• Tidak ada hasil yang ditemukan

Globalisasi dan Masalah Masalah Identita (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Globalisasi dan Masalah Masalah Identita (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

GLOBALISASI DAN

MASALAH-MASALAH IDENTITAS

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan Globalisasi

dan Terorisme Semester Gasal 2010/2011

Oleh:

Anggalia Putri P.

1006743424

Vitri Mayastuti

1006743821

PROGRAM MAGISTER

TERORISME DALAM KEAMANAN INTERNASIONAL

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

Globalisasi dan Masalah-Masalah Identitas

“As the globalization moves on, the local becomes more and more important.”

(Thomas Hylland Eriksen)

I. Latar Belakang

Globalisasi, sebuah proses yang mencirikan kondisi dunia pada saat ini, pada dasarnya

menyebabkan masalah-masalah identitas. Pada umumnya, pandangan tentang dampak

globalisasi dalam ranah kultural bernada pesimistik karena beberapa ahli berpendapat bahwa

globalisasi dapat menghancurkan identitas budaya lokal dan berujung kepada homogenisasi di

mana budaya Baratlah yang dominan. Sementara itu, ada pula yang berpendapat bahwa

globalisasi justru mendorong heterogenisasi karena semakin terbukanya dunia membuat

sebuah budaya semakin mudah terekspos budaya luar sehingga pada akhirnya terjadi

penguatan identitas lokal. Makalah ini akan membahas berbagai pandangan para ahli tentang

masalah-masalah identitas yang muncul akibat globalisasi, yang disertai beberapa studi kasus

untuk mengilustrasikan berbagai pandangan yang berbeda tersebut. Lima studi kasus di dalam

makalah ini ditujukan untuk menunjukkan bagaimana globalisasi dapat mengarah pada

timbulnya bibit kekerasan politik (termasuk terorisme), namun dapat pula mengarah pada

koeksistensi dan sintesis budaya yang relatif bersifat damai.

II. Kerangka Analisis

2.1 Konsepsi Globalisasi, Identitas, dan Modernitas

Globalisasi dan identitas tidak mudah untuk didefinisikan karena keduanya merupakan

konsep yang kompleks. Dalam makalah ini, globalisasi didefinisikan sebagai “keseluruhan

proses di mana umat manusia di seluruh dunia disatukan ke dalam sebuah masyarakat dunia,

masyarakat global, yang tunggal” (Albrow 1994).1 Globalisasi bersifat multidimensional yang mencakup dimensi ekonomi, teknologi-komunikasi, politik, dan kultural.2 Menurut Tomlinson, globalisasi adalah sebuah proses yang menyebarkan ciri-ciri institusional dari

modernitas.3

1

John Baylis, “Introduction,” dalam John Baylis dan Steve Smith (eds.), The Globalization of World

Politics (Oxford: Oxford University Press, 2001), h. 19.

2

John Tomlinson, “Globalisasi and Cultural Identity,”2003, h. 272. 3

(3)

Sementara itu, identitas dapat didefinisikan sebagai “sumber makna dan pengalaman

bagi orang-orang” (Castell 1997)4 atau “pencarian makna individu dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan masyarakat.”5

Menurut Tomlinson, identitas adalah dimensi dari kehidupan sosial yang

terlembagakan dalam dan terbentuk karena adanya modernitas, yang didefinisikan sebagai

“abstraksi praktik-praktik sosial dan kultural dari konteks-konteks kekhususan lokal dan

pelembagaan serta regulasinya melintasi batas-batas ruang dan waktu.”(Giddens, 1990).

Proses pelembagaan ini dapat dilihat dalam, misalnya, pembentukan teritori sosial (negara

modern dan urbanisme) serta produksi dan praktik-praktik konsumsi (industrialisasi dan

ekonomi kapitalis).6 Modernitas juga melembagakan dan mengatur praktik-praktik kultural yang membuat kita merasa harus mengikatkan diri dengan suatu ‘identitas’ yang didasarkan

pada pembedaan-pembedaan spesifik, misalnya gender, seksualitas, kelas, agama, ras dan

etnisitas, serta kebangsaan.7

2.2 Dampak Globalisasi terhadap Kebudayaan Lokal

Michael Hsiao mengajukan tipologi mengenai konsekuensi globalisasi terhadap

kebudayaan lokal, yaitu (1) budaya lokal tergeser oleh budaya global, (2) budaya lokal dan

global hidup berdampingan tanpa adanya penyatuan berarti di antara keduanya (koeksistensi),

(3) budaya lokal dan global bersintesis, dan (4) budaya global ditolak oleh budaya lokal yang

kuat.8 Berikut ini dibahas dua pandangan yang bertentangan tentang dampak globalisasi terhadap identitas kebudayaan kultural lokal, yakni globalisasi sebagai penghancur identitas

dan globalisasi sebagai pembentuk identitas.

