• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DILIHAT PELAKSANAAN TRANSAKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PELAKSANAAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DILIHAT PELAKSANAAN TRANSAKSI "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

DILIHAT DARI HUKUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Nining Latianingsih nilaahen@yahoo.co.id

ABSTRAK

Dengan berkembangnya teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-saja fasilitas telekomunikasi yang ada, serta canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media informasi. Komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung perkembangan teknologi sehingga membuat perdagangan menjadi lancar dan mudah untuk diakses oleh setiap orang ataupun perusahaan. Sampai saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia ada 5 juta orang. Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana pelaksanaan transaksi elektronik dilihat dari hukum Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normative serta dilakukan secara deskriptif analisis dengan pendekatan kualitatif untuk melihat dan menganalisa norma-norma hukum (normative analisis) dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Hasil yang diperoleh bahwa pelaksanaan transaksi elektronik dalam perkembangan bisnis online di Indonesia sangat pesat, perkembangannya meliputi berbagai macam bidang usaha, tidak hanya yang disebutkan diatas tetapi juga bidang usaha lainnya. Di Indonesia sendiri banyak sekali situs yang sudah mulai go Internasional dan mempunyai jutaan member dan ribuan visitor setiap harinya. berbagai situs tersebut ada yang murni Online business ada yang semi online atau bisnis offline hanya saja menggunakan pemasaran online. Dengan kata lain Bisnis online di Indonesia sudah dikenal dan diperhitungkan di dunia. Sedangkan dalam Hukum Perlindungan Konsumen dalam transaksi elektronik di Indonesia saat ini adalah masih banyak konsumen yang hanya paham bahwa transaksi elektronik sebatas belanja di internet, tanpa berusaha memahami syarat-syarat yang dibuat pelaku usaha , sedangkan konsumen selalu berada pada posisi yang salah sehingga dibebankan untuk mengganti kerugian pada transaksi elektronik .

(2)

IMPLEMENTATION OF ELECTRONIC TRANSACTIONS VIEWS FROM THE LAW OF CONSUMER PROTECTION LAW

Nining Latianingsih nilaahen@yahoo.co.id

ABSTRACT

With the development of information technology and telecommunications today has led to the various assorted services also only existing telecommunication facilities, as well as sophisticated information technology products that are able to integrate all of the media information. Computer as tool of man with the supported technology development so as to make the trade to be smooth and easy to access by any person or company. The number of internet users in Indonesia there's 5 million people. Problems in the study is how the implementation of the electronic transactions law of consumer protection Law in Indonesia. The methods used in this research is the juridical normative and descriptive analysis is done with a qualitative approach to view and analyze the legal norms (normative analysis) in existing legislation. The results obtained that the conduct of electronic transactions in the development of online business in Indonesia is very rapidly, the development encompasses a wide range of businesses, not just those mentioned above but also to other businesses. In Indonesia itself lots of sites that have started to go international and has millions of members and thousands of visitor each day. many of these sites there is a pure Online business there are the semi online or offline business just using online marketing. In other words, online business in Indonesia has been known and taken into account in the world. While in the legal protection of Consumers in electronic transactions in Indonesia at present is still a lot of consumers who just learned that the electronic transactions are limited to shopping on the internet, without trying to understand the conditions that made the trade, while consumers have always been on the wrong position so charged to indemnify on electronic transactions.

(3)

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Perkembangan Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, mengakibatkan semakin beragamnya aneka jasa-jasa (features) fasilitas telekomunikasi yang ada, serta semakin canggihnya produk-produk teknologi informasi yang mampu mengintegrasikan semua media informasi (2008:1). Di tengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya internet seakan telah membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan batas-batas negara berikut kedaulatan dan tatananan masyarakatnya. Dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industri dan masyarakat Informasi, seolah masih tampak prematur untuk mengiringi perkembangan teknologi tersebut(group riset Universitas Indonesia 1999:1)

Hal ini membuat perdagangan dengan transaksi elektronik (Electronic ommerce) menjadi pilihan bagi para pelaku bisnis untuk melancarkan transaksi perdagangannya karena sifat jaringan publik yang mudah untuk diakses oleh setiap orang ataupun perusahaan.

