• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN ABU TERBANG FLY ASH SEBAGAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMANFAATAN ABU TERBANG FLY ASH SEBAGAI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

PEMANFAATAN ABU TERBANG

(F LY ASH)

SEBAGAI ADSORBEN

KARBON MONOKSIDA (CO) DAN KARBON DIOKSIDA (CO

2

) PADA

KENDARAAN BERMOTOR

Anissa Rizky Faradilla, Hernani Yulinawati, Endro Suswantoro

Teknik Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap Dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti. Jl. Kyai Tapa No.1, Gedung K, Jakarta 11440, Indonesia

E-mail : anissa_faradilla@yahoo.com

Abstract

Carbon monoxide (CO) and carbon dioxide (CO2) are the main pollutants from motor vehicle exhaust. CO that enters

the human body will harm the health, while CO2 is a greenhouse gas that causes global warming and climate change, so

it is necessary to be controlled. The alternatives to reduce vehicle emissions is by using the adsorbent from fly ash. This study aims to analyze the ability of fly ash as an adsorbent exhaust CO and CO2 in motor vehicle seen from the influence of the mass, surface area, and the contact time fly ash and also calculate the reduction in exhaust emissions of CO and CO2 after adsorption by fly ash. The adsorbent of fly ash is done by activating fly ash using sulfuric acid

(H2SO4), and then dried in an oven at a temperature of 200oC. The mass and diameter of the adsorbent made as three

variations, there is 100, 200, and 300 grams and 100, 200, and 300 mesh, while the variation of the contact time is done in the span of 0-20 minutes. Testing is done by inserting the adsorbent into the exhaust test that installed at the end of pipe motor vehicle and then run the emission tests with and without adsorbent. The results showed that the adsorbent with the maximum adsorption are diameter of 300 mesh and a mass of 300 grams. As for the maximum contact time of

the adsorbent for 12 minutes for CO and CO2 remedy for 14 minutes. Reduction of emissions from the installation of

adsorbent on motor vehicles reached 81.65% for CO and 63.82% for CO2. This study is not only knowing how to

reduce exhaust gas in motor vehicles but also to minimize the fly ash that are harmful to the environment.

Key Words: Fly Ash, Adsorbent, Adsorption, Carbon Monoxide, Carbon Dioxide

Abstrak

Karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) merupakan polutan utama dari gas buang kendaraan

bermotor. CO yang masuk ke dalam tubuh manusia sangat berbahaya bagi kesehatan, sedangkan CO2 merupakan gas

rumah kaca yang dapat menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim, sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian. Alternatif untuk menurunkan emisi kendaraan bermotor adalah dengan menggunakan adsorben dari limbah fly ash. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemampuan fly ash PLTU Suralaya sebagai adsorben gas buang CO dan CO2 pada kendaraan bermotor dilihat dari pengaruh massa, luas permukaan, serta waktu kontak fly ash

dan juga menghitung penurunan emisi gas buang CO dan CO2 setelah penyerapan oleh fly ash. Pembuatan adsorben

dari fly ash dilakukan dengan cara mengaktivasi fly ash menggunakan asam sulfat (H2SO4), lalu dikeringkan dengan

oven pada suhu 200oC. Massa dan diameter adsorben dibuat sebanyak 3 variasi, yaitu 100, 200, dan 300 gram dan 100,

200, dan 300 mesh, sedangkan untuk variasi waktu kontak dilakukan dalam rentang waktu 0-20 menit. Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan adsorben ke dalam knalpot uji yang dipasang di ujung knalpot kendaraan, lalu dilakukan uji emisi tanpa dan dengan adsorben. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adsorben dengan penyerapan paling maksimum pada diameter 300 mesh dan massa 300 gram. Sedangkan untuk waktu kontak adsorben paling maksimum selama 12 menit untuk CO dan selama 14 menit untuk CO2. Penurunan emisi dari pemasangan adsorben

pada kendaraan bermotor mencapai 81,65% untuk CO dan 63,82% untuk CO2. Penelitian ini bukan hanya mengetahui

bagaimana mereduksi gas buang pada kendaraan bermotor tetapi juga meminimalisasi limbah fly ash yang berbahaya bagi lingkungan.

(2)

2

1.

Pendahuluan

Karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2) merupakan polutan utama yang keluar dari gas

buang kendaraan bermotor yang sangat berbahaya. CO yang keluar dari knalpot akan berada di udara ambien, jika terhirup oleh manusia maka molekul tersebut akan masuk kedalam saluran pernapasan lalu masuk ke dalam paru–paru dan kemudian akan menempel pada haemoglobin darah membentuk Carboxy Haemoglobin (COHb). Semakin tinggi konsentrasi CO yang terhirup oleh manusia maka semakin fatal resiko yang diterima oleh manusia tersebut, bahkan dapat menyebabkan kematian. Sementara CO2 dari buangan kendaraan

bermotor akan meningkatkan konsentrasi gas CO2 di

atmosfer hingga malampaui kemampuan tumbuhan dan laut untuk mengabsorbsinya. Dalam keadaan normal, energi sinar matahari yang masuk ke bumi dipantulkan kembali ke angkasa dalam bentuk radiasi inframerah. Karena konsentrasi CO2 saat ini begitu besar di

atmosfer sehingga pantulan inframerah tersebut di radiasikan kembali ke bumi. Efeknya, terjadi peningkatan suhu bumi secara global yang memicu terjadinya efek rumah kaca yang kini menjadi isu utama di dunia yaitu pemanasan global dan perubahan iklim.

Untuk mengurangi pencemaran udara yang memberikan dampak pemanasan global dan perubahan iklim, maka perlu dilakukan perlindungan melalui upaya pengendalian terhadap sumber emisi gas buang kendaraan bermotor. Pada tahun 2015, konferensi perubahan iklim atau Conference of Parties (COP) menggelar konferensi yang ke-21 (COP21). COP21 tersebut bertujuan melahirkan perjanjian global perubahan iklim menuju masyarakat rendah karbon yang memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim. Dalam konferensi ini Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas karbon 29 persen, demi mencapai tujuan bersama, yakni mencegah kenaikan temperatur bumi agar tidak melebihi 2oC.

Alternatif yang dapat dilakukan utuk menurunkan emisi dari gas buang kendaraan bermotor adalah dengan menggunakan adsorben yang terbuat dari limbah fly ash. Limbah fly ash yang berasal dari pembakaran batubara merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak industri yang menggunakan batubara sebagai bahan baku pembakarannya. Akumulasi limbah fly ash ini bila tidak dimanfaatkan akan membutuhkan tempat yang cukup luas untuk menampungnya. Limbah fly ash umumnya ditumpuk begitu saja di dalam area industri.

Penumpukan limbah fly ash ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Banyak penelitian mengenai pemanfaatan limbah fly ash sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan, misalnya dengan menggunakannya sebagai penyusun beton untuk jalan dan bendungan, penimbun lahan bekas pertambangan, bahan baku keramik, bahan penggosok,

filler aspal, pengganti dan bahan baku semen, dan konversi menjadi zeolit dan adsorben.

Pemanfaatan limbah fly ash sebagai adsorben merupakan contoh pemanfaatan yang efektif. Limbah fly ash ini dapat digunakan sebagai adsorben untuk menyisihkan COD pada limbah cair domestik, penyisihan ion logam berat pada limbah cair, dan adsorben limbah batik. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa limbah fly ash dapat digunakan sebagai adsorben. Keuntungan adsorben berbahan baku limbah fly ash adalah biayanya yang murah. Selain itu adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair. Limbah fly ash dapat dipakai secara langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik tertentu sebelum menjadi adsorben

.

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:

 Menganalisis kemampuan fly ash sebagai adsorben gas buang CO dan CO2 pada

kendaraan bermotor.

 Menganalisis pengaruh massa fly ash sebagai adsorben terhadap penyerapan gas buang CO dan CO2.

 Menganalisis pengaruh luas permukaan fly ash sebagai adsorben gas buang CO dan CO2 pada

kendaraan bermotor.

 Menganalisis pengaruh waktu kontak terhadap penyerapan fly ash sebagai adsorben gas buang CO dan CO2 pada kendaraan bermotor.

 Menghitung penurunan emisi gas buang CO dan CO2 pada kendaraan bermotor setelah

penyerapan oleh fly ash.

2.

Tinjauan Pustaka

2.1 Emisi Gas Buang Kendaraan

Sumber polusi yang utama berasal dari transportasi, dimana hampir 60% dari polutan yang dihasilkan terdiri dari karbonmonoksida dan sekitar 15% terdiri dari hidrokarbon. Polutan utama yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor adalah karbon monoksida yang mencapai hampir setengahnya dari seluruh polutan udara yang ada. Selain gas CO gas-gas yang dihasilkan dari emisi gas buang kendaraan bermotor antara lain berupa gas CO2, NO, NO2, SO2

dan senyawa hidrokarbon. Jika jumlah gas ini di udara melebihi ambang batas dapat menimbulkan pemanasan global dan pencemaran udara.

