• Tidak ada hasil yang ditemukan

HEGEMONI BUDAYA DALAM NOVEL ROMANTIS LAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HEGEMONI BUDAYA DALAM NOVEL ROMANTIS LAM"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

HEGEMONI BUDAYA DALAM NOVEL ROMANTIS

L’AMANT DE LA CHINE DU NORD

KARYA MARGUERITE DURAS: KAJIAN RESEPSI SASTRA

Tania Intan, Ferli Hasanah

Universitas Padjadjaran

Email: tania.intan@unpad.ac.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membincangkan hegemoni di dalam novel romantis L’Amant de la Chine du Nord karya Marguerite Duras. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis dengan pendekatan kajian resepsi sastra sinkronis. Teori Gramsci diapropriasi untuk menunjukkan keberadaan hegemoni di dalam novel tersebut. Dari hasil penelitian terhadap sejumlah responden, diketahui bahwa novel yang meraih Prix Goncourt pada tahun 1984 tersebut dianggap memiliki kekuatan tema berkaitan dengan kompleksitas hubungan lintas budaya, ras, kelas sosial dan usia, yang masih relevan serta menarik untuk dibaca hingga sekarang. Dari penelitian ini juga terbukti bahwa L’Amant memperlihatkan adanya hegemoni dalam konteks masyarakat poskolonial di wilayah Indocina frankofon sekitar tahun 1930.

Kata Kunci: L’Amant de la Chine du Nord, novel romantis, resepsi sastra, hegemoni.

Abstract

This study aims to discuss the hegemony in the romantic novel L'Amant de la Chine du Nord by Marguerite Duras. The research method used is descriptive with recitation approach of synchronous literature. Gramsci's theory was adapted to show the existence of hegemony in the novel. From the results of research on a number of respondents, it is known that the novel who won Prix Goncourt in 1984 is considered to have the power of themes related to the complexity of relationships across ages, races and classes, which are still relevant and interesting to read until now. From this research also proved that L'Amant shows the existence of hegemony in the context of post colonial society in the region of Indochine francophone around 1930.

Keywords: L'Amant, romantic novel, literary receptions, hegemony.

(2)

Marguerite Duras adalah seorang penulis novel, drama, essay dan naskah film berkebangsaan Prancis yang lahir di Saigon pada tahun 1914 (1994:8). Menurut Djokosujatno, Zaimar & Indonesiatera (2003:133-134), perempuan ini merupakan salah satu sastrawan terpenting pada masa paruh kedua abad XX yang kerap memaparkan cerita pada periode kolonisasi. Ia meraih kesuksesan terutama berkat karya otobiografisnya L’Amant ‘Kekasih’ dengan meraih Prix Goncourt tahun 1984 dan Prix Ritz-Paris-Hemingway tahun 1986, yang mengungkapkan pengalaman cinta dan seksual pada masa remajanya di Indocina tahun 1930. Buku tersebut ia tulis kembali dengan judul L’Amant de la Chine du Nord tahun 1991. Karya-karya lainnya yang terkenal di antaranya Moderato Cantabile, Hiroshima Mon Amour, dan

Un Barrage contre le Pacifique. Ia juga memproduksi sejumlah film dari naskah yang ditulisnya seperti India Song, Le Camion, dan Les Enfants.

Dalam penelitian ini, novel l’Amant de la Chine du Nord, yang selanjutnya disebut ACN, dikaji dengan menggunakan metode resepsi sastra. Resepsi sastra mempelajari bagaimana pembaca memberi makna atau interpretasi pada karya sastra yang telah dibacanya, berdasarkan pengalaman-pengalaman hidup dari pembaca itu sendiri. Oleh karena itu, resepsi sastra dapat melahirkan tanggapan, reaksi atau respon terhadap sebuah karya sastra yang hasilnya bisa jadi akan berbeda di antara pembaca yang satu dengan yang lain. Situasi ini disebabkan oleh perbedaan cakrawala harapan (Femia), yaitu harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007:207). Cakrawala ini merupakan konsep awal yang dimiliki pembaca ketika ia membaca sebuah karya sastra. Harapannya, karya sastra yang dibaca akan sejalan dengan konsep sastra yang dimiliki pembaca yang masing-masingnya tentu akan berbeda. Perbedaan ini terjadi karena cakrawala harapan seseorang ditentukan oleh pendidikan, pengalaman, pengetahuan, dan kemampuan dalam menanggapi karya sastra.

