• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PEMIKIRAN RIBA Era Tasyri hingga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH PEMIKIRAN RIBA Era Tasyri hingga"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam dan semua esensi yang terkandung di dalamnya diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmatan li al-alamin. Dalam arti singkat, Islam hadir selain sebagai penyempurna agama terdahulu tapi juga sebagai pedoman bagi seluruh semesta alam karena kandungannya yang bersifat universal dan selalu sejalan dengan perkembangan zaman. Segala hal yang telah terlebih dahulu terjadi akan ditanggapi oleh syariat Islam, apakah hal tersebut baik atau pun buruk sehingga manusia dapat mengambil langkah tepat dalam menyikapi segala fenomena yang terjadi di alam semesta. Salah aspek serta fenomena yang terjadi dalam kehidupan manusia adalah dalam bermuamalah atau perekonomian.

Ekonomi berprinsip syari’ah tumbuh dan berkembang bersamaan dengan lahir dan berkembangnya agama Islam di dunia. Ketika Rasulullah SAW berada di Mekkah, kegiatan ekonomi belum sempat dilaksanakan sebab perjuangan Rasulullah SAW lebih terpusat pada perekonstruksian tauhid. Setelah beliau hijrah ke Madinah dan diangkat sebagai pemimpin Madinah, dalam tempo yang sangat singkat beliau mampu melaksanakan pemerintahan dengan baik dan mencakup keseluruhan aspek mu’amalah seperti pembentukan instansi negara, politik dalam dan luar negeri serta meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara.

Menurut Syafi’i Antonio, sebagaimana dikutip oleh Adiwarman Karim, sebagai penyempurna risalah agama terdahulu, Islam memiliki syari’ah (hukum positif) yang sangat istimewa, yakni bersifat komprehensif dan universal. Komprehensif berarti syari’ah Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial

(mu’amalah), sedangkan universal berarti syariah Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari kiamat nanti.1

Dalam QS. Al-Anbiya 107, Al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang syariah, dalam sistematika hukum Islam terbagi menjadi dua bidang, ritual (ibadah) dan sosial (mu’amalah). Hal ini menunjukan bahwa Al-Qur’an hanya mengandung prinsip-prinsip umum bagi berbagai masalah hukum dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mu’amalah. Adapun untuk merespon

1 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada). Cetakan

(2)

perkembangan zaman dan mengatur kehidupan duniawi secara mendetail, Allah SWT telah menganugerahi manusia dengan akal pikiran.2

Secara historis baik sosio maupun kultural telah terdapat fenomena di dalam perekonomian pasca dan pra Rasulullah SAW membawa syariat Islam. Hal tersebut adalah riba. Secara singkat riba berarti sebuah pembebanan utang yang dilakukan oleh si pemilik dana kepada si peminjam dengan cara mamatok pengembalian yang lebih dari pada utang pokok di awal. Islam menilai riba sangat tidak manusiawi dan melanggat hak-hak sesama manusia dan terdapat unsut aniaya di dalam prakteknya. Untuk lebih jelasnya, penulis akan sedikit membahas permasalahan riba di dalam makalah ini dari awal munculnya sampai pada ijtihad kontemporer mengenai riba.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas penyusun mencoba menarik beberapa perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa definisi riba dan sejarah munculnya riba? 2. Bagaimana kronologi pengharaman riba? 3. Ada berapakah macam-macam atau jenis riba ?

4. Seperti apakah pemikiran atau praktik riba di masa sekarang ? C. Tujuan Pembahasan

Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk menjawab beberapa perumusan masalah di atas yaitu:

1. Apa definisi riba dan sejarah munculnya riba? 2. Bagaimana kronologi pengharaman riba? 3. Ada berapakah macam-macam atau jenis riba ?

4. Seperti apakah pemikiran atau praktik riba di masa sekarang ?

(3)

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi dan Sejarah Riba

Riba secara bahasa berarti tambahan

(

ةدايز

)

karena salah satu perbuatan riba adalah

meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan. Riba juga berarti berkembang

(

مانلا

)

karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang dipinjamkan kepada orang lain. Riba juga dapat berarti berlebihan atau menggelembung yang ditarik dari arti dalam al-Qur’an pada surah Al-Hijr ayat 5:3







...

