• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASAP BENCANA ALAM ATAU TIDAK Asap Sebaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASAP BENCANA ALAM ATAU TIDAK Asap Sebaga"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ASAP, BENCANA ALAM ATAU TIDAK :

Asap Sebagai ATHG Terhadap Ketahanan Regional dan Nasional

Edison Guntur Aritonang

Mahasiswa PKN 35

NPM 1506783703

[email protected]

Abstraksi

Fenomena asap yang sedang sedang terjadi mulai dari akhir Agustus 2015 sampai saat ini telah menimbulkan dampak yang tidak baik bagi kesehatan warga terdampak dan mengganggu beberapa sektor ekonomi dengan adanya penutupan bandara hingga 2 sampai 3 hari dalam seminggu. Selain itu, aspek pendidikan juga terganggu dengan adanya keputusan untuk meliburkan sekolah di luar hari libur nasional.

Permasalahan ini diangkat terus di berbagai media masa, baik media televisi, cetak dan online secara rutin dan menjadi topik utama. Bahkan beberapa acara talk show seperti Indonesia Lawyers Club – TV One, Mata Najwa – Metro TV yang sering mengangkat isu nasional dengan rating prioritas utama, mengupas dengan melibatkan beberapa pihak terkait, mulai dari pihak pemerintah pusat dan daerah (eksekutif), anggota DPR (legislatif), pemerhati lingkungan dari beberapa NGO seperti WALHI, bahkan mantan pelaku atau aktor pembakar lahan itu sendiri.

Penulis dalam konteks mempelajari teori ketahanan nasional, mencoba melakukan analisa mulai dari bentuk fenomena sampai analisa masalah dengan pendekatan metode kepner-tragoe dan metode analisa hirarki proses. Penulis memiliki banyak keterbatasan dalam pemahaman tentang metode penghitungan derajat ketahanan nasional, khususnya dalam penentuan jenis variabel yang menjadi kriteria dan penetapan bobot atas kriteria yang diperoleh, seharusnya bobot tersebut didapat dari para pakar. Sebagai esai, penulis mencoba melakukan proses belajar dalam pengenalan konsep ketahanan nasional dalam uraian masalah dari fenomena berdasarkan himpunan data yang diperoleh secara online.

Kata Kunci : asap, ahp, keuletan, ketangguhan, ketahanan nasional.

A.

PENDAHULUAN

Sejak Agustus 2015, asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan sudah mulai melanda beberapa wilayah di Propinsi Riau, Jambi , Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Pada September 2015, kepekatan asap yang ada di wilayah tersebut sudah mulai mengganggu kehidupan sosial masyarakat sekitar, karena sudah mengganggu jarak pandang yang mengakibatkan adanya penutupan bandara penerbangan menuju dan dari wilayah tersebut, sekolah yang diliburkan, terjangkitnya banyak penderita ISPA, dan mulainya

terganggu kehidupan ekonomi masyarakat karena asap sudah mengganggu jarak pandang. Kondisi tersebut masih berlangsung sampai hari ini walau tidak tiap hari karena jika diselingi turunnya hujan, maka pengaruh buruk asap hilang dengan seketika.

Bagaimana peran negara? Negara sebagai pemilik otoritas tertinggi dalam kehidupan berbangsa, telah melakukan upaya penyelesaian masalah melalui organ (kementerian dan lembaga) terkait, namun masalah tersebut tidak terselesaikan secara tuntas,

(2)

Kondisi faktual yang lebih memilukan lagi, pemerintah membutuhkan bantuan dari negara lain karena asap tersebut sampai ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Masyarakat Singapura melalui Pemerintah Singapura meminta pertanggungjawaban kepada Pemerintah Indonesia, minta ganti rugi. [1] Namun Pemerintah

Indonesia menyatakan tidak akan memberikan kompensasi tersebut, hanya sebatas permintaan maaf. Bantuan yang ditunggu dari negara lain seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Rusia dapat dijadikan salah satu indikator bahwa kita kurang tangguh dan ulet dalam menyelesaikan ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan (ATHG) yang datangnya dari dalam. Kondisi ini tentu ada pengaruhnya dengan derajat ketahanan regional dan ketahanan nasional.

Bagaimana alur pikir, alur sikap dan alur tindak dalam menyelesaikan pengaruh asap ini, penulis mencoba melakukan kajian dengan pendekatan Kepner dalam mencari tahu akar masalah dan pendekatan Sunardi dalam melihat keterkaitannya dengan derajat ketahanan regional dan ketahanan nasional.

Kajian yang akan dilakukan dimulai dari identifikasi masalah melalui analisa situasi dan analisa permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan analisa data dan fakta, analisa aktor terkait dan terdampak, analisa akar masalah untuk mendapatkan bentuk pemetaan permasalahan sehingga dapat dilihat pengaruh terhadap ketahanan regional dan ketahanan nasional. Alur sikap dan alur tindak, akan dituangkan dalam bentuk kesimpulan dan saran pada tulisan ini.