(3)

Universitas Padjadjaran, yang terdiri dari tujuh orang perempuan dan empat orang laki-laki. Data yang dihasilkan dari responden ini menjadi data primer, sedangkan data sekunder terdiri dari sumber-sumber informasi dan literatur yang berkaitan dengan penelitian (Ritzer, 2011). Teknik yang digunakan untuk mendapatkan data primer dalam penelitian ini adalah pengisian angket/kuesioner. Angket terdiri dari empat bagian, yaitu (1) identitas responden, (2) pengetahuan responden mengenai pengarang, (3) pemahaman responden mengenai isi cerita novel ACN, dan (4) resepsi responden mengenai hegemoni dalam novel ACN. Pengisian angket dilakukan pada tanggal 20 Maret 2018 di lingkungan kampus.

(4)
(5)

kelas sosial yang ada dalam suatu negara. Singkatnya, hegemoni satu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya dalam pengertian Gramscian bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni itu harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan bersama bagi seluruh masyarakat.

Untuk membahas tema hegemoni, dalam bagian pembahasan penelitian ini, pertama-tama akan diuraikan sekuen cerita novel ACN, kemudian akan dibahas hasil kajian resepsi pembaca terhadap novel ACN, dan pada bagian terakhir, akan dipaparkan analisis mengenai hegemoni dalam konteks masa poskolonial Prancis di Indocina tahun 1930an.

Pembahasan

A. Ringkasan Cerita Novel L’Amant de la Chine du Nord

Sekuen-sekuen di bawah ini dikutip dari novel L’Amant de la Chine du Nord (1991) serta terjemahannya dalam bahasa Indonesia The Lover (2004). Cerita dimulai dengan deskripsi mengenai seorang gadis Prancis yang tidak disebutkan namanya, yang sedang berada di atas kapal untuk menyeberangi sungai Mekong. Di tepi sungai, seorang laki-laki Cina yang tampan berada di dalam sebuah mobil hitam dan berbusana ala Barat, memperhatikan gadis itu. Berbekal kemampuannya berbahasa Prancis, laki-laki itu lalu mengajaknya berkenalan dan menawarkan untuk mengantar si gadis ke tempat tujuannya. Setelah menempuh perjalanan, mereka pun tiba di SMA Vinh-Long di kota Saigon, sebuah sekolah dan asrama untuk warga berkulit putih. Pertemuan yang singkat itu ternyata membuat keduanya saling jatuh hati. Mereka kemudian bertemu kembali dan berkencan di flat milik laki-laki Cina itu di wilayah Cholen.

(6)

terkemuka di Cholen. Ibu gadis Prancis mencurigai adanya hubungan khusus di antara putrinya dan pria Cina itu. Ia juga telah mendengar laporan dari sekolah bahwa putrinya itu sering tidak pulang ke asrama karena menginap di flat pria tersebut. Ibu gadis Prancis pun memutuskan untuk melarang berjalannya hubungan tidak lazim ini.

Hambatan terhadap percintaan itu juga terjadi dari pihak keluarga laki-laki Cina, yang mengadakan perjodohan dengan seorang perempuan Cina dari keluarga terkemuka agar keturunan mereka tetap murni. Laki-laki Cina itu berusaha menolak dan mengungkapkan niatnya untuk menikahi si gadis Prancis, tapi usahanya itu sia-sia karena perjodohan telah diatur oleh keluarganya.