Baberapa riset yang telah dilakukan untuk Transaksi elektronik Sesuai amanat pasal 1367 KUH Perdata dan UU ITE tetap terbuka peluang bagi hakim untuk menerapkan prinsip strict liability demi kepentingan umum yang lebih besar(hukum on line). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Edmon Makarim, Pjs Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika, mengenai pertanggungjawaban hukum penyelenggara dalam sistem elektronik. Pada dasarnya sistem elektronik menggunakan prinsip praduga bersalah, atau prinsip pertanggungjawaban berdasarkan atas kelalaian (negligence). Disebut juga presumed liability yaitu dengan menyimpulkan bahwa Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menganut prinsip praduga bersalah. Simpulan ini bisa ditarik dari rumusan pasal 15: Setiap penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana mestinya. Penyelenggara diposisikan dalam keadaan bersalah yang dibebankan kewajiban untuk selalu bertanggung jawab, kecuali bila dapat dibuktikan bahwa kesalahan atas sistem elektronik bukan merupakan kesalahannya.

.Permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Prinsip Tanggung Jawab dalam UU ITE dapat diterapkan dalam hukum perlindungan konsumen. serta Terwujudnya hukum penyelesaian sengketa dalam dalam transaksi elektronik bagi pelaku usaha.

METODOLOGI

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normative (Mukti Fajar. 2010:34) yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma; sistem norma dimaksudkan akan menggali asas-asas hukum sekaligus mengkaji tentang harmonisasi peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. Di samping itu, untuk mengetahui penerapan suatu aturan dalam keadaan konkret, akan dilakukan penelaahan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan transaksi elektronik khususnya jual beli yang dilakukan dengan menggunakan transaksi elektronik.

(4)

HASIL ANALISIS

Titik sentral pembahasan tanggung jawab pengusaha pada umumnya adalah berkaitan dengan teori tanggung jawab (liability principle) yang diterapkan. Penggunaan suatu prinsip tanggung jawab tertentu tergantung kepada keadaan tertentu. Ada empat teori tentang tanggung jawab yang dikenal dan dapat diterapkan pada pengusaha dalam hubungannya dengan tanggung jawab atas terjadinya pelaksanaan perlindungan konsumen. Prinsip tersebut adalah prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (based on fault/negligence), atas dasar praduga (presumption of liability), tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (liability based on breach of contract) atau tanggung jawab mutlak (strict / absolut liability) yang lebih lanjut diuraikan dibawah ini (Raharjo 2006:51)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 menganut teori ini berdasarkan Pasal 19 ayat (5) yang menyatakan, bahwa : “Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab kerusakan jika dapat dibuktikannya bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan konsumen”. Sementara itu, dalam hukum pidana, khususnya tentang pemberantasan korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, asas ini telah dipakai, dan kemudian berdasarkan undang-undang yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, asas ini dipertegas. Asas demikian ini banyak mengundang perdebatan, terutama jika dikaitkan dengan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence).

Perbedaan yang utama antara prinsip tanggung jawab yang didasarkan semata-mata pada adanya unsur kesalahan dan presumption of liability adalah bahwa di dalam prinsip kedua beban pembuktian beralih dari penggugat (korban) kepada pengangkut. Jadi, berdasarkan konsep presumption of liability yang diterapkan dalam Konvensi Warsawa atau Ordonansi, pengangkut prima facie bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, kecuali dapat membuktikan pihaknya telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian tersebut atau bahwa hal tersebut tidak mungkin dilakukannya. Jadi, pihak penggugat atau korban dapat mengajukan tuntutan untuk memperoleh santunan tanpa harus membuktikan adanya kesalahan di pihak penggugat.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability, dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang dirugikan sendiri. Oleh karenanya, tanggung jawab ini adalah bersifat mutlak.

Teori tanggung jawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan atau dengan kata lain, suatu prinsip tanggung jawab yang memandang kesalahan sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataannya ada atau tidak. Mulanya hukum mengenai tanggung jawab akibat perbuatan melawan hukum sama sekali tidak memperhatikan masalah tanggung jawabn moral atau unsur kesalahan dari pelaku. Atas hal tersebut, Ames mengemukakan bahwa dengan berkembangnya kesadaran moral dari masyarakat, maka standar yang bersifat etika tentang perbuatan seseorang telah menggantikan standar yang tidak berdasarkan etika. Kemudian formula seorang atas risikonya sendiri (a man acts at his peril) atau seseorang selalu bertanggung jawab meskipun tidak bersalah (liability without fault) telah diganti dengan dogma tiada tanggung jawab tanpa kesalahan (no liability without fault).

