• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN GEOGRAFI ABAD 21 DARI ABSTR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBELAJARAN GEOGRAFI ABAD 21 DARI ABSTR"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN GEOGRAFI ABAD 21 DARI ABSTRAK

MENUJU KONTEKS DUNIA NYATA UNTUK

MEMBEKALI KETERAMPILAN

BERPIKIR SPASIAL

Dwi Angga Oktavianto1

1Mahasiswa Pendidikan Geografi Pascasarjana Universitas Negeri Malang

Corresponding Email: oktavianto.angga7@gmail.com

Abstrak

Pembelajaran geografi diharapkan membekali kecakapan bagi siswa dalam kehidupan Abad 21. Salah satu kecakapan yang seharusnya didapatkan dari belajar geografi ialah keterampilan berpikir spasial. Geografi selama ini diajarakan dengan pembelajaran abstrak. Pembelajaran abstrak terlihat mulai dari perangkat pembelajaran, strategi pembelajaran, materi, dan tes yang selama ini digunakan. Pembelajaran abstrak kurang memberikan keterampilan berpikir spasial kepada siswa. Pembelajaran geografi harus dirubah dari pembelajaran abstrak menjadi pembelajaran konteks dunia nyata. Pembelajaran konteks dunia nyata dalam pembelajaran geografi dapat dilakukan dengan; 1) Menyusun perangkat pembelajaran berbasis kontekstual; 2) Strategi pembelajaran geografi dengan menggunakan pendekatan saintifik; 3) Pemberian contoh lokasi atau tempat dengan nama yang sesungguhnya dan data yang sebenar-benarnya; 4) Pembelajaran yang awalnya ceramah dan mencatat diganti dengan model-model pembelajaran saintifik; dan 5) Melakukan pembelajaran fieldwork. Pembelajaran konteks dunia nyata yang dilakukan dengan lima langkah tersebut akan mampu memberi siswa kecakapan-kecakapan geografis, khususnya keterampilan berpikir spasial yang diperlukan dalam kehidupan Abad 21.

Kata Kunci: Geografi, Pembelajaran Abstrak, Pembelajaran Konteks Dunia Nyata, Berpikir Spasial

1. PENDAHULUAN

Pembelajaran geografi menjadi salah satu mata pelajaran yang penting dalam dunia pendidikan. Geografi mempunyai daya tarik untuk membawa kita melihat, memahami, dan menganalisis hubungan timbal balik antara manusia, tempat, dan lingkungan. Geography can be a key subject in delivering essential skill and cross cullicular themes in 21st century (Leeder,

2006:9). Pembelajaran geografi mempunyai tujuan memberi pengalaman bagi generasi muda, mengembangkan kecakapan, dan mengatasi persoalan-persoalan dalam kehidupan. Kecakapan-kecapakan khusus yang disumbangkan geografi bagi kehidupan Abad 21 berupa kemampuan dalam pemetaan, kerja lapangan, dan pemanfaatan teknologi dan komunikasi digital seperti pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Kecakapan-kecapakan tersebut hanya di dapat siswa apabila mereka mimiliki keterampilan berpikir spasial.

Geografi dapat membekali siswa keterampilan berpikir spasial. One of the best subjects to introduce spatial thinking in education is through geography (Gonzales & Donert, 2013: 13).

(2)

membekali siswa keterampilan berpikir spasial adalah geografi. Namun, apakah pembelajaran geografi selama ini sudah sesuai untuk dapat membekali keterampilan berpikir spasial?

Geografi sekarang ini masih dipelajari sebagai sesuatu yang abstrak, sehingga kurang memberikan pengaruh terhadap keterampilan berpikir spasial. Pembelajaran geografi selama ini menekankan pada konsep-konsep yang bagi siswa masih berupa hal-hal abstrak. Pembelajaran masih selalu dilakukan di dalam kelas. Pembelajaran masih berupa ceramah dan banyak mencatat. Contoh-contoh yang disampaikan oleh guru kepada siswa masih bersifat artifisial. Soal-soal yang ada saat ulangan harian bahkan ujian nasional juga masih banyak berupa lokasi-lokasi yang artifisial. Materi dan soal secara abstrak terkadang tidak sesuai dengan kenyataaan, dan menjadi tidak geografis (Geographical Association, 2012). Pembelajaran geografi yang berupa konsep abstrak disertai contoh yang artifisial, membuat pembelajaran geografi tidak berkesan bagi siswa dan belum dapat membekali keterampilan berpikir spasial siswa.