Gadis Prancis dan kekasihnya pun bertemu untuk terakhir kalinya membicarakan kehidupan mereka selanjutnya. Ayah laki-laki Cina memberi uang kepada ibu gadis Prancis agar mereka pulang ke negara asalnya dengan kapal. Keluarga itu pun kembali ke Prancis dengan perasaan sedih dan terluka harga dirinya, namun kesedihan terdalam dialami gadis Prancis yang menyadari bahwa ia sangat mencintai laki-laki Cina itu.

Sesaat setelah keluarga itu tiba kembali di Prancis, berakhirnya pendudukan Prancis atas Vietnam dan wilayah Indocina lainnya diumumkan. Beberapa waktu berlalu, gadis Prancis dan laki-laki Cina itu berkomunikasi melalui telepon untuk menceritakan kisah hidup mereka masing-masing, mengenai perkawinan dan perpisahan yang mereka jalani.

B. Kajian Resepsi Pembaca Novel L’Amant de la Chine du Nord

(7)

Berdasarkan hasil pengisian angket, diketahui bahwa menurut (1) identitasnya, para responden rata-rata berumur 20-21 tahun, yang berarti telah berada dalam fase dewasa dan dua orang di antaranya mengaku telah memiliki pasangan. Informasi ini merupakan dasar yang penting bagi peneliti dalam mengenal situasi psikologis dan sosial responden, karena berdasarkan hasil paparan sekuensial, diketahui terdapat sejumlah adegan seksual yang digambarkan dengan cukup eksplisit oleh pengarang. Kesiapan, keterbukaan dan kedewasaan responden dalam menanggapi hal tersebut akan berpengaruh pada cara mereka menjawab pertanyaan dalam angket penelitian.

Pada bagian (2) berkaitan dengan pengetahuan responden mengenai pengarang, seluruh responden menyatakan mengenal Marguerite Duras sebagai pengarang perempuan Prancis yang terkenal. Berkaitan dengan karya-karyanya, 54% responden dapat menyebutkan judul-judul dan kekhasan penulis tersebut, yaitu kerap menjadikan kehidupannya sebagai sumber inspirasi dan mengangkat novel-novelnya ke layar perak. Meskipun cukup mengenal Marguerite Duras, tidak ada responden yang pernah membaca karyanya selain ACN, namun 54% di antaranya sudah menonton versi film dari ACN/ L’Amant di Youtube.

Berkaitan dengan pertanyaan angket bagian (3) tentang pemahaman responden mengenai isi cerita novel ACN, ternyata seluruh responden tidak/belum menyelesaikan proses pembacaannya karena berbagai alasan (jenuh membaca, sudah menonton filmnya, sudah tahu akhirnya dari teman, sulit membacanya atau tidak ada waktu). Kondisi tersebut dapat dipahami sebagai hambatan membaca yang umum terjadi pada generasi muda saat ini. Sebanyak 72% responden menyatakan memilih menonton film l’Amant

(8)

responden memahami bahwa tokoh utama gadis Prancis dalam cerita itu adalah Marguerite Duras sendiri dan tokoh laki-laki Cina adalah kekasihnya. Yang menjadi permasalahan utama dalam novel ACN menurut 54% responden adalah perbedaan ras, 36% menjawab masalah perbedaan kelas sosial, dan sisanya menyebutkan bahwa perbedaan umur yang terlalu jauh menjadi masalah dalam hubungan gadis Prancis dengan laki-laki Cina itu. Sebanyak 81% responden menyatakan bahwa latar tempat dan waktu cerita terjadi di wilayah Indocina masa pendudukan Prancis sekitar tahun 1930an. Secara umum, 81% responden menyatakan meskipun terkendala dalam menuntaskan bacaannya, mereka menyukai novel ACN, dan sisanya (yang terdiri dari responden laki-laki) mengakui tidak terlalu menyukai ceritanya yang lambat.