(5)

perjanjian yang disepakati dengan klien atau akibat dari kelalaian penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.

Bertanggung jawab kepada masyarakat, artinya kesediaan memberikan pelayanan sebaik mungkin tanpa membedakan antara pelayanan bayaran dan pelayanan cuma-cuma serta menghasilkan layanan yang bermutu, yang berdampak positif bagi masyarakat. Pelayanan yang diberikan tidak semata-mata bermotif mencari keuntungan, melainkan juga pengabdian kepada sesama manusia. Bertanggung jawab juga berani menanggung segala resiko yang timbul akibat dari pelayanannya itu. Kelalaian dalam melaksanakan profesi menimbulkan dampak yang membahayakan atau mungkin merugikan diri sendiri, orang lain dan berdosa kepada Tuhan.

Tanggung jawab pelaku usaha baru sampai pada batas produk yang berbahaya seperti racun, alat peledak, senjata, namun dalam perkembangannya tanggung jawab tersebut diperluas pada produk-produk yang tidak berbahaya tetapi dapat menimbulkan kematian apabila terdapat kesalahan dalam proses produksi yang diakuinya, misalnya pada produksi makanan, kendaraan dan lain-lain.

Perkembangan pertanggungjawaban produk bagi konsumen Indonesia didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dalam hal ini menggunakan beberapa jenis pertanggunjawaban hukum, yaitu salah satunya adalah product liability. Adapun pihak yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada konsumen di dalam semua jenis pertanggungjawaban hukum tersebut adalah pelaku usaha, yaitu apabila barang/jasa yang diproduksi dan dan/atau diperdagangkan menimbulkan kerugian di pihak konsumen. Oleh karena itu, semua jenis pertanggungjawaban hukum tersebut dinamakan subject liability, yaitu pertanggungjawaban hukum dari subjek hukum (orang perseorangan atau badan hukum).

Product liability adalah pertanggungjawaban perdata dari pelaku usaha barang (dapat termasuk pihak lain dalam mata rantai distribusi) untuk mengganti kerugian kepada pihak tertentu (dapat pembeli, pemakai, atau bahkan pihak ketiga), atas kerusakan benda, cedera dan/atau kematian sebagai akibat menggunakan produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha tersebut. Product liability adalah lembaga hukum keperdataan yang merupakan deviasi dari lembaga hukum perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, product liability yang bertujuan melindungi konsumen meniadakan kewajiban konsumen untuk membuktikan kesalahan pelaku usaha, dan sebaliknya pelaku usaha berkewajiban membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Konsekuensi logis dari konstruksi hukum bahwa pelaku usaha harus membuktikan bahwa ia tidak bersalahan adalah bahwa pelaku usaha dianggap telah melakukan kesalahan seketika setelah konsumen mengalami kerugian akibat menggunakan produknya.

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya pelaku usaha), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang, desain, dan/atau pelabelan. Adapun yang dimaksud dengan kelalaian adalah bila pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati, dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang.

(6)

Product liability merupakan lembaga hukum yang relatiF baru untuk Indonesia. Namun demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah menganut product liability yang menggunakan pertanggungjawaban mutlak sebagai deviasi dari pertangungjawaan kesalahan disertai pengalihan beban pembuktian unsur kesalahan dari konsumen kepada pelaku usaha. Hal ini sejalan dengan tujuan perlindungan konsumen, baik secara nasional maupun secara regional, di kawasan perdagangan bebas. Diterapkannya product liability dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 terhadap pelaku usaha yang memperoduksi barang dan kemudian ternyata barang tersebut menimbulkan kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian pada badan, jiwa dan barang milik konsumen, maka konsekuensi diterapkannya product liability pelaku usaha dapat dikenakan sanksi sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha (dalam hal ini pelaku usaha) yang produknya merugikan konsumen, harus memberikan ganti rugi-ganti rugi berupa : Pengembalian uang., Pengrugi-gantian barang yang sejenis atau yang setara nilainya., Perawatan kesehatan., Pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Intisari dari pertanggungjawaban produk ialah pertanggungjawaban atas dasar perbuatan melawan hukum, maka keempat unsur di dalam pertanggungjawaban atas dasar perbuatan melawan hukum, yaitu : Unsur perbuatan melawan hukum., Unsur kesalahan., Unsur kerugian., Unsur hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan ganti rugi yang timbul.

