi di sepanjang proses perencanaan (Ervianto, 2012). Hal ini disebabkan oleh karena cukup banyaknya komponen pada sistem bangunan hijau yang merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi, sehingga kesalahan rencana instalasi dapat berdampak terhadap gangguan teknis pada elemen bangunan lain menurut Choi (2009). Bahkan tanpa berbasis pada instalasi teknologi hijau, perencanaan bangunan hijau dengan desain pasif pun tidak sesederhana perencanaan bangunan biasa menurut salah seorang responden yang merupakan manajer proyek perusahaan pengembang. Sedangkan perencanaan bangunan hijau yang dikatakan sederhana oleh sebagian kecil responden pada penelitian ini, dikatakan oleh Petersen (2008) sebagai proses desain yang hanya mengandalkan trial and error sehingga pencapaian konsep bangunan hijau dapat berpotensi tidak tepat pada sasarannya.

7) Kurangnya keahlian

Proyek pembangunan hijau adalah proyek yang memerlukan pengetahuan dan skil yang berbeda dengan proyek biasa berdasarkan pernyataan Hwang (2012). Sehingga minimnya keahlian yang mendetail tentang bagaimana penerapan, metode dan spesifikasi teknis teknologi hijau menyebabkan konsep ini menjadi sulit diterapkan secara maksimal (Robichaud et al, 2011). Dari hasil wawancara yang telah dilakukan pada seorang manajer proyek, ahli yang kompeten dalam konsep

Green Development pada proyek konstruksi gedung di Surabaya seringkali hanya terlibat pada saat tahap pelaksanaan konstruksi saja, contohnya yaitu pada proses pemasangan sistem balok pracetak yang seringkali hanya dikuasai oleh

(13)

commit to user

subkontraktor beton ready-mix. Robichaud (2011) dan Dair (2006) menyebutkan bahwa terlambatnya keterlibatan konsultan yang ahli dalam konsep bangunan hijau tidak akan memberi pengaruh yang signifikan pada kelancaran pelaksanaan proyek pembangunan hijau.

8) Rendahnya permintaan pasar

Menurut Abidin (2010), perusahaan pengembang sangat berorientasi pada pengembangan properti yang mudah laku terjual, sehingga penerapan konsep pembangunan hijau ini akan secara total dilaksanakan apabila terdapat dorongan dari permintaan pasar. Yudelson (2008) menyatakan bahwa permintaan pasar dapat didorong oleh semakin bertambahnya tingkat pertumbuhan proyek-proyek pembangunan hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang responden yang mengatakan bahwa rendahnya permintaan pasar bukan lagi menjadi suatu penghambat yang berarti, namun justru dapat menjadi suatu pendorong yang dipicu oleh perilaku sektor industri dalam memproduksi material ataupun komponen hijau secara besar-besaran untuk menarik konsumen. Adapun respon tidak setuju pada rendahnya permintaan pasar yang ada pada saat ini, didukung oleh pernyataan Mc Graw Hill Construction (2006) yaitu terdapat sebuah kecenderungan bahwa kemungkinan besar kondisi pasar saat ini telah lebih tinggi dari beberapa tahun lalu.

Wulfram I. Ervianto (2014) menyimpulkan hambatan yang terjadi dalam mengimplementasikan green construction adalah:

1) Permasalahan Teknologi

Permasalahan teknologi, dimana kontraktor masih terkendala oleh beberapa hal sebagai berikut: (a) penggunaan bahan bakar alternatif, (b) teknologi daur ulang, (c) terbatasnya ketersediaan peralatan yang ramah lingkungan dalam hal tingkat kebisingan, (d) implementasi komponen prafabrikasi, (e) ragam material terbarukan.

2) Peran Aktif Pemilik Proyek

Peran aktif dari pemilik proyek dalam beberapa hal sebagai berikut: (a) mensyaratkan pemakaian kayu yang dapat dipertanggungjawabkan asal usulnya, (b) mensyaratkan pembuatan sistem untuk infiltrasi air tanah, (c) ketentuan filterisasi air yang akan disalurkan ke dalam riol kota, (d) ketentuan tidak menebang

(14)

commit to user

pohon kecuali yang berada dalam massa bangunan, (e) mensyaratkan penggunaan air secara bertanggung jawab baik yang bersumber dari PDAM maupun air tanah, (f) melakukan monitoring sampah yang dihasilkan, (g) memantau kebisingan, getaran, dan kondisi air tanah yang diakibatkan oleh aktivitas proyek, (h) memantau kualitas udara selama proyek berlangsung untuk menciptakan udara bersih.

