• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. a. PEMANFAATAN DANA DESA DALAM MENDUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1. a. PEMANFAATAN DANA DESA DALAM MENDUK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN DANA DESA DALAM PEMBANGUNAN DESA DITINJAU DARI

Pergeseran paradigm pembangunan di Indonesia saat ini memasuki babak baru dengan ditetapkannya berbagai agenda strategi nasional yang mendorong pembangunan dari desa. Hal tersebut didukung dengan pemguatan kebijakan nasional yang tercantum dalam program nawacita pemerintahan saat ini sekaligus menjadi program prioritas nasional nomor 3 (tiga) Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Selanjunya sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pemerintah mengalokasikan Dana Desa, melalui mekanisme transfer kepada Kabupaten/Kota. Berdasarkan alokasi Dana tersebut, maka tiap Kabupaten/Kota mengalokasikannya ke pada setiap desa berdasarkan jumlah desa dengan memperhatikan jumlah penduduk (30%), luas wilayah (20%), dan angka kemiskinan (50%). Sesuai dengan peraturan pemerintah, sehingga diharapkan pembangunan desa dapat disiapkan dengan terlebih dahulu direncanakan dengan baik. Dana Desa di dalam APBN 2015 dianggarkan sebesar Rp 9.066,2 miliar, namun sejalan dengan visi Pemerintah untuk Membangun Indonesia dari Pinggiran dalam kerangka NKRI maka anggaran ini ditambah alokasinya di dalam APBN-P 2015 menjadi Rp 20.766,2 miliar (Setjen DPR-RI).

Pembangunan Desa saat ini yang diukur dengan Indeks Desa Membangun nilai rata-rata nasional Indeks Desa Membangun 0,566 klasifikasi status Desa ditetapkan dengan ambang batas pada desa berkembang dan desa tertinggal. Indeks Desa Membangun merupakan komposit dari ketahanan sosial, ekonomi dan ekologi. IDM didasarkan pada 3 (tiga) dimensi tersebut dan dikembangkan lebih lanjut dalam 22 Variabel dan 52 indikator. Penghitungan IDM pada 73.709 Desa berdasar data Podes 2014 dengan angka rata-rata 0,566 menghasilkan data sebagai berikut (Anwar Sanusi, 2015, p. 5- 6):

 Desa Sangat Tertinggal : 13.453 Desa atau 18,25 %  Desa Tertinggal : 33.592 Desa atau 45,57 %

 Desa Berkembang : 22.882 Desa atau 31,04 %  Desa Maju : 3.608 Desa atau 4,89 %

 Desa Mandiri : 174 Desa atau 0,24%

(2)

tersendiri dalam mendorong pembangunan desa yang tepat dengan berbagai pendekatan dan strategi diambil dengan menyesuaikan berbagai bentuk/tipe desa yang ada di Indonesia. Menurut Nurcholis (2011: p 65-66) terdapat empat tipe desa di Indonesia yaitu: 1) Desa Adat (self-governing community) 2) Desa Administrasi (local state government) 3) Desa Otonom sebagai local self-government Desa Campuran (adat dan semiotonom). Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber dari APBN, kewenangan Desa diberikan begitu luas dimana gunanya untuk mendorong percepatan pembangunan serta dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Dana Desa, diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Pembiayaan Dana Desa yang menjadi salah satu bentuk pendanaan pembangunan di Desa menngarahkan pembangunan desa kepada dua aspek bersar. Pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan beberapa aspek pembangunan yang menjadi tolok ukurnya. Gambaran dibawa mengambarkan berbaga upaya pemerintah desa untuk menyediakan infrastruktur desa, peningkatan kualitas hidup masyarakat desa, dan berbagai pengingkatan kapasitas masyarakat desa Berdasarkan skema tersebut pembangunan desa mendorong berbagai perubahan guna mendorong terciptanya kelancaran pertumbuhan perekonomian dan menyasar pada penguatan masyarakat desa tersebut artinya membangun masyarakat dan membangun/pensediaan infrasturuktur baik ekonomi dan sosial..

