• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA MASA ORDE LAMA: POLITIK KURIKULUM

Oleh: Azhar

A. Pendahuluan

Dalam sejarah perjalanan pendidikan yang dialami negeri ini, cukup banyak

hal yang membuat pendidikan kita disusupi kepentingan politik golongan tertentu.

Sederhana saja, kurikulum yang berganti-ganti merupakan potret tidak jelasnya arah

pendidikan. Pendidikan yang diharapkan memiliki tujuan pasti demi mengubah

kondisi bangsa menuju kemajuan, telah diboncengi sekian banyak kepentingan.

Masyarakat tidak memiliki kekuatan politik untuk mencegahnya. Rakyat tidak

mempunyai wewenang untuk mengupayakan sebuah konsistensi atas kurikulum.

Berbicara tentang sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia, maka

hal itu tidak terlepas dari sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia itu

sendiri. Sejak zaman kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal sekolah, yang

tentu saja juga ada kurikulum. Setiap generasi memiliki sejarah kurikulum yang

berbeda antara satu dengan yang lain. Kurikulum pendidikan di Indonesia senantiasa

berubah sesuai dengan zamannya. Bahkan tak jarang juga terdapat keterkaitan dengan

unsur-unsur politis yang mengiringinya. Dalam pengertian bahwa kurikulum di

Indonesia kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa ketika itu. Ketika

masa kolonialisme, maka kurikulum yang berkembang disesuaikan dengan tujuan

melanggengkan imprialisme. Begitupula dengan beberapa masa setelahnya.

Dalam perjalanan sejarah sejak Indonesia merdeka atau tahun 1945, kurikulum

pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,

1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006, ( bahkan rencananya akan kembali terjadi

perubahan kurikulum di 2013 ini ). Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis

dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam

(2)

pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan

yang terjadi di masyarakat.

Atas dasar inilah penulis membuat makalah yang mengupas tentang

perkembangan sejarah kurikulum di Indonesia masa orde lama.

B. Pembahasan

1. Politik Pendidikan dan Politik Kurikulim a. Pengertian Politik Pendidikan

Kata politik berasal dari bahasa Inggris, politics yang berarti permainan politik.1 Sedangkan dalam Bahasa Indonesia, politik diartikan pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan dan sebagainya, dan

dapat pula berarti segala urusan dan tindakan, kebijaksanaan, siasat dan sebagainya

mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.2

Collin memberikan definisi politik sebagai berikut: the theory and practice of governing, a country local politics or national politics the practice of governing a local area, or of governing a country,” (teori dan praktek dalam memerintah sebuah negara, politik lokal atau politik nasional adalah suatu praktek pemerintahan daerah

setempat, atau pemerintahan suatu negara).3

Freire memberikan pandangan bahwa politik pendidikan “Education becomes

an idea and a referent for change in the service of a new kind of society or education speaks to a form of cultural politics that transcends the theoretical boundaries of any

one specific political doctrine.” (Pendidikan menjadi ide dan rujukan untuk perubahan dalam pelayanan jenis baru masyarakat atau pendidikan berbicara kepada bentuk

politik budaya yang melampaui batas-batas teoritis salah satu doktrin politik tertentu).4

1

John M. Echols Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1980), cet. VIII, 437

2 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet. XII, 763 3 P.H. Collin, Dictionary of Politics and Government 3rd

Edition, (London: Bloomsbury Publishing, 2004), cet. III, 194

4 Paulo Freire, The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, (USA: Greenwood

(3)

Gushee memberikan definisi politik pendidikan Education is inherently an ethical and political act.” (Pendidikan secara inheren merupakan tindakan etis dan politik).5

Dalam bahasa Arab, kata politik dikenal dengan istilah al-siyasah yang berarti reka cipta, upaya-upaya strategis dan pengaturan tentang sesuatu.6

