• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAYAGUNAAN NASKAH AKADEMIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (Suatu Kajian Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kubu Raya Dan Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat). - UNS Institutional Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENDAYAGUNAAN NASKAH AKADEMIK DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA (Suatu Kajian Terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kubu Raya Dan Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat). - UNS Institutional Repository"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara akan berjalan dengan baik jika lembaga - lembaga negara yang ada di dalamnya memiliki hubungan yang saling mendukung satu dengan lainnya sebagai satu kesatuan serta berjalan sesuai dengan kedudukan, peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing. Indonesia adalah Negara yang wilayahnya terbagi atas daerah - daerah provinsi. Daerah provinsi itu kemudian dibagi lagi menjadi daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang. Pembagian kekuasaan Negara tersebut bertujuan agar kekuasaan tidak bertumpuk pada satu badan saja, yaitu pemerintah pusat.

Setelah diadakan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)1 telah terjadi banyak perubahan dalam sistem ketatanegaraan dan penyelenggaraan pemerintahan negara Republik Indonesia. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yang diamendemen adalah ketentuan yang terkait dengan Pemerintah Daerah sebagaimana termuat dalam Pasal 18 UUD 1945.

Pasal 18 UUD 1945 menyatakan :

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.**)

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **)

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki 1Undang-Undang Dasar RI 1945 sudah diadakan 4 (empat) kali amendemen. Untuk mengetahui adanya

(2)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **)

4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. **)

5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **)

6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.**)

Menanggapi Pasal 18 UUD 1945 Menurut Jimly Asshiddiqie dari ketentuan pasal 18 ayat (1) dapat dipahami bahwa :2

1. NKRI dibagi atas susunan daerah – daerah di bawahnya secara hierarkis, yaitu dibagi atas provinsi, dan provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal (territorial or regional division of power)

2. Setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota itu mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang undang.

Perubahan dalam sistem penyelenggaran pemerintahan daerah berupa pemberian kewenangan yang luas kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah3 dan tugas pembantuan,4 diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Dari

2Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Hal 57.

3Asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 1 angka 6 & 7 UU No. 23 Tahun 2014.

4Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan

(3)

ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 amandemen tersebut, lahirlah potret baru wajah pemerintahan daerah berupa penguatan sistem desentralisasi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.5,

Penguatan sistem desentralisasi6melalui UU No. 23 Tahun 2014 jo. UU No. 9 Tahun 2015 telah memberi ruang yang sangat luas bagi pemerintahan daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sendiri. Akan tetapi, untuk menjalankan urusan pemerintahan daerah, memerlukan instrumen peraturan perundangan-undangan, dalam bentuk peraturan daerah (Perda) provinsi dan kabupaten/kota. Ketentuan yang mengamanatkan pembentukan Perda oleh pemerintah daerah dituangkan dalam Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 yang menyatakan, bahwa “pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

Dari ketentuan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 itu menunjukkan, bahwa kewenangan untuk menyusun peraturan perundang-undangan tidak hanya dimiliki oleh pemerintah pusat, tetapi juga dimiliki oleh pemerintah daerah.7 Hal ini merupakan sebuah keputusan politik yang telah dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah, khususnya pelimpahan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya

diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan. Tugas pembantuan dalam hal-hal tertentu dapat dijadikan semacam “terminal” menuju penyerahan penuh suatu urusan kepada daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh. Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, LPPM-Universitas Islam Bandung, 1995.

5Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah beberapa kali

terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2014. UU ini sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004.

6Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa latin de= lepasdan centrum= pusat,dengan

demikian berarti melepaskan dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan,yang dimaksud dengan desentralisasi ialah pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri. Lihat dalam Victor M Situmorang,Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah,Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Hal 33.