Sumber: Setjen DPR-RI

(3)

pemerintahan desa menjadi motor pengerak pembangunan menjadi sangat penting dan ditambah anggaran sebagai instrument dalam mendukung pembangaunan. Sedangkan Burt tahun 1992 (dalam Suparman 2012) mendefinisikan, modal sosial adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain dan selanjutnya menjadi kekuatan yang sangat penting bukan hanya bagi kehidupan ekonomi akan tetapi juga setiap aspek eksistensi sosial yang lain.

Sebagaimana diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 tahun 2014, tentang Pedoman Pembangunan Desa, disebutkan bahwa Perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. pada beberapa kasus tertentu khususnya partisipasi masnyarakat dalam perencanaan pembangunan cukup baik, ini terlihat dengan adanya berbagai perhatian dari masyarakat terhadap semua perkembangan yang ada di lingkup pemerintahan Desa Ponompiaan, dan masyarakat sangat respon dan antusias dengan hal tersebut. (Singal, 2014). Proses Perencanaan tersebut merupakan serangkaian kerja sama antara masyarakat dan lembaga pemerintah desa, hal tersebut dapat sebagai salah satu bentuk modal sosial yang didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal yang dimilki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama, 2002). modal sosial juga menunjuk pada kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988). Bersandar pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antar manusia tersebut menghasilkan kepercayaan yang pada gilirannya memiliki nilai ekonomi yang besar dan terukur (Fukuyama, 1995).

Pembiayaan menjadi instrumen pembangunan dasa yang harus disinergikan dalam perencanaan desa sehingga mendorog modal sosial di pedesaan sehingga mempu mengakselerasi pembangunan desa dalam mewujudkan kesejahtraan masyarakat sebagaimana tujuannya. Hal ini mendorong penggunaan dana desa yang mendorong pembiayaann untuk penyelenggaraan desa berdasarkan ketentuan PP no 60 tahun 2014 pada pasal 19 ayat (2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian pembangunan desa yang dibiayai oleh dana desa tersebut akan dianalisis dengan 4 empat perspektif Modal sosial yang meliputi the communitarian view, the network view, the institusional view and the synergy view (Woolcock & Narayan, 2000)

PEMBANGUNAN DESA

(4)

manusia yang terampil, mandiri, dan professional selanjuntya akan membawa dampak pada kehidupan di desa.

Selanjuntya pendapat Portes (1976) mendefinisiskan pembangunan sebagai transformasi ekonomi, sosial dan budaya. Portes menekankan pada tiga aspek besar dalam yang ketiga aspek tersebut menjadi titik awal dalam meritis berbagai aspek dalam pembangunan desa. Tiga aspek menjadi titik focus dalam mendorong berbagai perubahan guna menciptakan pembangunan di area atau wilayah pedesaan yang melibatkan berbagai dimensi besar sehingga menciptakan pembangunan desa yang inklusif bersama dengan keterlibatan dengan masyarakat.

Kepala Desa mengokordinasikan kegiatan pembangunan Desa yang dilaksanakan oleh perangkat Desa dan/atau unsur masyarakat Desa.Pelaksanaan kegiatan pembangunan Desa meliputi:pembangunan Desa berskala lokal Desa; dan pembangunan sektoral dan daerah yang masuk ke Desa.(Kessa et al., 2015). Pemerintah desa memiliki peran besar dan kuat dalam mendorong keberhasilan pembangunan bersama dengan masyarakat desa, keterlibatan masyarakat menjadi kunci bagaimanan pembentukan berbagai modal sosial. Kepala dasa memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan bentuk pembangunan yang dirumuskan melalui berbagai program dan kegitan yang dirumuskan dalam berbagai dokukmen Perencanaan.

