• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berasal dari Afrika tropis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berasal dari Afrika tropis,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tanaman Patah Tulang 2.1.1 Morfologi Tanaman Patah Tulang

Tanaman Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) berasal dari Afrika tropis, tamanan ini menyukai tempat terbuka yang terkena cahaya matahari langsung. Di Indonesia, ditanam sebagai tanaman pagar, tanaman hias di pot, tanaman obat, atau tumbuh liar. Dapat ditemukan dari dataran rendah sampai ketinggian 600 m. Perdu yang tumbuh tegak ini mempunyai tinggi 2-6 m dengan pangkal berkayu, bercabang banyak, dan bergetah seperti susu yang beracun (Nuryati, 2011).

Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai ranting yang bulat silindris berbentuk pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau. Rantingnya setelah tumbuh sekitar satu jengkal akan segera bercabang dua yang letaknya melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti percabangan yang terpatah-patah. Daunnya jarang, terdapat pada ujung ranting yang masih muda, kecil-kecil, bentuknya lanset, panjang 7-25 mm, dan cepat rontok. Bunga majemuk, tersusun seperti mangkuk, warnanya kuning kehijauan seperti ranting. Jika masak, buahnya akan pecah dan melemparkan biji-bijinya. Ciri khas tumbuhan patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) adalah tidak memiliki daun dan hanya tersusun atas batang-batang yang mirip tulang belulang. Getah yang dikandung patah tulang terbukti secara empiris mengobati tulang patah (Nuryati, 2011).

(2)

Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) juga dikenal dengan nama susuru (Sunda), kayu urip, pacing tawa, tikel balung (Jawa), kayu jaliso, kayu leso, kayu langtolangan, kayu tabar (Madura), patah tulang (Sumatera) (Nuryati, 2011).

2.1.2. Sistematik Tanaman Patah Tulang

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Asterales Suku : Euphorbiaceae Warga : Euphorbia

Jenis : Euphorbia tirucalli (Setiawati,dkk, 2008).

2.1.3 Sifat dan Kandungan Kimia

Patah tulang (Euphorbia tirucalli L.) mempunyai bau lemah, rasa mula-mula tawar, lama kelamaan timbul rasa kebas di lidah. Mengandung senyawa

euphorbone, taraksasterol, laktucerol, euphol, senyawa damar yang menyebabkan rasa tajam ataupun kerusakan pada selaput lendir, bila terkena mata getah patah tulang dapat menyebabkan kebutaan, sesegera mungkin mata dicuci dengan air kelapa atau santan (Arief, 2007).

(3)

2.1.4 Manfaat Tanaman Patah Tulang

Bagian tanaman yang paling sering dimanfaatkan untuk obat adalah kulit batang dan ranting dan akarnya dengan beberapa cara manfaat penggunaannya, yaitu:

- Mencegah tahi lalat membesar

Gosok tahi lalat dengan air jeruk nipis, lalu olesi dengan getah patah tulang. Lakukan beberapa kali sehari dan jangan sampai terkena mata.

- Kapalan (clavus) dan kutil

Cuci bersih ½ kg dahan dan ranting patah tulang, lalu rebus dengan 4 liter air sampai tersisa 2 liter. Gunakan air rebusan hangat untuk merendam bagian tubuh yang kulitnya menebal atau terdapat kutilnya selama ½ jam. Setelah kulit kering, olesi kutil dengan lendir daun lidah buaya sampai merata. Dengan pengobatan ini, kapalan atau kutil dapat terlepas dengan sendirinya.

- Kulit tertusuk duri atau terkena pecahan kaca

Olesi kulit atau tubuh yang tertusuk duri dengan getah patah tulang. Getah patah tulang dapat mengeluarkan duri-duri dari kulit.

- Sakit gigi

Teteskan getah patah tulang pada gigi yang sakit dan berlubang. Lakukan satu sampai dua kali sehari. Hati-hati jangan sampai mengenai gigi yang sehat. - Patah tulang

Gosokkan getah patah tulang pada kulit diatas tulang yang patah. Cara lainnya, giling halus ranting patah tulang dan tempelkan hasil gilingan di atas tulang yang patah kemudian balut. Lakukan pengobatan dua kali sehari dengan mengganti pembalutnya.