Menurut 63% responden, kekuatan novel ACN terutama adalah pada penggambaran mengenai hegemoni yang sangat kuat yang meliputi banyak aspek sehingga mampu memisahkan hubungan dua orang yang benar-benar saling mencintai. Hegemoni itulah yang membuat kerumitan karena berkaitan dengan hal-hal yang sulit diatasi, seperti budaya, ras, kelas, dan usia. Penggambaran hubungan seksual di antara tokoh gadis Prancis dan laki-laki Cina yang eksplisit dinilai ‘agak vulgar tapi dapat dipahami karena novel ini ditulis oleh pengarang Prancis’ merupakan pernyataan dari 72% responden. Sejumlah 27% responden tidak menganggap novel ACN sebagai novel romantis karena menurut mereka ‘terlalu banyak sekuen yang menggambarkan hubungan fisik dibandingkan dengan suasana hati’. Sebaliknya, dengan genre otobiografis, ACN disebut oleh 54% responden sebagai novel romantis karena melibatkan dua tokoh utama yang terdiri dari tokoh perempuan dan tokoh laki-laki yang menghadapi masalah dan berjuang untuk menyelesaikannya. Meskipun pada akhir cerita mereka tidak dapat bersama, namun setidaknya mereka tetap saling mencintai.

Sebagai penutup angket bagian (3), seluruh responden menegaskan bahwa kisah dalam novel ini masih dapat terjadi di masa kini, dan novel ACN

(9)

responden, ada pesan moral yang kuat yang disampaikan pengarang bahwa dalam cinta, perbedaan apapun seharusnya menjadi tidak berarti dalam suatu hubungan percintaan.

Pada bagian (4) angket, yang dibahas adalah resepsi responden mengenai hegemoni dalam novel ACN. Sebanyak 54% pembaca novel ini sepakat bahwa di dalam cerita terungkap adanya hegemoni. Perbedaan ras menjadi masalah utama dalam novel tersebut, dinyatakan oleh 63% responden memiliki potensi mendatangkan konflik karena berhubungan dengan pandangan masyarakat dan situasi politik saat itu. Berkaitan dengan rentang usia yang cukup jauh di antara tokoh gadis Prancis (15 tahun) dengan laki-laki Cina (27 tahun), hal ini juga dapat menimbulkan problematika tersendiri dalam konteks kedewasaan dan dominasi pria atas perempuan. Karena perbedaan usia yang cukup jauh itu pula, ada kekuatiran 21% responden pembaca terhadap hubungan seksual yang dilakukan kedua tokoh tersebut karena menyentuh wilayah pelanggaran hukum (pedofilia), namun responden lain menyatakan bahwa atas nama kebebasan dan hak pribadi, dalam budaya Barat hal itu mungkin saja dilakukan.

(10)

anggota komunitas suatu etnis hanya dapat menikahi sesamanya. Orang kulit putih (gadis Prancis) tidak seharusnya berhubungan dengan orang kulit berwarna (laki-laki Cina) terlebih mereka berasal dari status sosial berbeda (miskin >< kaya), dan ada rentang usia yang cukup jauh di antara keduanya (12 tahun).

Hasil kajian resepsi responden menunjukkan bahwa secara umum, mereka cukup dapat memahami isi cerita novel ACN dan permasalahan hegemoni di dalamnya. Bentuk-bentuk hegemoni budaya dalam kisah tersebut akan dipelajari dengan lebih sistematis pada bagian berikut ini.

C. Hegemoni Budaya dalam Konteks Masa Poskolonial Prancis di Indocina Tahun 1930an

Ketika terjadi kontak di antara masyarakat dari dua bangsa atau lebih, dalam satu wilayah pada saat yang sama, aspek budaya yang berpotensi mengalami hegemoni adalah bahasa. Dalam konteks poskolonial, bahasa penguasa selalu dianggap memiliki derajat lebih tinggi dibandingkan bahasa yang dikuasai karena memuat ide-ide dan konsep yang lebih rumit dan lebih filosofis. Dengan demikian tindak mengajarkan bahasa penguasa dianggap meningkatkan harkat atau bahkan ‘memanusiakan’ pihak yang dikuasai. Hal tersebut ditunjukkan dalam sitasi di bawah ini.