(4)

sendiri dengan menetapkan Perda.8

Kewenangan pemerintah daerah untuk menetapkan Perda diatur lebih lanjut dalam Pasal 236 UU No. 23 Tahun 2014. Dari ketentuan Pasal 236 UU No. 23 Tahun 2014 dapat disimpulkan bahwa untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Perda dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Perda memuat materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain materi muatan penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, dan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 236 UU No. 23 Tahun 2014 tersebut, Pemerintah Daerah telah menetapkan berbagai Perda untuk menyelenggarakan otonomi daerah, tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta menjabarkan lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Akan tetapi tidak dapat diingkari, bahwa perencanaan dan pengambilan kebijakan daerah yang dituangkan dalam Perda bukanlah sesuatu pekerjaan yang mudah, karena dalam pembentukan Perda setidak-tidaknya harus memperhatikan, bahwa Perda yang dibentuk tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi.9 Suatu Perda memuat norma hukum yang merupakan unsur pokok yang sesuai dengan aturan, pola, atau standar yang perlu diikuti, dan pembentukan Perda didasarkan pada proses, metode dan tehnik pembentukan peraturan perundang-undangan.

8Perda yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

9Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur hierarki norma hukum dalam bentuk jenis dan hierarki

(5)

Menurut Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, bahwa :

Dalam pembentukan Perda sebagai salah satu peraturan perundang-undangan dilakukan melalui beberapa tahapan, seperti perencanaan, persiapan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Tahapan perencenaan pembentukan perda dimulai dengan mendesain Raperda secara terencana, bertahap, terarah, dan terpadu. Suatu Raperda diharapkan akan menjadi perda yang mampu memenuhi unsur-unsur pembuatan perda yang baik, yaitu unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis.10

Menurut Solichin Wahab,

Hakikat dari otonomi daerah adalah kemampuan menyediakan ruang publik yang lebar bagi munculnya partisipasi masyarakat didalamnya, tidak hanya secara pasif dimana partisipasi tersebut ditentukan oleh struktur kekuasaan diatasnya (dan itu bukan lah partisipasi, tetapi mobilisasi), juga secara aktif dimana masyarakat memenuhi sepenuhnya atas kebutuhan – kebutuhannya, kemudian memilih, merumuskan dan mengupayakan agar dapat tercapai.11 Dengan adanya otonomi daerah, diharapkan peran masyarakat dapat menjadi lebih besar dalam berjalannya proses pemerintahan di daerah, khususnya di dalam proses penyusunan suatu Perda. Perda menjadi salah satu instrumen yang strategis untuk mewujudkan tujuan desentralisasi. Sejak diberlakukannya ketentuan otonomi daerah dan tugas pembantuan, daerah-daerah memperoleh kewenangan yang cukup luas untuk membentuk Perda secara otonom, baik yang berkaitan dengan kebijakan fiskal maupun tatanan hidup masyarakat lokal.

Tujuan utama pembentukan peraturan perundang – undangan bukan hanya menciptakan kodifikasi bagi norma – norma dan nilai – nilai yang sudah mengendap dalam kehidupan masyarakat tetapi menciptakan modifikasi atau perubahan dalam kehidupan masyarakat.12

Sebagai suatu dokumen kebijakan pemerintah daerah, tidak mudah untuk mengetahui bagaimana proses dan prosedur pembentukan Perda, bagaimana

10Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera,Cara Praktis Menyusun & Merancang \peraturan

Daerah (Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual), Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.v.

11Solichin Wahab,Masa Depan Otonomi Daerah (Kajian Sosial, Ekonomi, Politik,, Untuk Menciptakan

Sinergi Dalam Pembangunan Daerah), SIC, Surabaya, 2012, Hal iii dikutip dari Ria Casmi Arrsa, “Restorasi Politik Legislasi Pembentukan Peraturan Daerah Berbasis Riset (Restoration of Politics Legislation Establishment of Local Regulation Based Riset)”, Jurnal Rechtsvinding, Vol 2 Nomor 3, 2013, Hal 398.

(6)

memahami isi, tujuan, maksud, latar belakang atau alasan suatu Perda dibentuk. Di sisi lain, belum tentu para pengambil kebijakan dan pelaksananya mengetahui dan mengerti apa yang harus dilakukan agar Perda yang dibentuk dapat diterapkan agar sesuai dengan apa yang telah diharapkan. Oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan lahirnya banyak Perda bermasalah.