(3)

3

Hb untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh menjadi terganggu (Sengkey dkk., 2011). Berkurangnya persediaan oksigen ke seluruh tubuh akan membuat sesak napas dan dapat menyebabkan kematian, apabila tidak segera mendapat udara segar kembali. Selain itu, karbon monoksida apabila terhirup oleh manusia bisa menyebabkan terjadinya sakit kepala, rasa mual, atau kelelahan yang diikuti dengan tidak sadarkan diri (Sudarmadji, 2004).

Emisi karbon dioksida adalah pemancaran atau pelepasan gas karbon dioksida (CO2) ke udara.

Emisi CO2 biasanya dinyatakan dalam setara ton

karbon dioksida. Karbon dioksida berasal dari pembakaran sempurna hidrokarbon di dalamnya termasuk minyak bumi dan gas alam. Sebenarnya gas karbon dioksida tidak berbahaya bagi manusia. Namun, kenaikan kadar CO2 di udara telah mengakibatkan

peningkatan suhu di permukaan bumi. Pada kendaraan bermotor, konsentrasi CO2 yang semakin tinggi maka

akan semakin baik, hal ini menunjukkan secara langsung status pembakaran di ruang bakar mesin kendaraan. Tetapi pada keadaan tertentu konsentrasi CO2 yang tinggi berbanding terbalik dengan keadaan

iklim di luar sana, karena CO2 merupakan sumber

emisi terbesar gas rumah kaca (Firman. 2012). Fenomena inilah yang disebut efek rumah kaca (green house effect).

2.2 Fly Ash Sebagai Adsorben

Fly Ash merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang dihasilkan dalam pembakaran batu bara. Fly Ash terdiri dari partikel halus yang terbang, dan jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Fly ash hasil pembakaran batubara umumnya dilepaskan ke atmosfir tanpa adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh karena itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian pencemaran terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam.

Berbagai penelitian mengenai pemanfaatan fly ash sedang dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomisnya serta mengurangi dampak buruknya terhadap lingkungan. Saat ini umumnya fly ash digunakan dalam pabrik semen sebagai salah satu bahan campuran pembuat beton. Selain itu sebenarnya fly ash memiliki berbagai kegunaan antara lain: sebagai penyusun beton untuk jalan dan bendungan, penimbun lahan bekas pertambangan, recovery magnetik, cenosphere, dan karbon, sebagai bahan baku keramik, gelas, batubata, dan refraktori, sebagai bahan penggosok (polisher), sebagai filer aspal, plastik, dan kertas, sebagai pengganti dan bahan baku semen, sebagai aditif dalam pengolahan limbah (waste stabilization), dan sebagai adsorben dan konversi menjadi zeolit (Koesnadi, 2008).

Fly ash yang dikonversi menjadi adsorben merupakan contoh pemanfaatan efektif dari fly ash. Keuntungan adsorben berbahan baku fly ash adalah

biayanya yang murah. Selain itu, adsorben ini dapat digunakan baik untuk pengolahan limbah gas maupun limbah cair. Adsorben ini dapat digunakan dalam penyisihan logam berat, limbah zat warna berbahaya, dan senyawa organik pada pengolahan limbah. Fly ash dapat dipakai secara langsung sebagai adsorben atau dapat juga melalui perlakuan kimia dan fisik tertentu sebelum menjadi adsorben (Sunardi, 2006).

Sebelum fly ash batubara digunakan dalam proses adsorpsi, fly ash batubara terlebih dahulu diaktivasi. Terdapat beberapa tahap dalam melakukan aktivasi terhadap adsorben. Adapaun tahapan tersebut adalah dealuminasi, pertukaran ion, dan kalsinasi (Scott, Kathleen, Marsh, 2003).

1. Dehidrasi atau pelepasan air, metode ini adalah teknik untuk menghilangkan kandungan air yang ada pada bahan dasar pembuatan adsorben. Hal tersebut dilakukan dengan cara dipanaskan kurang lebih pada suhu 170oC sampai diperoleh bobot konstan

2. Karbonisasi, merupakan proses pembakaran tak sempurna dari bahan dasar yang digunakan dan suhu karbonisasi tergantung bahan dasarnya. Biasanya karbonisasi akan reaktif pada suhu 200-800oC. Jika suhunya

lebih rendah dari batas minimal maka pembentukan arang dibatasi atau proses karbonisasi tidak maksimalsedangkan bila suhunya lebih tinggi dari batas maksimal maka akan terjadi perubahan bentuk internal dimana struktur porous akhir mungkin berlanjut menjadi kristal. Tujuan utama dari proses karbonisasi adalah memaksa hilangnya sebagian bahan pengotor, mengembangkan bahan baku adsorben sehingga terbentuk porositas, menghilangkan substansi volatile yang mengisi pori-pori material dan menghasilkan butiran yang mempunyai daya serap dan struktur yang baik.

(4)

4

Dalam penelitian ini activator yang digunakan adalah asam sulfat. Asam sulfat digunakan sebagai aktivator karena mempunyai jumlah ion H+ yang lebih banyak

dari asam-asam lainnya, serta mempunyai sifat higroskopis yang dapat menyerap kandungan air yang terdapat pada fly ash. Selain itu, tujuan aktivasi ini adalah untuk menukar kation yang ada dalam fly ash menjadi H+ dan melepaskan ion Al, Fe, Mg dan

pengotor-pengotor lainnya (mengandung unsur alkali/alkali tanah) dari kisi-kisi struktur (Yuliani, 2013).

2.3 Adsorbsi

Adsorpsi merupakan suatu proses yang terjadi ketika suatu fluida (cairan maupun gas) terikat pada padatan dan akhirnya membentuk suatu lapisan tipis pada permukaan tersebut atau dapat juga diartikan sebagai akibat medan gaya pada permukaan padatan (adsorben) yang menarik molekul-molekul gas atau cair (adsorbat) (Greg dan Sing, 1967 dalam Basuki, 2007).

Dalam adsorbsi digunakan istilah adsorbat dan adsorban, dimana adsorbat adalah substansi yang terjerap sedangkan adsorban merupakan suatu nedia penyerap yang dalam hal ini berupa senyawa karbon (Webar, 1972). Adsorbsi merupakan peristiwa kesetimbangan kimia, oleh Karena itu, berkurangnya kadar zat yang teradsorpsi (adsorbat) oleh material pengadsorpsi (adsorben) terjadi secara kesetimbangan, sehingga secara teoritis tidak dapat terjadi penyerapan sempurna adsorbat oleh adsorben. Bahan yang diserap disebut adsorbat atau solute, sedangkan bahan penyerapnya disebut adsorben. Meterial-material yang dapat digunakan sebagai adsorben diantaranya adalah asam humat, tanah diatomae, bentonit, biomasa mikroorganisme air serta adsorben-adsorben yang umum dipakai seperti karbon aktif, alumina, silika gel dan zeolit.

2.4 Adsorben

Adsorben adalah zat padat yang dapat menyerap partikel fluida dalam suatu proses Adsorpsi. Adsorben bersifat spesifik dan terbuat dari bahan-bahan yang berpori. Pemilihan jenis adsorben dalam proses adsorpsi harus disesuaikan dengan sifat dan keadaan zat yang akan diadsorpsi dan nilai komersilnya. Kebanyakan adsorben adalah bahan- bahan yang sangat berpori dan adsorpsi berlangsung terutama pada dinding pori- pori atau pada letak-letak tertentu di dalam partikel itu. Oleh karena pori-pori biasanya sangat kecil maka luas permukaan dalam menjadi beberapa orde besaran lebih besar daripada permukaan luar dan bisa mencapai 2000 m/g.

Adsorben yang telah jenuh dapat diregenerasi agar dapat digunakan kembali untuk proses adsorpsi. Suatu adsorben dipandang sebagai suatu adsorben yang baik untuk adsorpsi dilihat dari sisi waktu. Lama operasi terbagi menjadi dua, yaitu waktu penyerapan

hingga komposisi diinginkan dan waktu regenerasi/ pengeringan adsorben. Makin cepat dua varibel tersebut, berarti makin baik untuk kerja adsorben tersebut (Jauhar et al, 2007 dalam Khairunisa, 2008).

Menurut Khairunisa, (2008), Kriteria adsorben yang baik adalah:

1. Adsorben-adsorben yang digunakan biasanya dalam wujud butir, berbentuk bola, belakang dan depan, papan hias tembok, atau monolit-monolit dengan garis tengah yang hidrodinamik antara 5 dan 10 juta.