DANA DESA

(5)

Sumber: Paparan Kebijakan dana desa dan Alokasi Dana Desa (Kemenkeu), 2016

Besaran dana desa yang dialkoasikan cendrung meningkat disetiap tahunnya yang dibaca pada kolom rata-rata perdesa, dimana pada tahun 2015 mencapai pembiayaan sebesar Rp. 749.400.000, besaran tersebut direncanakan terus naik menjadi sekiter 2 milyar lebiha pada tahun 2019. Pembiayaan tersebut menyasar pembangunan desa yang mendorong penignkatan infrasturktur kawasan perdesaan, usaha perekonomian masyarakat dan peningkatan kapasitas masyarakat desa melalui program pembedayaan. Secara umum dan prinsipil sesuai dengan PP No.60/2014 dan Peraturan Menteri Desa PDTT No.5/2015 jo No.21/2015, Dana desa diprioritaskan untuk, yaitu:

1. Diprioritaskan untuk mendanai pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab Desa.

2. Diutamakan untuk mendanai kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga atau masyarakat Desa dalam pengembangan wirausaha, peningkatan pendapatan, serta

perluasan skala ekonomi individu warga atau kelompok masyarakat dan Desa.

3. Membrikan pelayanan dan dukungan untuk pemberdayaan kaum miskin bukan dalam bentuk santunan cuma-Cuma, tetapi dengan pola dana bergulir.

4. Diutamakan untuk membiayai kepentingan Desa dan masyarakat Desa, bukan kepentingan orang per orang.

(6)

6. Dana Desa diutamakan untuk mengembangkan potensi dan aset ekonomi Desa.

EMPAT PRESPEKTIF MODAL SOSIAL DAN PEMBAGUNAN EKONOMI

Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas, altruisme, gotong-royong, jaringan, dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi melalui beragam mekanisme, seperti meningkatnya rasa tanggungjawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan kejahatan (Blakeley dan Suggate, 1997; Suharto, 2005a; Suharto 2005b).

Penjelasan dari Cohen dan Prusak, (Hasbullah, 2006) menjelaskan, modal sosial sebagai segala sesuatu hal yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (rasa saling mempercayai), hubungan timbal balik dan aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Modal sosial tersebut mendorong berbagai kesempatan dalam pembangunan di desa dan empat persepektif modal sosial dan pembangunan sosial tersebut yaitu:

1. The communitarian perspective equates sosial capital with such local organizations as clubs, associations, and civic groups. Communitarians, who look at the number and density of these groups in a given community, hold that sosial capital is inher- ently good, that more is better, and that its presence always has a positive effect on a community's welfare. This perspective has made important contributions to analy- ses of poverty by stressing the centrality of sosial ties in helping the poor manage risk and vulnerability. As Dordick (1 997) notes, the poor have "something left to lose"- each other(Woolcock & Narayan, 2000, p. 229).

2. A second perspective on sosial capital, which attempts to account for both its upside and its downside, stresses the importance of vertical as well as horizontal associations between people and of relations within and among such organizational entities as community groups and firms. Building on work by Granovetter (1973), it recog- nizes that strong intracommunity ties give families and communities a sense of iden- tity and common purpose (Astone and others 1999). This view also stresses, how- ever, that without weak intercommunity ties, such as those that cross various sosial divides based on religion, class, ethnicity, gender, and socioeconomic status, strong horizontal ties can become a basis for the pursuit of narrow sectarian interests. In the recent popular literature, the former has been called "bonding" and the latter "bridg- ing" sosial capital (Gittell and Vidal 19) (Woolcock & Narayan, 2000, p. 230)

3. A third perspective of sosial capital, which we call the institutional view, argues that the vitality of community networks and civil society is largely the product of the political, legal, and institutional environment. Where the communitarian and net- works perspectives largely treat sosial capital as an independent variable giving rise to various outcomes, both good and bad, the institutional view instead views sosial capital as a dependent variable. This approach argues that the very capacity of sosial groups to act in their collective interest depends on the quality of the formal institu- tions under which they reside (North 1990) (Woolcock & Narayan, 2000, p. 234)

(7)

the networks and institutional camps. Evans (1992, 1995, 1996), one of the primary contributors to this view, con- cludes that synergy between government and citizen action is based on complementarity and embeDana desaedness. Complementarity refers to mutually supportive relations between public and private actors and is exemplified in legal frameworks that protect rights of association and in more humble measures such as chambers of commerce to facili- tate exchanges among community associations and business groups. EmbeDana desaedness refers to the nature and extent of the ties connecting citizens and public officials. (Woolcock & Narayan, 2000, pp. 235–236)