Siswa merasa belajar geografi harus dengan menghafal konsep-konsep abstrak tersebut. Siswa dapat saja memiliki banyak pengetahuan tentang suatu tempat dan memiliki keterampilan untuk memetakan tempat tersebut, tetapi di tempat lain siswa tersebut gagal untuk melakukan analisis (Hadi, 2012: 4). Kegagalan analisis terjadi akibat selama ini yang dipelajari siswa berupa konsep-konsep abstrak, sehingga apabila konsep tersebut diterapkan pada konteks dunia nyata siswa akan mengalami kebingungan. Hafal hal abstrak tidak penting, tetapi memecahkan masalah pada dunia nyata merupakan hal yang penting (Sumintono, 2012). Pembelajaran geografi haruslah disertai dengan muatan isi yang merupakan konteks dunia nyata, sehingga pembelajaran geografi akan menjadi geografis. Pembelajaran yang geografis dapat memberikan pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir spasial pada konteks dunia nyata.

Pembelajaran konteks dunia nyata sangat diperlukan dalam belajar geografi. Geografi yang berkaitan erat dengan aspek keruangan dan kelingkungan mestinya harus diajarkan dengan banyak di lapangan. Pembelajaran di lapangan dan penyelidikan di lapangan sangat diperlukan agar memperoleh outcomes yang baik (Balderstone, 2002: 104). Outcomes yang baik dalam geografi berupa kecakapan dan keterampilan yang geografis tentunya. Outcomes tersebut dapat terwujud dengan baik apabila pembelajaran abstrak dirubah menjadi pembelajaran konteks dunia nyata.

2. PEMBELAJARAN GEOGRAFI BERSIFAT ABSTRAK

Pembelajaran abstrak merupakan pembelajaran yang popular sebelum Abad 21.

Abstraction is an act of seeing correlations, grouping them, and seeking rules that apply in common (Newell, 2014: 61). Pembelajaran abstrak dilakukan karena dahulu kecerdasan seseorang ditunjukan dengan banyaknya materi yang mereka hafal. Memiliki hafalan yang banyak berarti mereka termasuk siswa yang cerdas, sedangkan siswa yang mempunyai hafalan sedikit dimasukkan dalam kelompok siswa yang bodoh.

Pembelajaran geografi disusun dengan perangkat pembelajaran yang tidak kontekstual. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) geografi biasanya dibuat dari hasil copy dan paste di sumber-sumber internet. RPP tersebut biasanya tidak kontektual dengan yang ada di sekitar siswa. Pembelajaran pun masih belum mencerminkan konteks dunia nyata terlihat dari setting

pembelajaran geografi yang biasanya hanya di dalam kelas. Perangkat pembelajaran semacam ini akan sulit dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan geografis.

(3)

siswa menghafal banyak materi geografi, tetapi tidak dapat mengaplikasikan materi geografi tersebut pada konteks kehidupan nyata.

Guru masih menekankan siswa untuk menghafal konsep-konsep abstrak yang ada pada mata pelajaran geografi. Siswa dipaksakan menghafal sesuatu tanpa mengkaitkan dengan kehidupan nyata. Pembelajaran geografi yang menekankan pada sesuatu yang abstrak membuat siswa tidak tertarik. Siswa tidak bisa belajar dari abstrak semata tanpa muatan konteks dunia nyata (Maude, 2015: 20). Siswa menghafal sesuatu tanpa bisa memahami, pada akhirnya hal yang mereka hafal itu akan mudah terlupakan. Hal baik yang dapat diambil pada pembelajaran yang abstrak ini ialah secara tekstual, konsep yang disampaikan guru pada siswa tidak mengalami miskonsepsi. Namun secara kontekstual biasanya akan sulit dipahami oleh siswa.