2. Harus mempunyai hambatan abrasi tinggi. 3. Kemantapan termal tinggi.

4. Diameter pori kecil, yang mengakibatkan luas permukaan yang ditunjukkan yang lebih tinggi dan kapasitas permukaan tinggi karenanya untuk adsorbsi.

5. Adsorben-adsorben itu harus pula mempunyai suatu struktur pori yang terpisah jelas yang memungkinkan dengan cepat pengangkutan dari uap air yang berupa gas.

3.

Metodologi Penelitian

3.1 Tahapan Penelitian

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian

3.2 Metode Penelitian

(5)

5

mengambil data emisi secara langsung tanpa adsorben dari berbagai kendaraan yang nantinya akan dibandingkan dengan emisi kendaraan yang akan digunakan untuk sampling. Pengambilan data primer tahap II dilakukan dengan cara pengukuran secara langsung emisi kendaraan bermotor dengan penambahan adsorben fly ash.

3.2.1 Pengambilan Data Primer Tahap I

Pengambilan data primer tahap I dilakukan untuk mengambil data emisi gas buang beberapa kendaraan yang nantinya akan dipilih untuk dilakukan sampling utama dengan mengukur kadar gas buang menggunakan adsorben. Pengambilan data emisi gas buang, juga dilakuan sebagai perbandingan apakah kendaraan yang akan digunakan untuk sampling utama layak atau tidak. Pengambilan emisi gas buang kendaraan ini dilakukan di beberapa bengkel penyelenggara uji emisi yaitu di bengkel Toyota Setiajaya Mobilindo Depok, bengkel Nawilis Tanah Abang, bengkel Tunas Isuzu Daan Mogot, dan Bengkel Trimanita Dwi Persada Bekasi

3.2.2 Pengambilan Data Primer Tahap II

Pengambilan data primer tahap II dilakukan dengan menguji gas buang kendaraan bermotor sebelum ditambahkan adsorben dan setelah ditambahkan adsorben. Kendaraan yang digunakan adalah mobil Toyota Avanza tahun produksi 2005 dengan bahan bakar bensin. Pemilihan kendaraan didasarkan dari semakin lama tahun produksi maka semakin banyak emisi gas buang yang dihasilkan, sehingga nantinya akan mudah melihat penurunan gas buang sebelum dan sesudah ditambahkan adsorben. Pengujian gas buang dilakukan di bengkel penyelenggara uji emisi yaitu bengkel Andala Ban, JL. Radio Dalam No. F1. Hasil pengukuran gas buang dengan parameter CO dan CO2 dicatat sebagai data

primer yang digunakan untuk penelitian.

3.3 Alat dan Bahan 3.4.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumpang dan alu, ayakan 100 mesh, beaker glass, gelas ukur, oven, neraca analitis, labu u

kur, stirrer magnetik, penangas, ball pipet, pipet mohr, pipet massa, dan alat uji emisi kendaraan Brain Bee AGS-688.

3.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah abu terbang dari PLTU Suralaya, Larutan H2SO4, dan Aquades.

Gambar 3.2 F ly Ash PLTU Suralaya Sebagai Bahan Utama Pembuatan Adsorben

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2015

3.5 Desain Alat

Desain alat yang digunakan ialah suatu alat sederhana yang berbahan dasar besi yang dibuat secara khusus menyerupai knalpot tambahan pada kendaraan bermotor. Alat ini berbentuk seperti knalpot kendaraan yang didesain khusus agar dengan mudah dilakukan penggantian adsorben fly ash yang digunakan untuk menyerap gas buang kendaraan bermotor.

Gambar 3.3 Rancangan Tabung Adsorbsi

(6)

6

(b)

Gambar 3.4 (a) Knalpot Uji (b) Proses pada saat pengujian emisi

Sumber: Dokumentasi Penulis, 2015

3.6 Pembuatan Adsorben Fly Ash (Yuliani, 2013)

Untuk meningkatkan performa adsorben, maka fly ash akan diaktifkan dengan cara direfluks dengan larutan H2SO4 3 % dengan tujuan untuk

membersihkan permukaan pori dari senyawa pengotor yang dapat mengganggu penyerapan emisi gas buang. Fly ash kemudian dicuci dengan aquades sampai netral dan selanjutnya dikeringkan.

Selanjutnya dilakukan pemanasan terhadap fly ash dengan tujuan untuk menguapkan air yang terperangkap dalam pori-pori fly ash sehingga luas permukaan pori-pori bertambah. Pemanasan dilakukan dalam oven biasa pada suhu 150oC selama 3 jam.

3.6.1 Pencucian Fly Ash

Fly ash yang diambil dari PLTU Suralaya, dicuci dengan aquades untuk menghilangkan kotoran-kotorannya, kemudian dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 90-100oC selama

2 jam.

3.6.2 Aktivasi Dengan Penambahan Larutan H2SO4

Sebanyak 100 ml larutan H2SO4 dengan

konsentrasi 3% ditambahkan ke dalam 100 gram fly ash dalam labu. Setelah itu direfluks pada suhu 60°C dengan waktu 60 menit dengan bantuan stirrer magnetik. Kemudian fly ash disaring menggunakan kertas saring dan dicuci dengan aquades sampai beberapa kali untuk menurunkan keasamannya (sampai netral). Fly ash dikeringkan menggunakan oven pada suhu 110°C selama 3 jam.

3.7 Variasi Penelitian

Variasi penelitian meliputi variasi adsorben dan variasi waktu kontak.Diameter dan massa adsorben yang digunakan untuk penyerapan emisi gas buang kendaraan. Diameter adsorben yang digunakan adalah 100, 200, dan 300 mesh. Sedangkan massa adsorben yang digunakan adalah 100, 200, dan 300 gram. Variasi lama paparan yang dilakukan adalah 2 sampai 10 menit untuk melihat proses desorpsi dari adsorben yang digunakan.Variasi lama paparan

hanya dilakukan untuk variasi adsorben paling optimum.

Gambar 3.6 Fly ash dengan Variasi Massa

3.8 Pengujian Adsorben

Setelah seluruh perlengkapan siap maka proses sampling dilakukan untuk melihat penyerapan emisi gas buang kendaraan bermotor oleh fly ash. Kendaraan yang digunakan dalam sampling ini adalah kendaraan roda empat berbahan bakar bensin dengan tahun produksi 2005. Untuk menguji kestabilan fly ash sebagai penyerap emisi gas buang, maka untuk setiap varians diujikan masing-masing sebanyak 2 kali dalam selang waktu 3 minggu.

3.9 Alat Uji Emisi Kendaraan Bermotor

Alat ukur emisi gas yang digunakan merk Brain Bee AGS-688 dengan range pengukuran CO 0 – 9,99% dan CO2 0 – 50%. Display dari alat pengukur

tersebut terhubung dengan probe atau sensor gas berupa batang tembaga dengan panjang 30 cm yang dimasukkan ke dalam lubang keluaran gas pada knalpot kendaraan. Antara probe dan display dihubungkan dengan selang. Pengujian dilakukan dengan mengukur kadar emisi gas CO dan CO2 dengan

variasi tanpa adsorben, menggunakan sampel awal dan adsorben yang telah diaktivasi kimia. Adapun gas buang yang dapat dianalisis antara lain gas buang CO, CO2, dan HC. Sebelum dilakukan pengukuran, maka

engine harus dipanaskan selama 15 menit dan kondisi alat ukur harus dalam keadaan nol (terkalibrasi). Pengukuran kadar emisi gas CO dilakukan dengan memasukkan probe ke dalam knalpot dan muncul nilai kadar emisi gas buang pada LCD alat ukur, dalam hal ini gas CO dan CO2 dalam satuan %.

Gambar 3.6 Alat Uji Emisi

(7)

7

3.10 Menghitung Prediksi Emisi CO Dan CO2

Prediksi emisi gas CO dan CO2 dilakukan

untuk menghitung penurunan emisi gas CO dan CO2

setelah dilakukan penambahan adsorben pada kendaraan bermotor. Perhitungan penurunan emisi CO dan CO2 ini bertujuan untuk melihat seberapa optimal

penggunaan adsorben fly ash apabila digunakan dalam lingkup satu kota dan hasilnya akan dibandingkan dengan peraturan pemerintah yang menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dari sektor transportasi pada tahun 2020.