[…] Dan kemudian, Thanh bernyanyi dalam bahasa yang tidak dikenal, kisah masa kecilnya di perbatasan Siam ketika Ibu menemukannya dan kembali ke bungalow dengan anak-anaknya yang lain. Untuk mengajarinya bahasa Prancis, katanya, dan dibersihkan, dan diberi makan dengan baik, dan hal seperti itu dilakukan setiap hari (hal. 34).

(11)

menunjukkan adanya relasi simbiosis mutualisme di antara pihak dominan dan yang didominasi.

Dalam sitasi di atas, disebutkan adanya un langage inconnu ‘bahasa yang tidak dikenal’ oleh narator, ketika Thanh sedang bernyanyi dalam bahasa daerahnya (Thai). Stereotipe ini menunjukkan bahwa selain bahasa Prancis, bahasa lain dianggap liyan, cenderung dianggap rendah. Superioritas Barat melalui pengajaran bahasa Prancis pun diterima dengan tanpa perlawanan oleh Thanh dan memperkuat hegemoni yang berlaku umum dalam masyarakat Indocina.

Selain menyentuh aspek bahasa, hegemoni budaya juga terjadi dalam aspek pendidikan. Gadis Prancis tokoh utama novel ACN bersekolah di SMA Chasseloup-Laubat di Saigon. Sekolah ini milik pemerintah Prancis yang dilengkapi dengan asrama perempuan Lyautey di Vinh-Long dan dikhususkan bagi bangsa kulit putih yang tinggal di Indocina. Dia dapat bersekolah di tempat tersebut karena almarhum ayahnya adalah seorang kulit putih dan ibunya seorang pengajar SD untuk pribumi (hal. 180). Situasi ini memperlihatkan adanya upaya pembatasan untuk menghindari pembauran antara orang-orang Barat (Prancis) dari masyarakat lokal, dan di saat yang sama, sebagian orang Prancis juga ditugasi untuk memberi pendidikan ala Barat pada masyarakat lokal. Konsensus pun dapat dicapai dalam kondisi

win-win solution ini, semua pihak merasa diuntungkan sehingga hegemoni yang terjadi tidak dirasa memberatkan salah satu pihak.

Laki-laki Cina, kekasih gadis Prancis, menunjukkan bahwa sekalipun dirinya adalah orang Timur, dia telah mengenyam pendidikan dari Barat yang berarti dianggap memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding orang Indocina lainnya. Karena kelebihannya itulah, tokoh laki-laki Cina itu merasa percaya diri untuk mendekati gadis Prancis yang disukainya.

- Kamu belajar itu semua dari mana?

(12)

Keyakinan tokoh laki-laki Cina itu pada sistem pendidikan Barat yang telah diterimanya menunjukkan adanya sikap menyetujui tanpa paksaan, sesuai pandangan Gramsci bahwa hegemoni dicapai bukan melalui manipulasi atau indoktrinasi langsung, tetapi berdasarkan penalaran masyarakat.

Selain bahasa dan pendidikan, dominasi kolonial di wilayah yang dikuasai juga ditunjukkan dalam aspek budaya lain seperti struktur bangunan serta peralatan yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akibat pembiasaan, masyarakat Indocina yang terhegemoni pun menganggap biasa keberadaan budaya Barat di ruang hidup mereka. Dalam novel ACN, misalnya kondisi tersebut diperlihatkan melalui sitasi di bawah ini.