Sedangkan kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan pen-

dan akhiran an-, dan berarti perbuatan, hal, cara, dan sebagainya mendidik, pengetahuan tentang mendidik, dan berarti pula pemeliharaan, latihan-latihan dan

sebagainya.7 Dalam pengertian yang umum digunakan, pendidikan berarti sebagai

usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia dari aspek-aspek rohaniah dan

jasmaniah juga harus berlangsung setahap demi setahap.8 Selain itu pula ada yang

mengatakan bahwa pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tingkah laku

seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui

pengajaran dan latihan.9

Dengan demikian, politik pendidikan adalah segala usaha, kebijakan dan siasat

yang berkaitan dengan masalah pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya politik

pendidikan adalah penjelasan atau pemahaman umum yang ditentukan oleh penguasa

pendidikan tertinggi untuk mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan

perangkat pendidikan dalam berbagai kesamaan yang beraneka ragam beserta tujuan

dan program untuk merealisasikannya.10 Dengan demikian politik pendidikan adalah

segala kebijakan pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan yang berupa

peraturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi

tercapainya tujuan negara.

5 Susan Gushee, Politics of Education: Essays from Radical Teacher, (USA: State University of New

York Press, 1990), ix

6 Jamil Saliba, Mu‟jam al-Falsafi, (Mesir: dar al-Fikr, 1978), cet. VII, 45 7 Poerwadarminta, Kamus, 250

8 Lihat H.M. Arifin, Filsafat P endidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), cet. IV, 11

9 Lihat Anton Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 694 10

(4)

b. Pengertian Politik Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,

dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan

kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.11

Sukmadinata dalam Dede Rosada memberikan definisi kurikulum,12 sebagai

berikut:

1) Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana

kegiatan belajar para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan,

bahan ajar, proses kegiatan pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar.

2) Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian

konsep tentang berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan

memiliki keterkaitan secara koheren dengan lainnya.

3) Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum

merupakan konsep yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta

penyesuaian-penyesuaian dengan tuntunan pasar atau tuntunan idealisme

pengembangan peradaban umat manusia.

Kelly memberikan definisi kurikulum sebagai berikut: “the term „curriculum‟

can be, and is, used, for many different kinds program of teaching and instruction. Defined in terms of what teaching and instruction is to be offered and also what its purposes. (Istilah 'kurikulum' bisa, dan, digunakan, untuk berbagai jenis program yang berbeda dari pengajaran dan instruksi. didefinisikan dalam hal apa pengajaran

dan instruksi yang akan ditawarkan dan juga apa tujuannya).13

11 Lihat Undang-undang No. 20 Tahun 2003

12 Dede Rosada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Prenada Media, 2003), cet. II, 26 13

(5)

Beyer mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan politik

kurikulum,14 sebagai berikut:

1) Epistemological. What should count as knowledge? As knowing? Should we take a behavioral position and one that divides knowledge and knowing into cognitive, affective, and psycho-motor area, or do we need a less reductive and more integrated picture of knowledge and the mind, one the stresses knowledge as process? (Epistemologis. Apa yang harus dihitung sebagai pengetahuan? Seperti mengetahui? Haruskah kita mengambil posisi perilaku dan salah satu yang

membagi pengetahuan dan mengetahui ke kognitif, afektif, dan daerah

psiko-motor, atau kita perlu gambaran yang kurang reduktif dan lebih terintegrasi

pengetahuan dan pikiran, tekanan pengetahuan seseorang sebagai proses?

2) Political. Who shall control the selection and distribution of knowledge? Through what institutions? (Politik. Siapa yang akan mengontrol pemilihan dan distribusi pengetahuan? Melalui lembaga apa?)

3) Economic. How is the control of knowledge linked to the existing and unequal distribution of power, goods, and services of society? (Ekonomi. Bagaimana kontrol pengetahuan terkait dengan distribusi yang ada dan kekuasaan yang tidak

setara, barang, dan jasa masyarakat?)

4) Ideological. What knowledge is of most worth? Whose knowledge is it? (Ideologis. Apa pengetahuan yang paling berharga?)

5) Technical. How shall curricular knowledge be made accessible to students?

(Teknis. Bagaimana pengetahuan akan kurikuler dapat diakses oleh siswa?)