1BBC Indonesia(Singapura marah karena asap, RI tak beri

kompensasi, 28 September 2015,

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/ 150927_indonesia_asap_singapura)

Gambar 1. Alur Pikir Pemetaan Masalah Asap

B.

IDENTIFIKASI MASALAH

Berikut ini adalah situasi masalah dampak asap yang terjadi sebagai salah satu isu nasional karena menjadi topik di berbagai media cetak, televisi dan media sosial, yaitu sebagai berikut :

1. Tingkat kepekatan asap di beberapa wilayah Propinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sudah menggangu kesehatan karena menyebabkan meningkatnya penderita ISPA dan masyarakat membutuhkan masker dalam melakukan kegiatan sehari-harinya.

2. Asap yang dihembuskan sampai ke wilayah sekitar di luar propinsi terdampak langsung, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Kalimantan Timur, bahkan sampai ke negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura. 3. Penyelesaian masalah belum tuntas, sudah dua

bulan lebih, titik api dan asap masih ada dan tetap berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat sekitar.

4. Adanya penutupan bandara dan delay penerbangan dengan frekuensi yang cukup tinggi dari dan ke wilayah tersebut yang memiliki titik api tersebut dan libur sekolah di luar jadwal libur nasional karena pengaruh kepekatan asap yang berdampak negatif terhadap kesehatan siswa/ pelajar.

(3)

6. Adanya polemik dan sikap “saling tuduh” dan curiga, Masyarakat – NGO – Pemerintah Kabupaten/ Kota – Pemerintah Propinsi – Pemerintah Pusat, siapa yang bertanggun jawab

dan bagaimana meminta

pertanggungjawaban.

7. Pemerintah Indonesia membutuhkan bantuan dari negara lain untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di dalam negeri.

Dari gambaran situasi yang terjadi tersebut, semua situasi tersebut muncul karena adanya asap dengan tingkat kepekatan yang mengganggu kesehatan dan jarak pandang. Implikasi dari asap ini sudah berpengaruh langsung pada aspek kehidupan sosial, aspek ekonomi, aspek pendidikan, bahkan aspek politik pada kawasan daerah sumber titik api.

Jika dilihat kejadian asap ini sudah lama berlangsung, pada tahun 1997, kebakaran hutan tersebut sudah terjadi hingga menimbulkan taksiran kerugian ekonomi sekitar Rp 711 Triliun. [2] Badan

Perencanaan Pembanggunan Nasional bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan jumlah lahan yang terdampak akibat kebakaran mencapai 9,75 juta hektrare. Ciri dari masalah ini selalu muncul pada musim kemarau, dan akan diperparah lagi ketika fenomena El Nino berlangsung.

Hal pokok yang penting untuk dipertanyakan adalah kebakaran hutan dan dampak asap yang ditimbulkannya apakah termasuk bencana alam atau tidak? Jika ya, apa dasarnya dan bagaimana menyelesaikannya secara tuntas dengan seluruh kekuatan yang dimiliki oleh negara. Jika tidak, bagaimana menyelesaikannya dan melakukan supremasi hukum yang tepat, apa dan siapa yang menjadi sumber masalah.

2BBC Indonesia(Kebakaran hutan dan lahan Indonesia

bisa samai insiden 1997, 2 Oktober 2015,

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/ 151002_indonesia_asap_rekor)

C.

ANALISA DATA DAN FAKTA

Kejadian asap ini selalu terjadi pada musim kemarau hampir setiap tahun. Sejak tahun 1997 sebagai awal puncak dan berdampak hebat dan menimbulkan perkiraan kerugian sebesar Rp 711 Triliun menurut Bappenas dan ADB.

Riau 15 Bengkalis(1), INHU(4), Kampar(5), Kuansing(3), Pelalawan(1), Rohul(1)

Jambi 18

Batanghari (2), Bungo (1), Merangin(1), Muaro Jambi(4), Soralangun(1), Tanjung Jabung Barat(1), Tanjung Jabung Timur(2), Tebo(6)

Sumatera Selatan 32

Banyuasin(1), Lahat(2), Muara Enim(5), Musi Banyuasin(8), Ogan Ilir(4), Oki(5), Oku Timur(1), Pali(1)

Bangka Belitung 4

Sumatera Barat 6

Sumatera Utara 2

Kalimantan Barat 1 Kubu Raya

Kalimantan Timur 2 Katingan(1), Kotawaringin Barat(1)

Jawa Barat 2

Jawa Tengah 1

T O T A L 83

Tabel 2. Daftar Titik Api Per 30 Juli 2015

[3] Jumlah titik api (hot spot) per tanggal 30 Juli 2015

adalah 83 titik. Sedangkan jumlah hot spot dari tanggal 1 Januari 2015 s.d 30 Juli 2015 adalah 5.284 titik dan jumlah dari 1 Januari 2014 s.d 30 Juli 2014 adalah 12.068 titik. Terjadi penurunan sebesar 57%.