Guru masih sering menyebutkan contoh abstrak kepada siswa. Contoh yang diberikan guru kepada siswa kebanyakan masih bersifat artifisial (BNSP, 2010: 49). Bahan ajar yang digunakan pun masih banyak yang memberikan contoh berupa lokasi-lokasi abstrak, contoh: Kota A, Sungai X. Contoh-contoh artifisial juga masih banyak ditemukan pada Buku Sekolah Elektronik (BSE) yang diterbitkan oleh pemerintah. Guru membuat ataupun memanfaatkan bahan ajar yang ada dengan contoh yang tidak geografis, karena contohnya berupa artifisial. Contoh yang artifisial mempunyai dampak yang tidak baik karena menjadikan pembelajaran geografi tidak sesuai dengan konteks dunia nyata.

Soal yang keluar saat ulangan bersifat abstrak. Guru dalam membuat soal ulangan harian masih sering mengeluarkan soal yang menunjukkan lokasi-lokasi abstrak. Soal-soal yang dibuat Tim Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) pada saat ulangan semester maupun try out Ujian Nasional (UN) juga masih menunjukkan lokasi-lokasi abstrak. Hal ini terlihat ketika soal yang dibuat berkaitan dengan konsep lokasi. Soal yang keluar UN dari Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP) pun masih ada yang berupa soal abstrak terutama juga mengenai lokasi pada materi interaksi antar wilayah. Soal yang abstrak memberikan kesan bahwa ujian geografi tidak bersifat geografis, sehingga nantinya siswa mengalami masalah apabila mengaplikasikan pengetahuannya pada dunia nyata.

Pembelajaran abstrak memiliki kelebihan. Abstract learning necessarily always true, because always logical and timeless is pure right thinking (Newell, 2014: 60). Siswa akan mudah menghafal pengetahuan yang diberikan guru. Kelebihan pembelajaran abstrak adalah siswa mendapatkan banyak pengetahuan. Namun pengetahuan yang didapat siswa bukan berdasarkan eksperimen yang dilakukan selama pembelajaran, sehingga hanya berupa pengetahuan abstrak yang didapat dari ceramah ataupun catatan yang diberi oleh guru.

Hal diatas membuat siswa tidak bisa mengaplikasikan pengetahuan abstraknya terhadap permasalahan nyata yang ada. Siswa perlu menghubungkan pengetahuan abstrak dengan menerapkan secara konkret, dengan demikian dapat mengkonversi dan mengaplikasikan hal-hal abstrak secara bermakna dalam kehidupan (Noweski, dkk, 2012: 78). Pembelajaran geografi haruslah mampu menampilkan pembelajaran konteks dunia nyata kepada siswa. Kegiatan eksperimen dalam pembelajaran geografi akan mampu menampilkan konteks dunia nyata.

3. PEMBELAJARAN GEOGRAFI BERSIFAT KONTEKS DUNIA NYATA

(4)

menyimpan memori jangka pendek, yang biasanya mudah dilupakan oleh siswa, namun juga membantu menyimpan ingatan jangka panjang yang akan membantu mereka menerapkan pengetahuannya di kemudian hari (Davtyan, 2014).

Pembelajaran kontekstual bersumber dari teori learning by doing. Learners tend to perceive information either abstractly (by conceptualizing/thinking) or concretely (by experiencing/feeling) and then process that information either actively (by experimenting/doing) or reflectively (by observing/watching) (Kolb & Kolb, 2005). According to contextual learning theory, learning occurs only when students (learners) process new information or knowledge in such a way that it makes sense to them in their own frames of reference (their own inner worlds of memory, experience, and response) (The Cornerstone of Tech Prep, 1999). Learning and teaching assumes that the mind naturally seeks meaning in context and does so by searching for relationships that make sense and appear useful (Hull, 1995).