Perhitungan penurunan emisi CO dan CO2

menggunakan persamaan mobile 6 dan dapat dilakukan setelah mengetahui jumlah total emisi CO dan CO2

secara keseluruhan dari semua kendaraan. Pada penelitian ini data kendaraan yang digunakan adalah data jumlah kendaraan yang ada di wilayah DKI Jakarta. Ada beberapa langkah dalam melakukan perhitungan emisi CO dan CO2, yaitu:

1. Menghitung Proyeksi Jumlah Kendaraan dan Jumlah Bahan Bakar

Untuk mengetahui jumlah kendaraan dan jumlah bahan bakar pada tahun 2020 di DKI Jakarta, maka dilakukan proyeksi kendaraan dan jumlah bahan bakar dengan metode regresi linier sederhana (Draper and Smith, 1992). Data jumlah kendaraan dan jumlah bahan bakar sudah di dapat sebelumnya dari institusi terkait. Persamaan yang digunakan adalah:

Ŷ = b0 + b1X

..……..(1)

Nilai b1 dan b0 dihitung dengan menggunakan

persamaan (2) dan (3):

b1 = ∑∑ −[ ∑2 ∑ ]/

− ∑ 2/ =

∑ − Ẋ −Ẏ

∑ −Ẋ2 ..…(2)

b0 = Ẏ - b1Ẋ .….(3)

Dengan

Xi = Tahun ke – n

Yi = Jumlah Kendaraan/Bahan Bakar

n = Banyaknya data

Ẏ = Rata-rata jumlah kendaraan/bahan bakar

Ẋ = Rata-rata jumlah tahun

Ŷ = Proyeksi jumlah kendaraan/bahan bakar

X = Tahun yang diinginkan

2. Perhitungan konversi jumlah kendaraan

Sebelum menghitung emisi CO dan CO2, data

kendaraan terlebih dahulu dikonversi ke dalam satuan mobil penumpang (smp). Contoh perhitungan konversi ini adalah untuk kendaraan pada tahun 2015. Dimana persamaan yang digunakan adalah menggunakan persamaan 4

n = m xFK …..(4)

Dengan:

n = jumlah kendaraan setelah dikonversi (smp) m = jumlah kendaraan sebelum dikonversi

(kendaraan)

FK = Faktor koreksi (smp/kendaraan)

Dimana, faktor koreksi kendaraan terlihat pada tabel 3.2

Tabel 3.2 Faktor Koreksi Kendaraan

Jenis kendaraan Jumlah kendaraan Tahun 2015 (smp)

Sepeda Motor 0,25

Mobil 1,00

Ket: smp: satuan mobil penumpang

Sumber: Indonesia Highway Capacity Manual, 1993

3. Perhitungan Fraksi Kendaraan

Dalam perhitungan fraksi kendaraan ini, data -data yang diperlukan adalah -data jumlah kendaraan. Dimana data jumlah kendaraan ini dikelompokkan berdasarkan jenis bahan bakarnya yakni dalam penelitian ini menggunakan bahan bakar bensin dan sudah dikonversi ke satuan mobil penumpang. Perhitungan fraksi kendaraan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (5)

Fraksi Kendaraan

ℎ /

� ℎ � � ℎ

…....(5)

4. Perhitungan faktor emisi

Dalam perhitungan factor emisi ini, data-data yang diperlukan adalah data factor emisi yang berasal dari Suhadi, 2008. Dimana persamaan yang digunakan adalah persamaan (6)

ERn = [ Faktor Emisi x Densitas ] ...…(6)

(8)

8

Densitas bensin = 0,71 kg/l

Tabel 3.3 Data Faktor Emisi (Suhadi, 2008)

Kategori CO2 (g/kg) CO (g/kg)

Sepeda motor 3.18 14

Mobil

(bensin) 3.18 40

5. Perhitungan emisi 1 liter kendaraan

Dalam perhitungan emisi 1 liter kendaraan, data-data yang diperlukan adalah data-data fraksi kendaraan, data-data jumlah kendaraan dan data faktor emisi. Persamaan yang dapat digunakan adalah persamaan (7)

e = [ ∑�=1 ��� � � � ��� ]

Dalam perhitungan junlah emisi CO dan CO2,

data-data yang diperlukan adalah data rata-rata jumlah bahan bakar per kendaraan yang didapat dari perhitungan serta data total emisi 1 liter kendaraan. Dimana persamaan yang digunakan adalah persamaan (8) dan (9)

Fuel =Rata-rata bahan bakar per kendaraan (l/smp)

(Jennifer and Ata dalam Boedisantoso, 2010)

4.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

4.1 Karakteristik Adsorben

Sebelum fly ash batubara digunakan sebagai adsorben dalam proses adsorpsi, fly ash batubara terlebih dahulu diaktivasi menggunakan asam sulfat. Dalam penelitian ini asam sulfat digunakan sebagai aktivator karena mempunyai jumlah ion H+ yang lebih

banyak dari asam-asam lainnya, serta mempunyai sifat

higroskopis yang dapat menyerap kandungan air yang terdapat pada fly ash. Selain itu, tujuan aktivasi ini adalah untuk menukar kation yang ada dalam fly ash menjadi H+ dan melepaskan ion Al, Fe, Mg dan

pengotor-pengotor lainnya (mengandung unsur alkali/alkali tanah) dari kisi-kisi struktur.

Selama proses aktivasi, pengotor yang terdapat pada permukaan adsorben dan menutupi situs aktif dari adsorben dapat dihilangkan dengan cara dilarutkan dengan asam sulfat sehingga rangkaian struktur adsorben mempunyai area yang lebih luas, serta situs aktifnya juga mengalami peningkatan karena situs yang tersembunyi menjadi terbuka dan kemungkinan juga akan memunculkan situs aktif baru akibat reaksi pelarutan. Peningkatan luas permukaan spesifik pori dan situs aktifnya dapat meningkatkan kemampuan adsorpsinya.

Untuk mengetahui karakteristik fly ash adsorben sebelum dan sesudah diaktivasi menggunakan larutan H2SO4, maka dilakukan pengujian XRF untuk

mengatahui kandungan mineral yang terdapat pada adsorben. Hasil uji XRF di sajikan pada tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Hasil Uji XRF F ly Ash Sebelum dan Sesudah Aktivasi

Sumber: Data Primer. Uji XRF, 2015

Berdasarkan hasil X-Ray Fluorosence (XRF) pada tabel 4.1 terlihat bahwa kandungan logam Si pada fly ash meningkat setelah dilakukan aktivasi kimia. Sedangkan kandungan logam Al pada fly ash menurun setelah dilakukan aktivasi kimia. Selain itu hasil XRF juga menunjukkan bahwa kadar logam alkali dan alkali tanah seperti Na, K, Mg, Fe dan Ca mengalami penurunan setelah aktivasi kimia. Hal ini mengindikasikan bahwa proses aktivasi dengan penambahan larutan asam H2SO4 mampu

(9)

9

Dengan meningkatnya kandungan logam Si dan menurunnya kandungan logam Al, berarti rasio Si/Al meningkat. Dengan semakin besarnya rasio Si/Al maka adsorben tersebut bersifat hidrofobik, artinya pori-pori adsorben lebih tidak suka air atau cenderung kering. Dengan begitu adsorben memiliki daya adsorbs tinggi pada senyawa karbon. Selain itu rasio Al/Si yang tinggi menyebabkan adsorben memiliki lebih banyak pusat aktif dengan keasaman tinggi dalam melakukan adsorbsi.

4.2 Uji Adsorben

Adsorbsi gas merupakan proses dimana molekul gas terperangkap ke dalam struktur suatu media padat dan seolah-olah menjadi bagian dari keseluruhan media tersebut. Bahan penyerap merupakan suatu padatan yang mempunyai sifat mengikat molekul gas pada permukaannya. Padatan yang berfungsi sebagai bahan penyerap dalam penelitian ini adalah fly ash yang disebut adsorben.

4.2.1 Variasi Diameter dan Massa

Pengujian adsorpsi gas CO dan CO2 dilakukan

dengan mengukur kadar emisi gas buang CO dan CO2

pada mesin mobil berbahan bakar bensin. Proses pengambilan data dilakukan menggunakan probe yang dimasukkan ke dalam knalpot uji yang dihubungkan ke knalpot mobil. Pengujian dilakukan pada fly ash yang telah diaktivasi kimia karena dari hasil analisis XRF, adsorben yang telah diaktivasi kimia mengalami perubahan kandungan mineral yang sangat signifikan dibandingkan dengan fly ash yang yang tidak diaktivasi. Pengukuran kadar emisi dilakukan pada knalpot tanpa adsorben dan dengan adsorben yang telah diaktivasi. Pengukuran kadar emisi gas CO dan CO2 dilakukan menggunakan sistem idle di mana

pengukuran hanya dilakukan dengan pengukuran tanpa penambahan beban sehingga nilai yang diambil berupa kadar emisi gas CO dan CO2 dengan mengganti-ganti

adsorben saja setiap variasi adsorben. Waktu pengambilan data yang diambil selama 30 detik tanpa perubahan kecepatan mobil dan tanpa pembebanan.