Itu adalah sebuah kamar tidur kolonial. Remang-remang. Tanpa meja di sisi ranjang. Hanya ada sebuah bola lampu di plafon. Barang-barang mebel berupa sebuah ranjang besar yang terbuat dari besi untuk dua orang, sangat tinggi dan sebuah lemari kaca. Ranjangnya bernuansa kolonial, dicat vernis hitam, dihiasi dengan bola-bola tembaga di keempat sudutnya yang keseluruhan berwarna hitam. Dapat dikatakan seperti sebuah kandang. Ranjangnya tertutup kelambu berwarna putih salju, menjuntai hingga ke tanah. Tanpa bantal namun dengan beberapa guling yang keras yang berisi rambut binatang. Tanpa sprei di atasnya. Kaki-kaki ranjang dari besi tempa dalam tempat berisi air dan hujan es yang digunakan untuk melindungi diri dari malapetaka koloni, yaitu nyamuk-nyamuk saat malam di daerah tropis (hal.23).

(13)

Melintasi daerah ini. Dua atau tiga tempat untuk mengenal daerah ini: Gedung Pertunjukan Charner, Katedral, Bioskop Éden, sebuah restoran Cina khusus untuk orang kulit putih, Continental, hotel tercantik yang ada di dunia (hal. 99).

Dalam perjalanannya dari sekolah di Saigon menuju ke flat sang kekasih di Cholen, gadis Prancis melintasi beberapa tempat yang dibangun dengan gaya arsitektur Barat, mencerminkan selera Barat, seperti Gedung Pertunjukan Charner dan Bioskop Éden yang menampilkan pentas seni dan memutar film-film karya Barat. Selain itu ada Katedral yang mencerminkan religiusitas bangsa Barat di daerah koloni, karena mayoritas bangsa Barat beragama Katolik. Ada pula sebuah hotel yang luar biasa megah, yang digambarkan oleh narator sebagai hotel tercantik yang ada di dunia. Semua hal tersebut mengangkat ide kolonial Prancis yang direalisasikan di tanah jajahan. Sebuah restoran Cina pun dibangun dan dikhususkan bagi masyarakat kulit putih. Dengan klasifikasi ini terungkap adanya hegemoni kelas pasar atau tingkatan konsumen dari restoran tersebut. Penamaan tempat umum di daerah koloni dengan nama-nama tokoh Prancis juga merupakan suatu bentuk hegemoni dan kebanggaan bangsa penjajah atas prestasi penguasaan wilayah dan masyarakat yang telah dilakukan. Hal tersebut merupakan penanda bahwa tempat tersebut telah mereka kuasai dan memperkuat jejak keberadaan mereka.

Harsojo (1986:198) menyatakan bahwa sistem kemasyarakatan merupakan organisasi sosial, yaitu salah satu aspek budaya yang mengatur penyusunan manusia dalam berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat. Dalam novel ACN, sebagai bagian dari organisasi sosial masyarakat Barat di daerah koloni, kehidupan ibu gadis Prancis mencerminkan hegemoni. Dengan berprofesi sebagai guru di Sadec, ia hidup miskin bersama anak-anaknya. Ada ambiguitas yang tercermin dalam situasi dirinya sebagai orang kulit putih, memiliki pekerjaan terhormat, tapi tanpa harta.

(14)

Dia bercerita padaku: gadis itu adalah putri seorang direktur di Sekolah Dasar. Ia memiliki dua orang saudara laki-laki. Mereka sangat miskin. Ibunya telah bangkrut (hal. 75).

[…] Kita tidak pernah melihat orang-orang kulit putih sejak beberapa tahun terakhir ini. Orang-orang kulit putih, mereka merasa malu pada kita (hal. 101).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa ibu gadis Prancis mengalami patah semangat karena kebangkrutan yang dialaminya sepeninggal sang suami, sehingga orang-orang kulit putih merasa enggan bergaul dengan keluarga gadis Prancis itu. Ada kritik yang diungkapkan pengarang, bahwa sebuah keluarga Prancis yang hidup miskin di tanah jajahan tidak dijamin kesejahteraan hidup warga negaranya. Selain itu, warga Prancis lain yang ada di Indocina tidak mau mengenal apalagi membantu mereka. Kemiskinan keluarga itu membuat kelas sosial mereka menurun. Dampak dari kolonialisme ternyata tidak hanya dialami oleh bangsa terjajah, namun juga bangsa penjajah.