(4)

- Herpes zoster

Tumbuk halus 1 genggam herba patah tulang dan 1 buah bawang putih, lalu tambahkan air dingin. Balurkan hasil tumbukan pada bagian tubuh yang sakit. Lakukan pengobatan tiga kali sehari (Arief, 2007).

2.2 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif darisimplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, diluar pengaruh cahaya matahari langsung (Ditjen POM, 1995). Ragam ekstraksi yang tepat bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne,1984).

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian kosentrasi pada kesimbangan. Maserasi dilakukan dengan cara pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Ditjen, 2000).

Metode ekstraksi atau cara ekstraksi dapat dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk kedalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Tehnik ini biasanya digunakan jika kandungan organik yang ada

(5)

dalam bahan-bahan tumbuhan tersebut cukup tinggi dan telah diketahui jenis pelarut yang dapat melarutkan dengan baik senyawa-senyawa yang akan diekstraksi atau diisolasi. Kelemahan teknik ini yakni adanya kejenuhan konsentrasi larutan penyari (Ditjen, 2000).

2.3 Tinjauan Umum Tentang Nyeri 2.3.1 Definisi Nyeri

Nyeri adalah sensasi yang penting bagi tubuh, sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan,dan nyeri merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan reaksi ketidaknyamanan, distress, atau menderita (Raylene, 2008).

2.3.2 Mekanisme Nyeri

Gambar 2.1 Perjalanan Nyeri (Anonim, 2011).

Pada Gambar 2.1 menjelaskan tentang perjalanan rangsangan nyeri. Rasa nyeri terjadi akibat rangsangan-rangsangan mekanis, fisik, atau kimiawi yang dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan pada jaringan dan melepaskan zat-zat tertentu yang disebut mediator-mediator nyeri yang letaknya pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, selaput lendir, atau jaringan-jaringan (organ-organ) lain.

(6)

Dari tempat ini rangsangan dialirkan melalui saraf-saraf sensoris ke sistem saraf pusat (SSP) melalui sumsum tulang belakang ke thalamus dan kemudian ke pusat nyeri di dalam otak besar, dimana rangsangan dirasakan sebagai nyeri. Otak besar dan otak kecil bersama-sama melakukan reaksi pertahanan dan perlindungan. Mediator-mediator nyeri yang terpenting adalah histamin, serotonin, dan prostagladin, serta ion-ion kalium (Mustchler, 1991; Ganiswara, 1995; Tan dan Rahardja, 2002).

Banyak faktor yang mempengaruhi nyeri (Gambar 2.1), antara lain: lingkungan, umur, kelelahan, riwayat nyeri sebelumnya, mekanisme pemecahan masalah pribadi. Sebagian besar rasa nyeri hebat oleh karena: trauma, iskemia

atau inflamasi disertai kerusakan jaringan. Hal ini mengakibatkan terlepasnya zat kimia tertentu yang berperan dalam merangsang ujung-ujung saraf perifer. Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsangan dari lingkungan yang berlebihan, misalnya: kebisingan, cahaya yang sangat terang dan kesendirian. Kelelahan juga meningkatkan nyeri sehingga banyak orang merasa lebih nyaman setelah tidur (Willkinson, 2007).

2.3.3 Mediator Nyeri

Ada beberapa sumber/penghasil senyawa kimia yang terlibat pada pengenalan nyeri, yaitu (1) berasal dari sel yang rusak, (2) disintesis oleh sel-sel melalui enzim yang diinduksi karena kerusakan jaringan, atau (3) merupakan produk nosiseptor sendiri. Histamin dan kalium yang dilepaskan oleh sel setelah terjadi kerusakan jaringan dapat mengaktivasi dan/atau mensensitisasi nosiseptor. Pada kadar rendah, bradikinin, suatu polipeptida hasil potongan protein plasma, dapat menghasilkan vasodilatasi dan edema, mengakibatkan hiperalgesia (yaitu

(7)

sensitivitas berlebihan terhadap nyeri), pada kadar tinggi, bradikin dapat secara langsung menstimulasi nosiseptor untuk aktif. Prostaglandin dan leukotrien merupakan senyawa yang disintesis di daerah kerusakan jaringan dan dapat mengakibatkan hiperalgesis melalui kerja langsungnya pada nosiseptor atau dengan mensensitisasi nosiseptor terhadap senyawa lain. Senyawa P, suatu neurotransmitter yang dilepaskan dari serabut saraf aferen, juga mengakibatkan pelepasan histamin dan bekerja sebagai vasodilator kuat (Raylene, 2008).