Pembelajaran kontekstual bercirikan siswa belajar dengan mengkaitkan antara pengetahuannya dengan keadaan nyata yang ada disekitarnya. Menurut teori pembelajaran kontekstual, pembelajaran hanya terjadi ketika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga masuk akal bagi mereka dalam kerangka acuan mereka sendiri

(The Cornerstone of Tech Prep, 1999). Ciri-ciri pembelajaran kontekstual antara lain (Lombardi, 2007): 1) Real world relevance; 2) I’ll defined problem; 3) Sustained Investigation; 4) Multiple source and prespective; 5) Collabortion; 6) Reflection; 7) Interdisiplinary prespective; 8) Integrated assessment; 9) Polished product; 10) Multiple interprestation and outcomes.

Pembelajaran kontekstual perlu diterapkan untuk menyiapkan anak menghadapi kehidupan Abad 21. Pembelajaran kontekstual memiliki keunggulan antara lain (Davtyan, 2014)

1) It highlights problem-solving; 2) It understands the need for teaching and learning in many contexts - home, community, and work sites; 3) It teaches students take control over their learning helps them to become independent learners; 4) It presents teaching in students’ real world experience; 5) It helps students to learn from each other and together in a team. Dari keunggulan tersebut diharapkan dapat membekali siswa untuk kehidupan nyata di Abad 21.

Pembelajaran kontekstual masih memiliki kelemahan. Pembelajaran kontekstual dalam geografi terkadang mengalami permasalahan bahwa fenomena geosfer tidak terjadi didekat siswa. Permasalahan ini dapat ditangani dengan pemanfaat teknologi. Teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk menampilkan fenomena geosfer yang sulit atau tidak mungkin terjadi di dekat siswa dapat melalui video dan virtual globe, salah satunya dengan menggunakan Google earth.

4. PEMBELAJARAN ABSTRAK MENUJU KONTEKS DUNIA NYATA

Pembelajaran geografi harus mengikuti perubahan paradigma dari abstrak menuju konteks dunia nyata. Konteks dunia nyata memberi arti bahwa belajar geografi haruslah kontekstual. Guru harus mampu membelajarkan pengetahuan kontekstual dari yang awalnya pengetahuan konseptual (Geographical Association, 2012). Materi ajar harus mengalami sejumlah penyesuaian dari yang berbasis konten menjadi berorientasi pada konteks. Dengan perubahan tersebut diharapkan dapat mengembangkan keterempilan berpikir spasial siswa.

Pembelajaran konteks dunia nyata dapat dimulai dengan menyusun perangkat pembelajaran berbasis kontekstual. Pembelajaran kontekstual bersumber dari lingkungan yang ada disekitar siswa. Guru dan siswa dapat memanfaatkan fenomena geosfer yang ada disekitarnya dalam menyusun konten materi pada perangkat pembelajaran. Setting dalam pembelajaran konteks dunia nyata berisi pembelajaran yang lebih banyak di luar kelas. Pembelajaran dengan lebih banyak bereksperimen dibandingkan ceramah dan mencatat. Pembelajaran semacam itu akan mengasah pengetahuan, sikap, dan keterampilan spasial siswa.

(5)

SMA, 2014: 6-7); (1) Mengamati; (2) Menanya; (3) Mengumpulkan informasi; (4) Mengasosiasi; (5) Mengomunikasikan. Kegiatan mengamati bertujuan agar pembelajaran berkaitan erat dengan konteks situasi nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Langkah-langkah pembelajaran tersebut ialah berupa pembelajaran aktif dan konteksual pada dunia nyata. Menanya merupakan langkah dimana siswa membuat pertanyaan mengenai apa yang telah atau sedang diamatinya dalam fenomena geosfer. Mengumpulkan informasi merupakan proses berikutnya yang didalamnya berisi merumuskan masalah dalam kehidupan nyata dan berpikir kritis untuk menerapkan ilmu yang dimiliki dalam kehidupan yang nyata dan bermakna. Mengasosiasi ialah kegiatan mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil kegiatan eksperimen, mengamati, dan mengumpulkan informasi. Kegiatan berikutnya adalah menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola.