Pengaruh hegemoni karena penurunan kelas sosial ini tidak hanya dialami sang ibu tapi juga putrinya, si gadis Prancis yang dikucilkan teman-teman sekolah, terlebih karena ia bergaul dan berpacaran dengan laki-laki Cina. Hal tersebut ditunjukkan kutipan berikut:

Gadis itu mengatakan kepadanya kekasihnya tentang isolasi sehingga ia menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Dia pun tertawa:

- Aku dan teman-teman tidak saling bicara di sekolah karenamu. - Itu kan ide yang kamu buat sendiri.

- Tidak. Ada juga beberapa keluhan dari ibu guru dan wali murid.

Laki-laki itu tertawa dengannya. Dia bertanya apa dia gadis itu takut dengan kehidupan di sekitar ini. (hal. 118).

(15)

antara seorang penjajah dan terjajah. Selain kelas, perbedaan ras dan situasi ekonomi juga berpengaruh pada terlarangnya hubungan mereka, seperti tampak dalam sitasi berikut ini:

- Itulah sebabnya dia ditolak, ayahmu tidak ingin ada pernikahan? Laki-laki Cina itu melihat pada kakak laki-laki gadis Prancis dalam keheningan dan tersenyum:

- Tidak hanya itu saja. Karena dia bukan Cina. Sang ibu menambahkan:

- Dan dia miskin ... (hal. 133)

Bila pihak keluarga perempuan menolak hubungan itu karena mereka berbeda ras, keluarga laki-laki Cina menolak hibriditas terjadi karena perbedaan ras dan situasi ekonomi. Selamanya akan selalu demikian. Keyakinan mengenai superioritas Barat atas Timur menggambarkan keberhasilan ditanamkannya struktur intelektual dan filsafat yang mendorong terjadinya penjajahan. Kekuasaan penjajah tidak hanya membangun hubungan yang berpengaruh pada kelompok-kelompok sosial saja, namun juga membangun suatu prestise tersendiri. Prestise memiliki arti penting dalam praktek pelaksanaan penjajahan secara efektif dan yang berimbas pada kehidupan sosial masyarakat.

Adanya situasi sosial berlapis yang diciptakan Barat berakibat pada isolasi yang diterima gadis Prancis itu disebabkan oleh hubungannya dengan laki-laki Cina, seperti yang dijelaskan dalam sitasi berikut ini:

Laki-laki itu tersenyum bersamanya. Dia bertanya mengapa gadis itu takut pada lingkungan sosial tersebut. Gadis Prancis itu pun berujar: - Penyakit sifilis. Wabah pes. Kudis. Kolera. Bangsa Cina.

- Mengapa orang Cina?

- Mereka (orang-orang Cina) bukan kolonial Cina, mereka berada di sini seperti mereka di Amerika, mereka melakukan perjalanan. Kita tidak bisa menangkap mereka untuk menjajah, kami juga menyesal. (hal. 119)

(16)

dengan orang Cina, mereka menganggap bahwa orang Barat lebih tinggi kedudukan dibanding orang Timur. Penyakit-penyakit yang merebak pada tahun 1930-an seperti sipilis, pes, kudis, kolera, juga menimbulkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat masa kolonial. Ketika gadis Prancis menyebutkan

des Chinois ‘orang-orang Cina’ sebagai salah satu penyebab ketakukan mereka, tanpa sadar ia mensejajarkan bangsa itu ke dalam golongan penyakit yang mengerikan. Hal ini menunjukkan adanya hegemoni tentang bangsa Timur yang telah tertanam dalam benak bangsa Barat, yang disebut Orientalisme. Bangsa Barat memandang des Chinois sebagai suatu masyarakat yang harus dihindari, terlebih karena kedudukan orang Cina di Vietnam sebagai pendatang yang tidak dapat dipercaya.