2.2.1 Tarikan Homogenisasi: Globalisasi Sebagai Kekuatan Penghancur Identitas

Menurut Tomlinson, dampak globalisasi dalam ranah kultural sering diasosiasikan

secara tipikal sebagai “penghancuran identitas kultural” akibat penyebaran kebudayaan Barat

(terutama budaya konsumen), yang kemudian mengarah pada homogenisasi atau imperialisme

4

Ibid, h. 271. 5

“Globalization and Identity: Trends and Contradictions,” diunduh dari

http://www.osi.hu/nsp/program_uk/yorkconf/papers2001/globalizationandidentity.htm pada 18 September 2010. 6

Tomlinson, Op. cit., h. 272. 7

Ibid. 8

Michael Hsiao, “Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization and Localization in Contemporary

Taiwan,” (Oxford Scholarship Online Monographs: 2002), hh. 48-68,

(4)

kebudayaan.9 Menurut Thomas Friedman, “globalisasi sebagian besar, meskipun tidak seluruhnya, adalah Amerikanisasi…dalam skala global.”10 Tarikan ke arah globalisasi yang mengarah pada homogenisasi kultural, menurut Eriksen (1999), dapat dilihat di antaranya dari

pola konsumsi yang semakin konvergen, contohnya kebutuhan akan telepon selular dan

pakaian jadi (ready-to-wear), juga dari implementasi institusi modernitas, misalnya

perekonomian moneter dan pekerjaan berupah (wagework).11 Sementara itu, Berger mengidentifikasi empat fenomena yang mencerminkan homogenisasi kultural, yaitu budaya

Davos (budaya bisnis internasional), budaya McWorld (budaya global populer), klub fakultas

internasional (budaya intelektual dunia), dan gerakan religius baru (budaya religius

populer).12

Pandangan pesimistik mengenai dampak globalisasi terhadap identitas kultural ini

dilaterbelakangi oleh sebuah metanarasi yang menyatakan bahwa sebelum era globalisasi,

pengalaman kultural sangat berkaitan dengan lokasi geografis di mana identitas adalah harta

kolektif dari komunitas-komunitas lokal. Kemudian, globalisasi menyapu

kebudayaan-kebudayaan di dunia dan menghilangkan kekhasan budaya lokal yang menyusun identitas.

Lebih jauh lagi, globalisasi dipandang telah menghasilkan sekelompok pemenang dan

pecundang, secara ekonomi dan juga kultural, di mana identitas kultural negara-negara

berkembang (kebudayaan non-Barat) yang berekonomi lemah adalah yang paling rawan.13

2.2.2 Globalisasi sebagai Pembentuk Identitas

Tomlinson mengkritik pandangan di atas dan mengajukan kontratesis, yaitu bahwa

globalisasi tidak menghancurkan identitas kultural, melainkan justru menciptakannya.14 Globalisasi mendorong terjadinya penguatan posisi-posisi identitas, misalnya dalam bentuk

kebudayaan lokal yang menentang kekuatan homogenisasi dari globalisasi kapitalis (Castells

1999) atau gerakan-gerakan sosial global yang didasarkan pada posisi-posisi identitas

(misalnya gender, seksualitas, agama, etnisitas, dan kebangsaan). Logika internal dalam

penciptaan identitas oleh globalisasi, menurutnya, adalah sebagai berikut: globalisasi yang

terjadi saat ini adalah globalisasi modernitas sementara modernitas adalah pendahulu dari

keberadaan identitas. Oleh karena itu, globalisasi adalah kekuatan yang membentuk identitas.

9

Tomlinson, Op. cit.., h. 269. 10

Thomas Friedman, The Lexus and The Olive Tree (London: HarperCollins, 1999), h. 8. 11

(5)

Sementara itu, menurut Hsiao, “globalisasi tidak berarti mengarah pada homogenisasi

di mana identitas, budaya, dan tradisi lokal terancam atau malah hancur, melainkan juga

memberi ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan lokal yang heterogen.”15

2.3 Kekuatan Sentrifugal dan Sentripetal dalam Globalisasi: Dua Sisi Mata Uang

Menurut Maria Hartiningsih, globalisasi menghasilkan kontradiksi-kontradiksi. Di

satu sisi, terjadi detradisionalisasi dan berkembangnya kosmopolitanisme. Di sisi lain, terjadi

penguatan konservatisme dan kemunculan identitas baru yang menghasilkan berbagai

kemungkinan.16 Sementara itu, menurut Tomlinson, globalisasi adalah interaksi di antara kekuatan-kekuatan yang mengglobalkan (misalnya ekspansi kapitalis, perkembangan

teknologi komunikasi dan media) dan kekuatan-kekuatan yang melokalkan (misalnya

gerakan-gerakan identitas kultural, ekspresi identitas nonformal seperti preferensi akan

konsumsi lokal, dan upaya pembangunan identitas nasional melalui identifikasi lokal).17 Tarikan globalisasi juga mendorong terjadinya upaya lokalisasi untuk menciptakan

entitas-entitas ‘tertutup’ yang dapat berbentuk gerakan nasionalis atau separatis, revitalisasi agama,

dan etnis. Roland Robertson menyebutnya sebagai glokalisasi.18 Menurut Eriksen, kekuatan sentrifugal (yang mengarah pada fragmentasi) dan sentripetal (yang mengarah pada

penyatuan) dalam globalisasi adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.19