Pembelajaran abstrak menjadi konteks dunia nyata dapat dilakukan melalui pemberian contoh lokasi atau tempat dengan nama yang sesungguhnya, dengan data yang diusahakan sebenar-benarnya. Pemberian soal ulangan dengan menyebutkan nama sungai, maupun kota yang sesunguhnya dan benar-benar ada. Contoh Kota Banjarmasin dengan Sungai Barito. Pembelajaran geografi harus menghindari contoh-contoh yang artifisial, sehingga pembelajaran geografi tersebut akan geografis.

Pembelajaran yang awalnya ceramah dan mencatat apa yang disampaikan oleh guru diganti dengan pembelajaran saintifik. Pembelajaran saintifik untuk mengubah dari abstrak menuju konteks dunia nyata antara lain berupa; pembelajaran inkuiri, pembelajaran discovery, pembelajaran berbasis masalah, dan pembelajaran berbasis proyek. Pembelajaran tersebut mengajak anak untuk lebih banyak aktif, sedangkan guru sebagai fasilitator. Siswa akan menemukan fenomena-fenomena geografis yang ada, sehingga menambah pengetahuaannya. Siswa akan memecahkan masalah yang dihadapi ketika pembelajaran, sehingga nanti dalam konteks dunia nyata siswa juga dapat mengatasi masalah-masalah yang akan mereka alami dalam kehidupan. Siswa mampu menciptakan sebuah proyek dari hasil pembelajaran, sehingga dalam konteks dunia nyata mereka dapat menemukan sesuatu yang berguna bagi kehidupannya. Pemanfaatan pengetahuan, sikap, dan keterampilan geografi selama pembelajaran saitifik akan terbawa pada kehidupan siswa dimasa depan. Dengan demikian keterampilan berpikir spasial yang dimiliki oleh siswa akan berguna bagi kehidupannya.

Perubahan dari pembelajaran abstrak menuju konteks dunia nyata dapat dilakukan melalui pembelajaran fieldwork (kerja lapangan). Fieldwork secara berturut-turut terdiri dari tiga tahap (Kent, 2002:6): (1) field teaching/field excursion; (2) hypothesis testing; (3) framework fieldwork. Field study is important to geography education, they assert, and explain three techniques necessary for post-trip reflection and analysis: keeping field journals, making careful photographic records and providing frequent opportunities for students and instructorsto share observation (Bednarz, 1999: 165). Fieldwork akan mampu meningkatkan keterampilan berpikir spasial siswa.

5. KESIMPULAN

Pembelajaran geografi harus dirubah dari pembelajaran abstrak menjadi pembelajaran konteks dunia nyata. Perubahan paradigma dari pebelajaran abstrak menuju pembelajaran konteks dunia nyata dalam pembelajaran geografi dapat dilakukan melalui; 1) menyusun perangkat pembelajaran berbasis kontekstual; 2) Strategi pembelajaran geografi konteks dunia nyata dengan menggunakan pendekatan saintifik; 3) Pemberian contoh lokasi atau tempat dengan nama yang sesungguhnya, dengan data yang sebenar-benarnya; 4) Pembelajaran yang awalnya ceramah dan mencatat segala yang disampaikan oleh guru diganti dengan model-model pembelajaran saintifik; dan 5) Melakukan pembelajaran fieldwork.

Perangkat pembelajaran geografi harus berupa seperangkat pembelajaran yang disetting

(6)

contoh dalam materi ataupun bahan ajar juga mesti berupa lokasi nyata tanpa ada yang artifisial. Penilaian juga harus menggunakan soal yang bersumber dari keadaan nyata. Siswa akan dibekali kecakapan-kecakapan yang diperlukan untuk kehidupan Abad 21 melalui pembelajaran geografi yang bersifat nyata. Salah satu kecakapan yang menjadi bekal siswa mengarungi Abad 21 ialah keterampialn berpikir spasial.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan. 2010. Paradigma Pendidikan Abad XXI. Jakarta: BNSP.

Balderstone, David. 2002. Teaching Styles and Strategies. Dalam Maggie Smith Teaching Geography in Secondary School. London: Routledge.

Bednarz, Sarah W. 1999. Fieldwork in K-12 Geography in the United States. International Research in Geographical and Environmental Education. Vol 8:2. Hal 164-170.