Jika dilihat dari prosentase titik hot spot, 85% daerah yang memiliki titik api adalah daerah yang memiliki kawasan perkebunan, baik perkebunan sawit, karet, dan sebagian juga hutan tanaman industri (Sumatera Utara 3%, Riau 18%, Jambi 22%, Sumatera Selatan 39%, Kalimantan Barat 2% dan Kalimantan Tengah 1%). Dari data tersebut, dapat dikategorikan ada tiga jenis sumber titik api, kebakaran pada lahan perkebunan (sawit/karet), kebakaran kawasan hutan tanaman industri, dan kebakaran

3Kementerian Kehutanan(Pantuan Hostspot dan Upaya

(4)

hutan lindung atau hutan non kawasan hutan tanaman industri dan non perkebunan.

Gambar 2. Komposisi Propinsi sebagai Sumber Titik Api per 30 Juli 2015 sebagai sumber penyebaran asap pada K3 dan tiga kali dari pada K2, dan kontribusi K2 sebanyak dua kali K3, maka didapat bentuk matriksnya seperti di bawah ini.

K1 K2 K3

K1 1 3 7

K2 1/3 1 2

K3 1/7 1/2 1

Tabel 2. Matriks Sumber Kriteria Sumber Titik Api

K1 K2 K3

K1 1 3 7

K2 0,333 1 2 K3 0,143 0,500 1

Tabel 3. Maktriks Hasil Normalisasi Kriteria Sumber Titik Api

Maka diperoel CI (Consistency Index) sebesar 0,0021 dan dengan N (jumlah kriteria) adalah 3, mengacu

ke RI adalah 0,58 berdasarkan tabel Indeks Random Konsistensi Satii, maka didapat CR (Concistency Ratio) sebesar 0,0035 yang berarti besar dari pada 0,1. CR sebesar 0,0035 ini menandakan bahwa kriteria tersebut bersifat konsisten.

Eigen vektor yang didapat adalah 0,681 sebagai bobot dari K1; 0,216 sebagai bobot K2; dan 0,103 sebagai bobot dari K3. Berdasarkan eigen vektor ini, bisa dikatakan 3.600 hot spot yang ada sejak 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juli 2015, bersumber dari lahan perkebunan (0,681 x 5.284), 1.142 bersumber dari kawasan hutan tanaman industri, dan 542 dari kategori non kebun dan non kawasan hutan tanaman industri.

[4] Jika dilihat dari Non Government Organization

(NGO) yang melakukan kajian khusus mengenai potensi kebakaran lahan dan hutan kawasan, yaitu : World Resources Institute, melakukan penelitian dan menemukan bahwa komposisi dari sektor industri yang menyumbankan asap akibat pembakaran lahan, terdapat 48% dari sumber di luar konsesi, 27% dari timber plantation (penanaman kembali – plantation karet), 20% dari oil palm (lahan industri sawit), 4% dari kawasan hutan lindung, dan 1 % dari kejahatan penebangan kayu ilegal.

Gambar 3. Komposisi Sektor Industri sebagai Sumber Titik Api sebagai sumber penyebaran asap Tahun 2013 di Propinsi Riau

(5)

Sedangkan pendataan terhadap lahan-lahan perusahaan yang menjadi titik api tersebut dilakukan

terhadap 15 perusahaan terbesar “penyumbang titik

api” sektor industri kelapa sawit di Propinsi Riau, pada Tahun 2013, terdapat 738 titik hot spot.

Gambar 4. Daftar Lahan Perusahaan sebagai Sumber Titik Api sebagai sumber penyebaran asap Tahun 2013 di Propinsi Riau

Sedangkan untuk sektor industri dengan pemanfaatan kawasan hutan tanaman industri dan lahan di Propinsi Riau pada tahun 2013 yang sedang melakukan replantation, juga menyumbangkan titik api yang signifikan, sebanyak 1.182 hot spot.

Gambar 5. Daftar Lahan Perusahaan yang sedang replantation sebagai Sumber Titik Api sebagai sumber penyebaran asap Tahun

2013 di Propinsi Riau

Sedangkan sebaran asap akibat dari hot spot tersebut diatas yang terjadi pada tahun 2013, dapat dilihat pada gambar di bawah ini dengan sebaran

terjauh sampai ke negara tetangga, yaitu Malaysia dan Singapura.