Selanjuntya dari ke emapt persepektif modal sosial tersebut menghasilkan dua bentuk tipologi dalam mendeskripsikan keberhasilan pembangunan desa. Yaitu modal sosial terikat (Bonding sosial capital) dan model modal sosial yang menjembatani (Bridging Sosial Capital). “These examples suggest a more formal definition: sosial capital refers to the norms and networks that enable people to act collectively. This simple definition serves a number of purposes. First, it focuses on the sources, rather than the consequences, of sosial capital (Portes 1998) while recognizing that important features of sosial capital, such as trust and reciprocity, are developed in an iterative process. Second, this definition permits the incorporation of different dimensions of sosial capital recognizes that communities can have access to more or less of them. The poor, for example, may have a close-knit and intensive stock of "bonding" sosial capital that they can leverage to "get by" (Briggs 1998; Holzmann and Jorgensen 1999), but they lack the more diffuse and extensive "bridging" sosial capital deployed by the nonpoor to "get ahead" (Barr 1998; Kozel and Parker 2000; Narayan 1999)”.(Woolcock & Narayan, 2000, pp. 226–227)

Memperjelas Bonding sosial capital Hasbullah (2006) menyatakan, pada masyarakat yang bounded atau inward looking atau sacred, meskipun hubungan sosial yang tercipta memiliki tingkat kohesifitas yang kuat, akan tetapi kurang merefeksikan kemampuan masyarakat tersebut untuk menciptakan dan memiliki modal sosial yang kuat. Hal ini menciptakan prespektif modal sosial yang negative pada masyarakat diluar kelompoknya. Factor kohesiftas kelompok menjadi factor pembentuk yang keerata hubungan emosional kedalam yang sangat erat yang dihasilkan melalui pola interkasi yang tradisional.

Selanjunya memperjelas Bridging Sosial Capital Mengikuti (Colemen, 1999) tipologi masyarakat bridging sosial capital dalam gerakannya lebih memberikan tekanan pada Dimensi fight for (berjuang untuk). Hal ini mendorong masyarakat untuk dapat mampu dan mandiri sehingga keberadananya semakin memiliki kekuatan. Dimensi ini juga menghilangkan rasa perbedaan dan pada akhirnya memiliki akses yang sama dalam berbagai kesempatan.

MODAL SOSIAL DAN PEMBANGUNAN EKONOMI UNTUK PENGGUNAAN DANA DESA DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN DESA

(8)

pertama penggunaan dana desa dalam menyiapkan berbagai infrastruktur dan sarana prasarana di desa. Pengalokasian pendanaan dpada setiap demensi pembangunan desa ditentukan oleh pemerintah pusat dengan juga mengacu pada peraturan terkait.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar menuturkan bahwa dana desa yang telah diterima dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, seperti jalan desa, irigasi, jalan usaha tani, dan sanitasi. Hal tersebut, kata dia, dapat memberikan dampak untuk memulihkan perekonomian di pedesaan. "Selain menyerap banyak warga desa yang bekerja di proyek-proyek infrastruktur desa, juga muncul berbagai kegiatan usaha ekonomi yang terkait langsung maupun tidak dengan proyek-proyek desa," kata Marwan dalam keterangannya.1

Fokus pemerintah dalam membangun desa yang pembiayaanya melalui dana desa mempertegas kepetingan Negara terhadap desa-desa yang ada. Pembangunan infrasturktur yang memerlukan pembiayaan besar diharapkan akan mendorong mulitplyers efek yang peningkatan taraf hidup masyarakat di desa. Pemahaman ini masih terus digunakan oleh pemerintah pusat dalam menciptakan pembangunan yang merata diseluruh indonesai. Pembangunan infrasturktur akan menciptakan interaksi antara pemerintah daerah dengan kelompok usaha dibidang infrasturuktur atau pembangungan infrastruktur tersebut harus didorong secara swaklola bersama masyarakat yang akan mendapatkan manfaat lebih besar. Hal ini mendorong kesamaan dan kebersamaan dalam meciptakan modal sosial di masayrakat. Sinergi tersebut mendorong pemerintah, kelompok usaha, dan masyarakat di desa didorong untuk melakukan kerjasama.