Variasi adsorben yang dilakukan adalah variasi terhadap diameter dan massa adsorben. Sebelum dilakukan uji adsorben, terlebih dahulu dilakukan pengukuran emisi gas buang untuk parameter CO dan CO2. Nilai konsentrasi gas buang

CO sebelum dilakukan uji adsorben adalah sebesar 1,09%. Pengukuran gas buang menggunakan adsorben dilakukan sebanyak dua kali agar didapat hasil yang lebih akurat. Hasil rekapitulasi pengukuran emisi gas CO disajikan dalam gambar 4.1.

Gambar 4.1 Hasil Pengukuran CO Tanpa dan Dengan Adsorben

Dari gambar 4.1 dapat dilihat bahwa konsentrasi emisi gas untuk CO dari mobil uji sebesar 1,09%. Setelah dilakukan penambahan adsorben yang diletakkan pada kanlpot uji, dapat terlihat bahwa konsentrasi CO menurun. Penurunan emisi gas CO yang paling besar ditunjukkan pada variasi adsorben dengan diameter 300 mesh dan massa 300 gram, yaitu konsentrasi emisi gas CO sebesar 1,09% menjadi 0,20%. Sedangkan nilai penurunan konsentrasi gas CO yang paling kecil ditunjukkan oleh variasi adsorben dengan diameter 100 mesh dan massa 100 gram, yaitu dari 1,09% menjadi 0,38%.

Nilai emisi gas CO yang terukur pada masing-masing variasi adsorben untuk diameter 100 dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 0,38%; 0,36%; dan 0,35%. Nilai emisi gas CO yang terukur pada masing-masing variasi adsorben dengan diameter 200 dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 0,30%; 0;28%; dan 0,25%. Sedangkan nilai emisi gas CO yang terukur pada masing-masing vaiasi adsorben untuk diameter 300 mesh dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 0,24%; 0,23%; dan 0,20%.

Sementara itu, pengukuran emisi gas CO2

-tanpa dan dengan adsorben disajikan pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Hasil Pengukuran CO2 Tanpa dan Dengan

Adsorben

Pengukuran gas buang CO2 tanpa

(10)

10

CO2 sebelum penambahan adsorben adalah sebesar

13,6% dan pengukuran nilai emisi gas buang CO2

menggunakan adsorben juga dilakukan sebanyak dua kali untuk hasil yang lebih akurat.

Dari gambar 4.2 terlihat bahwa penurunan emisi CO2 yang paling besar ditunjukkan oleh variasi

adsorben dengan diameter 300 mesh dan massa 300 gram yaitu dengan nilai emisi CO2 awal sebesar 13,6%

menjadi 4,74%. Sedangkan penurunan emisi paling kecil ditunjukkan pada variasi adsorben dengan diameter 100 mesh dan massa 100 gram yaitu dengan nilai emisi CO2 awal sebesar 13,6% menjadi 5,88%.

Nilai emisi gas CO2 yang terukur pada

masing-masing variasi adsorben untuk diameter 100 dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 5,88%; 5,83%; dan 5,81%. Nilai emisi gas CO2 yang

terukur pada masing-masing variasi adsorben dengan diameter 200 dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 5,81%; 5;65%; dan 4,94%. Sedangkan nilai emisi gas CO yang terukur pada masing-masing vaiasi adsorben untuk diameter 300 mesh dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 4,94%; 4,81%; dan 4,74%.

Dari hasil pengamatan penggunaan adsorben tanpa dan dengan menggunakan adsorben seperti pada tabel 4.2 dan 4.3, maka dapat dihitung berapa penurunan emisi CO dan CO2 yang terjadi ketika

kendaraan ditambahkan adsorben. Hasil perhitungan penurunan emisi CO dan CO2 disajikan pada gambar

4.3 dan 4.4 berikut.

Gambar 4.3 Grafik Penurunan Emisi CO

Gambar 4.4 Grafik Penurunan Emisi CO2

Berdasarkan pada gambar 4.4 dan 4.5 penurunan emisi CO dan CO2 terjadi pada variasi

adsorben dengan diameter 300 mesh dan massa 300 gram. Nilai penurunan emisi CO per variasi diameter

100 dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 0,71%; 0,73%; dan 0,74%. Nilai penurunan emisi CO untuk variasi diameter 200 mesh dan diameter 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 0,79%; 0,81%, dan 0,84%. Nilai untuk penurunan emisi CO untuk variasi diameter 300 mesh dan massa 100, 200, 300 gram berturut adalah 0,85%; 0,87%; dan 0,89%.

Sedangkan untuk penurunan emisi CO2 untuk

variasi diameter 100 dan massa 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 7,73%; 7,77%; dan 7,79%. Nilai penurunan emisi CO untuk variasi diameter 200 mesh dan diameter 100, 200, 300 gram berturut-turut adalah 7,79%; 7,95%, dan 8,66%. Nilai untuk penurunan emisi CO untuk variasi diameter 300 mesh dan massa 100, 200, 300 gram berturut adalah 8,67%; 8,79%; dan 8,86%.

Berdasarkan hasil pengukuran emisi gas CO dan CO2 tanpa dan dengan adsorben yang terlihat pada

gambar 4.4 dan 4.5, adsorben dengan diameter 300 mesh dan massa 300 gram memiliki kemampuan penyerapan paling besar dibandingkan dengan adsorben lainnya, sehingga penurunan emisi yang terjadi juga lebih besar dibandingkan dengan variasi lainnya . Hal ini dikarenakan komposisi massa adsorben yang digunakan lebih banyak dibandingkan yang lainnya, sehingga kemampuan penyerapan terhadap gas CO dan CO2 juga menjadi lebih besar.

Dengan demikian semakin banyak massa adsorben, maka semakin tinggi penyerapan gas yang terjadi, yang ditunjukkan semakin kecil nilai emisi gas buang yang terukur.

Penyerapan yang lebih tinggi pada adsorben dengan diameter 300 mesh dan massa 300 gram disebabkan oleh zona adsorbsi pada massa 300 gram lebih luas dibandingkan dari adsorben dengan massa 100 dan 200 gram. Zona adsorbsi ini merupakan bidang kontak antara adsorben dengan gas CO dan CO2

(adsorbat). Semakin luas zona adsorb maka gas CO dan CO2 yang terjerap oleh adsorben akan semakin besar

sehingga konsentrasi gas CO dan CO2 yang diemisikan

akan semakin kecil.

Selain massa adsorben, diameter adsorben juga mempengaruhi penyerapan gas CO dan CO2.

(11)

11

dengan menurunnya konsentras gas CO dan CO2 yang

terukur.

Penurunan konsentrasi emisi gas CO dan CO2

ini terjadi karena sebagian dari emisi CO dan CO2 telah

terjerap oleh media adsorben. Pada knalpot uji terjadi proses adsorbsi gas oleh zat padat, dimana fly ash berfungsi sebagai adsorben, CO dan CO2 merupakan

adsorbat dan knalpot uji dalam hal ini berfungsi sebagai kolom kontinu untuk proses adsorbsi. Sebagian dari polutan gas CO dan CO2 akan terjerap ke dalam

pori-pori adsorben pada knalpot uji, sedangkan sebagian yang lain dari polutan CO dan CO2 yang tidak

terjerap oleh pori-pori adsorben akan keluar sebagai emisi gas buang.

Dari gambar 4.3 dan 4.4, dapat disimpulkan bahwa efisiensi adsorben dengan diameter lebih kecil dan massa lebih besar akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Nilai efisiensi berdasarkan dari diameter adsorben untuk gas CO dan CO2 dapat dilihat pada

grafik 4.5 dan 4.6 berikut.

Gambar 4.5. Grafik Efisiensi Penyerapan Gas CO Terhadap Diameter

Gambar 4.5. Grafik Efisiensi Penyerapan Gas CO2

Terhadap Diameter

Nilai efisiensi penyerapan gas CO untuk diameter 100, 200, dan 300 mesh berturut-turut adalah 66,67; 74,62; dan 79,66%. Sementara untuk nilai efisiensi penyerapan gas CO2 untuk diameter 100, 200,

dan 300 mesh berturut-turut adalah 55,43; 58,27; 63,14%.

4.2.2 Variasi Waktu Kontak

Pengujian adsorben untuk melihat variasi waktu kontak dilakukan dengan cara menghubungkan probe alat uji emisi ke dalam knalpot uji selama beberpa waktu yang telah ditentukan. Pengujian variasi waktu kontak ini dilakukan untuk melihat kondisi jenuh adsorben, dimana pada waktu tertentu kemampuan adsorbsi dari adsorben mengalami penurunan. Penentuan variasi waktu dilihat dari seberapa lama adsorben dapat menyerap gas CO dan CO2. Uji waktu kontak akan diteruskan selama proses

adsorbsi belum mencapai titik jenuhnya.