Gambar 6. Peta Sebaran Hot Spot dan Asap Tahun 2013 yang terjadi di Propinsi Riau

Jika dilihat dari data dan fakta yang terjadi, kebakaran lahan dan hutan ini memiliki ciri sebagai berikut :

1. Terjadi secara rutin, setiap tahun pada musim kemarau, sejak 1997 sampai dengan 2015. 2. Memiliki sumber titik api pada kawasan lahan

perkebunan dan hutan tanaman industri secara dominan dengan eigen vektor 68,14% akibat kebakaran pada industri perkebunan (sawit dan karet) dan 21,60% akibat kebakaran pada kawasan hutan tanaman industri dengan tingkat Consistency Ratio 0,35%.

(6)

[5] Berdasarkan data yang dihimpun dan

dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, terdapat luas lahan sawit 10.956.231 hektar dengan sebaran seperti pada tabel di bawah ini, berdasarkan data tahun 2014.

Gambar 5. Sebaran Kelapa Sawit Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2014

Jika di Propinsi Riau saja terdapat sekitar 2.296.849 hektar lahan kelapa sawit, dengan siklus penanaman kembali (replantation), maka rata-rata tiap tahun terdapat 91.874 hektar lahan akan dilakukan replantation. Proses tersebut memerlukan tahap land clearing (pembersihan lahan). Proses land clearing ini sering menjadi sumber titik api (hot spot). Propinsi Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Jambi sudah melakukan industrialisasi kelapa sawit ini dari tahun 1980-an dan dilakukan secara besar-besaran pada tahun 1990-an. Sedangkan Propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mulai marak pada tahun 2000-an. Saat ini sedang berjalan secara masif di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Hal ini menjadi potensi masalah yang berulang.

Sedangkan pada sektor industri dengan pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah memiliki siklus panen secara berkala dan proses

5Kemtan(Ditjen Perkebunan,

http://ditjenbun.pertanian.go.id/berita-362-pertumbuhan-areal-kelapa-sawit-meningkat.html)

replantation dengan periode antara 5 s.d 10 tahunan. Jika tidak ada pengawasan secara ketat, hal ini juga memiliki potensi masalah yang berulang.

D.

ANALISA AKTOR TERKAIT DAN TERDAMPAK

Aktor terkait berdasarkan analisa data dan fakta adalah dunia industri baik dalam pengolahan lahan perkebunan dan HTI. Berdasarkan metode analisa hirarki proses, didapat eigen vektor untuk dua kriteria penyebab asap dari titik api lahan perkebunan dan HTI sebesar 68,14% dan 21,60%. Tentu yang menjadi pertanyaan apa yang menjadi alasan mereka melakukan atau membiarkan proses kebakaran tersebut terjadi? Akibat dari proses kebakaran lahan dan hutan tersebut menimbulkan dampak asap dengan tingkat kepekatan yang berdampak tidak pada kesehatan manusia, siapa yang mendapat dampak secara langsung dan tidak langsung.

Sedangkan aktor terdampak adalah Kepala daerah Tingkat Kabupaten/Kota, Kepala Daerah Tingkat Propinsi dan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Kesehatan dan Presiden.

Untuk itu, pertanyaan awal pada bagian pendahuluan dan judul tulisan ini, dari pemaparan data dan fakta, bahwa dapat disimpulkan bahwa asap bukanlah bencana alam, karena merupakan hasil rekayasa perbuatan manusia secara dominan dilakukan dengan kesengajaan dan terjadi secara berulang. Mengapa hal tersebut dipertanyakan dan diangkat sebagai bagan judul, karena aktor terkait akan memiliki legitimasi kuat lepas dari penindakan secara hukum [6].

Pertanyaan selanjutnya, kenapa masalah ini bisa terjadi secara berulang-ulang dan bagaiman proses penerbitan dan pencabutan izin pengelolaan kawasan perkebunan dan kawasan hutan tanaman industrinya. Apakah ada aktor lain yang terkait atau

6Kompas Online(Ini Alasan Pemerintah Tak Tetapkan

Musibah Asap sebagai Bencana Nasional,

(7)

fenomena lain sehingga kejadian kebakaran ini seperti seolah-olah terbiarkan dan menjadi agenda tahunan yang memposisikan negara pada posisi sulit dalam penanggulangannya. Negara diposisikan sebagai lembaga yang tidak berdaya dalam melakukan supremasi hukum jika memang itu bukan bencana nasional. Untuk itu, analisa dilakukan secara runtut mulai dari motif aktor terkait sebagai pemilik lahan atau kawasan asal titik api sampai dengan alasan pemerintah tidak menetapkannya sebagai bencana nasional, meskipun sudah sangat menggangu tatanan hidup sosial dan ekonomi masyarakat sekitar wilayah dan harga diri bangsa. Tentu pemerintah memiliki alasan kuat atas alasan yang disampaikan ke publik.