Penggunaan Dana Desa (DD) nyatanya masih fokus untuk pembangunan infrastruktur nampaknya menjadi tradisi pemerintah Desa (Pemdes) di kabupaten Tuban. Padahal, seharusnya dana tersebut juga diperuntukkan pada pemberdayaan masyarakat Desa. Kepala Bapemas Pemdes dan KB kabupaten Tuban, Mahmudi, kamis (4/8/2016), mengatakan, sesuai Permendes 21 tahun 2015, dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tersebut untuk tahun ini memang masih diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur.2

Pembangunan desa tersebut yang datangnya dari pemerintah pusat melalui kebijakan dana desa yang arah pembangunannya ditentukan juga dalam kebijakan menteri membagi pembangunnan tersebut kebeberapa sector yang diperhitungkan oleh pemerintah sangat dibutuhkan oleh pemerintah desa. Sector tersebut dibagi kedalam tiga sector utama dalam pembangunan desa.

Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa (PPMD) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Ahmad Erani Yustika mengungkapkan bahwa dana desa bisa menyerap jutaan tenaga kerja berdasarkan asumsi bahwa 60% dari total dana desa tahun ini (Rp28,14 triliun) digunakan untuk investasi pembangunan infrastruktur meski hanya bersifat sementara atau tiga bulan saja. “Sementara itu sekitar 30% atau setara dengan Rp14,07 triliun dana desa akan digunakan

1

(9)

untuk pengembangan ekonomi desa dan sisanya 10% atau Rp4,69 triliun disalurkan bagi pelayanan sosial dasar,” paparnya, Selasa (1 Maret 2016).3

Besaran pembagian tersebut dititk beratkan pada pembangunan infrastruktur yang memiliki porsi cukup besar dan hal tersebut menjadi prioritas sasaran pemerintah pusat dalam membangun desa, diikutik dengan sector pengembangan ekonomi dan pendanaan terkecil di dapatkan pada sector pelayanan sosial dasar. Terlihat pembiayaan infrasturktur yang cukup besar mendorong terciptanya berbagai proyek pengadaan infrasturktur di desa, sehingga terjadi kontak secara langsung antara pemerintah desa sebagai pengelola desa dan juga masyarakat sebagai yang melakukan pekerjaan pembangunan infrastruktur dan juga sebagai pemanfaat hasil pembangunan infrasturktur tersebut. Hal ini mendorong sinergitas antara pemerintah desa dan masyarakat di dalamnya yang menjelaskan prespektif sinergi dalam modal sosial dan pembangunan ekonomi.

Sementara itu dukungan dalam menciptakan prakti pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas masyarakat belum menjadi prioritas dalam pembangunan desa pada era saat ini, jumlah 10 % dari total dana desa yang digunakan untuk pembangunan desa menjadi pilihan kebijakan pemerintah pusat dalam tetap menumbuhkan serta memelihara kapasitas dan pemberdayaan yang sudah ada hingga saat ini. Keterlibatan yang mungkin akan sangat kecil dalam keterlibatan dalam pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kapasitas tersebut diduga mendorong untuk lebih memanfaatkan fungsi jaringan yang ada di masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan dan mendorong kemampuan untuk menggali potensi yang dimiliki, sehingga masyarakat akan memanfaatkan keluarga, kelompok ataupun komunitas yang ada.

(10)

Menurut Eko, kemandirian desa dapat diukur dari tingkat kemampuan mengelola potensi di tiap desa, misalnya dalam bidang pertanian dan peternakan. Untuk merealisasi itu, dana desa yang diterima masing-masing desa dengan rata-rata Rp 670 juta dapat dialokasikan untuk membentuk dan menggerakkan BUMDes.4

