• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTARUNGAN TERSELUBUNG DALAM JIWA Sebua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERTARUNGAN TERSELUBUNG DALAM JIWA Sebua"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

TEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI

Pdt. Prof. Dr. (h.c.) E. Gerrit Singgih, Ph.D.

Tugas : Tugas Akhir (Final Paper)

Oleh : Daniel Syafaat Siahaan

NIM : 50140019

PERTARUNGAN TERSELUBUNG DALAM JIWA

(Sebuah Refleksi Melalui Lukisan “Ayam Tarung” Karya Affandi Menurut Perspektif Teologi, Spiritualitas dan Seni)

PENDAHULUAN

Dalam tulisan kata pengantar buku Syafa’atun Almirzanah, When Mystic Masters Meet, J.B. Banawiratma menyiratkan pesan bahwa dalam kehidupan beragama masa kini, sudah seharusnya seseorang meninggalkan sikap arogan terhadap agamanya sendiri sebagai sebuah kebenaran mutlak dan menganggap agama lain sebagai kafir, pendosa, dan tidak memiliki kebenaran sama sekali. J.B. Banawiratma, menuliskan:

Konteks kemajemukan dan intensnya komunikasi melalui berbagai media komunikasi dewasa ini secara luar biasa memasukkan orang atau kelompok ke bermacam-macam relasi. Hal itu menumbuhkan kesadaran baru pula bahwa indentitas akan semakin dilihat tidak terlepas dari relasi. Saya menggambarkan identitas saya dalam relasi dengan yang lain. Gambaran identitas saya sebagai orang Kristiani berhubungan dengan bagaimana saya berelasi dengan saudara-saudari yang beriman dan beragama lain. relasi dengan yang lain itu merupakan bagian dari identitas saya. Orang atau komunitas yang terlepas dari relasi menjadi orang atau komunitas yang mengisolasikan dan memarginalkan diri. Suatu club tertutup dengan label Kristiani tidak dapat disebut sebagai Komunitas Iman Kristiani. Begitu pula yang berlaku bagi iman dan agama lain. itulah makna to be religious today is to be interreligious yang secara akademis dikembangkan melalui interreligious studies.1

Melalui pemahaman seperti ini, ada kemungkinan terciptanya masyarakat plural yang harmonis. Apabila setiap orang dari agama yang berbeda-beda memiliki dasar pemikiran bahwa ada kebaikan dari agama lain, maka hal inidapat memunculkan rasa kebersamaan, bukannya malah bersikap arogan dengan beranggapan bahwa hanya agama yang dimilikinya sajalah yang benar.

1 Syafa’atun Almirzanah, When Mystic Masters Meet, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. xviii.

(2)

Meskipun dalam bentuk berbeda, setiap agama memiliki kesamaan mendasar dalam mengajar tentang kebaikan. Selalu ada dua elemen, yaitu baik dan jahat, yang diangkat oleh agama-agama. Memang, bentuk kebaikan dan kejahatan yang dikemas dalam setiap agama berbeda-beda, namun, tidak dipungkiri bahwa di setiap agama dua elemen ini selalu hadir. Baik dan jahat. Konsep baik dan jahat ini juga terdapat dalam agama-agama suku, budaya, bahkan sistem hukum. Kehadiran dua elemen mendasar dari kehidupan manusia ini jugalah yang menjadi kegelisahan Affandi. Affandi kemudian mencoba menerjemahkan dua elemen kehidupan manusia yang terdapat dalam berbagai aspek kehidupan manusia ini, ke dalam sebuah materi gamblang, lukisan.