Di bidang perundang – undangan, pada saat ini terdapat kecenderungan pembentukan peraturan perundang – undangan secara berlebihan tanpa melihat dan memperhatikan arah dan prioritas pembangunan nasional. Hal ini masih ditambah dengan rendahnya kualitas sebagian besar peraturan perundang – undangan baik pusat maupun daerah, yang tercermin pada banyaknya peraturan perundang – undangan yang konflik, multi tafsir, inkonsisten dan tidak operasional, baik yang setingkat maupun dengan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi.13

Pada prinsipnya lahirnya Perda bermasalah tidak saja disebabkan oleh satu faktor, tetapi berdasarkan penelusuran awal ditemukan fakta-fakta berupa Perda yang bertentangan dengan hak asasi manusia, Perda bidang retribusi dan pajak daerah,14 Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Perda yang lahir berpotensi menimbulkan korupsi atau dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan proses pembuatan Perda yang tidak selalu melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Upaya menjaring pendapat masyarakat umum dalam rangka pembuatan suatu Perda yang populer disebut public hearing dilakukan tidak lebih dari sekedar prasyarat formal tanpa makna substantif. Demikian juga dengan substansi dan isi/materi muatan Perda.

Di antara Perda-perda yang bermasalah sebagian diantaranya bahkan berakhir pada pembatalan. Pembatalan terhadap Perda – Perda tersebut dilakukan setelah melakukan evaluasi terhadap Perda – Perda yang dianggap bermasalah tersebut. Di

13M Ilham F Putuhena, “Politik Hukum Perundang – Undangan : Mempertegas Reformasi Legislasi Yang

Progresif”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 2 No 3, 2013, Hal 387.

14Dalam pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai pembangunan nasional dalam

(7)

tahun 2016, ribuan peraturan daerah (perda) yang selama ini dianggap bermasalah akhirnya dibatalkan. Pencabutan 3.143 perda oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara.15  Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat cukup besarnya biaya yang digunakan dalam proses peyusunan Perda. Kerugian keuangan yang ditanggung oleh Negara cukup besar disebabkan oleh Perda-perda bermasalah yang dibatalkan tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang tata tertib DPRD yang di dalamnya diatur lebih rinci soal penyusunan Perda. Problematika dari pengaturan dari PP tersebut adalah fakta bahwa keterbatasan kelompok ahli/pakar yang dipersyaratkan masih sebatas jumlah alat kelengkapan DPRD membuat kinerja DPRD dalam menghasilkan Perda sesuai dengan alur yang disyaratkan peraturan menjadi relatif mandul. Praktik yang terjadi akhirnya adalah duplikasi Perda yang sama dari Daerah lain tanpa mempertimbangkan kekhasan, sosio ekonomi, demografi dan aspek-aspek sosial lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan karena belum optimalnya proses legislasi tersebut maka banyak rancangan Perda yang dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri, yang mendapat mandat berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang selanjutnya diganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah16.

Setelah 18 tahun reformasi berlangsung, penyelenggaraan otonomi mengalami perbaikan, baik demokratisasi, struktur, substansi, budaya, dan sarana prasarana sebagai faktor utama pencarian format terbaik melalui asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan medebewind. Berbarengan dengan itu produk Perda selalu menuai

15http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/16/06/15/o8sws614-perdaperda-bermasalah diakses

pada tanggal 25 September 2016

16.Pasal 251 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,

(8)

kritik mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi.

Mayoritas Perda bermasalah terkait dengan persoalan teknis, seperti judul yang tidak sesuai dengan substansi atau materi Perda. Ada empat indikator sering kali menjadi penyebab Perda bermasalah, yaitu:

1. Pembentukan Perda tidak berdasarkan pada skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat;

2. Adanya disharmoni Perda secara vertikal maupun horizontal dengan peraturan Perundang-undangan lainnya;

3. Pembentukan Perda tidak terkoordinasi, terarah, sistematis, dan terpadu yang disusun oleh DPRD dan Pemerintah Daerah, dan

4. Adanya Perda yang disusun tidak didahului dengan penyertaan naskah akademik.

Hasil pengamatan selama lima tahun terakhir tentang fakta legislasi meliputi: rendahnya kapasitas dan kemampuan, serta lemahnya penguasaan legal drafting. Dapat dicatat, rata-rata DPRD tiap tahunnya hanya mampu menghasilkan 4-5 Perda, yaitu Perda APBD, Perda Perubahan APBD, Perda Laporan Kinerja Kepala Daerah, dan Perda yang diperintahkan oleh Undang-undang atau lembaga/badan/komisi negara.