Jika dilihat dari aspek ekonomi, proses pembukaan lahan sawit baru dengan cara melakukan pembakaran hanya memerlukan biaya sekitar Rp 600.000,- s.d Rp 800.000,- per hektar, sedangkan jika dilakukan dengan menggunakan alat berat, proses tersebut memerlukan biaya sekitar Rp 3.400.000,- per hektar [7]. Proses tersebut diatas adalah proses

pembukaan lahan kebun yang melakukan alih fungsi dari kawasan hutan oleh kelompok masyarakat.

Sedangkan perusahaan yang melakukan proses replanting pada tahap land clearing (pembersihan lahan) hanya memerlukan Rp 200.000,-per hektar dengan cara membakar dan Rp 5.000.000,- sampai dengan Rp 15.000.000,- jika menggunakan alat berat. Untuk perusahaan yang memiliki lahan diatas 2.000 sampai dengan 10.000 hektar, tentu selisih ini menjadi pertimbangan efesiensi yang cukup signifikan perbedaannya. Untuk lahan 1.000 hektar, dengan melakukan cara pembakaran hanya memerlukan biaya Rp 200.000.000,- sedangkan menggunakan alat berat memerlukan biaya Rp 5.000.000.000,- dengan range paling bawah. Memang tidak setiap tahun perusahaan melakukan replanting, namun akan ada rata-rata perusahaan

7CNN Indonesia(BNPB Bongkar Motif dan Modus

Kebakaran Hutan dan Lahan,

http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150729182700- 20-68935/bnpb-bongkar-motif-dan-modus-kebakaran-hutan-dan-lahan/)

yang melakukan replanting sekitar 400.000-an hektar untuk luasan lahan sawit yang terdata di tahun 2014 seluas 10.956.231 hektar di Indonesia dengan masa siklus tanam 25 tahun.

Proses pembukaan lahan kebun ini sering menjadi masalah, baik yang dimulai dari perkebunan masyarakat dengan luasan maksimal 2 hektar sampai dengan pembukaan lahan kebun oleh perusahaan. Beberapa kepala daerah menjadi terdakwa dengan sangkutan masalah hukum terkait izin hak pengelolaan hutan (HPH) dan izin perkebunan. [8] Mulai dari Bupati Pelalawan Propinsi

Riau, Tengku Asmun Ja’afar, Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan perijinan dalam penerbitan IUP HHK-HT/IPK tahun 2001 sd 2006 di wilayah Kabupaten Pelalawan kepada sejumlah perusahaan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kemudian diikuti dengan Mantan Bupati Siak – Propinsi Riau, Arwin AS, terkait penerbitan ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman tahun 2001 sampai dengan 2003 di wilayah kabupaten Siak kepada sejumlah perusahaan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara dan atau menerima hadiah berkaitan dengan kekayaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya. Sampai dengan Gubernur Riau berturut-turut, yaitu Rusli Zainal dan Gubernur Riau terpilih setelahnya Annas

Ma’amun dengan masalah terkait izin alih fungsi

hutan juga.

Permasalahan ini sebenarnya bagian dari transisi illegal loging yang sempat terbiarkan pada masa otoriter pemerintahan Presiden Soeharto, transisi dari pengolahan hutan hanya sebatas pemanfaatan kayu saja sampai mengalami transformasi pengalihan fungsi hutan sebagai lahan perkebunan pasca otoritarian Presiden Soeharto. Jika ditarik dari aspek perizinan, maka dapat disimpulkan proses keluarnya perizinan tidak lepas dari aktor kepala daerah, baik Kepala Daerah pada tingkat

8Detik Online(Selama 11 Tahun, Ada 56 Kepala Daerah

yang Terjerat Kasus Korupsi di KPK,

(8)

Kabupaten/Kota maupun tingkat Kepala Daerah Propinsi. Salah satu faktor penentu adalah kepala daerah yang dapat dijadikan salah satu kriteria sebagai aktor pendukung terjadinya kebakaran lahan dan hutan, baik sebagai fungsi pemegang izin prinsip maupun pengawasan dalam kewenangannya untuk mencabut izin tersebut.

Selain itu, suatu daerah atau kawasan dapat dikatakan dalam status darurat bencana, ada pada kewenangan Pemerintah Daerah Propinsi, sehingga konflik sosial yang terjadi di kawasan terdampak asap atas situasi yang terjadi saat ini, sehingga Pemerintah Pusat tidak dapat menggunakan seluruh resource-nya untuk melakukan penanggulangan secara all-out, kecuali permasalahan tersebut menjadi bencana nasional, sehingga anggaran untuk penanggulangan bencan yang bersifat on-call tersebut dapat digunakan, jika tidak maka pemerintah pusat melalui kementerian atau lembaga terkait berada pada posisi yang salah dalam aturan penggunaan anggaran. Posisi dilema ini membuat posisi serba tanggung, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam hal ini Pemerintahan Tingkat Kabupaten/Kota, karena dapat dipersalahkan dalam penggunaan anggaran penanganan bencana tersebut.