BUMDes sebagai sebuah institusi bisnis yang dikembangakan di desa yang didorong guna menciptakan berbagai kesempatan dan peluang usaha bagi masyarakat dan menciptakan keuntungan yang masuk sebagai pendapatan asli desa. Pada BUMDes ini setidaknya melibatakan pemerintah dan partisipasi masyarakat baik sebagai pekerja yang menjalankan roda usahanya. BUMDes dikelola oleh masyarakat sekitar desa dan juga minimal modal usaha yang diberikan tersebut menjadi pengerak untuk mencari bisnis dan pola usaha yang sesuai dengan pasar yang ada di setiap desa. Kebijakan mendorong terciptanya isntutusi bisnis yang digunakan menciptakan pengahasilan baik bagi pemeritah desa ataupun masyarakat sebagai pekerjannya. BUMDes juga perlu didorong untuk menciptakan berbagai pelauang khususnya pada usaha pada bidang ekonomi kreatif yang mendorong kreatifitas dalam mengelola bisnisnya. Hal ini menjelaskan prespektif institusional yang melihat kekuatan suatu insitusi yang didukung dengan norma yang tetapkan sebagai kebijakan dalam pemahaman modal sosial dan pembangunan ekonomi.

Dengan menguatkan potensi ekonomi kreatif desa, menurut Marwan, kelompok perempuan tak lagi hanya menjadi objek pembangunan desa. "Tetapi juga sebagai subjek. Karena itu, perempuan harus ikut dalam proses musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbang Desa), agar bener-bener bisa mengapresiasi suara perempuan," tandasnya.5

Peran serta partisipasi perempuan dalam pembangunan desa mesti didukung. Perempuan saat ini yang menjadi objek poembangunan juga harus berperan aktif sebagai subjek pembangunan, partisipasi perempuan dalam pembangunan desa dirasa masih perlu ditingkatkan khususnya dalam mengambil berbagai kebijakan strategis dalam pembangunan desa. Masih minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan di desa dalam berbagai perumusan kebijakan tergambar jelas dalam beberapa hasil peneliti yang dicuplik.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Milad, 2016) “Tingginya tingkat pendidikan masyarakat ternyata tidak serta merta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan infrastruktur jalan karena masyarakat berpendidikan tinggi yang bekerja di sektor formal memiliki keterbatasan waktu untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan infrastruktur jalan. Padahal masyarakat yang berpendidikan tinggi potensial berkontribusi untuk memberi masukan dan pendapat dalam menyukseskan program pembangunan infrastruktur jalan tersebut, serta mampu menilai dan memberikan saran yang membangun untuk program-program pembangunan desa lainnya. Kesimpulan pada penelitiannya mempertegas bahwa Pemerintah desa perlu menyediakan wadah aspirasi masyarakat untuk menampung masukan-masukan masyarakat terkait pembangunan desa sehingga masyarakat yang belum memiliki kesempatan untuk berpartisipasi

4

(11)

secara langsung, dapat memberikan masukan atau saran yang membangun untuk program-program pembangunan desa berikutnya.”

Hasil penelitian yang menjelasakan pembangunan desa yang pembiayaannya berasal dari dana desa guna mendukung peningkat perekonomian desa kurang didukung dengan partisipasi masyarakat, khususnya masarakat yang berpendidikan tinggi. Pembangunan infrastruktur tampaknya menjadi tidak menarik sehingga peran aktif masyarakat menjadi masih sangat perlu ditingkatkan oleh pemerintah desa. Diperlukan kreatiftas pemerintah desa dalam mendorong peningkatan partisipasi masayarakat di desa. Kasus ini terjadi pada desa yang tidak jauh dari hirukpiku kota besar seperti kota bogor dan depok. Hal ini, menegaskah lemahnya modal sosial guna mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa, seperti yang digambarkan prespekti jaringan dalam modal sosial dan pembangunan ekonomi yang melihat kelas pada tingkat pendidikan di desa dalam menciptakan kesejahteraan melalui Perencanaan kebiajakan pembangunan..