Dari paparan fakta-fakta di atas dapat dimaknai bahwa adanya Perda bermasalah tersebut akan membawa dampak terhadap kehidupan masyarakat di daerah. Perda yang dibuat belum menjadi sarana akomodasi kepentingan terutama kelompok masyarakat marjinal.

Menurut R. Siti Zuhroh dalam buku “Kisruh Peraturan Daerah: Mengurai Masalah dan Solusi”, terdapat lima penyebab munculnya perda bermasalah, yaitu :

(9)

perda tentang isu‐isu khusus yang sifatnya mendesak, sulit diprediksi dalam rencana anggaran. Hal ini seringkali menghambat karena kurang mengolaborasi kebutuhan‐kebutuhan riil di lapangan. Kedua, proses pembuatan peraturan daerah seolah menjadi sebuah rutinitas pekerjaan saja, tidak ada upaya lebih khusus untuk menciptakan aturan daerah yang lebih berkualitas. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah keterbatasan sumber daya manusia yang berkompeten dalam merumuskan dan mengejawantahkan perda. Meski secara kuantitas anggota legislatif maupun eksekutif cukup banyak, orang‐orang yang memiliki keahlian khusus dalam hal legislatif drafting untuk merumuskan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat menjadi norma‐norma hukum yang baik ternyata sangat minim bahkan tidak ada. Sehingga yang terjadi, perda menjadi asal‐asalan bahkan hanya melakukan cut and paste dari peraturan‐peraturan sejenisnya. Ketiga, pembuatan perda seringkali tidak didasarkan pada skala prioritas isu dalam masyarakat. Barang kali menjadi rahasia umum jika banyak perda yang lahir secara prematur. Sebab yang mendasari lahirnya perda bukan sebuah kebutuhan, tetapi lahir dari tarikan kepentingan politik melalui negosiasi eksekutif dan legislatif. Keempat, proses pembentukan perda masih kurang melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dalam keseluruhan proses pembuatannya. Partisipasi aktif masyarakat seharusnya tidak hanya terbatas dari proses penyaringan aspirasi. Tapi juga, seharusnya, mencakup diskusi‐diskusi intensif dengan wakil‐wakil masyarakat dan anggota masyarakat yang berminat dalam pembahasan‐pembahasan rencana perda. Yang selama ini sering terjadi masyarakat hanya dijadikan objek sosialisasi draf raperda ketimbang diminta masukannya. Sehingga, tetap perda tersebut tidak mampu merepresentasikan kehendak masyarakat. Kelima, pertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi di atasnya. Pembatalan sebuah perda yang bertentangan dengan peraturan di atasnya dalam hal ini UU pastilah dibatalkan demi meminimalisasi kebingungan hukum.17

Selain itu lahirnya Perda bermasalah tidak terlepas dari kondisi dimana ketika penyusunan darft Raperda tidak didasarkan pada pemahaman secara komprehensif mengenai latar belakang, alasan, tujuan dan cakupan materi yang diatur dalam Perda tersebut. Dalam penyusunan darft Raperda tidak semuanya disertai dengan naskah akademik.18 Dalam artian bahwa, pendayagunaan19 naskah akademik dalam Perda

17Siti Zuhroh, Dalam Eksaminasi Publik Peraturan Perundangan Indonesia terdapat dalam

www.antikorupsi.org/.../02panduaneksaminasipublikperaturanperundangdiakses pada tanggal 16 Nopember 2015, jam 22.35 WIB.

18Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya

(10)

Kabupaten/Kota belum dapat selaras dengan arti penting dari naskah akademik dalam penyusunan suatu Perda tersebut.