2.4 Globalisasi dan Potensi Terjadinya Kekerasan

Menurut Tomlinson, globalisasi seringkali menimbulkan tantangan, bahkan ancaman,

terhadap negara dengan menghasilkan masyarakat multietnis (hasil dari proliferasi identitas)

yang menimbulkan kompleksitas dan ketegangan di dalam negara, terutama di negara-negara

berkembang.20

Globalisasi memperkuat posisi-posisi identitas dan perbedaan di antara mereka. Selain

itu, globalisasi juga mengakibatkan identitas menjadi lebih politis (Stuart Hall, 2000).21 Menurut Mary Kaldor (1999), politik identitas di era globalisasi yang dimobilisasi di sekitar

identitas etnik, rasial, dan agama menimbulkan banyak ‘perang baru’ yang bertujuan untuk

15

Hsiao, Loc. cit. 16

Maria Hartiningsih, “Mencari Jawaban dalam Etnofilsafat: Untuk Keberwarganegaraan yang Demokratis”, Harian Kompas, Jumat, 24 Agustus 2007, h. 59.

(6)

merebut kekuasaan negara. 22 Sementara itu, Samuel Huntington, dalam tesis ‘benturan antarperadabannya,’ menyatakan bahwa politik global saat ini direkonfigurasi di sepanjang

garis kultural yang mengarah pada konflik karena penguatan identitas mensyaratkan adanya

pendefinisian ‘musuh’ yang memiliki identitas yang berbeda.23 Menurutnya, kekuatan-kekuatan integrasi di dunia mengakibatkan timbulnya kekuatan-kekuatan kontra yang didasarkan pada

penguatan kultural dan kesadaran peradaban.24 Sementara itu, Eriksen menerangkan mengapa politik identitas cenderung mengakibatkan konflik: 1) politik identitas selalu melibatkan

kompetisi untuk mendapatkan sumber daya yang langka (material dan nonmaterial), 2)

globalisasi dan modernisasi mengaktualkan perbedaan dan memicu konflik dengan

mengekspos ketidaksetaraan antarkelompok yang ada, dan 3) globalisasi dan modernisasi

membawa perubahan yang sangat cepat yang menimbulkan ‘sense of loss.’25 Berkaitan dengan hal ini, James D. Kiras berpandangan bahwa terorisme, sebagai salah satu jenis

kekerasan politik,. muncul sebagai penentangan akan penetrasi budaya Barat yang disebarkan

oleh globalisasi, yang ditujukan untuk mempertahankan budaya asli.26

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat berbagai pandangan yang

bertentangan mengenai dampak globalisasi terhadap identitas kultural. Satu pandangan

beranggapan bahwa globalisasi mengarah pada homogenisasi budaya dan penghilangan

identitas-identitas kultural lokal. Beberapa menyebutnya dengan istilah imperialisme budaya

Barat. Beberapa menentang tesis ini dan berargumen bahwa globalisasi tidak menghancurkan

identitas, melainkan justru menciptakan identitas melalui penyebarluasan ciri-ciri institusional

modernitas. Anggapan yang diadopsi dalam makalah ini adalah globalisasi sebagai penghasil

kekuatan-kekuatan sentrifugal dan sentripetal yang saling berinteraksi, yang mengarah pada

penguatan posisi-posisi identitas dalam konsepsi modern.

III. Studi Kasus

3.1 Kekuasaan Taliban di Afghanistan: Bangkitanya Politik Identitas Berbasis

Agama-Etnisitas

Taliban adalah kelompok muslim fundamentalis yang mengambil kendali

pemerintahan Afghanistan pada tahun 1996 dan berkuasa hingga tahun 2001 ketika invasi

22

Eriksen, Loc. cit. 23

Samuel Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (Britain: Simon&Schuster, 1997), h. 20.

24

Ibid., h. 36. 25

Eriksen, Loc. cit. 26

James D. Kiras, “Globalization and Terrorism, “ dalam John Baylis dan Steve Smith, (Eds.), The

(7)

yang dipimpin Amerika Serikat menggulingkannya dari tampuk kekuasaan karena ditengarai

menyediakan perlindungan bagi Osama bin Ladin/Al-Qaeda. Taliban tidak pernah diakui oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa (hanya diakui oleh Arab Saudi, Pakistan, dan Uni Emirat Arab).