“Bumi jadi subur dan gembur....”

Riba jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menggunakan kata usury yang mengandung dua dimensi pengertian. Pertama, tindakan atau praktik peminjaman uang dengan tingkat suku bunga yang berlebihan dan tidak sesuai dengan hukum. Kedua, suku bunga dengan rate tinggi.4 Nurul Huda mengutip pendapat Yusuf Qardhawi bahwasanya,

jika ditinjau dari sudut fiqh maka bunga bank adalah riba yang jelas-jelas hukumnya haram. Atas pendapat sebagian kalangan yang menghalalkan bunga komersial (bunga dalam rangka usaha) dan mengharamkan bunga konsumtif (bunga dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari). Qardhawi menyatakan bahwa keduanya haram.5

Hendi Suhendi di dalam bukunya Fiqh Muamalah: Membahas Ekonomi Islam, mengutip pendapat Muhammad Abduh bahwasanya yang dimaksud dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya) karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.6

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba dalam istilah hukum Islam,

riba berarti tambahan baik berupa tunai, benda maupun jasa yang mengaharuskan pihak pinjaman untuk membayar selain jumlah uang yang dipinjamkan kepada pihak yang meminjamkan pada hari jatuh waktu mengembalikan uang pinjaman itu.7Sehingga dapat

disimpulkan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam dengan cara membungakan harta atau uang yang dipinjam tersebut secarabatil yang bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

3 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Cet. VI, (Jakarta: Rajawali Pers), 2010. 57.

4 Nurul Huda dkk., Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoritis, Cet. I, (Jakarta: Kencana), 2008, 13. 5Ibid.

6 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah...58.

(4)

Jauh sebelum Islam datang riba sudah dikenal dan menjadi praktik sehari-hari bahkan menjadi budaya. Pada masa Yunani sekitar abad VI SM sampai I Masehi telah terdapat beberapa jenis bunga. Besarnya bunga tersebut bervariasi bergantung pada kegunaannya. Pada masa Romawi sekitar abad V SM hingga IV Masehi, terdapat undang-undang yang membenarkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan tingkat maksimal yang dibenarkan hukum (miximum legal rate). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu. Meskipun undang-undang membenarkan pengambilan bunga, tetapi pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara berbunga-bunga (double countable).8

Meskipun demikian, praktik pengambilan bunga dicela oleh para ahli filsafat. Dua orang ahli filsafat Yunani terkemuka, Plato dan Aristoteles mengecam praktik bunga. Plato mengecam sistem bunga berdasarkan dua hal. Pertama, bunga menyebabkan perpecahan dan perasaan tidak puas dalam masyarakat. Kedua, bunga merupakan alat golongan karya untuk mengeksploitasi golongan miskin. Adapun Aristoteles dalam menyatakan keberatannya mengemukakan bahwa fungsi uang adalah sebagai alat tukar atau medium of exchange. Ditegaskannya bahwa uang bukan alat untuk menghasilkan tambahan melalui bunga.9

Pada masa kenabian Muhammad SAW, praktik riba pun masih terus berlangsung karena memang telah mengakar di dalam masyarakat dunia. Seorang sahabat yang pernah berhubungan dengan riba adalah Usman bin ‘Affan. Dia mengambil riba melalui pinjam meminjam kurma. Sebagai pemilik kebun kurma untuk digarap oleh orang lain, pada saat memetik hasilnya, si peminjam yang juga penggarap berkata jika si pemilik hanya mengambil separuh hasilnya saja dan menyerahkan sisanya kepada penggarap, maka kelak penggarap selaku peminjam akan mengembalikan korma itu dua kali lipat dari jumlah tersebut ketika akad. Ketika berita ini sampai kepada Nabi, maka Nabi melarang perjanjian tersebut. Pemberi pinjaman hanya boleh menerima pinjaman sejumlah yang ia pinjamkan.