Tabel 2.1 Senyawa Aktif Mediator-mediator Nyeri

Senyawa Sumber

Histamin Dilepaskan oleh sel mast

Kalium Dilepaskan oleh sel-sel yang rusak Bradikinin Protein plasma

Prostaglandin Asam arakidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak Leukotrien Asam arakidonat yang dilepaskan oleh sel-sel yang rusak Senyawa P Neuron aferen primer

Sumber: Field, (1987). 2.3.4 Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan dalam 3 jenis yaitu:

1. Nyeri fisiologis, terjadinya nyeri oleh karena stimulasi singkat yang tidak merusak jaringan, misalnya pukulan ringan akan menimbulkan nyeri yang ringan. Ciri khas nyeri sederhana adalah terdapatnya korelasi positif antara kuatnya stimuli dan persepsi nyeri, seperti semakin kuat stimuli maka semakin berat nyeri yang dialami.

2. Nyeri inflamasi, terjadinya nyeri oleh karena stimuli yang sangat kuat sehingga merusak jaringan. Jaringan yang dirusak mengalami inflamasi dan menyebabkan

(8)

fungsi berbagai komponen nosiseptif berubah. Jaringan yang mengalami inflamasi mengeluarkan berbagai mediator inflamasi, seperti: bradikinin, leukotrin, prostaglandin, purin dan sitokin yang dapat mengaktivasi atau mensensitisasi nosiseptor secara langsung maupun tidak langsung. Aktivasi nosiseptor menyebabkan nyeri, sedangkan sensitisasi nosiseptor menyebabkan hiperalgesia.

3. Nyeri neuropatik adalah nyeri yang didahului dan disebabkan adanya disfungsi primer ataupun lesi pada sistem saraf yang diakibatkan: trauma, kompresi, keracunan toksin atau gangguan metabolik. Akibat lesi, maka terjadi perubahan khususnya pada serabut saraf aferen (SSA) atau fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya, sehingga menimbulkan gangguan keseimbangan. Gangguan keseimbangan tersebut dapat melalui perubahan molekuler sehingga aktivasi SSA (mekanisme perifer) menjadi abnormal yang selanjutnya menyebabkan gangguan fungsi sentral (mekanisme sentral) (Turk dan Flor, 1999; Raylene, 2008).

Pengobatan nyeri tidak hanya difokuskan untuk menghilangkan gejala tetapi juga untuk mengatasi penderitaan dan ketidakmampuan yang diakibatkan oleh nyeri tersebut. Pemberian analgetik secara teratur disarankan lebih untuk mencegah munculnya nyeri dari pada meredakan nyeri yang telah terjadi. Rasa nyeri dapat di atasi dengan obat-obat analgetik yang letak dan tempat kerjanya disesuaikan dengan rasa nyeri yang dirasakan, rasa nyeri ringan sampai sedang dapat diobati dengan obat-obat analgetik perifer seperti antalgin tablet (Metampiron) dan nyeri sedang sampai nyeri berat dapat diobati dengan obat-obat analgetik narkotik seperti morfin.

(9)

Berdasarkan proses terjadinya nyeri, maka rasa nyeri dapat dilawan dengan beberapa cara, yaitu:

a. merintangi pembentukan rangsangan dalam reseptor-reseptor nyeri perifer, oleh analgetika perifer atau anestetika lokal.

b. merintangi penyaluran rangsangan nyeri dalam saraf-saraf sensoris, misalnya dengan anestetika lokal

c. blokade dari pusat nyeri dalam sistem saraf pusat dengan analgetika sentral (narkotika) atau anestetika umum (Tan dan Rahardja, 2002).

2.4 Analgetik

2.4.1 Definisi Analgetik

Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik digunakan untuk meringankan atau mengurangi rasa nyeri tanpa mempengaruhi kesadaran (Mustchler, 1991; Tan dan Rahardja, 2002; Siswandono dan Soekardjo, 2008 ).