Secara historis, product liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara pelaku usaha dan konsumen, di mana pelaku usaha yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Perkembangan sejarah dunia kemudian mencatat tumbuhnya kesadaran dunia akan martabat manusia yang perlu dihormati akan hak asasinya yang harus diperjuangkan dan diberi tempat yang tinggi dalam peradaban manusia.

Tuntutan penghormatan akan hak-hak asasi ini melanda juga dunia industri dan perdagangan, sehingga mengakibatkan bergesernya adagium caveat emptor menjadi caveat venditor. Suatu prinsip hubungan yang semula menekankan pada kesadaran konsumen sendiri untuk melindungi dirinya, berubah menjadi kesadaran pelaku usaha untuk melindungi konsumen. Dalam suasana perdagangan ini, product liability sebagai instrumen hukum perlindungan konsumen lahir.

Sudargo Gautama dalam konvensi di Den Haag tahun 1972 juga membicarakan tentang tanggung jawab produk, namun pada konvensi tersebut, beliau tidak memberikan terjemahan atau istilah untuk hal tersebut. Secara bergantian dipakai istilah “product liability” dan “tanggung jawab untuk hasil produksi” juga “tanggung jawab pelaku usaha terhadap hasil produksinya”. Intinya istilah product liability diterjemahkan secara bebas dalam Bahasa Indonesia secara populer disebut dengan pertanggungjawaban produk sebagai suatu konsep hukum yang intinya dimaksudkan memberikan perlindungan kepada konsumen, yaitu dengan jalan membebaskan konsumen dari beban untuk membuktikan bahwa kerugian konsumen timbul akibat kesalahan dalam proses produksi dan sekaligus melahirkan tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi.

Secara umum tanggung jawab produk ialah tanggung jawab para pelaku usaha untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau mengakibatkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Selanjutnya, dari definisi tersebut dapat dijabarkan lagi bahwa tanggung jawab yang dimaksud di sini meliputi tanggung jawab kontraktuil atau berdasarkan suatu perjanjian dan tanggung jawab perundang-undangan atas dasar perbuatan melanggar hukum.

(7)

meliputi benda bergerak maupun tidak bergerak yang telah dibawa oleh pelaku usaha ke dalam peredaran, maksudnya yang telah ada dalam perdagangan karena tindakan pelaku usaha. Kerugian yang dimaksud dengan definisi di atas adalah kerugian yang ditimbulkan atau disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk, sedangkan pengertian cacat yang melekat pada produk adalah kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya kerugian

Sementara itu, Mark E. Roszkowski menggarisbawahi, bahwa product liability terbatas pada wilayah hukum yang membebankan pertanggungjawaban pada pelaku usaha dan penyedia barang-barang lainnya atas kerugian fisik dan kerugian material yang disebabkan produk diperjualbelikan.

Selanjutnya, N.E. Algra & H.W.R. Gokkel memberikan definisi product liability (produktenaansprakelijkheid) sebagai berikut, “Tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau keamanan produk”. Agnes M. Toar mengemukakan, bahwa pengertian product liability sebenarnya mengacu pada tanggung jawab pelaku usaha yang dapat diartikan sebagai berikut : “Tanggung jawab para pelaku usaha untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut”.

Berdasarkan pengertian di atas, terlihat penekanannya pada produk (product) yang secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat dan dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Namun dalam hubungannya dengan masalah tanggung jawab pelaku usaha (product liability), produk bukan hanya berupa tangible goods tetapi juga termasuk yang bersifat intangible goods, seperti listrik, produk alami (misalnya makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (misalnya peta penerbangan yang diproduksi secara missal), atau perlengkapan tetap rumah real estate (misalnya rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tetapi juga termasuk komponen dan suku cadang.

Hal senada dikemukakan juga oleh Endang Saefullah yang memperluas cakupan dari yang disebut di atas dengan pengertiannya sebagai berikut, “Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacturer) atau dari orang atau badan yang memproses suatu produk (processor, assembler) atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut”.

Menurut The 1973 Hague Convention on the Law Applicable to Products Liability, yang juga disebut dengan The Hague Convention, product liability diberlakukan kepada orang-orang/pihak-pihak sebagai yang bertanggung jawab, yakni : Pengusaha dari barang/produk akhir atau bagian komponen., Pengusaha dari barang-barang alam (natural product)., Supplier dari sesuatu produk. Orang-orang lain, termasuk pengusaha bengkel dan pergudangan di dalam jaringan penyediaan/persiapan atau distribusi suatu barang.