Catling, Simon. 2013. Introducing National Curriculum Geography to Australia’s Primary Schools: Lessons from England’s Experience.Jurnal Geography Education, Volume 26: 29-41.

Davtyan, Ruzzana. 2014. Contextual Learning. Disampaikan dalam ASEE 2014 Zone I Conference. April 3-5, 2014. USA: University of Bridgeport.

Direktorat Pembina SMA. 2014. Pembelajaran Geografi Melalui Pendekatan Saintifik. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Geographical Association. 2012. Thinking Geographycally. (Online),

(www.geography.org.uk/getinvolved/geographycurriculumconsultation), diakses 27 Agustus 2016.

Gonzalez & Donert. 2013. Innovative Learning Geography: new challenges for the 21st Century. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing.

Hadi, Bambang Saeful. 2012. Remote Sensing Iimplementation In Learning To Develop Students' Spatial Thinking Skills. Makalah Disajikan pada International Seminar Utilization Of Geospatial Information To Raise Environmental Awareness In Realizing The Nations Character, Dalam Rangka IGI’s Annual Scientific Meeting XV, Surakarta, 3-4 November 2012.

Hull, D. 1995. Who Are You Calling Stupid?: The Revolution That's Changing Education: CORDCommunications Inc.

Kent, Ashley. 2002. Geography: Changes and Challengges. Dalam Maggie Smith Teaching Geography in Secondary School. London: Routledge.

Kolb, A. Y., & Kolb, D. A. 2005. Learning Styles And Learning Spaces: Enhancing Experiential Learning In Higher Education. Academy OfManagement Learning & Education. Vol 4

(2). Hal 193-212.

Leeder, Andy. 2006. 100 Ideas For Teaching Geography. London: Continuum.

(7)

Maude, Alaric. 2015. What is Powerful Knowledge and Can It Be Found in the Australian Geography Curriculum?. Journal Geography Education, Volume 28. Hal.18-26.

Newell, Ted. 2014. Five Paradigms for Education: Foundational Views and Key Issues. New York: Palgrave Macmillan.

Nieto, Gustavo. 2014. The Teaching of Geography In The 21st Century: Social, Technological,

and Pedagogical Issues, (Online) (https://www.researchgate.net/publication/271467394)

diakses pada 27 Agustus 2016.

Noweski, dkk. 2012. Towards a Paradigm Shift in Education Practice: Developing Twenty-First Century Skills with Design Thinking. Dalam Plattner (Eds). Design Thinking Research Understanding Innovation. Berlin: Springer.

Parnell, Dale. 2001. Contextual Teaching Works! Texas: CCI Publishing.

Predmore, Sarah R.. 2004. Putting it into Context.(Online)

(http://www.acteonline.org/members/techniques/jan05_feature4.cfm) diakses pada 27 November 2016.

Sumintono, Bambang. 2012. Belajar Heran dari Negeri Jiran. Solo: Metagraf.

The Cornerstone of Tech Prep. 1999. Teaching Science Contextually. Texas: CORD Communication, Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Penekanan kegiatan UKS adalah pada upaya promotif dan preventif, untuk meningkatkan kesadaran hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik, dilakukan upaya

Artinya: Dan tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap - tiap golongan di antara mereka beberapa

25% 25% 26% 26% 27% 27% Persentase kebutuhan transportasi pelajar yang terpenuhi Angkutan pelajar yang beroperasi dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi

[r]

terhadap kepercayaan donatur (Y). 3) Pada variabel reputasi organisasi diperoleh nilai t hitung 5,797 dengan. nilai signifikansi sebesar

(Manfaat Asuransi, Frekuensi Pembayaran, Mata Uang Polis dan Jenis Dana Investasi tersebut di atas adalah bagian dari SPAJ yang akan digunakan sebagai acuan dalam proses

Berdasarkan hasil penelitian dalam refleksi pada pelaksanaan pemecahan masalah siklus I dan siklus II masih terdapat kekurangan, maka disarankan : (1) Bagi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa model group investigation dapat digunakan untuk