Dalam rangka pembentukan Perda yang baik, maka penting untuk dicermati bahwa perkembangan terakhir (tahun 2016) mengenai upaya dari berbagai negara untuk menciptakan suatu peraturan yang efektif/mencapai tujuannya, telah diterbitkan suatu konsep yang berfungsi sebagai kontrol kualitas produk peraturan perundang-undangan yang diberi nama Regulatory Impact Assessments (RIA). RIA menggunakan tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :20 1. Perumusan masalah atau issue yang menimbulkan kebutuhan untuk

menerbitkan suatu kebijakan (melakukan tindakan); 2. Identifikasi tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dengan kebijakan tersebut; tahapan ini disebut penilaian resiko (risk assessment); 3. Identifikasi berbagai alternatif tindakan (opsi) untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut; 4. Assessments atas manfaat dan biaya (keuntungan dan kerugian) untuk setiap opsi, dilihat dari sudut pandang pemerintah, masyarakat, pelaku usaha, konsusmen dan ekonomi secara keseluruhan; 5. Konsultasi dan komunikasi dengan stakeholders, dalam semua tahapan tersebut di atas; 6. Penentuan opsi terbaik (yang dipilih); dan 7. Perumusan strategi untuk menerapkan dan merevisi kebijakan.

Selain itu, kesulitan di dalam penyusunan suatu Perda sering kali muncul sebagai akibat kurangnya perhatian dan pemahaman para perancang (legal drafters) untuk memperdalam pengetahuan aturan hukum dan situasi yang sedang berkembang di dalam masyarakat.21 Padahal di dalam proses pembentukan Perda, terdapat

tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Lihat dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 21011.

19MenurutKamus Besar Bahasa Indonesia,Pendayagunaan ialahpengusahaan agar mampu mendatangkan

hasil dan manfaat.

20Lihat Takuji Kameyama, dkk, dalam Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis

Menyusun & Merancang \peraturan Daerah (Suatu Kajian Teoritis & Praktis Disertai Manual), Konsepsi Teoritis Menuju Artikulasi Empiris,Cetakan ke-3, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.85.

(11)

beberapa faktor sebagai patokan untuk membuat perancangan Perda secara tepat dan berstandar, diantaranya para perancang Perda perlu memahami kewenangan, landasan, syarat dan prinsip, serta fungsi dan materi muatan Raperda yang akan disusun, semangat dan pengetahuan anggota DPRD untuk memahami isi, tujuan, maksud, latar belakang atau alasan suatu Perda dibentuk. Proses pembentukan Perda sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan harus didukung oleh pedoman yang mudah dipahami dan bersifat komprehensif, memperhatikan tahap pembentukan Raperda dan sebelum suatu Raperda dibentuk dilakukan peneltian terhadap Raperda mana yang akan dibuat yang dituangkan dalam naskah akademik.

Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera juga menegemukakan, bahwa :

Dalam pembentukan Perda, terdapat sorotan yang tajam dari berbagai pihak, baik itu kaitannya dengan tingkat produktifitasnya (produk pembentukan Perda) maupun menyangkut kualitas dari produk pembentukan Perda yang dihasilkannya.22

Menurut I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani,

In any formation of local regulation required disclosure is giving the opportunity to the public either from academicians, practitioners, as well as from other related elements of the community to participate, both in the planning, preparation, preparation and / or the draft discussion by providing an opportunity to provide input judgment or advice orally or in writing in accordance with the provisions of legislation in force.23

Dalam membentuk regulasi daerah diperlukan pengungkapan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat baik dari kalangan akademisi, praktisi, serta dari unsur terkait lainnya dari masyarakat untuk berpartisipasi, baik dalam perencanaan, persiapan, penyusunan dan / atau diskusi draft dengan memberikan kesempatan untuk memberikan penilaian masukan atau saran secara lisan atau tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Russell Hurdin, Partisipasi masyarakat sangat esensial dalam

22Ibid, hlm. vii.

23 I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, Legal Drafting Local Regulations in Local Parliament,

(12)

pembentukan perundang – undangan karena partisipasi masyarakat merupakan hal yang inheren harus ada dalam demokrasi. Demokrasi baik zaman Yunani maupun kontemporer (kini) adalah bagaimana semua masyarakat memutuskan tentang kehidupan dalam konteks bernegara secara bersama, baik langsung maupun melalui representasi perwakilan di parlemen.24

Untuk dapat membentuk Perda yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah diperlukan suatu penjelasan mengenai latar belakang, alasan, tujuan, dasar keabsahan, standar, metode, tehnik pembentukan Perda dan cakupan materi yang diatur dalam Perda. Penjelasan tersebut berupa suatu dokumen hasil kajian ilmiah yang dituangkan dalam suatu naskah akademik.