Pada awalnya, Taliban adalah kaum mujahidin yang berjuang melawan invasi Soviet pada

tahun 80-an dan para pemimpin suku Pashtun yang dididik di pesantren dan

madrasah-madrasah Pakistan. Para pemimpin kelompoknya beraliran Wahabi atau Islam Sunni ortodoks

seperti di Arab Saudi. Taliban muncul sebagai kekuatan dalam politik Afghanistan pada tahun

1994. Pada tahun 1996, Taliban berhasil menguasai ibukota Afghanistan, Kabul, dan

mengendalikan pemerintahan nasional.27

Pada masa pemerintahannya, Taliban mewajibkan kaum perempuan untuk

mengenakan baju tertutup dari kepala sampai kaki, melarang televisi, memenjarakan kaum

lelaki yang janggutnya dipotong terlalu pendek, menghancurkan patung-patung Budha, dan

menggunakan kekuatan untuk mencegah dilakukannya aktivitas-aktivitas yang tidak Islami.28 Sebelum invasi AS, Taliban didukung oleh Arab Saudi, Pakistan, dan Uni Emirat

Arab. Arab Saudi memiliki kesamaan aliran (Wahabisme) dengan Taliban, sedangkan

Pakistan memiliki populasi beretnis Pashtun yang besar. Di sini kita melihat fenomena

penguatan identitas berdasarkan aliran keagamaan dan etnisitas. Persamaan ini mendorong

pembangunan ‘solidaritas’ antarnegara, juga ‘koalisi’ di antara negara dan aktor non-negara,

yang melintasi batas-batas negara. Setelah serangan 9/11, pemerintah Arab Saudi dan

Pakistan mencabut dukungan resmi terhadap Taliban untuk menjalin kerja sama dengan AS

dalam ‘perang melawan terorisme,’ namun solidaritas dan jejaring aktor non-negara terus

berlangsung (terutama antara etnis Pashtun Afghanistan-Pakistan) dan menjadi tantangan bagi

pemerintah resmi Afghanistan, Pakistan.29

Lebih jauh lagi, kampanye militer Pakistan untuk memburu para militan Taliban

Afghanistan menimbulkan reaksi di wilayah etnis Pashtun di Peshawar, yang mendorong

terbentuknya sayap Taliban Pakistan. Kaum Taliban Pakistan ini terus bentrok dengan militer

Pakistan hingga saat ini.30

Menurut Bruno dan Kaplan, reaksi publik Afghanistan terhadap pemerintahan Taliban

tidak sepenuhnya negatif. Meskipun standar sosial yang sangat ketat menimbulkan kebencian,

Taliban mampu menghentikan korupsi yang telah menjalari pemerintahan negeri itu selama

27

Greg Bruno dan Eben Kaplan, “The Taliban in Afghanistan,” Concil of Foreign Relations, 2009, http://www.cfr.org/publication/10551/taliban_in_afghanistan.html, diakses pada 19 September 2010.

28 Ibid. 29

Ibid. 30

(8)

bertahun-tahun. Mereka juga menghadirkan stabilitas di Afghanistan dengan mengurangi

peperangan antar-warlords yang telah menghancurkan kehidupan penduduk sipil. Hingga saat

ini, Taliban terus menjadi sumber stabilitas di wilayah-wilayah di mana koalisi pemerintahan

tidak mampu menegakkan ketertiban dan menyediakan layanan dasar untuk masyarakat. Saat

ini, Taliban masih berupaya mempengaruhi rakyat Afghanistan untuk kembali mendukung

mereka. Namun, terdapat pula bagian masyarakat yang menentang fundamentalisme Taliban

dan membantu AS untuk mengusir Taliban dari wilayahnya, misalnya Aliansi Utara yang

terutama terdiri dari kaum Tajikistan, Uzbekistan, dan Syiah Hazara. Setelah Taliban jatuh,

kita dapat memprediksi kebangkitan identitas berbasiskan etnis-etnis dan aliran keagamaan

minoritas ini.

Dari studi kasus kebangkitan Taliban di Afghanistan dan Pakistan, kita dapat melihat

bahwa globalisasi (dalam seluruh dimensinya) memperkuat posisi identitas berbasiskan aliran

keagamaan dan etnisitas di Afghanistan dan Pakistan berbasiskan Wahabisme dan etnis

Pashtun. Perebutan atas sumber daya dalam negara (termasuk kendali pemerintahan) dan

intervensi asing (Uni Soviet dan lalu AS) mempertajam posisi identitas dan deprivasi di

Afghanistan sehingga akhirnya mengarah pada kekerasan (bentrokan antara militan dan

militer, serta dukungan terhadap teroris serta terorisme itu sendiri).

