KONSEP NEGARA HUKUM DALAM PERSPEKTIF EPISTEMOLOGI
Arinto Nurcahyono
Abstrak
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Secara Epistemologis bagi penganut positivis, negara hukum dimaknai sebagai negara yang menata seluruh kehidupan didalamnya berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang yang telah dipositivkan secara formal sebagai undang-undang, yang oleh sebab itu telah berkepastian sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah negeri. Indonesia yang berlandaskan Pancasila hukum negara bukanlah segala-galanya dan berada di atas manusia, melainkan sebagai bagian perangkat kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga.
Key words: negara hukum, epistemologi, Pancasila
Pendahuluan
Cita-cita negara hukum Indonesia merupakan cita-cita yang terus hidup dalam hati masyarakat Indonesia. Sebagai gagasan ia disambut dengan antusias dan dibahas dalam sidang-sidang rapat Persiapan
Kemerdekaan Indonesia pada tahun l945. Konstitusi dan praktek ketatanegaraan pada awal kemerdekaan sampai tahun l957 mencerminkan dianutnya konsep negara hukum yang demokratis. Namun sesudah itu
ia tenggelam dalam arus ideologi patrimonialisme demokrasi Terpimpin. Rezim demokrasi Terpimpin yang otoritarian itu berusaha mengubur habis gagasan dan konsep negara hukum, dengan memberikan tafsir otoritarinistik UUD l945 sebagai dasar untuk mengabsahkan praktek ketatanegaraan yang
sesungguhnya menyimpangi konstitusi tersebut. Namun cita negara hukum yang demokratis itu tetap hidup dalam hati dan pikiran para penentang demokrasi Terpimpin. Maka ketika rezim demokrasi
Terpimpin ambruk seketika itu pula para mahasiswa, intelektual, golongan profesi, dan masyarakat politik Indonesia menggemakan kembali gagasan dan konsep negara hukum.
Gagasan dan konsep negara hukum melandasi tuntutan pelaksanaan UUD l945 secara murni dan
konsekuen yang disampaikan oleh berbagai aktor politik pada waktu itu. Dukungan masyarakat luas terhadap rezim Orde Baru karena pada awalnya rezim ini menjanjikan pemulihan kehidupan negara
hukum yang demokratis sebagaimana difahami sebagai praktek ketatanegaraan yang sesuai dengan UUD l945.
Pada awal Orde Baru kita saksikan penataan kembali fungsi-fungsi kekuasaan negara, seperti,
eksekutif ke badan yudikatif. Tak pula dapat disangkal penguasa baru pada saat itu bersikap toleran terhadap kebebasan berekspresi, khususnya kebebasan pers.
Namun masa berkembangnya harapan bagi perwujudan konsep negara hukum yang demokratis itu tidak berlangsung lama. Dengan segera setelah penguasa Orde Baru berhasil melalui tahap konsolidasi
kepentingan dan kekuasaannya kita menyaksikan berkembangnya suatu sistem politik yang mengarah pada Otoritarianisme baru. Rezim Otoritarianisme baru ini tidak mendasarkan legitimasinya pada idea
populis dan ideologi patrimonialisme seperti pendahulunya, tetapi mendasarkan legitimasinya pada ideologi pembangunanisme, integralisme yang mengabsahkan tafsir Otoritarianistik atas UUD l945. Dengan begitu gagasan negara hukum yang demokratis yang semula, yaitu yang diperdebatkan dan
disepakati oleh para pendiri bangsa dikesampingkan.
Maka ketika Soeharto sebagai pemimpin rezim Orde Baru jatuh dengan segera Presiden BJ.
Habibie dan jajaran kekuasaannya merespon tuntutan politik yang sudah lama dikemukakan para mahasiswa, intelektual, golongan profesional, yaitu merombak tatanan politik Otoritarian Orde Baru dan kemudian membangun suatu tatanan politik yang memastikan ditegakkanya negara hukum yang
demokratis. Respon dari pemerintah Habibie terhadap tuntutan politik itu tidak bersifat serentak dan serta merta tetapi bersifat gradual.