Sementara itu, Muhammad Djumhana mengemukakan, bahwa pada kenyataan dewasa ini menunjuk bahwa produk yang dihasilkan dan dipasarkan pelaku usaha pada umumnya tidak langsung sampai di tangan konsumen selaku pemakai akhir dari produk tersebut, lazimnya pelaku usaha menggunakan para perantara untuk menyalurkan hasil produksinya antara lain :

(8)

mutlak itu, pelaku usaha telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without

fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan

disebabkan pelaku usaha sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan.

Sejak tanggal 20 April 1999 telah dimulai lembaran baru dalam upaya perlindungan konsumen di Indonesia, karena pada tanggal tersebut disahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Upaya perlindungan konsumen yang sebelumnya hanya mengandalkan perangkat peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus bertujuan melindungi konsumen, sejak saat tersebut telah memperoleh pengaturan tersendiri.

Tentu tumbul pertanyaan, mengapa konsumen Indonesia yang sejak bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tidak pernah memperoleh perhatian, apalagi perlindungan hukum secara khusus, tetapi secara tiba-tiba pada tahun tersebut mendapatkan prioritas perhatian dan perlindungan hukum yang luar biasa. Pertanyaan akan semakin mengemuka manakala dikemukakan fakta bahwa 18 (delapan belas) tahun sebelumnya, yaitu pada tanggal 22 Juni 1981, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia telah selesai menyusun dan sekaligus mengusulkan kepada pemerintah sebuah Rancangan Undang-Undang tentang Pokok-pokok Perlindungan Konsumen.

Hukum perlindungan konsumen Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, mengklasifikasikan beberapa jenis pertanggungjawaban hukum secara perdata, yaitu pertanggungjawaban kontraktual (contractual liability), pertanggungjawaban produk (product liability), pertanggungjawaban profesional (professional liability), dan pertanggungjawaban pidana (criminal liability) dan pertanggungjawaban administratif (administrative liability).

Adapun pihak yang harus bertanggung jawab memberikan ganti rugi kepada konsumen di dalam semua jenis pertanggungjawaban hukum adalah pelaku usaha, yaitu apabila barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkannya menimbulkan kerugian di pihak konsumen. Oleh karena itu, semua jenis pertanggungjawaban hukum tersebut dinamakan subject liability, yaitu pertanggungjawaban hukum dari subjek hukum. Seperti telah dikemukakan di atas, dalam dunia perdagangan dewasa ini suatu produk sampai kepada konsumen biasanya melalui berbagai jalur pranata, seperti agen, grosir, distributor, dan pedagang eceran, sedangkan produknya sendiri, khususnya untuk produk-produk yang jumlahnya besar diproses melalui apa yang disebut industri.

Industri adalah aktivitas memproses atau memproduksi barang-barang dalam skala besar di mana dipergunakan pabrik-pabrik dan peralatan dalam jumlah banyak. Dari definisi industri tersebut dapat disimpulkan, bahwa produk/ barang-barang yang dihasilkan dalam suatu industri adalah produk secara massal dan dengan menggunakan peralatan yang beraneka ragam dan dalam jumlah yang banyak. Terutama dengan perkembangan dunia teknologi dewasa ini peralatan yang digunakan dalam suatu proses produksi secara besar-besaran adalah peralatan yang berteknologi tinggi yang tidak mudah bahkan tidak mungkin dapat dipahami oleh orang-orang awam yang tidak dididik secara khusus untuk menguasainya. Akibat dari proses industrialisasi dalam memproses produk tersebut timbul permasalahan hukum sehubungan dengan adanya barang-barang atau produk cacat yang merugikan pihak konsumen, baik arti finansial, non finansial, bahkan kerugian jiwa. Permasalahannya adalah dalam rangka menuntut pihak korban akibat produk atau barang yang cacat tersebut.

(9)

1365 KUH Perdata) oleh pihak pelaku usaha atau pihak lain yang berkaitan dengan proses produksi atau penyebaran dari produk atau barang yang cacat tersebut.

Namun bila seorang konsumen yang menderita kerugian tersebut akan menuntut pihak pelaku usaha (termasuk pedagang, grosir, distributor, agen) berdasarkan perbuatan melawan hukum, maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh kompensasi.

Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh pihak konsumen tersebut, maka dalam hukum tentang pertanggungjawaban produk diberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap orang/konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak pelaku usaha.