3.2 Globalisasi Nilai-Nilai Demokrasi/HAM dan Keberlangsungan Rezim

Pemerintahan di Myanmar dan Thailand

Semakin tidak berbatasnya dunia dan semakin canggihnya teknologi yang saling

menghubungkan satu sama lain membuat ide-ide liberalisasi semakin mudah untuk

tersebarkan. Liberalisasi dalam bidang politik adalah bentuk pemerintahan yang demokratis,

di mana kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, dan partisipasi politik adalah mantra

ajaib yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Sementara liberalisasi di bidang ekonomi

adalah sistem ekonomi yang liberal di mana campur tangan pemerintah tidak terlalu dominan.

Pada tahun 1998, rakyat Indonesia memilih, dengan korban jiwa yang tak sedikit,

untuk memiliki sistem politik yang lebih demokratis. Perubahan yang cukup dramatis yang

terjadi di Indonesia ini ternyata diamati dengan sangat seksama oleh negara-negara ASEAN

lainnya karena Indonesia sebagai sebuah negara besar di kawasan ini memiliki pengaruh yang

cukup kuat untuk mempengaruhi negara-negara ASEAN lainnya, seperti terlihat dalam

pembentukan Badan HAM ASEAN yang sebagian besar digagas atas pengaruh dari

Indonesia. Bagi beberapa negara yang belum “demokratis” perubahan ini dianggap bisa

(9)

Myanmar adalah satu-satunya negara ASEAN yang paling mendapat sorotan tajam

mengenai masalah HAM dan demokratisasi. Ciri-ciri negara demokratis adalah pemilu yang

terbuka, pers yang bebas, dan kebebasan warga negara untuk berserikat dan berkumpul serta

membentuk partai politik. Kebebasan seperti ini ditakuti oleh rezim yang berkuasa di

Myanmar karena begitu mereka membuka keran demokratisasi, maka pemerintahan junta

militer akan segera berakhir. Oleh karena itulah pemerintah Myanmar merespon pengaruh

globalisasi dengan kontrol negara yang sangat kuat. Keterbukaan Myanmar terhadap dunia

luar bisa dibilang cukup terbatas, seperti di antaranya ketatnya izin masuk ke Myanmar dan

dibatasinya rakyat Myanmar untuk memperoleh informasi dari dunia luar sehingga dorongan

untuk melakukan demokratisasi bisa diredam.

Sementara itu, di Thailand, kondisinya bisa dibilang cukup berbeda. Rakyat Thailand

lebih bebas bepergian ke luar negeri dan mendapat informasi dari seluruh dunia. Keterbukaan

inilah yang membuat mereka menyadari hak-hak politik mereka sehingga memicu konflik

politik antara rakyat luar Bangkok yang disimbolkan oleh mantan PM Thailand yang

tersingkir, Thaksin Shinawarta, dan rakyat Bangkok yang mendukung PM Abisit Vejjajiva.

Di Thailand, terdapat perbedaan yang sangat kontras antara rakyat luar Bangkok yang

sebagian petani dengan rakyat Bangkok yang terpelajar dan lebih makmur. Sebagian besar

kekuatan ekonomi dan politik berputar di Bangkok dan dikuasai oleh penduduk Bangkok,

sementara rakyat luar Bangkok sebagian besar tidak berpendidikan dan terbelit kemiskinan.

Saat Thaksin berkuasa, beberapa kebijakannya dianggap pro-petani sehingga saat ia

digulingkan dalam sebuah kudeta dan PM Abisit Vejjajiva naik, rakyat luar Bangkok merasa

penggulingan Thaksin sebagai pengkhianatan yang dilakukan rakyat Bangkok terhadap

sebuah pemilu yang demokratis.

Dari dua contoh kasus di atas, terlihat respon yang berbeda dari dua negara terhadap

globalisasi yang kemudian memicu ide-ide liberalisasi di bidang politik di mana rakyat

dengan tingkat keterbukaan yang cukup akan menuntut hak-haknya dan dalam titik ekstrim

dapat memicu konflik seperti yang terjadi dalam kerusuhan politik di Thailand. Sementara itu,

di negara yang cenderung tertutup seperti Myanmar, tidak terjadi gejolak seperti yang terjadi

di negara yang cenderung terbuka.