Selain itu partisipasi masyarkat pada pembangunan desa yang dibiayai dari dana desa disampaikan juga oleh (Saputra, 2009, pp. 73–74) yang hasil penelitiannya memberikan kesimpulan menunjukkan “bahwa partisipasi masyarakat dalampembangunan kampung melalui penggunaan dana desa secara keseluruhan masih pada tingkatan non-partisipasi. Masyarakat yang tergolong masyarakat kurang mampu berada pada kriteria manipulasi, sedangkan masyarakat yang tergolong golongan masyarakat mampu sebagian besar berada pada kriteria terapi. Rendahnya patisipasi masyarakat ini dipengaruhi karena kurangnya kesempatan yang dimiliki sebagian masyarakat untuk turut serta dan ditambah dengan kemampuan dan kemauan masyarakat yang masih belum mampu untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. Selanjunya saran dari penelitian ini Bagi pemerintah desa, berdasarkan temuan di lapangan, partisipasi yang terjadi belum melibatkan masyarakat secara keseluruhan, sehingga makna pembangunan belum menjadikan masyarakat sebagai subjek dari pembangunan tersebut. Karena tidak terjadi pendelegasian kekuasaan membuat partisipasi masyarakat hanya dalam bentuk formalitas karena adanya struktur organisasi. Interaksi yang intens dengan masyarakat dan ketransparanan segala sesuatu yang berhubungan dengan anggaran dana desa terbukti sangat berpengaruh dengan rasa ingin berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan. Agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya, perlu diadakan musyawarah dengan setiap kalangan masyarakat sehingga didapat usulan yang menjadi prioritas bagi masyarakat”.

(12)

dalam pembangunan desa. Hal ini menjelaskan dua prespektif dalam modal sosial antara lain, perspektif komunitarian dan prespektif jaringan.

MODAL SOSIAL DALAM PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA YANG TERKALRIFIKASI

Empat presepektif modal sosial dan pembangunan ekonomi terhadap pembangunan di Indonesia memilik nilai keragama yang berbeda pada setiap perspektif (View) dari ulasan diatas dapat disarikan sebagai berikut:

 Perspektif Komunitarian, pada persepektif ini, modal sosial yang tercipta pada dideskripsikan memiliki nilai yang “sedikit agak kuat”, mengingat dukungan kelompok masyarakat dalam berpartisipasi dalam mendukung pembangunan masih rendah.

 Perspektif Jaringan, pada perspektif ini, model sosial yang tercipta dapat dideskrisikan memiliki nilai yang kuat, perbedaan kelas dalam masyarakat masih tergambarkan dari beberapa hasil penelitian yang didiskusikan diatas.

 Persepektif Institusional, dapat disampaikan modal sosial pada prespektif ini dideskripsikan memiliki nilai yang kuat, dimana seluruh pengelolaan pembangunan desa terlebih dahulu dirumuskan melalui mekanisme yang tetapkan dalam sebuah kebiajakan yang datang dari pemerintah pusat, sehingga hubungan antar institusi baik pemerintah desa, kelompok, dan masyarakat dirumuskan dalam kerangka kebijakan desa terlebih dahulu.

 Perspektif Sinergi, pembangunan desa di indonesia pada perspektif ini tergambar begitu kuat, melalui pemahaman pada konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, juga pada Pratik dilapangan pemerintah desa yang diberi kewewnangan untuk melakukan kerjasama desa.

KLARIFIKASI INDEKS DESA MEMBANGUN TERHADAP MODAL SOSIAL PADA PEMBANGUNGAN DESA

Menarik memperhatikan Indeks Desa Membangun (IDM) terdapat variabel modal sosial pada indeks ketahanan sosial (IKS) dengan memiliki empat sub variabel yang terdiri dari: 1) Memiliki solidaritas sosial; 2) Toleransi; 3) Rasa aman penduduk; dan 4) Kesejahteraan sosial dengan menhitung berbagai data nominal yang ada di desa saat ini sehingga menghasilkan capiain indek sebesar 0.593 untuk tingkat nasional. Dimana capian tersebut berada posisi tengah-tengah dari interval yang disusun ganjil yang bisa disebut modal sosial berada pada posisi berkembang. Data tersebut tersaji dalam grafik Bar dibawah ini.

(13)

`Sumber: Indeks Desa Membangun 2015

PENUTUP

Pembangunan Desa di Indonesia yang dibiayai oleh dana desa dodorong pada arah pembnetukam modal sosial dengan model Bridging, pemerintah desa dengan dukungan pembiayaan yang ada didorong untuk menyusun berbagai proyek pembangunan secara bersama-sama dengan masyarakat. Hal tersebut menghadirkan terciptanya rasa kebersamaan, kebebasan dan nilai-nilai kemajemukan dan juga humanitarian yang menjadi prinsip-prinsip universal.