Di Madinah transaksi riba biasanya dilakukan oleh orang Yahudi. Hal ini terjadi ketika orang Yahudi dimintai bantuan untuk persiapan militer di Madinah karena akan adanya penyerangan dari penduduk Makkah. Namun orang Yahudi menolak permintaan tersebut, mereka bersedia memberi pinjaman 80 dinar dengan bunga sebesar 50% dalam jangka waktu satu tahun. 10

8 M. Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Cet.I, (Jakarta: Gema Insani), 2001, 44. 9Ibid., 45.

(5)

B. Pengharaman Riba oleh Syariat Islam 1. Landasan Hukum

Riba yang telah mengakar dan menjadi budaya masyarakat setempat tidak bisa langsung dihapuskan begitu saja. Syariat Islam yang dibawa Rasulullah SAW secara berangsur dalam meluruskan penyakit riba di masyarakat tersebut. Allah secara kronologis menurunkan ayat dalam al-Qur’an melalui empat tahap untuk mengharamkan riba ini. Hal ini sama sekali tidak mengurangi daya kuasa Allah terhadap hamba-Nya atau bukan berarti Allah tidak bisa langsung memberikan perintah tegas untuk meninggalkan riba akan tetapi lebih karena sesuatu hal yg sudah menjadi kebiasaan jika langsung dilarang secara total akan sangat kurang menyentuh dan memberikan shock kepada umat.

Adapun tahapan-tahapan dalam al-Qur’an mengenai pengharaman riba ini ada empat.11 Berikut kronologisnya:

a. Menolak anggapan atau paradigma bahwa pinjaman riba yang pada dzahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah SWT.

Hal ini tertuang di dalam al-Qur’an surah al-Rum ayat 39 :













































“Dan sesuatu yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.

b. Pada tahap kedua ini pun masih belum secara gamblang mengharamkan riba. Akan tetapi secara sedikit demi sedikit setelah ayat sebelumnya, riba kembali digambarkan sebagai sesuatu yang tidak baik. Ayat ini mengancam praktik riba yang masih saja dijalankan oleh umat Yahudi padahal sebelum Nabi Muhammad datang, mereka pun telah dilarang untuk melakukan riba. Indikasi mengenai riba yang sudah ada sebelum Nabi Muhammad SAW datang juga tersirat di dalam ayat ini, di mana agama samawi lainnya (Yahudi dan Kristen) juga dilarang melakukan praktik riba. Berikut ayat 160-161 dalam surah al-Nisa’:



































(6)























“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”.

c. Pada tahapan ketiga ini, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan riba dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa tersebut. Ayat yang melarang riba jenis ini terdapat di dalam ayat 130 surah Ali Imran:

























“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapatkan keuntungan”.

Perlu dipahami secara seksama dan hati-hati terhadap menafsirkan ayat ini. Jika diartikan secara harfiah bisa menjadi sebuah permasalahan baru karena akan menimbulkan pembelaan bahwasanya riba yang diambil tidak dengan berlipat ganda adalah boleh. Padahal secara umum bahwasanya memang praktik riba pada masa itu adalah pembungaan uang secara berlipat ganda.

d. Pada tahap terakhir ini Allah SWT dengan tegas dan jelas melarang semua praktik riba dengan jenis apa pun yang diambil dari tambahan pinjaman. Berikut ayat 278-279 dalam surah al-Baqarah:





























































“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan juga tidak dianiaya”.

Pengharaman riba pada era tasyri’ tidak hanya terdapat di dalam al-Qur’an, akan tetapi beberapa hadits Nabi SAW juga memuat larangan praktik riba. Beberapa hadits yang memuat pembahasan tentang riba adalah sebagai berikut:

ن

ن ووععع

ع ِيععننرعبعخوأع ل

ع َاععقع ةنبععوععش

ن َانعثعددحع ل

ل َاهعنومن ن

ن بو ج

ن َاج

د ح

ع َانعثعد

د ح

ع

(7)