Affandi, Si Maestro Seni Lukis Indonesia

Affandi Koesoema (Cirebon, Jawa Barat, 1907 - 23 Mei 1990) adalah seorang pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, mungkin pelukis Indonesia yang paling terkenal di dunia internasional, dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon.2 Sosok sederhana ini ternyata memiliki pendidikan yang cukup tinggi. Dari

segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri.3 Sulit menemukan alasan logis untuk seseorang yang memiliki

pendidikan cukup tinggi seperti Affandi, akhirnya menjadi seorang pelukis sederhana, yang apabila melihat langsung penampilannya, orang tidak akan percaya ia memiliki latarbelakang pendidikan demikian. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.4

Gamal Kartono, seorang dosen seni rupa di Universitas Negeri Medan berusaha menjelaskan sumber inspirasi Affandi, dengan menuliskan demikian:

Konsistensi pada humanisme merupakan titik tolak penciptaan dan perjuangannya dalam melukis, dan tentu saja ekspresi emosi yang tercurah disertai dengan eksperimen. Indikasi ini terlihat dari visualisasi karya karyanya yang terdiri dari berbagai teknik dan objek pelukisan. Affandi termasuk seniman yang harus melukis dengan objek nyata di hadapannya, oleh karena itu objeknya harus akrab dengannya. Kondisi sosial, lingkungan alam,

2 http://id.wikipedia.org/wiki/Affandi, diakses pada tanggal 18 Desember 2014, pukul 13.43. 3 Ibid.

(3)

keluarga, sampai pada wajahnya sendiri merupakan situasi lingkungan kesehariannya.5

Penulis sendiri juga sudah melakukan perkunjungan langsung ke Museum Affandi, tepat di sebelah aliran Sungai Gajah Wong, utara kampus UIN itu. Di sebelah tempat parkir sepeda motor, terdapat patung raksasa Affandi yang memiliki tangan sebanyak empat. Di antara tiga tangan patung itu, Affandi terlihat memegang pipa rokok, cat lukis, dan ayam jago. Sepertinya, maksud dari objek-objek yang terdapat di tangan patung itu hendak menyiratkan benda-benda terdekat yang ada di sekitar Beliau. Menarik, ketika melihat bahwa ayam jago juga menjadi salah satu objek yang disukai beliau. Ternyata, memang beberapa (bahkan banyak) lukisan Affandi menjadikan ayam jago sebagai objeknya. Penulis akhirnya memahami dan setuju dengan pendapat Gamal Kartono, bahwa Affandi merupakan seniman yang melukis objek nyata di hadapannya dan akrab dengan objek itu. Melalui salah satu objek kesukaan Affandi inilah yang akhirnya menuntun penulis untuk mengangkat dan meminjam salah satu “gambar ayam” Affandi ini, sebagai rujukan tugas perkuliahan Teologi, Spiritualitas dan Seni.

Lukisan “Ayam Tarung”

Lukisan ini terpampang indah di deretan lukisan-lukisan karya Affandi, di salah satu galeri lukisnya, di Museum Affandi, sebelah Sungai Gajah Wong dengan judul “Ayam Tarung”. “Pelukis: Affandi, Tahun karya: 1979, Judul : "Ayam tarung",Ukuran : 136cm X 91cm, Media : Oil on Canvas,”6 demikianlah deskripsi

yang diberikan kepada lukisan ini. Apabila melihat sekilas lukisan ini, setiap orang akan sulit untuk menyadari apa sebenarnya objek dari lukisan ini. Ya, memang Affandi adalah pelukis yang terkenal dengan lukisan-lukisan abstraknya. Namun, dengan sedikit memerhatikan lebih jeli, pada bagian tengah lukisan ini, paduan warna merah tersebut akan membentuk dua kepala ayam jago. Penegasan bahwa objek ini adalah dua ayam jago semakin terlihat dengan memerhatikan bentuk kaki ayam yang seakan sedang melompat, di sisi kiri dan sisi kanan lukisan ini. Akhirnya, dengan sedikit menajamkan imajinasi lagi, penulis sendiri dapat melihat ada dua ayam jago yang sedang bertarung. Satunya berwarna kuning keemasan, dan satunya berwarna

5 Gamal Kartono, Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi, (Medan: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2008), hal. 2.

(4)

hitam. Goresan-goresan abstrak yang langsung dari jari-jari sang Maestro, seolah menegaskan betapa sengitnya pertarungan antara dua ayam jago tersebut.