6) Aesthetic. How do we link the curriculum knowledge to the biography and

personal meanings of the students? How do we act “artfully” as curriculum

designer and teachers in doing this? (Estetika. Bagaimana kita menghubungkan pengetahuan kurikulum biografi dan makna pribadi siswa? Bagaimana kita

bertindak "berseni" sebagai perancang kurikulum dan guru dalam melakukan ini?)

14 Landon E. Beyer, The Curriculum: Problems, Politics, and Possibilities, (USA: State University of

(6)

Sedangkan Klein berpendapat bahwa politik kurikulum “Curriculum is chaos,

inconsistency, and inequity often have been an accompaniment of local decision making, advocates of local control might respond with accusations of using isolated cases or distorted data to advance self-interests.” (Kurikulum adalah kekacauan, inkonsistensi, dan ketidakadilan yang terjadi dalam pengambilan keputusan lokal,

pendukung kontrol lokal mungkin menanggapi dengan tuduhan menggunakan kasus

terisolasi atau data terdistorsi untuk merealisasikan kepentingan pribadi suatu

kelompok penguasa).15

Dengan demikian politik kurikulum adalah sebuah kebijakan yang ada dalam

domain pemerintah (bukan legislatif). Pemerintah wajib merencanakan, melaksanakan

(implementasi) dan evaluasi sebuah kebijakan yang ada dalam domain pemerintah

(bukan legislatif) sebagai sebuah rencana dunia pendidikan. Namun, kurikulum

disusun menggunakan capaian-capaian kompetensi tertentu. Namun, pada tataran

implementasi selalu menjadi persoalan besar atau dapat dikatakan gagal.

2. Politik Pendidikan Islam Pada Masa Orde Lama a. Masa Orde Lama

Orde secara harfiyah dapat diartikan zaman, atau masa. Secara kontekstual,

orde lama biasanya diartikan sebagai zaman pemerintahan presiden Soekarno, yang

berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1965, yaitu sejak diproklamasikannya

kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan digantikannya

Soekarno oleh Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1965 yang selanjutnya

dikenal sebagai Supersemar.

b. Keadaan Pendidikan Islam Masa Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka, penyelenggaraan pendidikan agama mendapat

perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk

itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang

dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) pada tanggal 27

15 M. frances Klein, The Politics of Curriculum Decision Making, (USA: State University of New York

(7)

Desember 1945.16

Sebagai bentuk perhatian terhadap pendidikan agama, maka pada tanggal 3

Januari 1946 mulai diresmikan Kementerian Agama yang menangani urusan

keagamaan dan pendidikan agama, selain itu juga mengurusi bidang pendidikan yang

berhubungan dengan agama.17

Disamping itu, pemerintah juga mendirikan kementerian pendidikan dan

kebudayaan, sehingga menimbulkan pengelolaan pendidikan yang dikotomis yang

selanjutnya berdampak buruk terhadap nasib pendidikan agama yaitu berupa adanya

perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap pemberian anggaran

pendidikan agama, sumber daya manusia dan sarana prasarana. Keadaan yang

diskriminatif sebagai akibat dari kebijakan yang dikotomis ini belum sepenuhnya

dapat diatasi sampai saat ini.18

Selain mendirikan departemen agama tersebut, pemerintah orde lama juga

telah merumuskan peraturan dan undang-undang terkait dengan pendidikan agama.

yaitu undang-undang nomor 12 tahun 1950. Pada Bab XII Pasal 20 undang-undang ini

misalnya ditetapkanlah pelajaran agama di dalam sekolah-sekolah negeri. Sampai di

sini pemerintah orde lama juga telah menaruh perhatian terhadap perkembangan dan

pertumbuhan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan pesantren.19

3. Penerapan Politik Kurikulum Pada Masa Orde Lama.

a. Berbagai Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Bidang Pendidikan Islam

Pada bulan desember 1946 dikeluarkan peraturan bersama dua menteri, yaitu

Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa

pendidikan agama diberikan mulai kelas IV SR (Sekolah Rakyat / Sekolah Dasar)

sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan di Indonesia masih belum mantap

sehingga SKB Dua Menteri belum dapat berjalan dengan semestinya. Daerah-daerah

16 Dra. Hj. Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 65 17 Ibid.,

18 Ibid., 67 19

(8)

di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama mulai kelas I SR.

Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun

1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K, serta Prof.

Drs. Abdullah Sigit dari Departemen Agama. Tugasnya ikut mengatur pelaksanaan

dan pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.

Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh

Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin

disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud

yunus dari Departemen Agama, Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia

itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari. Isinya ialah:

1) Pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat.

2) Di daerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat (misalnya, di Sumatera,

Kalimantan, dan lain-lain), maka pendidikan agama diberikan mulai kelas I SR

dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak boleh berkurang

dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya diberikan mulai

kelas IV.

3) Disekolah Lanjutan Pertama dan Tingkat Atas (umum dan kejuruan) diberikan

pendidikan agama sebanyak 2 jam seminggu.

4) Pendidikan agama diberikan kepada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam

satu kelas dan mendapat izin dari orang tua / walinya.

5) Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan

agama ditanggung oleh Departemen Agama.

b. Pembentukan UU Pokok Pendidikan dan Pengajaran

Menjelang lahirnya Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran,

Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran (1946) melapor kepada menteri PP

dan K (Mr. soewandi) untuk membentuk Panitia Penyelidik Pendididikan dan

Pengajaran yang diketuai K.H. Dewantara. Mereka diberi tugas untuk meninjau

(9)

Laporan panitia tersebut tadak dapat disiarkan secara luas karena adanya

serbuan tentara Belanda, maka secara diam-diam mereka mengadakan:

1) Kongres pendidikan di Solo (Pada tahun 1947)

Tanggal 4 sampai 7 maret 1947 di Solo diadakan Kongres Pendidikan

Indonesia, di bawah pimpinan Prof. Sunaryo Kalapaking. Tujuannya ialah

meninjau kembali berbagai masalah pendidikan dan pengajaran. Kongres ini

mendapat perhatian besar dari para cendekiawan.20

Pada tahun 1948 Menteri PP dan K (Mr. Ali Sastroamidjojo) membentuk

panitia pembentukan Rencana Undang-Undang pokok Pendidikan dan

Pengajaran. Panitia itu diketuai oleh K.H. Dewantara yang ditugaskan untuk

menyusun rencana UUPP di sekolah. Panitia bekerja dengan memperhatikan

hasil pekerjaan panitia terdahulu dan hasil kongres pendidikan di Solo.21

2) Kongres Pendidikan di Yogyakarta (Pada tahun 1949)

Pada tanggal 24 juli 1949 di bawah pimpinan K.H. Dewantara dan

sekretarisnya S. Brodjonegoro dilangsungkan kongres pendidikan di Yogyakarta.

Menteri PP dan K (Ki. S. Mangunsarkoro) mengharapkan agar kongres ini dapat

menghasilkan bahan-bahan bermanfaat yang dapat dipergunakan untuk

menyusun UUPP, yang sesuai dengan cita-cita nasional bangsa Indonesia. Maka

dengan kerja keras para panitia penyelidik pendidikan pengajaran dicetuskan UU

tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk seluruh

Indonesia (1950).

Setelah panitia bekerja dengan giat, rencana Undang-Undang dapat

diselesaikan dan diajukan kepada BP KNIP dan dengan suara terbanyak

diterimalah rencana Undang-Undang itu. Setelah disahkan oleh Acting President

Mr. Asaat di Yogyakarta dan Menteri PP dan K, maka RUU itu diresmikan

menjadi UU No.4 tahun 1950 dengan nama UU tentang dasar-dasar pendidikan

20 Mustafa dan Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997),

110

21

(10)

dan pengajaran di sekolah (UUPP). Untuk sementara UUPP hanya berlaku di

daerah Yogyakarta. Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia

dibentuk, maka UUPP diterima oleh DPR pada tanggal 27 januari 1954, dan

diberlakukan pada tanggal 18 maret 1954. Kini UUPP menjelma menjadi UU

No.12 tahun 1954 tentang Pernyataan berlakunya UU No.4 tahun 1950 dari

Republik Indonesia dahulu tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di

sekolah untuk Indonesia. UUPP tersebut seluruhnya terdiri dari 17 Bab dan 30

pasal.