Selain itu, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan pertanggungjawaban mutlak yang didasarkan pada Social Climate Theory Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih baik untuk menanggung beban kerugian, dan pada setiap kasus yang mengharuskannya menggantikan kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut dan membagi risikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil produksinya. Hal ini dikenal dengan deep pockets theory. Terdapat kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar (industri) bagi seorang konsumen/korban/ penggugat secara individual.

Namun diakui juga secara umum bahwa pihak korban/konsumen harus menunjukan bahwa pada waktu terjadinya kerugian produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti waktu diserahkan oleh pelaku usaha, artinya tidak diadakan modifikasi-modifikasi.

Meskipun sistem tanggung jawab pada pertanggungjawaban produk berlaku prinsip pertanggungjawaban mutlak, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.

Seperti telah dikemukakan pada pendahuluan. Indonesia sedang menuju era industrialisasi. Produk-produk yang dihasilkan dunia industri ditujukan baik untuk memenuhi keperluan dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor. Devisa yang dihasilkan sangat diperlukan bagi keperluan impor produk-produk yang tidak dapat dihasilkan di dalam negeri.

Dalam memasuki era industrialisasi tersebut berbagai hal perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh, mulai dari penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mengantisipasi tuntutan akan barang dan jasa yang lebih berkualitas, persaingan yang lebih ketat baik di dalam maupun di luar negeri sebagai akibat globalisasi dan perdagangan bebas.

Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian serius dalam era industrialisasi adalah bidang hukum, khususnya tentang pertanggungjawaban produk. Masalah pertanggungjawaban produk ini erat kaitannya dengan masalah persaingan dalam era perdagangan bebas maupun dengan makin meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen. Inti masalahnya terletak pada kualitas dari produk yang dihasilkan.

(10)

melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata). Seperti dikemukakan di muka betapun sulitnya bagi korban/konsumen untuk memperoleh kompensasi melalui prosedur hukum demikian. Para pelaku usaha akan lebih berhati-hati dalam memproduksi barang sebelum dilepar ke pasaran sehingga para konsumen, baik dalam maupun luar negeri, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi Indonesia. Demikian juga bila kesadaran para pelaku usaha/industriawan terhadap hukum tentang tanggung jawab pelaku usaha tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan/ eksistensi dunia industri nasional maupun pada daya saing produk-produk nasional, terutama di luar negeri.

Namun demikian, dengan memberlakukan prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum tentang tanggung jawab produk tidak berarti pihak pelaku usaha tidak mendapat perlindungan. Pihak konsumen masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam undang-undang. Di samping itu, pihak pelaku usaha juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya, sehingga secara ekonomis tidak mengalami kerugian yang berarti.

Di Indonesia diundangkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 yang esensinya mengatur perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen dilindungi secara hukum atas produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha atau

dikenal dengan sebutan product liability.

SIMPULAN DAN SARAN

Tanggung jawab pelaku usaha yaitu melibatkan pelaku usaha dalam perumusan pasal 19 Undang-undang Perlindungan konsumen. Wujud dari teori tanggungjawab produk atau product liability sebagai upaya preventif dari pelaku usaha dalam melaksanakan tanggung jawab terahadap kesehatan pembeli, pemakan (konsumen) atau keamanan produk. Penerapan tanggung jawab produk ataks pelanggaran produk industri yang dilakukan oleh pelaku usaha adalah konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut pelaku usaha sesuai ketentuan pasal 28 UUPK menggunakan teori pembuktian terbalik bahwa beban pembuktian unsur kesalahan dalam gugatan gantu kerugian merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini memberikan konsekuensi hukum bahwa pelaku usaha yang dapat membuktikan kerugian bukan merupakan kesalahannya terbebas dari tanggung jawab ganti kerugian.

DAFTAR PUSTAKA

Arrianto Mukti, Edwon Makarim, Leny Helena dkk,. Kerangka Hukum Tanda Tangan Digital Dalam Electronic Commerce Untuk Indonesia 2000

Clive M. Schmitthoff, Export Trade: The Law and Practice of International Trade, London: Stevens and Sons, 1990

Djoko Agung, Direktur e-Government Depkominfo RI saat menjadi pembicara dalam kuliah perdana Program Beasiswa S2 Chief Information Officer (CIO), Senin (2/6) tahun 2009, di Sekolah Pascasarjana UGM.

Edmon Makarim. Tanggung Jawab Hukum Penyelenggara system Elektronik. Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Teknologi. 2010.