E.

ANALISA AKAR MASALAH

Masalah-masalah yang ditimbulkan sebagai dampak dari kepekatan asap tersebut disebabkan oleh adanya titik api. Jika menggunakan pendekatan metode Kepner-Tragoe, maka dapat dibuatkan suatu model analisa akar masalah tersebut, yaitu seperti pada gambar dibawah ini.

Ada beberapa hal yang menjadi faktor utama dari masalah dampak kabut asap tersebut, yaitu adanya titik api, adanya musim kemarau dan arah angin yang tidak bisa diatur kemana arah pergerakannya. Untuk musim kemarau, dengan tidak kunjung turunnya hujan, maka dampak permasalahan semakin parah, namun jika hujan turun maka dampak akan hilang seketika. Permasalahan yang sedang terjadi pada arah berjalannya musim kemarau yang ditandai dengan kekeringan panjang

dan hujan yang tidak kunjung datang, menjadi faktor penunjang terjadinya dampak asap atas adanya titik api. Sedangkan faktor titik api, memiliki akar masalah adanya pembakaran lahan atau kawasan hutan yang dilakukan oleh korporasi ataupun bukan korporasi dengan motif efesiensi menjadi faktor utama munculnya asap. Selain itu, pembakaran kawasan hutan sebagai modus untuk mendapatkan legitimasi pengelolaan kawasan hutan melalui proses alih fungsi, yang dominan tujuan akhirnya adalah sebagai lahan perekebunan, menambah keberadaan dari titik api tersebut. Hal ini juga didukung oleh jenis tanah pada kawasan tersebut berupa gambut, ketika kondisi kering memang sulit untuk dipadamkan dan jika sudah terbakar maka bukan hanya lapisan atas saja yang terbakar, tetapi lapisan pembentuk tanah juga cenderung menyimpan panas dan siap untuk terbakar juga. Tentu faktor pengawasan yang lemah menjadi maraknya praktek pembakaran ini, mengingat lokasi kawasan lahan dan hutan berada jauh dari keramaian penduduk atau aktivitas para penegak hukum.

Gambar 7. Model Fish-Bone atas Akar Masalah Dampak Asap

F.

PEMETAAN MASALAH

(9)

dibanding dengan penyelesaian implikasi dampak kabut asap. Ada beberapa faktor yang tidak bisa dikendalikan seperti arah angin dan adanya musim kemarau. Hal tersebut menjadi variabel terikat. Variabel bebas dari akar masalah ini adalah pengawasan yang lemah, adanya praktek pembakaran lahan atau hutan dengan motif efesiensi dan jenis tanah gambut.

Jika musim hujan datang dan hujan turun dengan rutin, maka masalah ini akan selesai dengan sendirinya. Tetapi penyelesaian tersebut bersifat pasif dan sementara.

Jika variabel bebasnya bisa dikendalikan, mulai dari sistem pengawasan yang dibenahi dan edukasi secara tepat guna, maka tindakan ini bisa mengurangi volume titik api yang tentu berimplikasi kurangnya dampak asap. Jika proses pembakaran dengan motif efesiensi atau proses pembakaran tidak dilakukan, maka jumlah volume titik api berkurang dan tentu dampak asap juga berkurang.

Jenis tanah gambut memang agak unik, jika dilakukan proses pembuatan parit (kanal) keliling, maka daerah tengah yang diparit akan cenderung menjadi kering atau kekurangan air, hal ini dilakukan karena adanya satwa liar yang merasa ekosistemnya terganggu sering menghancurkan perkebunan masyarakat bahkan milik korporasi. Tetapi dampak buruknya adalah ketika musim kemarau, kawasan tersebut cenderung kering dan sangat sulit untuk mendapatkan sumber air. Untuk itu, perlu dihentikan proses penggunaan kanal dan penyediaan kawasan kantong-kantong penyimpanan air sumur sehingga dapat dijadikan sumber dalam pemadaman kebakaran pada titik lokasi kebakaran.

G.

DAMPAK TERHADAP KETAHANAN REGIONAL

Ketahanan Regional atau Ketahanan Daerah merupakan bagian integral dari Ketahanan Nasional. Menurut Sunardi, ketahanan nasional sebagai kondisi, mengandung anasir-anasir dasar ketangguhan dan keuletan bangsa yang mampu mengembangkan keuatan nasional di dalam

menghadapi segala ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang data dari dalam maupun dari luar negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta perjuangan mengejar tujuan nasional.