UU tersebut belum sempurna, masih banyak kekurangan-kekurangannya.

Masih terlampau ringkas dan singkat, untuk menyempurnakannya dibentuk suatu

komisi, yang diketahui oleh Katopo. Komisi ini ternyata tidak dapat memberikan

hasil usahanya yang kongkrit.22

c. Perkembangan dan Pembinaan Madrasah Zaman Orde Lama

Mempelajari perkembangan madrasah tentunya berkaiatan erat dengan peran

Departemen Agama sebagai andalan politis yang dapat mengangkat posisi

madrasah sehingga memperoleh perhatian secara terus-menerus dari kalangan

pengambil kebijakan. Tentunya, tidak juga melupakan usaha-usaha keras yang

sudah dirintis oleh sejumlah tokoh seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari dan

Mahmud Yunus. Dalam hal ini, Departemen Agama secara lebih tajam

mengembangkan program-program perluasan dan peningkatan mutu madrasah.

Perkembangan madrasah pada Orde Lama adalah berdirinya madrasah

Pendidikan Guru Agama (PGA) yang sudah ada sebelum kemerdekaan terutama

di wilayah Minangkabau dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

Tujuannya untuk mencetak tenaga-tenaga proposional yang siap untuk

mengembangkan pendidikan madrasah sekaligus ahli agama yang proposional

Sejarah perkembangan PGA dan PHIN bermula dari program Departement

Agama yang ditangani oleh Drs. Abdullah Sigit sebagai penanggung jawab

bagian pendidikan. Pada tahun 1950 bagian tersebut membuka dua lembaga

22

(11)

pendidikan dan madrasah professional keguruan: Sekolah Guru Agama Islam

(SGAI) dan sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI memiliki dua

jenjang yaitu: (a). Jangka panjang yang ditempuh salama 5 tahun untuk siswa

tamatan SR/MI dan (b). Jenjang jangka pendek yang ditempuh selama 2 tahun

untuk lulusan SMP/MTs. Sedangkan SGHAI ditempuh selama 4 tahun untuk

lulusan SMP/MTs yang memiliki 4 bagian yaitu:

1) Bagian “a” untuk mencetak guru kesusatraan

2) Bagian “b” untuk mencetak guru Ilmu Alam/Ilmu Pasti

3) Bagian “c” untuk mencetak guru agama

4) Bagian “d” untuk mencetak guru pendidikan agama

d. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Zaman Orde Lama

Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah umum,

dicantumkan dalam UU Pendidikan tahun 1950 No.4 dan UU Pendidikan tahun

1954 No. 20 yang berbunyi:

1) Pada sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama. Dan

orang tua murid berhak menetapkan apakah anaknya mengikuti

pelajaran tesebut atau tidak.

2) Cara menyelenggarakan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah negeri

diatur melalui menteri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan (PPK)

bersama menteri agama.

Pada tahun 1960 sidang MPRS menetapkan bahwa pendidikan agama

diselenggarakan di Perguruan Tinggi Umum dan memberikan kebebasn kepada

mahasiswa untuk mengikuti ataupun tidak. Namun, pada tahun 1967 (pada awal

orde baru), ketetapan itu diubah dengan mewajibkan mahasiswa mengikuti mata

kuliah agama dan mata kuliah ini termasuk kedalam sistem penilaian.

e. Lembaga Pendidikan Islam Zaman Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka dan mempunyai Departemen Agama, maka

secara instransional Departemen Agama diserahi kewajiban dan bertanggung

(12)

lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pendidikan agama Islam yang berstatus

negeri dan ada yang berstatus swasta.