ه

ن ععلدلا ل

ع وس

ن رع ن

د إن ل

ع َاقع ك

ع لنذع ن

و ع

ع هنتنلوأعس

ع فع ت

و رعس

ن ك

ن فع هنمنجنَاحعمعبن

ب

ن ععلوك

ع لوا ن

ن ععم

ع ثعوع م

ن د

د ععلا ن

ن م

ع ثع ن

و ع

ع َىهعنع معلدس

ع وع هنيولعع

ع هنلدلا َىلدص

ع

َاععبعررلا ل

ع ععك

ن َآوع ةعمعععش

ن ووتعس

و م

ن لواوع ةعم

ع ش

ن اوعلوا ن

ع ععلعوع ةنمعلو

ع ا ب

ن س

و ك

ع وع

رعورص

ع م

ن لوا ن

ع ععلعوع هنلعك

ن ومنوع

“Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah SAW melarang untuk menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta ditato, menerima dan memberi riba serta beliau melaknat para pembuat gambar”. (HR. Bukhori 2048 Bab al-Buyu’)

وعععهن ةنععيعونَاععمن َانعثعددععحع حللنَاععص

ع ن

ن ععبو َىيعح

و يع َانعثعد

د ح

ع ق

ن َاح

ع س

و إن َانعثعددحع

ر

ن ف

ن َاععغعلوا دنععبوع

ع ن

ع ععبو ةعبعق

و ع

ن ت

ن عوم

ن س

ع ل

ع َاقع َىيعحويع ن

و ع

ع م

ل لدس

ع ن

ن بوا

ل

ل لعبن ءعَاععجع ل

ع َاقع هننوعع هنلدلا ِي

ع ض

ن رع ي

د رندوخ

ن لوا دليعنس

ع َابعأ

ع ععمنس

ع هنندأ

ع

هنععلع ل

ع َاععق

ع فع ِي

ي ععننروبع ر

ل ععم

و تعبن م

ع لدس

ع وع هنيولعع

ع هنلدلا َىلدص

ع ِي

ر بنندلا َىلعإن

ن

ع َاععك

ع ل

ل لعبن ل

ع َاقع اذعه

ع ن

ع يوأ

ع نومن معلدسعوع هنيولععع هنلدلا َىلدصع ِييبنندلا

ِي

د ععبنندلا م

ع عععنط

و ننلن علَاععص

ع بن ن

ن يوع

ع َاععص

ع هننومن ت

ن عوبنفع ي

ي دنرع رلم

و تع َانعد

ع نوع

ن

ه

ن ععيولعع

ع هنععلدلا َىلدععص

ع ِي

ي ععبنندلا ل

ع َاععق

ع فع معلدععس

ع وع هنععيولعع

ع هنععلدلا َىلدص

ع

ل

و ععععفوتع لع َاععبعررلا ن

ن ععيوع

ع َاععبعررلا ن

ن ععيوع

ع ه

و ودأ

ع هوودأع كعلنذع دعنوعن معلدسعوع

هنرنتعش

و ا م

د ثن رعخ

ع َآ عليوبعبن رعموتدلا عوبنفع ي

ع ر

ن تعش

و تع ن

و أع ت

ع دورعأ

ع اذعإن نوكنلعوع

“Pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah SAW dan beliau bertanya padanya, “Dari mana engkau mendapatkannya?” Bilal menjawab, “Saya mempunyai sejenis kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkannya dua sha’ untuk satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah SAW”. Selepas itu Rasulullah SAW berkata, “hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba, ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu tinggi itu”. (HR. Bukhori 2145 bab al-Wakalah)

(8)

mendapatkan laba tanpa membagai resiko bersama. Sementara bagi para pengusaha (pihak peminjam), meskipun mereka bekerja keras dan mengatur segala usahanya, tidak menjadikan hal tersebut sebagai sebuah keyakinan untuk mendapatkan laba. Larangan riba di dalam al-Qur’an adalah suatu jalan untuk menstabilkan kesetaraan antara pihak peminjam dan pengelola uang pinjaman. Jadi setiap tahapan penghraman riba di dalam al-Qur’an merupakan perintah agama bukan sebagai sebuah bagian integral dari ekonomi Islam.12

2. Pandangan Ulama Fiqh

Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan. Riba adalah sebuah usaha mencari keuntungan dengan jalan yang tidak benar karena menguntungkan satu pihak oleh karena itu sangat dibenci Allah SWT. Riba akan menyulitkan hidup manusia, terutama mereka yang memerlukan pertolongan. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta dapat mengurangi rasa kemanusiaan untuk rela membantu. Oleh karena itu Islam mengharamkan riba.