Tepat di bawah lukisan ini, ada tulisan yang kurang lebih seperti ini: Dalam lukisan Affandi ini Melukiskan sebuah pertarungan ayam yang sangat sengit, antara Ayam jago berwarna putih keemasan dan Ayam jago berwarna hitam keemasan, yang merupakan simbol pertarungan antara kejahatan dan kebenaran, itulah yang terjadi dalam kehidupan, dalam setiap diri manusia, dimana setiap waktu selalu dihadapkan antara dua pilihan baik dan buruk, selalu terjadi pertarungan antara keduanya, adakalanya kebenaran harus tersingkirkan, adakalanya kejahatan harus terhapuskan, namun yang pasti kebenaran akan selalu menang pada akhirnya.7

Setidaknya, tulisan kecil inilah yang akhirnya menolong para pengamat lukisan di galeri itu untuk memahami lukisan apa itu, dan apa makna di baliknya. Benar-benar menarik cara Affandi mengajarkan sebuah ajaran moral dengan lukisan, dan objek lukisan sendiri berada sangat dekat dirinya, bahkan sangat dekat di kebanyakan masyarakat Indonesia.

REFLEKSI LUKISAN “AYAM TARUNG” MELALUI PERSPEKTIF TEOLOGI, SPIRITUALITAS DAN SENI

Sebagai orang Indonesia, khususnya bagi mereka Suku Jawa, sepertinya kegiatan mempertandingkan ayam satu dengan yang lain merupakan kegiatan yang sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan inilah yang akhirnya dipakai Affandi untuk mencoba menyisipkan ajaran moral tentang baik dan buruk dalam lukisannya. Dua ayam, yang satu berwarna keemasan sebagai yang baik, dan yang lain berwarna hitam sebagai yang jahat. Pertarungan antara baik dan jahat menurut Affandi juga selalu ada di dalam diri setiap orang, ketika diperhadapkan dengan pilihan untuk melakukan yang baik atau yang jahat.

Peminjaman, atau katakanlah metafor yang dipakai Affandi dengan menggunakan ayam sebagai objek yang eksplisit, untuk mencoba menjelaskan makna yang implisit tentang pertarungan antara kebaikan dan kejahatan dalam batin/jiwa seseorang adalah merupakan pemikiran yang cemerlang. Hal ini kemudian dapat memudahkan pemahaman setiap orang tentang bagaiman kebaikan dan kejahatan selalu ada dan bertarung di dalam benak setiap orang.

“Ayam Tarung” Melalui Kacamata Teologis, Bahkan Paulus juga Mengalaminya

(5)

Pertarungan antara yang baik dan jahat dalam jiwa, sebagaimana pesan yang hendak dikemukakan oleh Affandi dalam lukisannya, menuntun penulis untuk mengingat sebuah teks Kitab Suci, yang kurang lebih berbicara demikian. Tulisan Paulus. Paulus dalam Roma 7:18-23 menuliskan:

(7:18) Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. (7:19) Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat. (7:20) Jadi jika aku berbuat apa yang tidak aku kehendaki, maka bukan lagi aku yang memperbuatnya, tetapi dosa yang diam di dalam aku. (7:21) Demikianlah aku dapati hukum ini: jika aku menghendaki berbuat apa yang baik, yang jahat itu ada padaku. (7:22) Sebab di dalam batinku aku suka akan hukum Allah, (7:23) tetapi di dalam anggota-anggota tubuhku aku melihat hukum lain yang berjuang melawan hukum akal budiku dan membuat aku menjadi tawanan hukum dosa yang ada di dalam anggota-anggota tubuhku (Lembaga Alkitab Indonesia, ITB).

Ada permasalahan serupa yang dikemukakan Paulus, dengan apa yang diangkat Affandi dalam lukisannya. Pertarungan antara baik dan jahat, yang ada dalam jiwa. Bahkan Paulus, seorang tokoh yang cukup besar di kalangan Kristiani juga ternyata masih mengalami hal demikian. Dalam jiwanya, masih ada gejolak pertarungan antara yang baik dan yang jahat.