Kesadaran akan perasaan sakit terdiri dari dua proses, yakni penerimaan rangsangan sakit di bagian otak besar dan reaksi-reaksi emosional dan individu terhadap perangsang ini. Obat penghalang nyeri (analgetik) mempengaruhi proses pertama dengan mempertinggi ambang kesadaran akan perasaan sakit, sedangkan narkotik menekan reaksi-reaksi psikis yang diakibatkan oleh rangsangan sakit. Pada pengobatan rasa nyeri dengan analgetik, faktor-faktor psikis turut berperan, misalnya kesabaran individu dan daya menerima nyeri. Secara umum analgetik dibagi dalam dua golongan, yaitu analgetik non-narkotik atau integumental analgetik (misalnya asetosal dan parasetamol) dan analgetika narkotik atau analgetik opioid atau viseral analgetik (misalnya morfin) (Mustchler, 1991).

(10)

2.5 Obat-obat Analgetik 2.5.1 Analgetik Narkotik

Analgetik narkotik adalah senyawa yang dapat menekan fungsi sistem saraf pusat secara selektif dan dapat mengurangi rasa sakit yang moderat ataupun berat, seperti rasa sakit yang disebabkan oleh penyakit kanker, serangan jantung akut, sesudah operasi dan kolik usus dan ginjal. Aktivitas analgetik narkotik jauh lebih besar dibanding golongan analgetik non narkotik, sehingga disebut pula analgetik kuat (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

2.5.1.1 Morfin

Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L. yang telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dua golongan: (1) golongan fenantren misalnya morfin dan kodein dan (2) golongan benzilisokinolin, misalnya noskapin dan papaverin (Ganiswara, 1995).

Rumus Bangun:

Gambar 2.2 Struktur Molekul Morfin (Ditjen POM, 1995).

Zat-zat ini memiliki daya menghalangi nyeri yang kuat sekali dengan tingkat kerja yang terletak di Sistem Saraf Pusat. Umumnya mengurangi kesadaran (sifat meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan nyaman

(11)

(euforia), dapat mengakibatkan toleransi dan kebiasaan (habituasi) serta ketergantungan psikis dan fisik (ketagihan adiksi) dengan gejala-gejala abstinensia bila pengobatan dihentikan. Karena bahaya adiksi ini, maka kebanyakan analgetika sentral seperti narkotika dimasukkan dalam Undang-Undang Narkotika dan penggunaannya diawasi dengan ketat oleh Dirjen POM (Ganiswara, 1995).

2.5.1.2 Mekanisme Kerja Morfin

Efek analgetik dari morfin dihasilkan oleh adanya pengikatan obat dengan sisi reseptor khas pada sel dalam otak dan spinal cord (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Morfin di Reseptor Opioid (Mycek, 2001).

Morfin memperlihatkan efek utamanya dengan berinteraksi dengan reseptor opioid pada SSP dan saluran cerna yang menyebabkan hiperpolarisasi sel saraf, menghambat peletupan saraf dan penghambatan pelepasan transmiter. Morfin bekerja pada reseptor µ (mu) yang memodulisasi presepsi nyeri dalam

(12)

medula spinalis menyebabkan analgesia (menghilangkan nyeri tanpa hilangnya kesadaran) (Mycek, 2001).

Antagonis-antagonis morfin adalah zat-zat yang dapat melawan efek-efek samping dari analgetik narkotik tanpa mengurangi kerja analgetiknya dan terutama digunakan pada overdosis atau intoksiaksi dengan obat-obat ini. Zat-zat ini sendiri juga berkhasiat sebagai analgetik, tetapi tidak dapat digunakan dalam terapi, karena dia sendiri menimbulkan efek-efek samping yang mirip dengan morfin, antara lain depresi pernafasan dan reaksi-reaksi psikotis. Yang sering digunakan adalah nalorfin dan nalokson (Mustchler, 1991; Mycek, 2001).