Pandangan para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi pemikiran para pakar dalam menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan Hadits yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy13 yang berada di balik ketentuan

riba adalah tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini juga yang kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa pinjama qard tanpa bunga sah, sedang jual beli dengan penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan harga sama yang dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu, sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan mengurangi risiko pasarnya.

Ibn Qayyim dari mazhab Hambali juga memaparkan bahwa dalil bagi pelarangan adalah untuk mencegah eksploitasi dari kaum yang kuat atas kaum yang lemah, memaksa investor menanggung risiko investasi, meminimalkan perdagangan uang dan bahan makanan, serta mengaitkan keabsahan keuntungan dengan pengambilan risiko.14 Imam Hanafi, imam Malik dan imam Hambali membagi riba

12 Abu Umar Faruq Ahmad, dan M. Kabir Hassan, Riba and Islamic Bank, Journal of Islamic Economics,

Banking and Finance. 2015, 5.

13 Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah, (Semarang: Asy-Syifa),1990,9. 14Frank E. Vogel, Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam Konsep, Teori dan Praktik, Terj. M. Sobirin

(9)

menjadi dua bagian, yaitu riba fadhl (jaul beli barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satunya) dan riba nasi’ah (menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan). Sedang imam Syafi’i membagi riba menjadi tiga bagian, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan mengakhirkan penyerahan barang tanpa harus timbang terima), dan riba nasi’ah (jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi harganya ditambah).15 Untuk pembagian jenis/macam-macam riba

penyusun bahas di dalam sub bab berikutnya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai ‘illat keharaman riba, baik itu riba fadl

(jual beli) maupun riba al-nasi’ah (pinjaman). Kalangan ulama Hanafiyyah serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa riba al-fadhl hanya berlaku dalam timbangan atau takaran harta yang sejenis, bukan terhadap nilai harta. Apabila yang dijadikan ukuran adalah adalah nilai harta, maka kelebihan yang terjadi tidak termasuk riba al-fadhl. Mereka menyandarkan pendapatnya pada Hadits Rasulullah yang artinya:

“(Memperjualbelikan) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, anggur dengan anggur, kurma dengan kurma, garam dengan garam(haruslah) sama, seimbang, dan tunai. Apabila jenis yang diperjualbelikan berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu (boleh berlebih) asal dengan tunai” (HR. Muslim dari ‘Ubadah ibn al-Shamit). Dua jenis pertama (emas dan perak), menurut mereka diperjualbelikan dengan cara timbangan khusus (al-wazn) dan empat jenis buah-buahan diperjualbelikan dengan cara per-kilogram (al-kail). Sedangkan illat keharaman riba al-nasi’ah menurut ulama Hanafiyyah adalah kelebihan pembayaran dari harga barang yang ditunda pembayarannya pada waktu tertentu. Unsur kelebihan pembayaran yang boleh berlipat ganda apabila utang tidak boleh dibayar pada saat jatuh tempo, menurut ulama Hanafiyyah merupakan suatu kezaliman dalam bermuamalah.

Sedangkan ulama Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendirian bahwa ‘illat

keharaman riba al-fadhl pada emas dan perak adalah disebabkan keduanya merupakan harga dari sesuatu, baik emas dan perak itu telah dibentuk atau pun belum dibentuk. Oleh sebab itu, apa pun bentuk emas dan perak apabila sejenis tidak boleh diperjualbelikan dengan cara menghargai yang satu lebih banyak dari yang lain. Jika dilebihkan harga salah satu dari keduanya maka kelebihan itu masuk riba al-fadhl, dan

15Lihat Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Terj: Abdul Hayyie el-Kattani dkk, Jilid V, Cet.I,