Bob Utley dalam karyanya, Surat Paulus kepada: Jemaat di Roma memberikan tema “Pergumulan abadi tentang kebaikan dan kejahatan dalam diri orang percaya”8 secara spesifik untuk bagian kitab Roma 7:15-25. Sedikit

mengagetkan bagi penulis, bagaimana kesamaan pengajaran ini bisa didapatkan dari dua cara berbeda, lukisan dan teks, bahkan banyak aspek yang berbeda di antaranya.

Anak Allah memiliki “sifat keIllahian” (lih. II Pet 1:4), namun juga sifat kejatuhan (lih. Gal 5:17). Secara potensial, dosa sudah dibuat tidak bekerja (lih. Rom 6:6), namun pengalaman manusia mengikuti pasal 7 kitab Roma ini. Orang Yahudi mengatakan bahwa dalam tiap hati manusia ada seekor anjing hitam dan seekor anjing putih. Mana yang diberi makan lebih banyak akan menjadi yang paling besar. Membaca bagian ini seolah-olah menghantarkan pembaca masa kini untuk merasakan kepedihan Paulus sebagaimana ia menjelaskan pertentangan harian antara kedua sifat ini.9

Kemiripan semakin jelas terlihat. Di kalangan orang Yahudi sebagaimana dijelaskan Bob Utley, terdapat metafor yang menganggap bahwa di dalam tiap hati manusia

8 Bob Utley, Surat Paulus kepada; Jemaat di Roma, (Marshall: Bible Lessons International, 2010), hal. 5.

(6)

terdapat dua ekor anjing, yang satu putih mewakili kebaikan, yang lain hitam mewakili kejahatan. Yang mana diberikan makan paling banyak, ialah yang tumbuh menjadi paling besar.

Ternyata, kegelisahan Affandi mengenai dua pertentangan dalam batin manusia sudah ada sejak lama, bahkan di masa abad pertama, masa Paulus. Penulis tidak memiliki informasi apakan Affandi sempat mengetahui ajaran metafor Yahudi tentang dua anjing dalam hati manusia. Tetapi, ini merupakan sebuah kejutan bagi penulis sendiri, karena adanya kesamaan pola pikir yang dimiliki Affandi yang kemudian mengejewantahkan pemikirannya ke dalam lukisan dua ayam tarung, dengan pemikiran orang-orang Yahudi di masa Paulus, yang menggunakan metafor dua anjing.

Sekali lagi, setiap orang di masa kapanpun dan di tempat manapun, memiliki pergumulan yang sama, pertarungan yang abadi. Pergumulan abadi tentang kebaikan dan kejahatan dalam diri tiap individu. Bahkan Paulus juga mengalaminya. Hal penting yang harus diingat adalah, melakukan kejahatan atau melakukan kebaikan adalah pilihan. Setiap orang dapat memilih melakukan kejahatan, dengan demikian anjing hitam itu akan terus bertumbuh, atau ayam hitam itu akan menang melawan ayam putih keemasan itu. Setiap orang juga dapat memilih melakukan kebaikan, dan hal sebaliknya terjadi. Ini merupakan pertarungan terselubung dalam jiwa, dan pertarungan ini berlaku selama hidup.

“Ayam Tarung” Melalui Kacamata Spiritualitas, Pentingnya Pemurnian Motivasi

Motivasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti: dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu.10 Setiap tindakan yang dilakukan seseorang selalu

berawal dari motivasi, entah dia sadar atau tidak. Motivasinya pun bisa beragam, melalui emosi: seperti cinta, benci, senang, sedih; dan melalui rasio. Entah berdasarkan motivasi apapun, selalu ada nilai baik atau jahat. Motivasi jahat umumnya berujung kepada tindakan jahat. Motivasi baik juga umumnya berujung kepada tindakan baik. Tetapi, bisa saja motivasi jahat menghasilkan tindakan baik, atau motivasi baik menghasilkan tindakan jahat, namun jelas ini sama sekali bukan pilihan yang baik.