Efek morfin terhadap sistem saraf pusat berupa analgesia dan narkosis. Analgesia oleh morfin dan opioid lain sudah timbul sebelum penderita tidur dan seringkali analgesia terjadi tanpa disertai tidur. Morfin dosis kecil (10-15 mg) menimbulkan euforia pada penderita yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya, dosis yang sama pada orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai dengan mual, dan muntah. Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berfikir, apatis, aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, ektremitas terasa berat, badan terasa panas, muka gatal dan mulut terasa kering, depresi nafas dan miosis. Rasa lapar hilang dan dapat muntah yang tidak selalu disertai rasa mual. Dalam lingkungan yang tenang orang yang diberikan dosis terapi (15-20 mg) morfin akan tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis. Antara nyeri dan efek analgetik (juga efek depresi nafas) morfin dan opioid lain terdapat antagonisme, artinya nyeri merupakan antagonis bagi efek analgetik dan efek depresi nafas morfin. Bila nyeri sudah dialami beberapa waktu

(13)

sebelum pemberian morfin, efek analgetik obat ini tidak begitu besar. Sebaliknya bila stimulus nyeri ditimbulkan setelah efek analgetik mencapai maksimum, dosis morfin yang diperlukan untuk meniadakan nyeri itu jauh lebih kecil. Penderita yang sedang mengalami nyeri hebat dan memerlukan morfin dengan dosis besar untuk menghilangkan rasa nyerinya, dapat tahan terhadap depresi nafas morfin. Tetapi bila nyeri itu tiba-tiba hilang, maka kemungkinan besar timbul gejala depresi nafas oleh morfin (Ganiswara, 1995; Tan dan Rahardja, 2002).

2.5.2 Analgetik Non- narkotik

Analgetik non narkotik digunakan untuk mengurangi rasa sakit yang ringan sampai moderat, sehingga sering disebut analgetik ringan. Analgetik non narkotik bekerja pada perifer dan sentral sistem saraf pusat, obat golongan ini

mengadakan potensiasi dengan obat-obat penekan sistem saraf pusat (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Adapun obat-obat analgetik, antipiretik dan antiinflamasi yang bekerja disaraf perifer seperti: derivat salisilat, derivat p-aminofenol, derivat pirozolon dan derivat oksikam. Salah satu perlakuan dalam penelitian menggunakan obat analgetik dari metampiron (antalgin).

2.5.2.1 Antalgin (Metampiron)

Metampiron adalah derivat metansulfonat dari aminopirin yang larut baik dalam air dan dapat diberikan secara injeksi. Metampiron digunakan sebagai analgetik-antipiretik karena antiinflamasinya lemah, demi keamanan dari obat ini metampiron sebaiknya diberikan bila dibutuhkan analgetik-antipiretiknya (Ganiswara, 1995).

(14)

Rumus Bangun:

. H2O

Gambar 2.4 Struktur Molekul Metampiron (DitjenPOM, 1995).

Obat-obat ini dinamakan juga analgetika perifer, karena tidak mempengaruhi Sistem Saraf Pusat, tidak menurunkan kesadaran atau mengakibatkan ketagihan. Semua analgetik perifer juga memiliki kerja antipiretik, yaitu menurunkan suhu badan pada keadaan demam, maka disebut juga analgetik antipiretik. Khasiatnya berdasarkan rangsangannya terhadap pusat pengatur kalor di hipotalamus, yang mengakibatkan vasodilatasi perifer (di kulit) dengan bertambahnya pengeluaran kalor dan disertai keluarnya banyak keringat (Ganiswara, 1995).

Penggolongan analgetik non-narkotik (perifer) secara kimiawi adalah sebagai berikut: (1) salisilat-salisilat, Na-salisilat, asetosal, salisilamida, (2) Derivat-derivat p-aminofenol: fenasetin dan parasetamol, (3) Derivat-derivat pirozolon: antipirin, aminofenazon, dipiron, fenilbutazon dan turunan-turunannya (4) Derivat-derivat antranilat: glafenin, asam mefenamat, dan asam nifluminat (Tan dan Rahardja, 2002).

2.5.2.2 Mekanisme Kerja Antalgin (Metampiron)

Analgetik diberikan kepada penderita untuk menimbulkan efek analgetiknya dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalisis biosintesis prostaglandin, seperti

(15)

siklooksigenase, sehingga mencegah sensitasi reseptor rasa sakit oleh mediator-mediator rasa sakit, seperti bradikinin, histamin, serotonin, prostasiklin, prostaglandin, ion-ion hidrogen dan kalium yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono dan Soekardjo, 2008).