Permasalahan asap ini menjadi suatu ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang berasal dari dalam namun masih bersifat soft dan smooth. Dampak yang diakibatkan belum pada tataran menghancurkan kelangsungan hidup bangsa dan negara secara langsung, sebab jika hujan turun atau musim hujan datang, maka permasalahan tersebut akan selesai. Namun hal ini dapat menjadi suatu indikator bahwa lemahnya keuletan dan ketangguhan suatu wilayah, katakanlah regional pada level propinsi dan kabupaten dalam menyelesaikan permasalahan ini.

Gambar 7. Visualisasi vektoris K(t) menghadapi ATHG internal

(10)

Dari rumusan K(t) = K(U,T) dengan menunjukkan hasil yang sama, seperti gambar dibawah ini pada K(t) dilihat sebagai fungsi convex, jika untuk t1 menuju t2 dengan jarak yang jauh, namun menunjukkan hasil yang sama atas upaya Komponen U (keuletan) dan T (ketangguhan) untuk menyelesaikan suatu ATHG maka dapat dikatakan unsur U dan T sangat lemah.

Gambar 8. K(t) sebagai fungsi convex

Kondisi tersebut sudah sampai pada tidak berfungsinya salah satu objek vital disuatu kawasan, yaitu bandara sebagai salah satu gerbang masuk dan keluarnya suatu mobilitas daerah. Sementara komponen U dan T tidak mampu menembus dimensi ATHG permasalahan, entah karena lapis ATHG-nya terlalu kuat untuk ditembus komponen U dan T suatu daerah tersebut, maka soft power dari ATHG tersebut membuktikan bahwa ketahanan daerah tersebut lemah.

Dari analisa masalah dengan model fish-bone pada gambar 7, didapat sumber masalah pada titik api, musim kemarau, dan arah angin atas dampak asap yang menjadi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada kawasan terdampak. Kriteria yang bisa diambil untuk diukur adalah kriteria sebagai berikut : (1)hujan tidak datang; (2)arah angin tidak bisa dikendalikan; (3)pengawasan lemah; (4)bakar lahan motif efesiensi; (5)bakar hutan alih fungsi; dan (6)jenis tanah gambut. Ada beberapa kriteria yang lemah karena menyangkut kondisi alam yang sifatnya mutlak seperti arah angin yang tidak bisa dikendalikan dan jenis tanah gambut. Jadi kriteria

tersebut dapat disempurnakan sebagai upaya atau keuletan dan ketangguhan dalam mematikan titik api sebagai sumber masalah tersebut dapat disederhanakan menjadi kriteria berikut : (1)membuat/merekayasa hujan; (2)menghentikan pembakaran lahan motif efesiensi; (3)menghentikan pembakaran hutan alih fungsi; dan (4)memperkuat pengawasan.

Gambar 9. Hirarki Pemadaman Titik Api

Untuk mengkur bobot dari masing-masing kriteria dengan metode Analisa Hirarki Proses (AHP), maka perlu ditetapkan tingkat kepentingan (derajat penting) dari kriteria Penguatan Pengawasan (K1), Hentikan Bakar Lahan motif Efesiensi (K2), Hentikan Bakar Hutan Alih Fungsi (K3) dan Menurunkan Hujan Buatan (K4) terhadap upaya memadamkan titik api.

Penetapan bobot untuk kriteria berpasangan ini seharusnya didapat dari para pakar dibidang ini yang memiliki pengalaman teruji secara akademis dan praktis (saran penulis) untuk mendapatkan bobot yang baik dan tepat. Analisa penulis (opini), derajat penting K1 adalah 3 kali K2 dan 3 kali K3 dan 5 kali K4. Derajat penting K2 adalah 2 kali K3 dan 3 kali K4. Derajat penting K3 adalah 2 kali K4.

K1 K2 K3 K4

K1 1 3 3 5

K2 1/3 1 2 3

K3 1/3 1/2 1 2 K4 1/5 1/3 1/2 1

Tabel 4. Matriks Kriteria Pemadaman Titik Api

(11)

K2=0,241; K3=0,154; dan K4=0,086 dengan λmaks

sebesar 4,084 dan indeks konsistensi sebesar 0,031 dengan arti karena tingkat konsistensi ini lebih kecil daripada 0,1, maka eigen vektor tersebut dapat dipergunakan.

Jika dapat disimpulkan bahwa kriteria penguatan pengawasan (K1) adalah komponen keuletan, dan kriteria hentikan bakar lahan motif efesiensi (K2), hentikan bakar hutan alih fungsi (K3) dan menurunkan hujan buatan (K4) adalah komponen ketangguhan, maka derajat ketahanan daerah tersebut untuk memadamkan titik api dapat diukur.