(11)

Mukti Fajar ND. Aspek Hukum Perjanjian Perdagangan Dalam Transaksi Elektronik ( Electronic Commerce ) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2008

Niniek suparni.Cyberspace: problematika&antisipasi pengaturannya. Sinar Grafika Jakarta. 2009

Nugroho, Adi. e-commerce”memahami perdagangan modern di dunia maya. Bandung:informatika. Tahun 2006

Rianto Adi . Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit. 2004

Richard hill and Ian Walden The Draft UNCTRAL Model Law for Electronic Commerce ; isues and solutions, terjem. Oleh M. fajar dipublikasikan maret 1996, hal 1 lihat >http// : www. Banet.com/_ricard hill

Rosenoer, Jonathan,. Cyber Law The law of the Internet, springer, verlag, New York, May 1996

Sarjono Agus, Model Hibrida Hukum cyberspace (studi tentang model Pengaturan aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia). desertasi 2008.

slouka, Mark. ruang yang hilang, pandangan humanis tentang budaya cyberspace yang merisaukan, Bandung : Mizan. 1999,

Satrio, J, Hukum Perikatan, perikatan yang lahir dari perjanjian, buku 1 PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995

JURNAL:

Arrianto Mukti Wibowo.1998. Tanda tangan digital & sertifikat digital: Apa itu? Artikel ini muncul pada Infokomputer edisi Internet Juni 1998

Atif Latifulhayat.2000.Cyber law dan urgensinya bagi Indonesia, disadur dari virtual light william Gibson 1993, dipresentasikan Seminar Sehari Cyber Law.

Budi Sutedjo S.1999. Internet lahirkan cara dagang secara electronik, buletin jendela informatika, vol 1, no. 2, edisi desember 1999

Budi Raharjo.2003. Makalah yang dipresentasikan dalam seminar akuntansi Utama di fakultas ekonomi Universitas Widyatama

Hasil penelitian oleh group riset Digital dan security dan electronic yang pernah dipresentasikan di hadapan Masyarakat Telekomunikasi Indonesia pada bulan juni 1999 di Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Depok Jawa barat, kerangaka hukum digital signature dalam Electrionic commerce, 1999

Jabalnur.http://jurnal.unhalu.ac.id/download/jabal/PERLINDUNGAN20KONSUMEN 0DALAm TRANSAKSI ELOKTRONIK.pdf. tanggal akses 28 Maret 2012

(12)

Onno W Purba ,E-com di Indonesia awal tahun 2000, MikroData media pengemar komputer Volume 3 seri 15

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Undang-undang Dasar 1945

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

INTERNET:

UNTRICAL Model Law On Electronic Commerce 1996

http://www.jus.uio.no/lm/un.electronic.commerce.model.law.1996/

Fajar,ND, Mukti. Electronic Commerce dalam persfektif hukum Indonesia, Thesis 2001

lihat>http://www.geocities.com/amwibowo/resource/.htm

Onno W. Purbo, artikel, 10 pertanyaan tentang E-com. lihat http:// www.mastel.or.id/indonesia/artikel10.htm

--- pendapat mengenai UU ITE. Maret 2008

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisa proses pembakaran dan perpindahan panas untuk masing-masing bahan bakar, dapat dilihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap nilai dari

Terima kasih banyak karena telah memberikan data ataupun informasi kepada penulis dalam melakukan penelitian dan kesediaan dalam membantu penulis

Interaksi perlakuan jarak tanam dan pemberian dosis limbah cair tahu menunjukkan pengaruh tidak nyata pada Hasil uji beda rataan pengaruh perlakuan jarak tanam

Pengenalan mengenai kesembilan karakter tersebut dirasa lebih menarik menggunakan media wayang kartun, selain lucu dan lebih nyata media wayang yang digunakan juga membantu

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan fungsi smartphone Android yang dapat digunakan sebagai pusat kendali, mengambil keuntungan dari pengenalan

Meskipun masih memiliki banyak kendala, Program Astek merupakan fondasi dasar penyelenggaraan Asuransi Sosial bagi Tenaga Kerja di Indonesia.. What do you know

Pembelajaran secara daring bisa meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam pembelajaran matematika, di penelitian ini peneliti menggunakan google classroom

Metode pengendapan basa lebih optimal digunakan untuk sintesis HAp dari. kerabang telur ayam kampung, ayam broiler, dan bebek dibandingkan