Dimulai dengan membuka peluang bagi tiga kebebasan dasar yang sangat vital bagi pembangunan demokrasi, yaitu kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, dan kebebasan
berorganisasi. Pembukaan tiga kebebasan dasar ini mrerupakan langkah awal untuk memulihkan kedaulatan rakyat yang sudah begitu lama dilumpuhkan. Dengan adanya tiga kebebasan dasar itu rakyat tidak saja dapat mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Tapi juga rakyat dapat berkumpul dan
membangun organisasi guna memperjuangkan kepentingannya bersama. Pada tahapan ini kita menyaksikan berkembang tumbuhnya berbagai organisasi rakyat dan partai-partai politik baru.
Dalam tahapan berikutnya reformasi sistem pemilihan umum dan badan-badan perwakilan rakyat, yang diikuti dengan penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas dan demokratis.Sejak itu rakyat
Indonesia memasuki era kebebasan politik( political freedom) yang terus kita nikmati hingga hari ini. Negara Hukum Indonesia jelas bukan sekedar kerangka bangunan formal tapi lebih daripada itu ia memiliki landasan filososfis dan itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai dan norma-norma , seperti,
kebersamaan, kesetaraan, keseimbangan, keadilan yang sepakat dianut bangsa Indonesia. Nilai-nilai luhur itu berasal dari berbagai sumber seperti, agama, budaya, dan berbagai ajaran filsafat social, serta
pengalaman hidup bangsa Indonesia. Kalau begitu masalah yang dihadapi Negara Hukum Indonesia (NHI) bukan pada ketiadaan nilai dan norma yang disepakati bersama yang mendasari eksistensi NHI
Ada pertanyaan yang perlu diajukan secara mendasar, dan sekaligus dijadikan perumusan masalah dalam tulisan ini. Bagaimanakah landasan epistemologi dari negara hukum itu sendiri. Pelacakan
yang akan dilakukan menyangkut dua hal yakni pada landasan pemikiran kaum positivistik dan yang terakhir adalah landasan dasar negara Indonesia yakni Pancasila.
Pembahasan
1. Konsep Negara Hukum
Perkembangan konsep negara hukum merupakan produk dari sejarah, sebab rumusan atau pengertian negara hukum itu terus berkembang mengikuti sejarah perkembangan umat manusia. Karena itu dalam rangka memahami secara tepat dan benar konsep negara hukum, perlu terlebih dahulu diketahui
gambaran sejarah perkembangan pemikiran politik dan hukum, yang mendorong lahir dan berkembangnya konsepsi negara hukum1. Selain itu Pemikiran tentang Negara Hukum sebenarnya sudah
sangat tua, jauh lebih tua dari dari usia Ilmu Negara ataupun Ilmu Kenegaraan itu sendiri2dan pemikiran tentang Negara Hukum merupakan gagasan modern yang multi-perspektif dan selalu aktual3. Ditinjau dari perspektif historis perkembangan pemikiran filsafat hukum dan kenegaraan gagasan mengenai
Negara Hukum sudah berkembang semenjak 1800 S.M4. Akar terjauh mengenai perkembangan awal pemikiran Negara Hukum adalah pada masa Yunani kuno. Menurut Jimly Asshiddiqie gagasan
kedaulatan rakyat tumbuh dan berkembang dari tradisi Romawi, sedangkan tradisi Yunani kuno menjadi sumber dari gagasan kedaulatan hukum5.
Pada masa Yunani kuno pemikiran tentang Negara Hukum dikembangkan oleh para filusuf besar Yunani Kuno seperti Plato6 (429-347 s.M) dan Aristoteles(384-322 s.M). Dalam bukunya Politikos yang dihasilkan dalam penghujung hidupnya, Plato (429-347 s.M) menguraikan bentuk-bentuk pemerintahan
yang mungkin dijalankan. Pada dasarnya, ada dua macam pemerintahan yang dapat diselenggarakan; pemerintahan yang dibentuk melalui jalan hukum, dan pemerintahan yang terbentuk tidak melalui jalan
hukum7.