Hasil penelitian untuk melihat waktu jenuh adsorben dalam menyerap gas CO ditunjukkan pada tabel 4.2 dan gambar 4.7 berikut

Tabel 4.2 Rekapitulasi Penurunan Emisi CO Terhadap Waktu Kontak

Sumber: Perhitungan Penulis, 2015

Gambar 4.7. Grafik Hubungan Waktu Kontak Terhadap Konsentrasi Gas CO

Dari gambar 4.7 dapat dilihat terjadi penurunan nilai konsentrasi CO dan CO2. Pada grafik

4.3 yang menunjukkan kondisi lama paparan gas CO terhadap waktu, terlihat konsentrasi CO menurun dari 0,21% menjadi 0,16% di menit ke-4 hingga di menit ke-12. Sedangkan di menit ke-14 konsentrasi CO naik kembali hingga di menit ke-18, nilai konsentrasi CO mencapai nilai awal kondisi waktu penyerapan 2 menit. Dengan demikian pada menit ke-2 hingga menit ke-12 adsorbat masih dapat menempel pada permukaan adsorben, namun pada menit ke-14 konsentrasi emisi gas CO naik kembali, artinya adsorben telah

Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3

0 1.09 0.2 0.2 0.21 0.20

2 1.09 0.21 0.21 0.19 0.20

4 1.09 0.21 0.19 0.19 0.20

6 1.09 0.19 0.19 0.18 0.19

8 1.09 0.18 0.18 0.18 0.18

10 1.09 0.18 0.17 0.17 0.17

12 1.09 0.15 0.16 0.15 0.15

14 1.09 0.16 0.17 0.16 0.16

16 1.09 0.18 0.18 0.17 0.18

18 1.09 0.21 0.22 0.21 0.21

Rata-rata CO (%) Variasi Lama

Paparan (menit)

Dengan Adsorben CO (%) Tanpa Adsorben

(12)

12

mengalami kondisi jenuh di menit ke-14. Pada menit ke-14 juga dapat dikatakan bahwa telah terjadi peristiwa desorpsi, dimana molekul zat yang telah diserap oleh adsorben akan dilepaskannya kembali, sehingga emisi gas buang CO pada kendaraan menjadi naik kembali.

Hasil penelitian untuk melihat waktu jenuh adsorben dalam menyerap gas CO2 ditunjukkan pada

tabel 4.3 dan gambar 4.8 berikut

Tabel 4.3 Rekapitulasi Penurunan Emisi CO2 Terhadap

Waktu Kontak

Sumber: Perhitungan Penulis, 2015

Gambar 4.8 Grafik Hubungan Waktu Kontak Terhadap Konsentrasi Gas CO2

Berbeda dengan penyerapan gas CO2 yang

memiliki waktu jenuh di menit ke 14, untuk gas CO2,

waktu jenuh terjadi di menit ke-18 hingga pada menit ke-22 nilai konsentrasi CO2 mencapai nilai awal

kondisi waktu penyerapan 2 menit. Dengan demikian adsorben untuk gas CO2 mencapai kondisi jenuh dan

terjadi peristiwa desorpsi pada menit ke-18.

Permukaan adsorben memiliki sejumlah tertentu situs aktif penyerapan. Banyaknya situs aktif tersebut sebanding dengan luas permukaan adsorben. Situs aktif ini merupakan media adsorbat menempel pada permukaan adsorben. Pada waktu tertentu situs aktif ini akan mengalami titik jenuh dan akan terjadi desorpsi, yaitu peristiwa terurainya kembali molekul yang telah diserap oleh adsorben ke permukaan.

Pada keadaan dimana zona adsorbs belum jenuh dengan adsorbat maka kenaikkan konsentrasi adsorbat akan dapat menaikkan jumlah molekul yang teradsorbsi. Bila zona adsorbsi sudah jenuh dengan adsorbat maka kenaikkan konsentrasi adsorbat relatif tidak menaikkan jumlah molekul yang teradsorbsi.

Dalam penelitian ini, keadaan adsorben yang cepat jenuh dipengaruhi beberapa faktor, satu diantaranya adalah jarak antara gas yang keluar dengan adsorben terlalu pendek sehingga menyebabkan adsorbat lebih cepat menempel pada permukaan adsorben yang mengakibatkan adsorben menjadi cepat jenuh. Selain itu kapasitas adsorben yang tidak mencukupi juga mempengaruhi waktu jenuh adsorben. Menurut Bethea (1978) ada beberapa kriteria desain dalam menentukan adsorben agar dapat digunakan secara optimal, yaitu:

1. Dilakukan pretreatment yang memadai untuk meghilangkan partikulat yang dapat menghalangi sisi aktif adsorben. Dalam penelitian ini, pretreatment sudah dilakukan, tetapi mungkin saja ada pretreatment lain yang lebih baik untuk menghilangkan partikulat yang dapat menghalangi sisi aktif adsorben, sehingga waktu jenuh adsorben dapat lebih lama.

2. Dibuat waktu tinggal yang cukup untuk mencapai penyisihan kontaminan yang diinginkan, dengan cara spesifikasi dari kedalaman bed atau pengaturan pada kecepatan dibuat lambat atau dengan memperpanjang kolom. Cara ini dapat dilakukan dengan membuat arah aliran gas secara vertical sehingga adsorben dapat diatur ketebalannya dan menutupi kolom bed, sehingga waktu tinggal menjadi lama dan keceptan yang lambat serta panjangnya kolom dapat memperlambat waktu jenuh.

3. Sistem harus dibuat untuk adanya pergantian bed, penyisihan atau regenerasi secara rutin. Jika tidak dilakukan maka kapasitas tidak terpenuhi dan efektivitas tidak tercukupi. Hal ini yang terjadi pada penelitian ini. Tidak adanya sistem pergantian adsorben menyebabkan waktu jenuh adsorben lebih sebentar. Selain itu, tidak adanya regenerasi atau proses desorpsi yang terjadi dengan mengalirkan uap tekan yang tinggi sehingga partikel gas yang telah diadsorb dapat terlepas dan adsorben yang sudah mengalami regenerasi, mengakibtkan waktu jenuh yang cepat.

4.3 Perhitungan Penurunan Emisi CO dan CO2

Perhitungan penurunan emisi CO dan CO2

dilakukan untuk melihat seberapa optimal penggunaan adsorben fly ash apabila digunakan dalam lingkup satu

Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3

0 13.6 4.74 4.74 4.75 4.74

2 13.6 4.74 4.73 4.73 4.74

4 13.6 4.73 4.73 4.72 4.73

6 13.6 4.72 4.72 4.73 4.72

8 13.6 4.72 4.7 4.71 4.71

10 13.6 4.69 4.69 4.69 4.69

12 13.6 4.68 4.68 4.69 4.68

14 13.6 4.66 4.68 4.68 4.67

16 13.6 4.69 4.71 4.7 4.70

18 13.6 4.71 4.71 4.7 4.71

20 13.6 4.73 4.72 4.71 4.73

22 13.6 4.76 4.75 4.73 4.76

Rata-rata Dengan Adsorben CO2 (%)

Variasi Lama Paparan (menit)

(13)

13

kota dan hasilnya akan dibandingkan dengan peraturan pemerintah yang menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dari sektor transportasi pada tahun 2020.

Perhitungan penurunan emisi CO dan CO2

dapat dilakukan setelah mengetahui jumlah total emisi CO dan CO2 secara keseluruhan dari semua kendaraan

dan jumlah bahan bakar yang digunakan pada tahun 2020 dengan cara-cara seperti pada metodologi penelitian. Pada penelitian ini data kendaraan dan jumlah bahan bakar yang digunakan adalah data jumlah kendaraan yang ada di wilayah DKI Jakarta. Jenis kendaraan yang digunakan adalah semua jenis kendaraan bensin yaitu sepeda motor dan mobil (bensin) karena adsorben yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan pada kendaraan uji berjenis kendaraan bensin. Data jumlah kendaraan di Jakarta tersedia data dari tahun 2000 hingga 2010, sehingga untuk mengetahui jumlah kendaraan yang ada pada tahun 2020 harus dilakukan proyeksi jumlah kendaraan bermotor. Setelah melakukan perhitungan total emisi CO dan CO2, maka dapat dihitung penurunan emisi CO

setelah penggunaan adsorben pada tahun 2020 seperti pada tabel 4.4-4.6 dan untuk CO2 dapat dilihat pada