Bila diasumsikan rentang waktu untuk memadamkan api adalah 30 hari (satuan bulan), jika pada tanggal 1 September 2015 sebagai K(t=1) ada 100 titik api dan pada tanggal 1 Oktober 2015 masih saja ada 100 titik api, maka derajat ketahanan wilayahnya adalah rendah. Jika dari tanggal 1 September 2015 dilakukan upaya maksimal sampai 90% sebagai tingkat keuletan (penguatan pengawasan), maka akan ada 47 titik api yang padam (90% x 0,518 x 100 titik api). Jika pelarangan pembakaran lahan dengan motif efesiensi dilakukan dengan usaha maksimum sampai 90%, maka akan ada 22 titik api yang akan padam (90% x 0,241 x 100 titik api). Jika pelarangan pembakaran hutan alih fungsi dilakukan dengan usaha maksimum 90% maka akan ada 14 titik api yang akan padam (90% x 0,154 x 100 titik api). Jika usaha penurunan hujan buatan dilakukan semaksimal mungkin, asumsi 90% maka akan ada 8 titik api yang akan padam.

H.

DAMPAK TERHADAP KETAHANAN NASIONAL

Negara dengan kekuatan nasionalnya diuji dengan keberadaan dampak asap ini. Bagaimana keuletan dan ketangguhan negara dalam menghadapi dan menyelesaikan ATHG dari dampak kabut asap ini. Sejak Agustus 2015 s.d Oktober 2015, berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan sudah dilakukan sebagai bentuk ketangguhan dan keuletan bangsa, namun permasalah belum dapat diselesaikan secara tuntas.

I.

KESIMPULAN DAN SARAN

Alur sikap yang perlu dilakukan adalah kehati-hatian terhadap potensi munculnya titik api setiap tahunnya pada musim kebakaran atas niat masyarakat atau korporasi untuk melakukan pembakaran lahan sebagai bagian dari proses replanting pada tahap land clearing. Alur tindak supremasi hukum atas aksi pembakaran tersebut harus bersifat tegas dan adil tanpa melihat unsur kekawatiran investasi, hal ini didukung dari adanya sikap global governance sebagai sikap dalam tata kelola dunia untuk antisipasi perubahan iklim dunia (climate change). Negara manapun yang menjadi sumber atau berperan dalam tindakan pengrusakan lingkungan akan menjadi sorotan PBB yang berpotensi mendapatkan pengucilan dari pergaulan dunia, tentu saja berdampak negatif bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selain itu, sebagai saran dan rekomendasi, pengaturan tata kelola izin alih fungsi kawasan hutan dan izin lahan kebun, perlu dibuatkan suatu grand design yang melibatkan pihak Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pertanahan Nasional sehingga faktor penentu dari izin tersebut dapat dikendalikan guna menunjang kepentingan nasional, bukan kepentingan korporasi yang notabanenya bisa dimasuki oleh pihak asing.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Sunardi, R.M. Teori Ketahanan Nasional. (Jakarta: HASTANNAS, 1997)

[2] BBC Indonesia. www.bbc.com

[3] Detik. www.detik.com

[4] Kompas Online. www.kompas.com

[5] Tempo Online. www.tempo.co

(12)

[7] CNN Indonesia. www.cnnindonesia.com

[8] Ditjenbun. www.ditjenbun.pertanian.go.id

Gambar

Gambar 1. Alur Pikir Pemetaan Masalah Asap
Tabel 2. Daftar Titik Api Per 30 Juli 2015
Tabel 2. Matriks Sumber Kriteria Sumber Titik Api
Gambar 5. Daftar Lahan Perusahaan yang sedang replantationsebagai Sumber Titik Api sebagai sumber penyebaran asap Tahun  2013 di Propinsi Riau
+5

Referensi

Dokumen terkait

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah lembaga pemerintah non-departemen yang melaksanakan tugas penanggulangan bencana di daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/

Dalam fase siaga bencana penanganan tanggap darurat Pemerintah Kabupaten Malang harus melakukan hal-hal sebagai berikut yaitu: membangun jaringan komunikasi dan koordinasi

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa kapasitas adaptif dari masyarakat maupun pemerintah daerah untuk menanggulangi dan mengantisipasi kejadian bencana banjir

terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan

Sesuai dengan hal tersebut maka pemerintah daerah harus mengeluarkan peraturan daerah mengenai penanggulangan Bencana demikian halnya dengan pemerintah Kabupaten

Sumberdaya dalam menanggulangi kabut asap masih kurang memadai, Komunikasi dan Koordinasi antara Pemerintah Daerah maupun Kota belum optimal, Sosialisasi peduli bencana

Namun yang membedakan dengan penelitian ini adalah fokusnya pada sinergi antara Kodim 1611/Badung dengan Pemerintah Daerah, khususnya BPBD Kabupaten Badung, dalam menanggulangi bencana

Mengetahui upaya pemerintah daerah dalam meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari bencana gunung kelud, khususnya korban jiwa 1.5 Manfaat Penulisan Dengan adanya makalah ini