(10)

apabila kelebihan itu dikaitkan dengan dengan pembayaran tunda maka menjadi riba

al-nasi’ah.16

Sedangkan dalam sisi pandangan yang lain, hasil penelitian oleh Mohammad Mazhar Iqbal mengemukakan pendapat bahwa riba dalam peminjaman bisa terjadi karena pertukaran barang dengan barang disertai oleh tenggang waktu. Pada transaksi yang demikian, perubahan harga pada komditas menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain. Oleh karena itu, kedua belah pihak tidak boleh menyepakati pertukaran itu. Dalam perekonomian modern, sejak barang telah disiapkan sebagai subjek bersama, pihak perusahaan penyedia yang menetapkan perubahan harga yang terlalu tinggi bisa dikategorikan riba. Akan tetapi jika terdapat metode lain yang bekerja di luar sistem ribawi harus diambil untuk menghindari perubahan nilai tukar dalam jual beli.17

Maksud dari pelarangan riba pada masa Rasulullah SAW adalah untuk menghindari ekploitasi sepihak yang dilakukan oleh pihak pemodal. Kenyataannya adalah bahwa intelektualitas dan kerangka teologi yang disatukan dalam satu bingkai tidak mampu menunjukkan sebuah hasil asli dan memadai mengenai pemahaman sejauh mana sifat eksploitasi dalam dunia bisnis kontemporer.18

C. Macam-macam Jenis Riba

Secaris besar riba dibagi menjadi dua bagian, riba nasi’ah (pinjaman) dan riba fadl

(jual beli). Namun di dalam penjabaran yang lebih mendetail terdapat beberapa pandangan mengenai jenis-jenis riba. Ada yang mengkategorikan empat, tiga dan hanya dua jenis saja. Adiwarman Karim membagi jenis-jenis riba menjadi tiga macam19 dalam konteks

perbankan yang berupa, Riba Fadl, Riba Nasi’ah, dan Riba Jahiliyyah. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili membagi riba mengacu kepada definisi mazhab fiqh klasik sebagai berikut:

1. Riba Fadl

Riba fadl dalam jual beli adalah tambahan pada harta dalam akad jual beli seusai ukuran syariat (takaran atau timbangan). Pengertian dari “ukuran syariat”

berfungsi untuk bahwa barang yang diukur dengan satuan panjang atau satuan biji

16 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, Cet.II, (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, 184-186. 17Muhammad Riza Iqbal, a Broader Definition of Riba, 2010, 21.

18 Mohammad Omar Farooq, The Riba-Interest Equation and Islam: Reexamination of the Traditional

Arguments, November 2015, 21.

19 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Ed. III, (Jakarta: RajaGrafindo Persada), 2007,

(11)

(secara bijian) tidak masuk dalam kategori riba. Begitu pula dengan harta qimiyat

(barang yang dihitung dengan nilai), seperti jenis-jenis kebun, karpet, perkakas, tanah, pohon, dan lain-lain sehingga tidak diharamkan adanya penambahan dan dibolehkan mengambil banyak dengan imbalan yang lebih sedikit. Dalam akad tukar menukar barang-barang tersebut tidak mengikuti ukuran takaran atau timbangan. Riba fadl

hanya terjadi pada barang yang ditakar dan barang yang ditimbang.20

2. Riba Nasi’ah

Riba Nasi’ah dalam transaksi jual beli didefinisikan oleh ulama Hanafiyyah sebagai penambahan waktu penyerahan barang, dan penambahan barang pada utang dalam pertukaran dua barang berbeda jenis yang ditakar atau ditimbang, atau dua barang sejenis meskipun bukan barang yang ditakar atau ditimbang. Maksudnya, menjual satu jenis barang dan ditukar dengan jenis yang sama atau dengan jenis yang lain dengan tambahan (dalam barang-barang yang ditakar atau ditimbang) sebagai kompensasi dari penangguhan penyerahan.21

Ulama Syafi’iyyah mendefinisikan riba nasi’ah yaitu melakukan jual beli dengan penyerahan barang pada jarak waktu tertentu (non tunai) tanpa memenuhi harga sebagai kompensasi dari penangguhannya, baik pertukaran antara dua barang sejenis atau tidak, dan ukurannya sama maupun tidak.22

3. Riba Jahiliyyah

Riba Jahiliyyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikkan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyyah tergolong riba nasi’ah. Dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan tergolong sebagai riba

fadl.23 Wahbah al-Zuhaili menjelaskan bahwa pengharaman riba jenis ini untuk

menutup pemanfaatan pihak tertentu terhadap ketidakmampuan peminjam dalam memenuhi kewajibannya. Riba Fadl diharamkan untuk menutup terjadinya riba

nasi’ah. Sesuatu yang diharamkan secara zatnya maka tidak dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat.24 Pada dasarnya, riba Jahiliyyah merupakan padanan dari riba fadl

dan nasi’ah jika kita cermati sifat, dan jenis pertukarannya. 4. Riba Qardh

20 Wahbah Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamiy..., 309. 21Ibid., 310.

22Ibid., 312.