3) Keterbatasan Regulasi

Terbatasnya regulasi yang mengatur tentang implementasi green construction

dalam beberapa hal sebagai berikut: (a) standarisasi terkait dengan penerangan yang sesuai untuk aktivitas konstruksi baik di dalam maupun di luar ruangan, (b) ketentuan penggunaan peralatan konstruksi yang rendah emisi dan berbahan bakar alternatif.

4) Sumber Pendanaan

Campur tangan sumber pendanaan dalam hal peremajaan berbagai peralatan yang rendah emisi dan efisien bahan bakar.

5) Faktor Kesadaran

Faktor lainnya yang mencakup sosialisasi penghematan air, energi, penggunaan sensor cahaya untuk penerangan dan tidak menggunakan bahan berbahaya seperti merkuri, styrofoam dan zat lain yang tidak ramah lingkungan.

2.3. Analisis Statistik

2.3.1. Uji Validitas

Pearson Product Moment merupakan salah satu teknik pengujian validitas yang sering digunakan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y) dengan mengkorelasikan skor butir pada kuisioner terhadap skor total pada tingkat signifikansi 5%.

Rumus Pearson Product Moment:

𝑟 =

n.(Σxy) – (Σx) (Σy)

√{nΣx² – (Σx)²} {n.Σy2 – (Σy)²} (2.1)

(15)

commit to user r = korelasi Pearson Product Moment

n = Banyaknya Pasangan data X dan Y Σx = Total Jumlah dari Variabel X Σy = Total Jumlah dari Variabel Y

Σx2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel X

Σy2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel Y

Σxy = Hasil Perkalian dari Total Jumlah Variabel X dan Variabel Y

2.3.2. Uji Reliabilitas

Metode yang digunakan pada uji reliabilitas adalah metode Cronbach’s Alpha.

Alpha Cronbach adalah koefisien keandalan (reliability) yang menunjukkan seberapa baik item dalam suatu kumpulan berkorelasi satu sama lain. Perhitungan

Cronbach’s Alpha dilakukan dengan menghitung rerata interkorelasi di antara butir-butir pertanyaan pada kuisioner.

Rumus Cronbach’s Alpha:

r

tt = 𝑘 𝑘−1

(1 −

∑ σ b2 σ 𝑡2

)

(2.2) Dimana: rtt = reliabilitas kuisioner

k = banyaknya butir pertanyaan ∑ σ b2 = jumlah variansi butir

σ t2 = variansi total

Tabel 2.2Cronbach’s Alpha

No Interval Kriteria 1 < 0.200 Sangat rendah 2 0.200 - 0.399 Rendah 3 0.400 - 0.599 Cukup 4 0.600 - 0.799 Tinggi 5 0.800 - 1.000 Sangat Tinggi

(16)

commit to user

2.3.3. Analisis Regresi Linier Berganda

Analisis regresi berganda adalah suatu model dimana variabel terikat tergantung pada dua atau lebih variabel bebas. Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.

Bentuk Umum Regresi Linier Berganda

Y = a + b1X1 + b2X2 + ……….. + bnXn

(2.3)

Dimana:

Y adalah variabel terikat X adalah variabel bebas a adalah konstanta

b adalah koefisien regresi

2.3.4. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik dilakukan seiring analisis regresi berganda, yang meliputi uji asumsi multikolinieritas, autokorelasi, normalitas, dan heteroskesdastisitas. Apabila hasilnya tidak ditemukan multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskesdastisitas, maka analisis regresi berganda yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai hasil akhir uji hipotesis penelitian mengenai hambatan yang terjadi dalam penerapan green construction.

2.3.4.1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji ini dilakukan dengan melihat normal probability plot. Distribusi normal akan membentuk garis lurus diagonal. Dan ploting data residual akan akan dibandingkan dengan garis diagonal, jika distribusi residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.