Gambar 2.5 Diagram Perombakan Asam Arachidonat (Tan dan Rahardja, 2002).

Efek-efek samping yang biasanya muncul adalah menyebabkan

agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Pemakaian metampiron jangka panjang harus diperhatikan kemungkinan diskrasia darah dapat menimbulkan hemolisis, udem, tremor, mual, muntah, pendarahan lambung dan ketidakmampuan untuk buang air kecil (anuria) (Ganiswara, 1995).

2.5.2.3 Analgetik-Antipiretik

Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi, analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan juga menurunkan suhu tubuh yang tinggi (Anief, 1995).

(16)

2.6 Metode Pengukuran Nyeri

2.6.1 Uji Plantar Tes Infra Red (Metode Hargreaves)

Menurut Hargreaves (1988), plantar tes berfungsi untuk melihat respon analgetik terhadap stimuli thermal yang disebabkan oleh obat-obatan yang diberikan kepada hewan dengan sistem terkendali terdiri dari:

- Sebuah sumber infra red bergerak

- Sebuah panel kaca

- Sebuah kontroller

Seekor mencit/tikus ditempatkan dalam salah satu dari tiga kamar, setelah diberi obat sumber infra red ditempatkan di bawah lantai kaca dan diposisikan oleh operator langsung di bawah kaki belakang. Uji ini dimulai dengan menekan tombol untuk menyalakan sumber infra red dan memulai digital waktu. Ketika mencit/tikus merasa sakit akan menarik kakinya. Penarikan kaki menyebabkan penurunan mendadak dalam radiasi yang dipantulkan yang mematikan sumber

infra red dan menghentikan pencatat waktu reaksi. Penarikan akhir dihitung dengan ketelitian 0,1 detik.

2.6.2 Uji Hot Plate

Telapak kaki mencitsangat sensitif terhadap panas pada suhu tinggi yang tidak merusak kulit. Mencit biasanya merespon dengan melompat, menarik kaki dan menjilat. Waktu yang diperlukan omset untuk terjadinya respon ini diperpanjang waktunya, akibat pemberian obat-obatan sistem saraf pusat tetapi tidak mempengaruhi sistem saraf perifer padahewan yang diberi analgetik perifer dan NSAID (Parmar dan Prakash, 2006).

Gambar

Gambar 2.1 Perjalanan Nyeri (Anonim, 2011).
Tabel 2.1 Senyawa Aktif Mediator-mediator Nyeri
Gambar 2.2 Struktur Molekul Morfin (Ditjen POM, 1995).
Gambar 2.3 Mekanisme Kerja Morfin di Reseptor Opioid (Mycek, 2001).
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Gambar 1, hasil pengamatan mikroskopis pada pewarnaan Fe sumsum tulang dengan konsentrasi 1% (b/v) dihasilkan pewarnaan Fe yang kurang maksimal karena warna partikel

Sedang inti persoalan pemilikan alat produksi adalah penentuan kedudukan sosial manusia dalam hubungannya antara yang satu dengan yang lain dalam proses

Berdasarkan deskripsi variabel ekspresi caspase-1 di atas, terlihat bahwa mencit yang diinduksi pristan (mencit model lupus nefritis) memiliki rata-rata ekspresi caspase-1

Alat ini dibutuhkan di saat proses penyediaan untuk hewan peliharaan dikarenakan pada saat ini proses yang masih manual pengguna tidak dapat melakukan penyajian

Soalnya kalo pilkada itu banyak pilihan tapi tidak tau semua, kalo yang presiden ini saya semangat karena sudah melekat sekali pilihannya, bagaimana ya, seperti

Pada tabel 1 dapat dilihat kebutuhan yang akan diujikan menggunakan Black Box Testing terkait dengan sistem pemrosesan transaksi pada PT Medistira Utama, mulai dari login

Dalam penelitian ini peneliti akan memaparkan tentang hasil interview dengan Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kabupaten Ponorogo yaitu Bapak

[r]