Pendidikan agama Islam mulai diajarkan secara resmi di sekolah-sekolah

umum negeri pada tahun 1946, dengan keluarnya SKB Menteri Agama dan

Menteri P dan K. sebagai tindak lanjutnya, ialah penyediaan dan pengadaan

tenaga guru agama yang ditugaskan di sekolah-sekolah umum.

C. Penutup

Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan sejarah

perkembangan bangsa Indonesia itu sendiri. Ketika Indonesia dalam cengkeraman

kolonial, maka kurikulum pendidikan yang dikembangkan adalah demi

kepentingan penjajah itu sendiri, baik penjajahan Belanda maupun Jepang. Masa

kolonialisme yang panjang dan begitu mengakar dalam kebudayaan Indonesia,

disadari ataupun tidak, turut pula memberikan pengaruh terhadap pola pendidikan

Indonesia ketika merdeka meskipun dalam hal ini nuansanya lebih

keindonesiaannya.

Pendidikan di Indonesia juga tidak jarang masuk dalam bidikan politisi. Ketika

orde lama berkuasa, pertentangan ideologi juga menyusupi dalam kurikulum

pendidikan di Indonesia. Sekolah sempat dijadikan wahana ideologisasi, praktek

ini dilakukan pemerintah dengan mendirikan kementerian pendidikan dan

kebudayaan, sehingga menimbulkan pengelolaan pendidikan yang dikotomis yang

selanjutnya berdampak buruk terhadap nasib pendidikan agama yaitu berupa

adanya perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah terhadap pemberian anggaran

pendidikan agama, sumber daya manusia dan sarana prasarana. Keadaan yang

diskriminatif sebagai akibat dari kebijakan yang dikotomis ini belum sepenuhnya

(13)

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Rujukan

Abdullah, dan Mustafa, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia, 1997.

Arifin, H.M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, cet. IV, 1994.

Moeliono, Anton, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Prenada Media, 2003.

Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. XII, 1991.

Rosada, Dede, Paradigma Pendidikan Demokratis, Jakarta: Prenada Media, cet. II, 2003.

Rukiati, Enung K. Hj. Dra, dkk, Sejarah Pendidikan Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia, 2004.

Shadily, John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, cet. VIII, 1980.

Undang-undang No. 20 Tahun 2003.

B. Sumber Rujukan Bahasa Asing

Beyer, Landon E., The Curriculum: Problems, Politics, and Possibilities, USA: State University of New York Press, cet. II, 1998.

Collin, P.H., Dictionary of Politics and Government 3rd Edition, London: Bloomsbury Publishing, cet. III, 2004.

Freire, Paulo, The Politics of Education: Culture, Power and Liberation, USA: Greenwood Publishing, cet. I, 1985.

Gushee, Susan, Politics of Education: Essays from Radical Teacher, USA: State University of New York Press, 1990.

Kelly, A.V., The Curriculum Theory and Practice, London: Sage Publications, cet. V, 2004.

Klein, M. Frances., The Politics of Curriculum Decision Making, USA: State University of New York Press, 1991.

Referensi

Dokumen terkait

SMP Kota Jayapura, Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota dan pengurus MGMP Bahasa Inggris, salah seorang kepala sekolah dan pengawas sekolah maupun hasil

Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati terhadap loyalitas konsumen. Di samping itu, penelitian ini juga

Pendapatan merupakan perkalian antara produksi peternakan atau pertambahan bobot badan akibat perlakuan (dalam kg hidup) dengan harga jual, sedangkan biaya pakan

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa koefisien ventilasi baik untuk arah aliran udara yang sejajar dinding model atau sudut arah aliran sebesar 0 o , maupun arah

Što je veća debljina rezne trake, veći je i gubitak materijala, ali je rezna traka izdrţljivija što znači da će veće debljine biti korištene prilikom

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan keterampilan proses sains mahasiswa antara kelas eksperimen 1, kelas eksperimen 2 dan kelas kontrol atau ada pengaruh penerapan

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian yang berjudul Pengaruh Partisipasi Masyarakat Terhadap Komitmen Pemerintah