1
S.F. Marbun,Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4–1997, hlm. 9.
2
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.25.
3
A. Ahsin Thohari,Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004, hlm. 48. 4
Lihat J.J. von Schmid,Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1988, hlm. 7. 5
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.11.
6
Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-399 s.M), ia dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 s.M di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Politik dan Hukum. Diantar karyanya yang termasyur adalah Politea (tentang negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU).
7
Konsep Negara Hukum menurut Aristoteles (384-322 s.M) adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadsi warga negara yang baik. Dan bagi Aristoteles (384-322
s.M) yang memerintah dalam negara bukanlah manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja8
Ide Negara Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’. Perkataan
nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan‘demos’dan‘cratos’ atau‘kratien’dalam demokrasi.‘Nomos’
berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang dibayangkan sebagai factor penentu dalam
penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat
dengan ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Dalam istilah Inggeris yang dikembangkan oleh A.V. Dicey, hal itu dapat dikaitkan dengan prinsip “rule of law” yang berkembang di Amerika Serikat menjadi jargon“the Rule of Law, and not of Man”.Yang sesungguhnya
dianggap sebagai pemimpin adalah hukum itu sendiri, bukan orang. Dalam buku Plato berjudul “Nomoi”
yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris dengan judul “The Laws”, jelas tergambar
bagaimana ide nomokrasi itu sesungguhnya telah sejak lama dikembangkan dari zaman Yunani Kuno9. Pada perkembangan berikutnya menurut Jimly Asshiddiqie10 pada zaman modern, konsep
Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan
sebutan “The Rule of Law”. Menurut Julius Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah
‘rechtsstaat’ itu mencakup empat elemen penting, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia. 2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang. 4. Peradilan tata usaha Negara.
8
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988, hlm. 153.
9
Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm, Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004
Sedangkan A.V. Dicey dalam bukunyaThe Law of the Constitution (1885)11menguraikan adanya tiga
ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu:
1. Supremacy of Law.
2. Equality before the law.
3. Due Process of Law.
Keempat prinsip ‘rechtsstaat’ yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada
pokoknya dapat digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman sekarang. Bahkan, oleh “The International
Commission of Jurist”, prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara demokrasi. Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara
Hukum menurut “The International Commission of Jurists” itu adalah:
1. Negara harus tunduk pada hukum.
2. Pemerintah menghormati hak-hak individu.
3. Peradilan yang bebas dan tidak memihak.
Profesor Utrecht membedakan antara Negara hukum formil atau Negara hukum klasik, dan
negara hukum materiel atau Negara hukum modern12. Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis.
Sedangkan yang kedua, yaitu Negara Hukum Materiel yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya. Karena itu, Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized publicpower’, dan ‘rule of
law’dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’.
2. Sekilas Mengenai Pengertian Epistemologi
Cabang ilmu filsafat yang secara khusus menggeluti pertanyaan - pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan disebut epistemologi. Istilah “epistemologi” sendiri
berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata
“episteme”dalam bahasan Yunani berasal dari katra kerja epistamai, artinya mendudukan , menempatkan,
atau meletakkan. Maka secara harafiah episteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk
“menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya”13.
11
Martin Loughlin, “Albert Venn (1835-1922)”, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge.Lihat Albert Venn Dicey, Introduction to the Study of the Law of theConstitution (London: Macmillan, 1915), hal. 110-115.