Kasus Myanmar dan Thailand mengilustrasikan bahwa negara tidak hanya harus

berjuang mempertahankan identitas nasional di tengah gempuran globalisasi, melainkan juga

harus berjuang mempertahankan kelangsungan rezim pemerintahan mereka sendiri yang saat

ini tengah disapu oleh gelombang ‘demokratisasi dan HAM,’ yang dapat dipandang sebagai

(10)

terbukti mengamplifikasi posisi identitas (pengusaha, petani, utara-selatan, minoritas Islam,

dsb.) dan membuka borok ketidaksetaraan yang sebelumnya tertutupi hingga menimbulkan

banyak bibit konflik yang beberapa di antaranya menyeruak sebagai kekerasan politik dan

terorisme. Junta militer Myannar, di sisi lain, berhasil mempertahankan kelangsungan

rezimnya dengan menjaga agar masyarakatnya tidak terekspos globalisasi sehingga identitas

nasional mereka tetap solid dan tidak terjadi proliferasi dan amplifikasi posisi identitas yang

beragam di bawah negara, yang, jika digabungkan dengan deprivasi, kemungkinan besar akan

menimbulkan konflik.

3.3 Kebangkitan Qipau sebagai Fashion Trend di Kalangan Generasi Muda China

(Tomlinson): Dampak Globalisasi terhadap Identitas Nasional

Qipau adalah salah satu jenis baju elit Manchurian dinasti Qing yang menguasai China

dari abad ke-17 hingga abad ke-19. Sejak tahun 80-an, Deng Xiao Ping membuka kehidupan

perekonomian dan kebudayaan China hingga terpapar oleh globalisasi. Hal ini menimbulkan

reaksi berupa bangkitnya popularitas pakaian ‘klasik’ China di kalangan perempuan muda.

Identitas kultural yang diekspresikan oleh para perempuan muda ini, menurut Tomlinson,

adalah identitas “ke-China-an” yang berbeda dari gaya berpakaian Barat (yang juga dipilih

oleh para elit politik China), meskipun mereka tidak menyadari bahwa Qipau yang mereka

pilih sesungguhnya adalah warisan Manchurian (Qing), bukan China (Han).

Dalam hal ini, menurut Tomlinson, globalisasi tidak menantang identitas nasional

China secara langsung, melainkan mempromosikan berbagai versi identitas nasional yang

baru dan kompleks. Pada akhirnya, hal inilah yang menjadi tantangan bagi negara di era

globalisasi: bagaimana mengatur populasi dengan identitas yang kompleks, yang merupakan

gabungan antara identifikasi terhadap bangsa (negara), etnisitas, dan kosmopolitanisme.

3.4 Budaya Makanan Internasional: Globalisasi dan Pembentukan Identitas Glokal

(Global-Lokal)

Dari nori asal Jepang hingga rempah-rempah dari Provence, dari gula-gula asal Jepang

hingga anggur dari Napa Valley, pasar swalayan kini menawarkan berbagai macam koleksi

makanan yang lezat dan produk-produk eksotis yang menawarkan cita rasa yang otentik dari

berbagai negara yang bisa kita kunjungi. Kini pasar swalayan adalah tujuan wisata dan

cerminan globalisasi itu sendiri.31

31

(11)

Sebelumnya, produk-produk internasional tersebut hanya ditujukan bagi kalangan

ekspatriat yang tinggal di Jakarta, namun kini seiring dengan semakin tiada berbatasnya dunia

dan didorong oleh kemudahan untuk bepergian ke luar negeri, sekarang tak hanya ekspatriat

yang mencari produk-produk tersebut. Kopi putih Ipoh dari Malaysia dan mie ramen Nong

Shim dari Korea kini adalah pilihan bagi beberapa orang Indonesia yang ingin

kangen-kangenan dengan cita rasa internasional yang pernah mereka cicipi saat mereka berkunjung

ke negara-negara tersebut. Kini, International Food Section di berbagai swalayan yang dulu

tersembunyi di rak belakang, tampil di rak-rak depan di mana orang-orang Indonesia, bersama

para ekspatriat, bisa bersinggungan di antara lorongnya saat mereka mencari teh asal Sri

Lanka dan saus spaghetti asli dari Bologna. Beberapa orang yang bahkan belum pernah

bepergian ke negara-negara tersebut kini pun bisa merasa telah melancong ke sana hanya

dengan mencicipi produk-produk makanan internasional tersebut. Mereka mungkin belum

pernah pergi ke Perancis dan sarapan dengan roti croissant, namun kini mereka tak harus

pergi ke sana agar bisa mencicipinya.

Pasar swalayan tidak hanya mencerminkan cita rasa lokal, penduduk lokal bahkan

bisa menentukan produk-produk makanan internasional seperti apa yang mereka inginkan.

Hal ini bisa dilihat dari rak produk susu yang akan membawa kita ke berbagai negara, dari

yoghurt Elle & Vire dari Perancis, keju parmesan dari Italia sampai susu sapi segar dari

Australia.

Kini saat kita berjalan-jalan di antara gang di pasar swalayan, kita tak hanya merasa

seperti sedang berbelanja—kita merasa seperti berjalan-jalan di bandara internasional di mana

kemasan setiap makanan memperlihatkan paspor negara asal yang membuatnya. Dan bagi

pelancong pasar swalayan yang selalu berangan-angan bepergian keliling dunia, hal ini akan

terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dengan demikian, melalui fenomena

international food culture ini, terlihat bahwa globalisasi menimbulkan sintesis identitas antara

orientas global dalam preferensi makanan, juga penambahan cita rasa lokal terhadap budaya

makan tersebut.