tabel 4.7-4.9

Tabel 4.4 Penurunan Emisi CO untuk Adsorben Diameter 100 pada Tahun 2011-2020

Tabel 4.5 Penurunan Emisi CO untuk Adsorben Diameter 200 pada Tahun 2011-2020

Tabel 4.6 Penurunan Emisi CO untuk Adsorben Diameter 300 pada Tahun 2011-2020

Tabel 4.7 Penurunan Emisi CO2 Adsorben Diameter

100 pada Tahun 2011-2020

Tabel 4.8 Penurunan Emisi CO2 Adsorben Diameter

200 pada Tahun 2011-2020

Tabel 4.9 Penurunan Emisi CO2 Adsorben Diameter

300 pada Tahun 2011-2020 Kg CO Ton CO Vol 100 Vol 200 Vol 300

2011 525368390 525368 65.14 66.97 67.89 2012 528994219 528994 65.14 66.97 67.89 2013 558255324 558255 65.14 66.97 67.89 2014 587537517 587538 65.14 66.97 67.89 2015 616837353 616837 65.14 66.97 67.89 2016 646152097 646152 65.14 66.97 67.89 2017 675479553 675480 65.14 66.97 67.89 2018 704817936 704818 65.14 66.97 67.89 2019 734165779 734166 65.14 66.97 67.89 2020 763521867 763522 65.14 66.97 67.89 Tahun 2011 525368390 525368 72.48 74.31 77.06 2012 528994219 528994 72.48 74.31 77.06 2013 558255324 558255 72.48 74.31 77.06 2014 587537517 587538 72.48 74.31 77.06 2015 616837353 616837 72.48 74.31 77.06 2016 646152097 646152 72.48 74.31 77.06 2017 675479553 675480 72.48 74.31 77.06 2018 704817936 704818 72.48 74.31 77.06 2019 734165779 734166 72.48 74.31 77.06 2020 763521867 763522 72.48 74.31 77.06 Tahun 2011 525368390 525368 77.98 79.36 81.65 2012 528994219 528994 77.98 79.36 81.65 2013 558255324 558255 77.98 79.36 81.65 2014 587537517 587538 77.98 79.36 81.65 2015 616837353 616837 77.98 79.36 81.65 2016 646152097 646152 77.98 79.36 81.65 2017 675479553 675480 77.98 79.36 81.65 2018 704817936 704818 77.98 79.36 81.65 2019 734165779 734166 77.98 79.36 81.65 2020 763521867 763522 77.98 79.36 81.65 Tahun 2011 58871533980 58871534 55.15 55.5 55.65 2012 59606540100 59606540 55.15 55.5 55.65 2013 63210760845 63210761 55.15 55.5 55.65 2014 66814981590 66814982 55.15 55.5 55.65 2015 70419202335 70419202 55.15 55.5 55.65 2016 74023423080 74023423 55.15 55.5 55.65 2017 77627643825 77627644 55.15 55.5 55.65 2018 81231864570 81231865 55.15 55.5 55.65 2019 84836085315 84836085 55.15 55.5 55.65 2020 88440306060 88440306 55.15 55.5 55.65 Tahun 2011 58871533980 58871534 55.65 56.87 62.29 2012 59606540100 59606540 55.65 56.87 62.29 2013 63210760845 63210761 55.65 56.87 62.29 2014 66814981590 66814982 55.65 56.87 62.29 2015 70419202335 70419202 55.65 56.87 62.29 2016 74023423080 74023423 55.65 56.87 62.29 2017 77627643825 77627644 55.65 56.87 62.29 2018 81231864570 81231865 55.65 56.87 62.29 2019 84836085315 84836085 55.65 56.87 62.29 2020 88440306060 88440306 55.65 56.87 62.29

% Penurunan 2011 Kg CO2 Ton CO2 62.33 63.28 63.82 2012 58871533980 58871534 62.33 63.28 63.82 2013 59606540100 59606540 62.33 63.28 63.82 2014 63210760845 63210761 62.33 63.28 63.82 2015 66814981590 66814982 62.33 63.28 63.82 2016 70419202335 70419202 62.33 63.28 63.82 2017 74023423080 74023423 62.33 63.28 63.82 2018 77627643825 77627644 62.33 63.28 63.82 2019 81231864570 81231865 62.33 63.28 63.82 2020 84836085315 84836085 62.33 63.28 63.82 Tahun

Emisi CO2 per kendaraan bensin

(14)

14

Pada tahun 2020, diprediksi total emisi CO yang disumbangkan dari kendaraan bermotor sebesar 764522 ton CO dan ketika ditambahkan adsorben total emisi CO dapat turun menjadi 140106 ton CO. untuk total emisi CO2 pada tahun 2020, diprediksi kendaraan

bermotor dapat menyumbang hingga 84440306 ton CO2 dan setelah dilakukan penambahan adsorben total

emisi CO2 dapat turun menjadi 31997703 ton CO2.

Dari hasil perhitungan penurunan emisi CO dan CO2,

dapat dilihat bahwa setiap variasi adsorben memiliki kemampuan untuk menurunkan emisi gas CO dan CO2

rata-rata diatas 50%.

Dalam penelitian ini, perhitungan penurunan total emisi tersebut akan efektif apabila pemakaian adsorben dilakukan selama waktu aktif kendaraan dan digunakan sepanjang tahun. Namun, dalam penelitian ini, pemakaian adsorben dapat dilakukan hanya sebatas 20 menit sebelum adsorben mengalami kondisi jenuh, sehingga apabila penurunan diatas 50% tercapai, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar kondisi adsorben mampu menurunkan total emisi yang diharapkan.

Jika dibandingkan dengan peraturan pemerintah sesuai perjanjian COP 21, yang mengharuskan upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada sektor transportasi, maka penggunaan adsorben dari fly ash dapat mendukung upaya pemerintah dalam penurunan emisi gas rumah kaca pada tahun 2020 dengan penurunan lebih dari 29% dengan asumsi bahwa pemakaian adsorben digunakan selama masa aktif kendaraan dan digunakan sepanjang tahun.

4.4 Korelasi Jumlah Emisi CO dan CO2 terhadap

Performa Kendaraan dan Pengaruhnya terhadap Lingkungan

Emisi gas buang CO dan CO2 pada kendaraan

bermotor berbanding terbalik dalam kaitannya terhadap performa kendaraan. Pada kondisi kendaraan yang baik, emisi gas CO2 yang dihasilkan akan

semakin tinggi sedangkan emisi gas CO akan semakin rendah. Sebaliknya pada kondisi kendaraan dengan performa yang kurang baik, emisi CO2 yang dihasilkan

akan semakin rendah sedangkan emisi CO yang dihasilkan akan semakin tinggi.

Tingginya emisi CO dan CO2 yang

menunjukkan performa kendaraan, dilihat dari pencampuran antara bahan bakar dengan udara yang terjadi dalam ruang mesin. Pencampuran antara bahan bakar dengan udara ini disebut dengan AFR (Air Fuel Ratio) yang disimbolkan dengan lambda (λ) pada hasil uji emisi kendaraan bermotor. Nilai lambda ini akan memperlihatkan seberapa sempurna proses pembakaran yang terjadi pada ruang pembakaran.

Idealnya nilai λ=1, namun apabila nilai λ>1 ataupun λ<1 menunjukkan adanya faktor yang dapat

mempengaruhi kualitas emisi yang keluar pada knalpot kendaraan.

Emisi CO terbentuk karena kurangnya oksigen di dalam reaksi campuran udara dengan bahan bakar pada saat proses pembakaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya persentase CO disebabkan bahan bakar tidak terbakar secara sempurna akibat kurangnya oksigen. Jika nilai λ terlalu kurus (>1), maka nilai emisi CO semakin tinggi, artinya pembakaran dalam ruang mesin kendaraan tidak

sempurna. Sedangkan jika nilai λ mendekati nilai

idealnya, emisi CO yang dikeluarkan pada knalpot kendaraan semakin rendah, artinya pembakaran dalam ruang mesin kendaraan semakin sempurna.

Berbanding terbalik dengan emisi CO yang dihasilkan pada kendaraan bermotor, emisi CO2 yang

dihasilkan semakin tinggi justru akan membuat performa kendaraan semakin baik, karena dengan tingginya emisi CO2 maka pembakaran dalam mesin

terjadi dengan sempurna. Artinya, apabila nilai menunjukkan nilai idelanya, maka emisi CO2 yang

dihasilkan akan semakin tinggi.

Pemanfaatan fly ash sebagai adsorben dalam penelitian ini, terbukti dapat mereduksi emisi CO dan CO2 dengan efisiensi mencapai 50-80%. Namun, pada

penelitian ini adsorben diletakkan di luar knalpot kendaraan, sehingga tidak mempengaruhi secara langsung emisi CO dan CO2 yang dikeluarkan dari

ruang pembakaran mesin. Namun, penambahan adsorben pada penelitian ini dapat mempengaruhi kualitas udara dengan mereduksi emisi CO dan CO2

yang dikeluarkan ke udara ambien.