12
Utrecht,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1962, hal. 9. 13
Epistemologi bermaksud mengkaji dan menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia. Bagaimana pengetahuan itu pada dasarnya diperoleh dan diuji kebenarannya? Manakah ruang
lingkup atau batas-batas kemampuan manusia untuk menghetahui? Epistemologi juga bermaksud secara kritis mengkaji pengandaian-pengandaian dan syarat-syarat logis yang mendasari dimungkinkannya
pengetahuan serta memberi pertanggungjawaban rasional terhadap klaim kebenaran dan objektivitasnya.
Pertanyaan pokok “bagaimana saya tahu bahwa saya dapat tahu?” mau dicoba untuk dijawab secara
seksama14.
Epistemologi atau fildafat pengetahuan pada dasarnya juga merupakan suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri,
lingkungan sosial, dan alam sekitarnya. Maka epistemologi adlaah suatu disiplin ilmu bersifat evaluatif, normatif, an kritis. Evaluasi berarti menilai, ia menilai apakah suatu keyakinan, sikap, pernyataan
pendapat, teori pengetahuan dapat dibenarkan, dijamin kebenarannya, atau memiliki dasar yang dapat dipetanggungjawabkan secara nalar. Normatif berarti menentukan norma atau tolak ukur, dalam hal ini tolak ukr kenalaran bagi kebenaran pengetahuan.
3. Tinjauan Epistemologis Konsep Negara Hukum a. Kacamata Positivisme Hukum
Positivisme sesungguhnya muncul sebagai anak kandung dari empirisme; aliran pemikiran yang berkembang terutama di Inggris yang kemudian menjadi basis filosofis bagi Francis Bacon untuk
merumuskan cara kerja ilmu pengetahuan.
Mendapat inspirasi dari empirisme filosofis, para pemikir hukum abad ke-19 berusaha menjadikan hukum sebagai produk ilmiah. Tekanan yang kuat pada fakta sebagai satu-satunya basis
pembenaran atau pertanggungjawaban inilah yang melahirkan positivisme hukum. Ini berarti, hukum hanya dapat diterima apabila ilmiah. Hukum adalah karya ilmiah. Untuk itu hukum harus mendapatkan
pembenarannya dan didukung sepenuhnya oleh fakta empiris.
Tekanan pada dimensi ilmiah hukum ini, sebagaimana dijelaskan H.L.A Hart, justru makin
memperkuat makna “hukum positif” yang paling tidak sudah sejak awal abad ke-14 digunakan terutama untuk menekankan watak hukum sebagai ciptaan manusia dan sekaligus mempertentangkannya dengan konsep hukum kodrat. Dengan demikian, istilah hukum positif yang lazim digunakan dalam konsep
hukum digunakan untuk menekankan dua sifat dasar dari hukum: (1) hukum adalah karya atau ciptaan manusia; dan (2) hukum dibangun diatas basis ilmiah15
Bagi para legis dari kaum positivis berpendapat bahwa yang namanya hukum itu tak lain daripada apa yang didefinisikan sebagai norma-norma keadilan (ius) yang telah dibentuk (constitutum, constituted)
14
J. Sudarminta,Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm. 18. 15
menjadi aturan hidup oleh suatu badan legislatif melalui pelbagai prosedur yang formal, dan yang kemudian diumumkan (diundangkan) sebagai hukum yang berlaku secara pasti (dipositifiskan) dalam
suatu wilayah negara tertentu, yang oleh karena itu pula mengikat seluruh warga negara tanpa kecuali. Itulah hukum positif, yang juga disebut hukum undang-undang (lege, lex, ius constantium) yang oleh
sebab sifatr prosedurnya juga disebut hukum formal., yang kemudian sering disebut hukum negara, diundangkan sebagai produk legislatif.
Berangkat dari pemahaman hukum dari positifistik ini, Soetandyo Wigjosoebroto memberikan pendefinisianrechstaat(negara hukum) dalam kacamata positivis sebagai
“Negara yang menata seluruh kehidupan didalamnya berdasarkan atas aturan-aturan hidup yang yang telah dipositivkan secara formal sebagai undang-undang, yang oleh sebab itu telah berkepastian sebagai satu-satunya hukum yang berlaku di suatu wilayah
negeri”16.