(7)

Dalam usaha pemurnian motivasi, Matthew Fox berusaha menjelaskan pandangan Eckhart dengan mengatakan demikian:

For Eckhart, all deeds that are authentic imitate the original deed of creation and well out of life and love. Thus they are without why or wherefore. For what Eckhart interprets John’s phrase “God is love” to mean is that God loves without a why or wherefore.11

Live without a why memang agaknya memunculkan pertentangan di benak sebagian orang. Penulis sendiri awalnya juga demikian. Bagaimana mungkin seseorang bertindak tanpa ada alasan dari pertanyaan why di balik tindakan itu. Tetapi, melalui penjelasan Eckhart yang dikutip dikutip Matthew Fox, yang berbunyi demikian:

God does not look for any “why” outside himself, but only for what is for his own sake. He loves and works all things for his own sake. Therefore, when people love him himself and all things and do all their works not for reward, for honor or happiness, but only for the sake of God and his glory, that is a sign they are sons of God12

Akhirnya membuka konsepsi penulis secara pribadi. Bagi Eckhart, “hidup tanpa alasan mengapa” adalah suatu hidup di mana seseorang tidak berbuat atas dasar pamrih atau imbalan tertentu, baik itu duniawi maupun rohani.13

Cukup jelas penjelasan, baik Syafa’atun maupun Fox dalam menginterpretasikan pemahaman Eckhart. Ini merupakan usaha pemurnian motivasi, dengan melakukan sesuatu karena sesuatu itu memang harus dilakukan, bukan karena adanya harapan (entah itu baik atau buruk) apabila sesuatu itu sudah dilakukan. “Hidup tanpa alasan mengapa” berarti hidup dan mencintai seperti halnya Tuhan hidup dan mencintai.14 Tuhan sebagai contoh yang “hidup tanpa alasan mengapa”

merupakan puncak dari penjelasan to live without a why ini. Melalui contoh gamblang yang sudah dilakukan oleh Tuhan ini, akhirnya memberikan gambaran gamblang pula bagi setiap manusia untuk dapat menghayati teladan yang diberikan Tuhan, dalam rangka perwujudan manusia (yang adalah ciptaan) sebagai imitasi dari Tuhan (Sang Pencipta).

Pemurnian motivasi membawa kepada usaha pengembalian tujuan awal penciptaan manusia sebagai perwujudan atau imitasi dari Tuhan. Cita-cita ini ini

11 Matthew Fox, Breakthrough: Meister Eckharts Creation Spirituality in New Translation, (Garden City, New York: Image Books, 1980), hal 205.

12 Ibid.

(8)

senada dengan cita-cita dari konsep spiritualitas yang ditawarkan oleh Emmanuel Gerrit Singgih (EGS) dalam tulisannya. EGS menuliskan:

Kerajaan Allah batiniah mendorong untuk menyadari kembali dunia sebenarnya, dunia selaras atau harmonis yang diciptakan Tuhan, dan meninggalkan dunia ciptaan manusia yang tadinya dianggap dunia yang sebenarnya itu. . . . konsep spiritualitas ini diharapkan bisa mendorong orang Kristiani berjuang di dunia ini, mengembalikan dunia seperti pada saat diciptakan oleh Tuhan, yaitu ciptaan yang baik, bahkan yang “amat baik” (Kej. 1:31).15

Menarik ketika EGS menarik jauh kembali ke masa silam, ke masa di mana Tuhan pertama kali menciptakan bumi dan isinya. Ya, dalam Kejadian pasal satu, segala sesuatu dijadikan Tuhan baik, tidak ada yang jahat. Pastinya, konsep anjing hitam dan anjing putih (menurut ajaran Yahudi) ataupun konsep ayam putih emas dan ayam hitam (menurut lukisan Affandi) sebagai metafor kebaikan dan kejahatan belum ada di masa ketika Tuhan menciptakan bumi dan isinya. Segala sesuatunya baik, bahkan amat baik. Oleh karena itu, kesadaran akan entitas tulen dari ciptaan akan membawa kepada usaha pemurnian diri dan motivasi, sebagai bentuk tanggung jawab ciptaan yang merupakan imitasi dari Penciptanya.