Dengan menurunnya emisi CO yang keluarkan oleh knalpot kendaraan setelah penambahan adsorben, menurunnya kualitas kesehatan yang diakibat oleh gas CO dapat diminimalisir, sedangkan dengan menurunnya emisi CO2 yang dikeluarkan oleh

knalpot kendaraan setelah penambahan adsorben, merupakan upaya untuk mengurangi efek gas rumah kaca yang ditimbukan akibat emisi CO2 tanpa harus

mempengaruhi kualitas kendaraan bermotor itu sendiri.

5.

Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

1. Adsorben yang terbuat dari fly ash PLTU Suralaya dapat menurunkan kadar emisi gas buang, khususnya parameter CO dari 1,09% menjadi 0,20% dengan efisiensi maksimum sebesar 79,66%.

2. Adsorben yang terbuat dari fly ash PLTU Suralaya dapat menurunkan kadar emisi gas buang, khususnya parameter CO2 dari 13,60%

menjadi 4,74% dengan efisiensi maksimum sebesar 63,14%.

(15)

15

adalah adsorben dengan diameter 300 mesh dan massa 300 gram.

4. Waktu kontak maksimum adsorben untuk gas CO adalah 12 menit dan untuk gas CO2 adalah

14 menit.

5. Adsorben yang terbuat dari fly ash PLTU Suralaya berpotensi menurunkan emisi kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta maksimum sebesar 81,65% untuk gas CO dan 63,82% untuk gas CO2 pada tahun 2020,

sesuai rencana aksi gerakan nasional penurunan gas rumah kaca sebesar 29% dari sektor transportasi, yang tertuang dalam perjanjian COP 21. Namun demikian waktu jenuh adsorben yang relatif singkat masih menjadi kendala dalam implementasinya.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari variabel yang mempengaruhi waktu jenuh dari adsorben agar adsorben mempunyai waktu jenuh yang lebih lama.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk parameter gas lainnya yang mungkin dapat diadsorbsi menggunakan fly ash.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut potensi adsorben dari bahan lain dan aktivator lain sebagai perbandingan.

4. Daftar Pustaka

[1] ACEA (European Automobile Manufacturers Association), 2015

[2] Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

[3] Adamson, A., W. 1990. Physical Chemistry of Surface. Canada : John Willey and Sons. [4] Akhadi, Mukhlis, 2009. Ekologi Energi:

Mengenali Dampak Lingkungan dalam Pemanfaatan Sumber-Sumber Energi. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta

[5] Alberty, R., A and Daniels, F. 1983. Physical Chemistry. New York : John Willey and Sons.

[6] Anonim, 2003 : Toksisitas Abu terbang PLTU Batubara yang Berada di Sumatra dan Kalimantan, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Departemen ESDM, Jakarta

[7] Atkins, P., W. 1997. Kimia Fisika . Jakarta : Erlangga.

[8] Bardeschi, A., Colluci A., Gianelle, V., Gnagnetti, M., Tamponi, M., Tebaldi, G. (1991) Analysis of the impact on air quality of motor vehicle traffic in the Milan urban area. Atmospheric Environment, Vol. 25B No. 3, hal. 415 – 428.

[9] Basuki, K. T., 2007, Penurunan Konsentrasi CO dan NO2 pada Emisi Gas Buang menggunakan Arang Tempurung Kelapa yang Disisipi TiO2:

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir: Batan. Yogyakarta

[10] Bernasconi, G. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta : Pradnya Paramita.

[11] BPPT dan KLH, 2009. Penilaian Kebutuhan Teknologi untuk Perubahan Iklim. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Maret 2009

[12] Darwin, Roy. 2004. Effects of Greenhouse Gas Emissions on World Agriculture, Food Consumption, and Economic Welfare. Journal of Climate Change , 66(2004) page 191-238. [13] Fardiaz, dan Srikandi., 1992, Polusi Udara dan

Air, Kansius: Bogor.

[14] IPCC.2006. General Guidance and Reporting. Journal of IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, 1(2006) chapter 1 page 15.

[15] Kent,A.J.1993. Riegel’s Handbook of

Industrial Chemistry. 9th edition. USA: Springer.

[16] Khadiminal, dkk.Sintesis Zeolit Dari Abu Dasar Batubara Dan Aplikasinya Sebagai Adsorben Logam Merkuri (II)

[17] khairunisa, R., 2008, Kombinasi Teknik Elektrolisis dan teknik Adsorpsi menggunakan Karbon Aktif untuk Menurunkan Konsentrasi Senyawa Fenol dalam Air: FMIPA Depok, (Online), http://lontar.ui. ac.id/file?file=digital/123302-S30417-Ratna%20 Khairunisa.pdf, diakses 29 April 2014).

[18] Koch, J. , U. Dayan, dan Mey Marom. 2000. Inventory of Emission of Greenhouse Gases in Israel. Journal of Water, Air, & Soil Polution, 123(2000) page 259 -271.

[19] Kusminingrum, N. 2008. Potensi Tanaman Dalam CO2 dan CO Untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Jurnal Permukiman Vol.3 No.2.

[20] Mobbs, Steven (1995). MSc in Computational Fluid Dynamics Atmospheric Dispersion. Lecture handouts, Environtmental Engineering, The University of Leeds, England.

[21] Munir, Stefano. 2010. Penggunaan Bahan Pengisi Abu Terbang Dalam Industri Karet. Prosiding SnaPP2010.Pusat Penelitian Dan Pengembangan TeknologiMineral Dan Batu Bara. Bandung.

(16)

16

[23] Mustakfir, dkk.2009.Analis Batubara dan Air Asam Tambang. Sekolah Menengah Analis Kimia: Makassar

[24] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 4 Tahun 2009. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor

[25] Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia No. 5 Tahun 2006. Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Dengan Metode Uji Idle Test

[26] Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 Tentang: Pengendalian Pencemaran Udara. [27] Putut, E. dan Widodo, B. 2011. Simulasi

Model Dispersi Polutan Karbon Monoksida Di Pintu Masuk Tol. Jurnal Penelitian. ITS. [28] Sengkey dkk., 2011. Tingkat Pencemaran

Udara CO Akibat Lalu Linta s Dengan Model Prediksi Polusi Udara Skala Mikro. Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol.1 No.2. Universitas Sam Ratulangi.

[29] Soedomo, Moestikahadi, (2001), Pencemaran Udara. ITB, Bandung

[31] Sudarmadji, 2004. Pengantar Ilmu Lingkungan. Jember : Universitas Jember.

[32] Surdjani, dkk. 2014. Karakterisasi Dan Uji KEmampuan Serbuk Ampas Kelapa Asetat Sebagai Adsorben Belerang Diokasida (SO2)

[33] Wardhana, W.A., 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan, Edisi Revisi, Penerbit Andi Yogyakarta

[34] Wirawan, S.S. Tambunan, A.H. Djamin, M. and Nabetani, H. 2008. The Effect of Palm Biodiesel Fuel on the Performance and Emission of the Automotive Diesel Engine. Agricultural Engineering International: the CIGR Ejournal. Manuscript EE 07 005. Vol. X. April. 2008.

[35] Yuliani, Tri Lestari. 20113. Pemanfaatan Limbah Abu Terbang (Fly Ash) Batubara Sebagai Adsorben Untuk Penentuan Kadar Gas NO2 Di Udara. FMIPA, Universitas

Gambar

Gambar 3.1 Tahapan Penelitian
Gambar 3.3 Rancangan Tabung Adsorbsi
Gambar 3.4 (a) Knalpot Uji  (b) Proses pada saat (b) pengujian emisi
Tabel 3.2 Faktor Koreksi Kendaraan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam skripsi dengan metode penelitian deskriptif tersebut mengangkat masalah mengenai suatu tayangan di televisi yang menayangkan program acara olahraga sepak bola “one

(2) Penyidik dibidang Retribusi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan Pemerintah Kabupaten Tanggamus

Lembar ini harus terisi dengan lengkap karena lembar ini mencatat tentang waktu mulai dan akhir dari sedasi, kondisi klinis pasien selama sedasi, pemberian jenis dan dosis

Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor dan Ketua Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Yang Diselenggarakan Oleh Pemerintah (Berita

Bi ikasleek aurrera egiten dute irakaslearen mezuekin ezartzea lortzen duten kohere n- tzia-graduan. Ikasturte hasieran bi haurren arteko diferentzia indibidualak

Jenis jamur kayu yang mampu beradaptasi dengan baik pada substrat sampah organik adalah jenis jamur tiram merah dengan sampah organik yang langsung diambil dari masyarakat dan terus

Dengan dicanangkannya program tersebut, maka sebagai konsekuensinya adalah penggunaan uranium pengayaan tinggi yang biasa digunakan sebagai bahan bakar nuklir

Sedangkan KAMMI, lebih cenderung menampung masa dari kader-kader yang su- dah sejak di SMA mengikuti organisasi Rohis (Rohani Islam), meskipun tidak punya kesepa- katan