Bertolak dari dari definisi negara hukum dalam perpektif kaum positivis tak pelak lagi doktrin supremasi hukum akan terbataskan sebagai supremsi undang-undang. Maka secara epistemologi hukum
itu dikatakan mengandung kebenaran jika merujuk pada undang-undang. Artinya pengetahuan tentang isi undang-undang dan tentang bagaimana menangkap makna-maknanya, lalu menjadi penting bagi seseorang yang hendak melibatkan diri dalam percaturan hukum secara benar dan memenangkan suatu
perkara hukum dengan cara yang akan dianggap benar.
Gelombang kritik terhadap positivisme hukum dengan luar biasa pada dekade 60-an dan 70-an.
Maraknya gerakan sosial pada kedua dekade tersebut menjadi lahan tumbuh yang subur bagi kritik tersebut. Pada dua dekade ini, setelah melalui zaman kelesuan ekonomi akibat perang dunia I dan II, Eropa daratan dan Amerika Serikat, tumbuh menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan. Amerika Serikat bahkan disimpulkan sudah menjadi sebuah masyarakat yang makmur (affluent society). Namun, kemajuan yang membawa kemakmuran ini dianggap justru menjerumuskan
manusia ke dalam dehumanisasi. Kemajuan hanya diukur dari aspek materi. Manusia hanya sekedar mesin pencetak uang dengan harus kehilangan hati nurani dan hubungan-hubungan emosional7. Kapitalisme dan modernitas yang didukung oleh ilmu-ilmu sosial yang berbau positivistik, dituduh
sebagai biang keladi dari kemerosotan ini.
Ilmu hukum yang berkiblat pada filsafat positivisme juga dianggap memberikan sumbangsih pada
kemerosotan ini. Tidak berdayanya rejim hukum positif untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial kala itu ditengarai disebabkan oleh 2 faktor, yakni: Pertama, bangunan sistem hukum beserta
doktrin-doktrin yang menopangnya memang tidak memungkinkan hukum melakukan perubahan sosial atau
16
menghadirkan keadilan substantif. Kondisi ini disebabkan oleh faktorKeduayakni tercemarnya institusi-institusi hukum karena bekerja sebagai alat kekuasaan sehingga menyebabkan sulitnya menghadirkan
tertib hukum seperti yang dijanjikan oleh penganjur positivisme hukum. Situasi-situasi tersebut dianggap tidak terlepas dari watak dogmatika hukum (legal dogmatics) yang menjauhkan diri dari sentuhan
aspek-aspek sosial.
Ketidakberdayaan rejim hukum positif beserta doktrin pendukungnya, akhirnya mengundang
celaan bahkan pendapat yang bernada sindiran. Ada yang mengajukan pernyataan retorik berikut ini: apakah hukum sudah mati? Selain, itu sejumlah teori atau doktrin penting dalam aliran positivisme hukum terus dipertanyakan. Doktrin rule of law terbilang paling banyak dipertanyakan. Pada akhirnya,
situasi obyektif ini menyebabkan bangkitnya kerinduan untuk menggunakan sentuhan pendekatan ilmu sosial dalam menjelaskan penomena hukum. Tulis Nonet&Selznick:
“Masa dua puluh tahun terakhir ini menjadi bangkitnya kembali ketertarikan pada persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan
dan kemampuannya”17.