Keberadaan naskah akademik di dalam penyusunan Raperda menjadi sangatlah penting, agar setiap Perda yang ditetapkan menjadi tepat sasaran serta sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Berbicara tentang pentingnya naskah akademik dalam pembentukan Raperda, pertama-tama mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No. 12 Tahun 2011). Dengan berlakukan UU No. 12 Tahun 2011, telah memberikan pedoman umum25bagi semua pihak yang terkait di dalam sebuah proses penyusunan suatu peraturan perundang-undangan/Perda, termasuk untuk menyertakan hasil penelitian ilmiah sebagai pedoman pembentukan Raperda yang dimuat dalam naskah akdemik.

Adanya naskah akademik dalam pembentukan Raperda merupakan acuan, yang berisikan penjelasan mengapa pembentukan Raperda memerlukan suatu kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Raperda yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna

24R Muhamad Mirhadi, “Prospek Legislasi Pasca Terbitnya UU No 12 Tahun 2011 “ Disampaikan pada

tanggal 22 Desember 2011. Hal 51

25Pedoman Umum penyusunan naskah akademik tertuang dalam Lampiran I dan Pedoman Umum

(13)

mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Raperda. Naskah akademik berisikan argumentasi yang memenuhi standar ilmiah yang sesuai dengan prinsip ilmu pengetahuan. Naskah Akademik merupakan bahan baku yang dibutuhkan dalam pembentukan Perda. Dengan dukungan naskah akademik yang memadai diharapkan dapat dibentuk Perda yang baik.

Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang perlunya naskah akademik dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Khusus dalam pembentukan peraturan daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota diatur dalam Pasal 56 ayat (2), Pasal 57 dan Pasal 63 UU Nomor 12 Tahun 2011.

Pasal 56 UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa :

(1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur.

(2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. (3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai:

a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau

c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.26

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan DPRD Provinsi atau Gubernur, dan disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Secara redaksional memang bunyi Pasal 56 UU Nomor 12 Tahun 2011 dimaksudkan untuk Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, namun ketentuan tersebut juga berlaku untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota. Pemberlakuan Pasal 56 UU Nomor 12 Tahun 2011 untuk Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota ditunjuk berdasarkan Pasal 63 UU

(14)

Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan, bahwa “Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.

Pada prinsipnya tidak semua Raperda harus disertai dengan naskah akademik, artinya terdapat Raperda yang disertai dengan naskah akademik dan terdapat Raperda yang cukup hanya disertakan dengan penjelasan dan atau keterangan. Apabila suatu Perda yang dibentuk atas perintah Undang-Undang, maka Raperdanya tidaklah selalu disertakan dengan naskah akademik, tapi cukup disertakan dengan keterangan atau penjelasan.27Hal ini

tidak juga dapat diberlakukan secara umum, karena terdapat pula Perda yang dibentuk atas perintah Undang-Undang, akan tetapi karena Perda tersebut mengatur persoalan di daerah yang bersifat komplek dan spesifik, maka Raperda tersebut harus disertakan dengan naskah akademik.28Disamping itu,

Perda yang terkait dengan APBD, Perda yang memerlukan perubahan, maka Raperdanya tidak diharuskan disertakan dengan naskah akademik, akan tetapi cukup disertakan dengan penjelasan dan/atau keterangan.

Akan tetapi, dalam penerapannya masih terdapat Raperda yang tidak menyertakan naskah akademik di dalam penyusunannya. Hal ini sangat disayangkan karena naskah akademik seharusnya dipandang sebagai hal yang sangat penting dari suatu penyusunan Raperda, karena dalam pembuatan naskahakademik tersebut akan

27Sebagai contoh Raperda yang tidak disertakan dengan naskah akadedmik dapat dikemukakan dalam

pembentukan Raperda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, karena apa yang menjadi muatan Perda Pajak Daerah dan Perda Retribusi Daerah sudah diatur secara rinci dalam UU Nomor Tahun tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

28Sebagai contoh Raperda yang perlu disertakan dengan naskah akademik dapat dikemukakan dalam

(15)

termuat dengan cermat landasan filosofis,29 sosiologis30 dan yuridis31sebagai dasar pembentukan Raperda.