Melalui pemahaman kehidupan spiritualitas yang demikian (to live without a why) ataupun pemahaman akan keautentikan ciptaan Tuhan, akan memudahkan kemenangan kebaikan atas kejahatan dalam pertarungan dalam jiwa, sebagaimana kegelisahan Affandi itu. Karena, memang pada dasarnya dan pada awalnya, Tuhan menciptakan semuanya itu baik, tidak ada yang buruk ataupun jahat.

“Ayam Tarung” Melalui Kacamata Seni, Buah dari Ekspresionisme

Tangan dingin Affandi agaknya selalu menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Siapa yang menyangka oretan-oretan yang terlihat asal-asalan dari lukisan “Ayam Tarung” ini dihargai Rp. 350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). Pelukis yang dikenal sebagai Maestro Seni Lukis Indonesia, memiliki gaya ekspresionisme dan romantisme yang khas.16 Lukisan “Ayam Tarung” ini juga

merepresentasikan dirinya sebagai seorang ekspresionis. Ekspresionisme adalah aliran seni yang melukiskan perasaan dan pengindraan batin yang timbul dari pengalaman di

15 Emmanuel Gerrit Singgih, Keluar dari Dunia Maya, Masuk ke Dunia yang Sebenarnya:

Spiritualitas untuk Masa Kini di Indonesia, sebuah catatan kuliah Pascasarjana Teologi UKDW, mata kuliah Teologi, Spiritualitas dan Seni (Yogyakarta: Wisma Labuang Baji, 2008), hal. 3-6.

(9)

luar yang diterima tidak saja oleh pancaindra, melainkan juga oleh jiwa seseorang.17

Affandi berhasil mengejawantahkan bukan hanya apa yang diterimanya dari pancaindera, tetapi juga apa yang dimilikinya dalam jiwanya, ke dalam sebuah lukisan “Ayam Tarung”.

Edmund Burke Feldman berpendapat demikian: “Pada tataran elemen visual terdiri dari: Garis, warna, tekstur, komposisi, dan lainlainnya, termasuk pertimbangan desain.18” Burke menjelaskan bahwa lukisan memiliki elemen visual.

Di sisi lain, Bernard S. Meyer menjelaskan elemen lain dari sebuah lukisan, yaitu unsur ide. Ia mengatakan, unsur ide merupakan aspek yang diekspresikan, meliputi intelektual, emosi, simbol, religi, dan unsur lain yang bersifat subjektif.19 Berdasarkan

dua pemahaman terhadap dua elemen yang berbeda ini, tampaknya Affandi telah berhasil mewakili keduanya, dan menunjukkan bahwa ia memang seorang ekspresionis sejati.

Perkawinan antara materi dan ide dalam buah-buah tangan Affandi seolah mengabaikan pertentangan abadi yang telah terjadi dalam ranah filsafat antara materi dan ide. Materi dan ide yang dianggap sebagi dua hal berbeda karena dualisme yang keliru, dipatahkan Affandi dalam karyanya. Berbicara dalam ranah filsafat, Charles Taylor merasakan juga kegelisahan ini, ia mengatakan, Ada kekeliruan dikotomi yang telah dibuat, antara faktor ide dan materi sebagai dua hal berbeda. Yang mana yang lebih dahulu, materikah? Atau ide? Keduanya jelas tidak bisa terpisah.20 “Ayam

Tarung” merupakan buah dari ekspresionisme Affandi yang mengawinkan ide dan materi.

PENUTUP

Satu lukisan “Ayam Tarung” saja mampu membuktikan kepiawaian Affandi sebagai seorang Maestro Seni Lukis Indonesia. Aliran ekspresionisme yang begitu kental, terlihat dalam salah satu buah tangannya “Ayam Tarung” ini. “Ayam Tarung” sebagai bentuk ejawantah dari ide pertarungan dalam jiwa antara kebaikan dan kejahatan sangat membantu penulis untuk membayangkan pertarungan seperti apa yang terjadi dalam ranah ide tersebut. Pesan yang hendak disampaikan pun lebih

17 Kamus Besar Bahasa Indonesia Elektronik v.1.1

18 Edmund Burke Feldman, Seni Sebagai Citraan dan Gagasan, diterjemahkan oleh SP. Gustami, (Yogyakarta: FSRD ISI Yogyakarta, 1991), hal. 221.