Masih menurut Nonet dan Selznick, masalah-masalah hukum yang muncul ketika itu membuat komunitas politik menjadi terpojok. Tertib hukum dipaksa untuk menanggung beban baru, ditagih untuk
menemukan solusi yang paling tepat dan diminta untuk mengkaji ulang gagasan-gagasan dasarnya. Saat ilmu hukum kepayahan menghadapi semua itu, kajian tentang hukum dan masyarakat (law and society),
sekonyong konyong tampil sebagai topik yang sangat penting. Bersamaan dengan itu, disiplin hukum kembali diperkaya dengan penjelasan-penjelasan ilmu sosial. Kecakapan kajian hukum dan masyarakat dalam mendeskripsikan penyebab dari masalah-masalah yang tengah berlangsung, memang menjadi daya
pikat tersendiri karena dogmatika hukum tidak bisa melakukannya.
b. Negara Hukum dalam Perspektif Pancasila
Kelahiran Indonesia sebagai Negara hukum tidak melalui proses pergulatan sistem sosial seperti
yang terjadi di Eropa. Indonesia menjadi Negara hukum karena “dipaksa” melalu pencangkokan
(transplantasi) hukum oleh Belanda. Pemaksaan ini dilakukan tanpa melalu proses musyawarah ataupun
menunggu keambrukan suatu sistem sosial Indonesia. Proses kelahiran Negara hukum Indonesia tergolong instan, cepat, melalui sebuah lompatan sistem sosial dari tradisional dan feodalisme langsung
ke negara hukum. Substansi Negara hukum pada masa penjajahan menjadi sangat kompleks, yaitu berlaku dualisme hukum (hukum Barat dan hukum adat) pada wilayah yang sama dan dalam waktu
17
bersamaan pula. Lebih kompleks lagi bahwa hukum adat sendiri bersifat kedaerahan, komunalistik, religius, sehingga terdapat pluralisme hukum di Indonesia pada waktu itu18.
Terkait dengan perbedaan-perbedan yang cukup tajam antara Negara hukum dan Rechtstaat, maka kesepakatan mengenai aturan main dalam menjalankan sistem pemerintahan Negara pun menjadi
berbeda pula. Pada rechtstaat terdapat prinsip bahwa penyelenggaraan pemerintahan Negara harus didasarkan pada rule of law. Artinya, hukum negara ditempatkan sebagai pengendali utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara. Puncak dari hukum negara adalah konstitusi. Jadi ada supremasi hukum. Rechtstaat harus konstitusional. Siapapun orang yang memegang pemerintahan Negara, tidak boleh memerintah kecuali atas dasar hukum negara. Prinsip ini digunakan secara tegas dan ketat, agar
selera seseorang pemimpin tidak mencemari penyelenggaraan pemerintahan Negara sehingga menjurus menjadi negara kekuasaan (machtstaat).
Negara Hukum dalam Undang-undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) terdapat pada Penjelasan Umum UUD 1945, Bab Sistem Pemerintahan Negara, Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat). Pasca Perubahan UUD 1945 terdapat padaPasal 1 ayat (3) UUD 1945: Negara Indonesia adalah negara hukum (Perubahan Ketiga).
Negara hukum Indonesia menurut Sudjito Bin Atmoredjo19dapat digambarkan sebagai berikut :
Negara hukum Indonesia seperti tergambar di atas jelas bukan rechtstaat sebagaimana konsep
aslinya. Rule of lawyang khas bagirechtstaat, tidak mudah berlaku di Indonesia. Kehidupan bernegara hukum tidak serta merta menjadi tuntas karena hukum negara sudah dijalankan secara konsisten. Hukum Negara masih perlu terus dikritisi, karena sering cacat ideologi, sehingga sarat dengan nilai-nilai dan
kepentingan ideologi asing. Kalaupun hukum negara sudah bagus, hukum negara harus berinteraksi
18
Sudjito Bin Atmoredjo, Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009 di Balai Senat UGM, Yogyakarta
19 Ibid.
PANCASILA
HUKUM NASIONAL
dengan jenis hukum-hukum lain. Dalam interaksi tersebut ada berbagai kemungkinan kejadian. Mungkin hukum negara mendominasi hukum adat maupun hukum internasional. Bisa pula hukum adat justru
ditempatkan lebih utama dari negara dan hukum internasional. Tak tertutup kemungkinan, justru hukum negara dan hukum adat dihegemoni oleh hukum internasional20.