3.5 Koeksistensi dan Sintesis Budaya Global-Lokal di Taiwan Kontemporer

Sebagaimana telah disebutkan di bagian Kerangka Analisis, menurut Michael Hsiao,

globalisasi menimbulkan empat jenis pola konsekuensi terhadap budaya lokal, yaitu 1)

dislokasi budaya lokal akibat globalisasi budaya, 2) koeksistensi, di mana budaya global

(12)

menyatu dengan budaya lokal dan menghasilkan budaya baru, dan 4) penolakan budaya

global karena kuatnya budaya lokal.

Secara umum, keempat pola di atas telah berlangsung di Taiwan sejak tahun 80-an

sehingga pola kebudayaan Taiwan saat ini, menurut Hsiao, mendekati pola budaya global.

Akan tetapi, hal ini tidak menghilangkan identitas asli, justru memberi ruang bagi

berkembangnya heterogenitas budaya Taiwan.32

Perkembangan industrial yang bersifat outward-looking telah mengintegrasikan

perekonomian Taiwan ke dalam perekonomian global. Para pebisnis Taiwan mengikuti pola

komunitas bisnis global di tempat kerja, namun kembali ke pola lokal di kehidupan

sehari-hari. Sebaliknya, perusahaan multinasional yang berbisnis di Taiwan berusaha menyesuaikan

diri dengan budaya lokal, antara lain dalam strategi pemasaran dan gaya manajemen. Budaya

bisnis Taiwan sendiri (yang berbasis keluarga) masih terjaga dan terus berkembang. Dengan

demikian, dalam hal bisnis, budaya global dan lokal hidup berdampingan tanpa menimbulkan

konflik, bahkan cenderung bersintesis.33

Sementara itu, saat ini, Taiwan dipenuhi oleh produk-produk budaya populer global

yang berbasis media multinasional. Budaya populer global tersebut berdampak pada

berkembangnya budaya konsumsi komersial lokal sekaligus mendorong upaya untuk

merekonstruksi identitas lokal dan nasional Taiwan. Kekuatan globalisasi tidak hanya

berdampingan dengan kekuatan lokalisasi, tetapi juga memfasilitasi tumbuhnya keragaman

budaya dan upaya pencarian keotentikan budaya di Taiwan.34

Dunia intelektual Taiwan mencerminkan kecenderungan yang berbeda. Di dalam

literatur Taiwan, yang terjadi adalah resistensi, dalam ilmu sosial, koeksistensi, sedangkan di

dalam gerakan sosial baru, yang terjadi adalah sintesis. Dalam hal keagamaan, respon lokal

terhadap globalisasi terbagi menjadi dua arah: pencarian identitas yang sakral dan

perkembangan kesadaran kolektif yang sekular.35

Dalam kasus Taiwan, dapat kita lihat bahwa meskipun kekuatan sentripetal yang

berbasiskan globalisasi ekonomi (terintegrasinya perekonomian Taiwan dengan

perekonomian global) menimbulkan pola pergeseran budaya (bisnis) lokal oleh budaya bisnis

global yang disebut Berger sebagai Davos Culture, terjadi pula preservasi nilai-nilai ekonomi

lokal Taiwan, yaitu bisnis berbasiskan keluarga. Terjadi pula koeksistensi dan sintesis antara

penyebaran budaya populer global dan pencarian keotentikan budaya lokal Taiwan.

32

Hsiao, Loc. cit. 33

Ibid. 34

Ibid. 35

(13)

Globalisasi mungkin telah memperkuat posisi identitas di Taiwan, yang termanifestasikan

dalam revitalisasi agama, tetapi juga membentuk identitas baru yang tercerminkan dalam

pencarian identitas sekular. Glokalisasi, tarikan homogenisasi dari globalisasi yang

menimbulkan reaksi lokalisasi, dapat kita lihat dalam kasus Taiwan, namun tetap dengan pola

umum sintesis dan koeksistensi, bukan dislokasi maupun penentangan total. Pola koeksistensi

dan sintesis yang muncul di sana dapat menjelaskan mengapa kekuatan globalisasi yang

menyapu Taiwan tidak menunjukkan tanda-tanda mengarah pada kekerasan, termasuk

terorisme. Globalisasi di Taiwan tampak tidak terlalu mengamplifikasi posisi identitas yang

berbeda atau bertentangan, mungkin karena komposisi etnisnya yang tidak terlalu beragam

dan karena posisinya yang relatif diuntungkan dalam sistem ekonomi global. Meskipun

demikian, globalisasi tetap menimbulkan pertanyaan mengenai identitas nasional di Taiwan,

terutama dalam perjalannya mencari pengakuan sebagai negara berdaulat yang terpisah dari

Republik Rakyat China, namun tetap mempertahankan beberapa elemen budaya China.