(10)

mudah dicerna dalam wujud materi ini, bahwa ternyata ada pertarungan terselubung dalam setiap jiwa manusia, antara kebaikan dan kejahatan, tidak perduli siapa dia, dan kapan dia hidup. Pertarungan itu merupakan pertarungan seumur hidup. Selama manusia hidup, ia akan “dipaksa” untuk memilih antara baik dan jahat. Tetapi, pertarungan itu akan semakin mudah dijalankan untuk memenangkan yang baik, apabila memahami konsep spiritual yang benar. Pemahaman akan keaslian ciptaan akan memudahkan pertarungan itu. Pemurnian motivasi dengan konsep to live without a why memungkinkan kemudahan kemenangan yang baik atas yang jahat. Karena, memang pada awalnya segala ciptaan itu baik (bahkan amat baik), dan tidak ada yang jahat, semulanya.

Yogyakarta, 20 Desember 2014, “Asrama Sehat”,

Yogyakarta.

BIBLIOGRAFI

(11)

http://blog-senirupa.blogspot.com/2012/11/lukisan-affandi-ayam-tarung.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Affandi

Buku-buku

Almirzanah, Syafa’atun. When Mystic Masters Meet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Feldman, Edmund Burke. Seni Sebagai Citraan dan Gagasan, diterjemahkan oleh SP. Gustami. Yogyakarta: FSRD ISI Yogyakarta, 1991.

Fox, Matthew. Breakthrough: Meister Eckharts Creation Spirituality in New Translation. Garden City, New York: Image Books, 1980.

Kartono, Gamal. Bagaimana Cara Mengamati Lukisan Karya Affandi. Medan: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, 2008.

Meyers, Bernard S. Understanding The Arts. New York: Holt Rinehart and Wiston, 1961.

Singgih, Emmanuel Gerrit. Keluar dari Dunia Maya, Masuk ke Dunia yang Sebenarnya: Spiritualitas untuk Masa Kini di Indonesia, catatan kuliah Pascasarjana Teologi UKDW, mata kuliah Teologi, Spiritualitas dan Seni. Yogyakarta: Wisma Labuang Baji, 2008.

Taylor, Charles. Modern Social Imaginaries. Durham: Duke University Press, 2004.

Utley, Bob. Surat Paulus kepada; Jemaat di Roma. Marshall: Bible Lessons International, 2010.

Aplikasi Software

Referensi

Dokumen terkait

Dalam bab ini Penulis menguraikan dua hal yaitu yang pertama adalah kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang di angkat

Tugas akhir ini mengambil studi kasus dari sebuah crane barge yang sedang melakukan kegiatan operasi heavy lifting dengan mengangkut sebuah topside platform

Kejadian DRPs (Drug Related Problems) dapat dibagi menjadi delapan kejadian yaitu : indikasi tidak diobati, tidak tepat obat, dosis sub- therapeutic, kegagalan untuk

Isbat mengenai ajaran martabat tujuh dalam SC dapat digunakan sebagai bahan pelajaran untuk menambah pengetahuan siswa dalam hal pemahaman tradisi dan budaya Jawa

Dari data diatas dapat diketahui bahwa usaha pengembangan sapi sebanyak 86 orang yang menjawab tidak sangat setuju ada dengan presentase 100%, tidak ada yang menjawab

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN TEKNIK HERRINGBONE D ALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN PAD A SISWA KELAS XI SMA SAND HY PUTRA TAHUN AJARAN 2015/2016.. Universitas Pendidikan Indonesia

Atas dasar cutoff bank statement, auditor dapat membuat rekonsiliasi bank untuk membuktikan ketelitian catatan kas klien dan membuktikan status setoran dalam perjalanan dan cek

The research aimed to determine the diversity of endophytic fungi in soybean with different resistance to Sclerotium rolfsii and find out their potential antagonist