Ada pelaksanaan hukum yang mekanis-linier, tetapi ada pula pelaksanaan hukum yang sangat personal dan kontekstual. Pendek kata, teramat sulit dirumuskan aturan main dalam kehidupan bernegara
hukum yang pasti, final, universal untuk sembarang tempat dan waktu. Keberlakuan aturan main senantiasa tunduk kepada berbagai faktor dominan di sekitarnya, seperti: faktor politik, budaya, ekonomi, keamanan dan sebagainya. Dihadapkan pada faktor-faktor dominan di luar hukum tersebut, supremasi
hukum negara bisa hilang dan digantikan supremasi politik, ekonomi atau yang lain. Proses bernegara hukum, sepintas akan tampak seolah menjadi kacau (chaos).
Namun demikian, apabila proses bernegara hukum tersebut diikuti dan dilihat secara utuh (sejak Pancasila, hukum nasional sampai dengan tujuan negara) justru akan tampak bahwa pluralisme hukum mampu menghadirkan ketertiban dan keteraturan dalam skala yang lebih besar. Hal demikian terjadi
karena menjalankan negara hukum bukanlah sekedar sebagai rutinitas menjalankan hukum negara, melainkan kebersamaan mewujudkan kehidupan yang lebih baik, didukung komitmen, dedikasi, empati
serta perilaku inovatif dan kreatif untuk saling memberi dan melengkapi, antara hukum negara, hukum adat maupun hukum internasional. Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan
dinamisasirule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan. Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan,
melainkan diukur dari kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.
Lebih lanjutSudjitomenandaskan bahwa Rechtstaat dalam keotentikannya senantiasa
mempersyaratkan adanya perilaku warga negara dan penyelenggara negara yang rasional, impersonal dan sekuler. Hukum negara dijalankan sebagai institusi yang otonom bagi semua pihak, tanpa pandang bulu
dan di atas semua jenis hukum. Dikenal adanya unifikasi hukum, bahwa satu hukum negara (Undang-undang misalnya) berlaku secara nasonal bagi semua warga negara. Pelaksanaan hukum berpegang pada prinsip rule and logic. Azas legalitas ditegakkan, bahwa tiada suatu perbuatan dapat dikenai sanksi
hukum kecuali sudah ada aturan tertulis yang jelas dan mengikat. Muncul pula kredo equality before the law. Ada pula semboyan “hukum harus tegak walaupun langit runtuh”. Tidak dikenal pembedaan
keadilan formal dan keadilan substansial, melainkan telah dipandang adil apabila hukum negara telah dijalankan secara konsisten. Inilah ciri-ciri perilaku dan hukum pada negara modern (rechtstaat)21.
Pada akhirnya tandas Sudjito, kehidupan bangsa Indonesia tidak mungkin dipaksa masuk secara utuh kedalam sistem sosial yang serba rasional, impersonal dan sekuler tersebut. Kita telah akrab dengan
sistem sosial bersifat kolektif, personal, dan religius. Tidak ada kata mutlak atau absolut dalam kehidupan bersama, kecuali keseimbangan, keselarasan, harmonis. Hukum negara bukanlah segala-galanya dan
berada di atas manusia, melainkan sebagai bagian perangkat kemanusiaan agar harkat dan martabatnya terjaga.
Simpulan
Negara hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang
didatangkan atau dipaksakan (impose) dari luar. Pandasaran pengetahuan (epistemologi) bermula empirisme; aliran pemikiran yang berkembang terutama di Inggris yang kemudian menjadi basis filosofis
bagi Francis Bacon untuk merumuskan cara kerja ilmu pengetahuan.
Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap
merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan
yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif.
Persoalannya, karena sistem hukum modern yang liberal itu tidak dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan
individu. Di samping itu juga, akibat sistem hukum liberal tidak dirancang untuk memberikan keadilan
substantif, maka seorang dengan kelebihan materiel akan memperoleh “keadilan” yang lebih daripada
yang tidak.