Menurut Said (2004:8), dunia Timur dengan mudahnya dilihat sebagai masyarakat yang korup, mistis, bodoh, eksotis, dan penuh dengan gambaran-gambaran negatif, yang pada saat itu memperbesar kontruksi gambaran kebesaran kekuasaan Barat, terutama Prancis. Bangsa Barat beranggapan bahwa segala sumber penyakit dan hal buruk bersumber dari Timur. Masyarakat Timur dianggap bodoh karena minimnya pengetahuan masyarakat dan kepercayaan mereka pada tahyul, sehingga wabah pes semakin menyebar dan menyerang pribumi karena kawasan pemukiman tempat tinggal mereka kumuh dan kotor.

(17)

tidak banyak berinteraksi dengan komunitas di luar wangsa, termasuk bangsa Barat.

PENUTUP

Berdasarkan hasil analisis resepsi sastra terhadap responden pembaca novel ACN, didapatkan informasi bahwa cerita dalam novel romantis tersebut dapat dipahami dengan baik oleh pembaca dan memuat tema yang menarik. Kisah cinta di antara tokoh utama, gadis Prancis dengan kekasihnya, laki-laki Cina, tidak dapat berjalan dengan baik karena adanya berbagai hambatan berkaitan dengan hegemoni dalam masyarakat Indocina dan masyarakat kulit putih. Perbedaan budaya, ras, kelas sosial, dan juga usia di antara pasangan tersebut menjadi kendala yang menghalangi kelanjutan hubungan mereka. Namun tidak ada perlawanan berarti yang dilakukan keduanya karena mereka menyadari keharusan untuk tunduk pada norma.

Dalam pengertian Gramscian, hegemoni di antara satu kelompok atas kelompok-kelompok lainnya bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan bersama yang disepakati dan diinternalisasi oleh seluruh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Djokosujatno, A., Zaimar, O. K. S., & Indonesiatera. (2003). Wanita dalam kesusastraan Prancis. Magelang: Indonesiatera.

Duras, M. (1991). L'Amant de la Chine du Nord. Paris: Gallimard. Duras, M. (2004). The Lover (S. Ferniati, Trans.). Bandung: Jalasutra.

Femia, J. (1983). Gramsci's Patrimony. British Journal of Political Science, 13(3), 327-364.

Harsojo. (1986). Pengantar Antropologi. Jakarta: Binacitra.

Heryanto, A. (1997). Hegemoni Kekuasaan Versi Gramsci. Forum Keadilan, II(6).

(18)

Pradopo, R. D. (2007). Prinsip-prinsip kritik sastra : teori dan penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ritzer, G. D. J. G. (2011). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.

Said, E. W. (2004). Orientalism. New York: Vintage Books.

Sugiono, M. (1999). Kritik Antonio Gramsci terhadap pembangunan dunia ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Vircondelet, A. (1994). Duras : a biography. from

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitiannya yang diberi judul Identifikasi Faktor-faktor Dominan yang Membedakan Pertimbangan Kelompok-kelompok Calon Mahasiswa Baru dalam Memilih Perguruan Tinggi

Pada beberapa kondisi, seperti Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOK) dan penyakit tuberkulosis, dapat menyebabkan karsinogenesis dengan membentuk daerah

Pada algoritma klasifikasi yang standar, umumnya model basis pengetahuan dihasilkan dari algoritma model (algoritma pelatihan), yang memiliki kelemahan yaitu data

Rinciannya mencakup perbandingan antara bahasa al-Quran dengan bahasa Sunda, Perbandingan antara bahasa al-Quran dengan bahasa Sunda; kosa kata al-Quran yang sering muncul

Menurut Arends (1997:39) jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif, dengan siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang secara heterogen dan

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini mengenai tingkat pendapatan petani padi organik pada berbagai status kepemilikan lahan, tingkat risiko usahatani

Pada Masa Sidang I Tahun Sidang 2011-2012, Dewan sedang dalam proses pembahasan atas RUU APBN Tahun Anggaran 2012 dan Nota Keuangannya yang telah disampaikan