Dalam suatu naskah akademik32 suatu Raperda, disamping memuat judul Raperda juga sekaligus memuat materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Hal ini dapat diartikan, bahwa untuk membentuk Perdayang baik pada dasarnya harus didahului dengan kajian yang mendalam tentang muatan yang akan diatur di dalamPerdatersebut.

Penyusunan naskah akademik dalam proses pembentukan Perda bukanlah merupakan keharusan, akan tetapi apabila dilihat dari aspek pendayagunaan dan pengaturannya, dapat dimaknai bahwa sebuah naskah akademik sangat dibutuhkan dalam pembentukan atau penyusunan draft Raperda. Dengan demikian keberadaan naskah akademik tidak hanya bersifat formalitas tetapi memiliki keterkaitan dengan perencanaan pembentukan Perda.

Pemaknaan terhadap pendayagunaan naskah akademik dalam pembentukan Raperda harus dapat diikuti oleh Pemerintah Daerah dan DPRD

29Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lihat dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 21011.

30Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alas an yang menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Lihat dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 21011.

31Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alas an yang menggambarkan bahwa peraturan yang

dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. Lihat dalam Lampiran I UU No. 12 Tahun 21011.

32Materi muatan suatu Naskah Akademik meliputi : Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Tujuan dan

(16)

Kabupaten Mempawah,33 Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianak di

Provinsi Kalimantan Barat34. Akan tetapi berdasarkan prapenelitian yang penulis

lakukan, menunjukkan masih terdapat Raperda KabupatenMempawah, Kabupaten Kubu Raya dan Kota Pontianakdi Provinsi Kalimantan Barat yang termuat dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda)35 Tahun 2011, 2012, 2013, 2014 dan tahun

201536berupa draft Raperda tidak semuanya disertakan dengan naskah akademik.

33 Nama Kabupaten Mempawah merupakkan hasil perubahan nama Kabupaten Pontianak menjadi

Kabupaten Mempawah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2014 tentang Perubahan Nama Kabupaten Pontianak menjadi Kabupaten Mempawah di Kalimantan Barat.

34Kabupaten dan Kota di Provinsi Kalimantan Barat terdiri dari 12 Kabupaten dan 2 (dua) kota, yaitu :

Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Mempawah, Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Kubu Raya, Kota Singkawang dan Kota Pontianak.

35Pasal 403 UU No. 23 Tahun 2014 menyatakan, bahwa semua ketentuan mengenai program legislasi daerah

dan badan legislasi daerah yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sebagai program pembentukan Perda dan badan pembentukan Perda, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

36Prolegda Kabupaten Mempawah, Kabupaten Kubu Raya, dan Kota Pontianak Tahun 2011, 2012, 2013

Referensi

Dokumen terkait

Tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat , atau simbol yang

Penelitian dan pengembangan yang dilakukan adalah untuk menghasilkan produk berupa konsep matematika yang sudah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pola sebaran panas di Kolam Pelabuhan Tambak Lorok Semarang menuju ke arah timur pada bulan Agustus 2012, kemudian ke arah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu, kelembaban, dan intensitas cahaya pada pengeringan dengan Solar Tunnel Dryer (STD) terhadap mutu produk ditinjau

yang memanjang. 2) Erupsi sentral: magma keluar melalui lubang yang kecil. 3) Erupsi areal: membentuk kawah yang sangat luas. c) Gempa bumi (seisme): getaran kulit bumi akibat

Keterkaitan konstruk kualitas jasa dan tujuh dimensi ini dapat dipahami melalui deskripsi berikut, yaitu ketika konsumen diminta untuk menjelaskan mengapa jasa e-banking

6.1.5. Rencana kerja lima tahun Satuan PKBM memiliki rencana kerja lima tahun yang mencakup 5 aspek sebagai berikut: a) Jenis program b) Peserta didik c) Pendidik d)

Observasi dilakukan dengan pengamatan terhadap proses pembelajaran. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa pada saat proses pembelajaran berlangsung terlihat