IV. Simpulan

Dari beberapa studi kasus dan kajian literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa jika

kita mengakui konsepsi identitas sebagai sebuah konstruksi modern, maka dapat dikatakan

bahwa globalisasi telah menciptakan dan mendorong terjadinya penguatan posisi-posisi

identitas, baik di dalam negara maupun yang melintasi batas-batas negara. Globalisasi juga

menimbulkan tantangan terhadap identitas nasional dan mempromosikan berbagai jenis

identitas baru yang kompleks, namun tidak berarti globalisasi menghancurkan identitas

nasional. Penguatan posisi-posisi identitas ini, dalam dirinya sendiri, dapat mengarah pada

konflik seperti tesis Huntington, terlebih jika ditambah dengan kecenderungan globalisasi

untuk mengekspos dan mengamplifikasi ketidaksetaraan dan deprivasi yang dialami oleh

sebagian besar penduduk dunia. Dalam konteks inilah, globalisasi dapat dikatakan

menumbuhkan bibit bagi terjadinya kekerasan politik, termasuk terorisme. Meskipun

demikian, globalisasi budaya juga dapat terjadi secara relatif damai di mana terjadi

koeksistensi dan sintesis antara budaya global dan lokal. Oleh karena itu, meskipun

globalisasi menimbulkan masalah-masalah identitas yang dapat berujung pada kekerasan,

secara umum dampak globalisasi bersifat open-ended dan mengarah pada berbagai

kemungkinan yang lebih beragam daripada apa yang cenderung kita percayai selama ini.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Baylis, John dan Steve Smith (eds.). 2001. The Globalization of World Politics Second

Edition. Oxford: Oxford University Press.

Friedman, Thomas. 1999. The Lexus and The Olive Tree. London: HarperCollins.

Huntington, Samuel. 1997. The Clash of Civilization and The Remaking of World Order. Britain: Simon&Schuster.

Viotti, Paul R and Mark V. Kauppi. 1997. International Relations and World Politics. New Jersey: Prentice Hall.

Artikel dan Artikel Web

Bruno, Greg dan Eben Kaplan. 2009. “The Taliban in Afghanistan.” Concil of Foreign

Relations. http://www.cfr.org/publication/10551/taliban_in_afghanistan.html. Diakses

19 September 2010.

Eriksen, Thomas Hylland. 1999. “Globalization and the Politics of Identity.” UN Chronicle.

http://folk.uio.no/geirthe/UNChron.html. Diakses 18 September 2010.

Hsiao, Hsin-Huang Michael. 2002. “Coexistence and Synthesis: Cultural Globalization and Localization in Contemporary Taiwan.”Oxford Scholarship Online Monographs hh. 48-68.

http://www.ingentaconnect.com/content/oso/545031/2002/00000001/00000001/art0000 4. Diakses 18 September 2010.

McLane, Daisann. 2009. “To Market, To Market…” Singapore Airlines Inflight Magazine.

Tomlinson, John. 2003. “Globalisasi and Cultural Identity.”

“Globalization and Identity: Trends and Contradictions.”

http://www.osi.hu/nsp/program_uk/yorkconf/papers2001/globalizationandidentity.htm . Diakses 18 September 2010.

Surat Kabar

Referensi

Dokumen terkait

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra. ©Taufik Jaenal

Hasil pengamatan absorbansi dari pengaruh kadar gula terhadap pigmen antosianin ekstrak buah cengkodok dapat dilihat pada Tabel 6.. Berdasarkan nilai absorbansi

Demikian pedoman pelaksanaan Bimbingan Pra Inkubasi Bisnis Outwall ini untuk digunakan sebagai pedoman oleh Balai Besar Pengembangan Pasar Kerja dan Perluasan Kesempatan

Diajukan sebagai salah satu syarat Untuk menyelesaikan Program Sarjana (S1) Pada Program Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Universitas

Sesuai jawaban pada Gambar 4.4, DHM menjawab soal cukup baik dengan menuliskan terlebih dahulu apa yang diketahui dari soal tersebut, DHM juga dapat memahami apa yang

Micro informal economic activity, particularly operated by poor households, will have to deal with challenges to prosper in the future. In this case, poor home-based

bahan limbah organik, hal yang perlu diperhatikan adalah ukuran dari karya. Tidak semua karya kerajinan dapat dibuat kemasan. Terkadang karena ukurannya sangat besar, karya

By using the method of Linear Quadratic Regulator ( LQR ), Linear Quadratic Regulator method with weight function on the output ( LQRy ) and the data - the data system of