(17)

commit to user

2.3.4.2. Uji Multikolinieritas

Mulitikolinieritas menunjukkan hubungan linier antara variabel bebas. Pengujian multikolinieritas dalam penelitian ini menggunakan nilai varian inflation factor

(VIF) yang diperoleh dari pengujian hipotesis. Kriteria terjadinya multikolinieritas adalah apabila VIF lebih besar dari 10.

2.3.4.3. Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan secara waktu (time series) atau secara ruang (cross sectional). Metode yang digunakan untuk mengetahui adanya autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.

2.3.4.4. Uji Heterokesdatisitas

Uji heterokedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varian dari residual atau pengamatan satu ke pengamatan lain tetap. Maka disebut homokedastisitas.

Pengujian heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai prediksi variabel terikat, yaitu ZPRED (sumbu X), dengan residualnya SRESID (sumbu Y). Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang membentuk pola teratur (bergelombang, menyebar kemudian menyempit) maka mengindikasikan terjadinya homokedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas dan teratur, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka terjadi heterokedastisitas.

2.3.5. Pengujian Hipotesis Uji t

Yaitu uji hipotesis pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel terikat.

1) Hipotesis operasional

 Ho = Variabel bebas secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat

(18)

commit to user

 Ha = Variabel bebas secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat

2) Perhitungan t tabel

Tingkat signifikasi (α) = 0.05 t tabel = t (α / 2; n – k)

3) Dasar pengambilan keputusan

 Berdasarkan t tabel:

Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima Jika t hitung > t tabel maka Ho diterima

 Berdasarkan taraf signifikasi/nilai probabilitas Jika signifikasi > 0,05 maka Ho diterima Jika signifikasi < 0,05 maka Ho ditolak

Nilai t tabel yang diperoleh dibandingkan nilai t hitung, bila t hitung > t tabel, maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Apabila t hitung < t tabel, maka Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.

2.3.6. Pengujian Hipotesis Uji F

Yaitu uji hipotesis pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel terikat.

1) Hipotesis operasional

 Ho = Variabel bebas secara simultan tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat

 Ha = Variabel bebas secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat

2) Perhitungan t tabel

Tingkat signifikasi (α) = 0.05 F table = t (α , V1, V2)

F table = t (α ,[k-1]; [n-1] [k-1])

Keterangan: n = jumlah sampel, k = jumlah variabel 3) Dasar pengambilan keputusan

(19)

commit to user Jika F hitung < F tabel maka Ho diterima Jika F hitung > F tabel maka Ho diterima

 Berdasarkan taraf signifikasi/nilai probabilitas Jika signifikasi > 0,05 maka Ho diterima Jika signifikasi < 0,05 maka Ho ditolak

Nilai F tabel yang diperoleh dibandingkan nilai F hitung, bila F hitung > F tabel, maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Apabila F hitung < F tabel, maka Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.

Gambar

Tabel  2.1  Penjabaran  Nilai  Kategori  Kriteria  Green  Construction  by  Greenship
Gambar 2.1 Grafik Persentase Penilaian Greenship untuk Bangunan Baru v1.2
Tabel 2.2 Cronbach’s Alpha

Referensi

Dokumen terkait

Untuk melaksanakan tugas tersebut Kota Administrasi menyelenggarakan fungsi: penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran kota

Program Heart of Borneo (HoB) adalah salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia dan

Minimnya kualitas fasilitas yang ada pada terminal saat ini menjadi alasan serta motivasi saya untuk merencanakan dan merancang terminal tipe-b Sidoarjo

pemberian ASI eksklusif 6 bulan pada bayi usia 6-12 bulan di Desa Kemantren Kecamatan Jabung Kabupaten Malang menunjukkan bahwa status pekerjaan tidak

[r]

menghimpun data tentang karakteristik petani, kelayakan usahatani padi dan kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP). Data dan informasi usahatani padi

Kegagalan pengeluaran mekonium menimbulkan refluks kolon sehingga muntah- Kegagalan pengeluaran mekonium menimbulkan refluks kolon sehingga muntah- muntah didukung ketidaknormalan