Oleh sebab itu dalam bernegara hukum diperlukan modifikasi dan dinamisasi rule of law, dan bukan memperbanyak kuantitas hukum negara. Secara empiris telah terbukti ketika produksi
Undang-undang melimpah, maka kehidupan justru tidak semakin nyaman tetapi semakin menyesakkan. Jadi, bernegara hukum tidak dapat diukur dari kuantitas peraturan perundang-undangan, melainkan diukur dari kualitas hukum yang fasilitatif dan akomodatif terhadap kebutuhan bangsa.
Untuk diperlukan upaya yang konprehensif dengan menggunakan landasan filosofis Pancasila yang dapat menjawab tantangan global sehingga Indonesia sebagai negara baru dapat berdiri sejajar
dengan negara-negara lain perlu membuka diri dan berinterksi dalam percaturan dunia global. Hubungan-hubungan internasional tersebut mensyaratkan adanya hukum nasional yang mampu mengakomodasi
hukum internasional. Hukum Internasional harus diterima sebagai bagian dari bahan penyusunan hukum nasional, tanpa harus mengalahkan sifat kenasionalan kita. Artinya, semangat nasionalisme perlu
ditempatkan di atas penerimaan atau penyesuaian terhadap hukum internasional. Lebih dari itu perlu dijaga agar nasionalisme itu tidak luntur karena desakan hukum internasional. Dengan kata lain, hukum
Daftar Pustaka
A. Ahsin Thohari,Komisi Yudisial dan Reformasi Peradilan, Elsam, 2004. A.M.W. Pranaka,Epistemologi Dasar, Suatu Pengantar, Jakarta CSIS, 1987.
Andre Ata Ujan,Filsafat Hukum : Membangun Hukum, Membela Keadilan, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm. 66
Budiono Kusumohamidjojo,Filsafat Hukum; Problemtika Ketertiban yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004. Dicey, Albert Venn, Introduction to the Study of the Law of theConstitution London: Macmillan, 1915,. J. Sudarminta,Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta, 2003, hlm.
18.
Jimly Asshiddiqie,Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporerm,Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana
HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004
______________, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994, hlm.11.
Loughlin, Martin, “Albert Venn (1835-1922)”,Routledge Encyclopedia of Philosophy, Version 1.0, London: Routledge.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim,Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, PSHTN FH UI dan Sinar Bakti, 1988,.
Nonet, Philippe and Philip Selznick, “Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi”, Perkumpulan untuk
Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jakarta, 2003.
S.F. Marbun,Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol 4–
1997.
Schmid, J.J. von,Pemikiran Tentang Negara dan Hukum, Pembangunan, Jakarta, 1988.
Sobirin Malian,Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2001.
Soetandyo Wigjosoebroto “Doktrin Apakah Sesungguhnya Yang terkandung Dalam Istilah Negara
Hukum?” Dalam Ifdal Kasim (ed),Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, ELSAM dan HUMA, Jakarta, 2002 hlm. 474.
Sudjito Bin Atmoredjo,Negara Hukum Dalam Perspektif Pancasila, Makalah untuk Kongres Pancasila, Kerjasama Mahkamah Konstitusi RI dan Gadjah Mada, tanggal 30, 31 dan 1 Juni 2009 di
Balai Senat UGM, Yogyakarta
Biodata Singkat
Nama : Drs. Arinto Nurcahyono, M.Hum
Tempat/Tgl Lahir : Cirebon 22 Oktober 1967
Pendidikan : S1 Fak. Filsafat UGM, S2 Filsafat Program Pascasarjana UGM
Pekerjaan : Dosen FH UNISBA, Fak Psikologi Univ. Kristen Maranatha.
Mata Kuliah yang Diampu : Filsafat Hukum, Hukum dan HAM, Sosiologi, Antropologi, Logika,
Kewarganegaraan. Email: artnur@gmail.com