Kebijakan pemerintah pusat dalam pengelolaan pembangunan desa secara tidak langsung memberikan dampak pada pembantukan berbagai modal sosial di dalam masyarakat desa. Sehingga mengerucut pada satu model modal sosial yang teridentifikasi pada uraian diatas. Saat ini, masyarakat didorong untuk merubah cara pandanga dan pola pikir dalam menterjemahkan pembangunan di desa saat ini.

(14)

Daftar Pustaka

Anwar Sanusi, S. H. (2015). Indeks desa membangun. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertiggal dan Transmigrasi.

Coleman, J.S. (1988). Sosial capital in the creation of human capital. American Journal of Sociology, 94:95-120.

Fukuyama, F 1995. Sosial Capital and The Global Economy. Foreign Affairs, 74(5), 89-103. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Sosial Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Fukuyama, F 2000. Sosial Capital and Civil Society. International Monetary Fund Working Paper, WP/00/74, 1-8. In Elinor Ostrom and T.K. Ahn. 2003. Foundation of Sosial Capital. Massachusetts: Edward Elgar Publishing Limited.

Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. Jakarta: MR-United Press.

Ismail S. 1999. Sosial Capital A Multifaceted Perspective. Washington DC: World Bank. James S. Coleman, 1999, Foundations of Sosial Theory, Cambridge Mass: Harvard University

Press

(15)

Dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Milad, F. A. Gaya Kepemimpinan Kepala Desa Dan tingka Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Infrastrukrut Jalan (Desa Waringin Jaya, Kecamatan Bojong Gede Kabupaten Bogor) (2016).

Putnam, RD (1993), “The Prosperous Community: Sosial Capital and Public Life, dalam The American Prospect, Vol.13, halaman 35-42.

Portes, Alejandro, ed. 1995. The Economic Sociology ofImmigration: Essays on Networks, Ethnicity, and Entrepreneurship. New York: Russell Sage Foundation.

Saputra, Y. E. (2009). Tingkat Partisipasi masyarakat Dalam pembangunan Desa (Kasus Dana Desa di Kampung Sungai Rawa, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Riau (Vol. 5). Singal, R. L. (2014). Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa (Studi di Desa

Ponompiaan Kecamatan Dumoga Kabupaten Bolaang Mongondow).

Sekertaris Jenderal DPR-RI dana desa: alokasi dan potensi inefektivitasnya, jakarta Woolcock, M., & Narayan, D. (2000). Sosial Capital: Implications for Development Theory.

World Bank Research Observer, Oxford Journals Economics & Sosial Sciences, 15(2P), 225–249.

Peraturan Perundang-Undangan

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa

2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Belanja Pendapatan Negara

3. Peraturan Pemerintah 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Belanja Pendapatan Negara

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa

Referensi

Dokumen terkait

oleh semua pemeran dunia pendidikan. Untuk mencapai tujuan ini banyak faktor yang mempengaruhi yang terdapat selama pelaksanaan proses pembelajaran, di antaranya adalah

Suatu yang dapat memengaruhi pekerjaan seseorang secara relatif berkontribusi adalah kemampuan, keterampilan,motivasi, dan faktor situasi yang menyatakan perbedaaan

Dalam penilitian ini ada dua kelas yang diberikan perlakuan berbeda yaitu kelas eksperimen yang diajarkan dengan model pembelajaran Process Oriented Guided

Diharapkan peningkatan produksi tembakau rajangan rakyat tipe Mutilanan dapat dilakukan dengan terus menjalin kemitraan seluas-luasnya dengan petani, menambah

Dalam penelitian ini, digunakan 3 buah beacon dari Cubeacon sebagai perangkat Raspberry Pi 3 yang akan dibuat sebagai observer serta sebuah server sebagai penyimpan data

Aspek-aspek pembentuk konformitas menurut O’Sears, dkk (dalam Anwar, 2013) bahwa konformitas dibentuk dari tiga aspek, yaitu: kekompakan, kesepakatan, dan ketaatan.

Nilai R-square pada persamaan ini adalah 0,742 yang berarti bahwa semua variabel independent yaitu umur, biaya bahan baku, keanggotaan koperasi, lama usaha, tingkat