(12)

Riba Qardh (pinjaman) adalah jika seseorang meminjamkan orang lain sejumlah uang dengan kesepakatan bahwa orang tersebut akan mengembalikan dengan tambahan tertentu, atau jika masyarakat telah terjadi kebiasaan untuk mengembalikan pinjaman dengan tambahan tertentu. Bisa juga dengan mensyaratkan pembayaran tambahan tertentu yang dibayarkan setiap bulan atau setiap tahun.25

D. Riba dalam Ijtihad Kontemporer

Sejatinya di dalam praktek kehidupan sehari-hari dapat dijumpai berbagai macam praktik ribawi yang secara sadar maupun tidak. Akan tetapi dalam pandangan ijtihad kontemporer yang paling sering dijumpai dalam kajian riba adalah bunga bank. Bunga bank sangat disoroti terkait riba karena bank merupakan faktor sentral dalam perekonomian untuk masa kini.

Definisi bank dalam undang-undang no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Orang yang menyimpan uangnya di bank diberikan keuntungan oleh bank yang disebut dengan bunga bank berdasarkan persentase uang yang disimpannya. Bank biasanya memberikan pinjaman kepada nasabah untuk keperluan produktif maupun konsumtif, seperti modal berdagang, pengembangan usaha dan lain-lain. Namun ada juga pinjaman atau kredit yang diberikan bank untuk keperluan konsumtif seperti kredit Pemilikan Rumah (KPR). Uang simpanan nasabah di dalam suatu bank tidak akan didiamkan begitu saja tetapi uang itu akan dijalankan untuk melancarkan perekonomian atau melaksanakan pembangunan. Dari keuntungan bank inilah sebagian diberikan kepada nasabah sebagai bunga bank.

Para ulama mazhab tidak pernah membahas kaitan antara bunga bank dengan riba karena pada masa itu sistem perekonomian dengan bank belum ada. Pembahasan mengenai bunga bank baru ditemui di dalam literatur fiqh kontemporer. Perdebatan para pemikir kontemporer mengenai bunga bank sampai sekarang masih terjadi antara pihak yang mengharamkan bunga dan pihak yang membolehkan bunga bank. Masing-masing memilik argumentasi akademik dan juga manhaj berpikir yang tidak bisa disalahkan. Kontroversi mengenai penafsiran teknis dari riba ini berlangsung sejak abad ke-18.26

Tokoh-tokoh tersebut adalah Muhammad Abduh, Rashid Rida, Mahmud Shalut, Abdul Wahab Khallaf, dan Ibrahim Z. Al-Badawi. Para tokoh ini berpendapat bahwa bunga bank sah selama pengambilan dari pokok pinjamannya tidak luar biasa tinggi. Mereka

25Ibid.

(13)

memahami ayat 130 surah Ali Imran bahwa yang dilarang dalam Islam itu adalah usury

yang telah lama berlaku pasca Islam, bukan interest dalam sistem keuangan modern ini. Lebih lanjut lagi, pandangan pragmatis ini mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat dalam menjelaskan bahwa sistem keuangan modern ini dapat dikaitkan dengan riba yang dilarang pada zaman Rasulullah SAW. Laporan mengenai riba dalam hadits dianggap ambivalen dan tidak konsisten. Selain dari pada itu, bunga bank dianggap sebagai suatu kebutuhan untuk pembangunan ekonomi negara. Bunga dimaksudkan untuk menggalakkan tabungan dan menerahkan modal untuk membiayai investasi-investasi yang produktif.27 Fazlul Rahman mengatakan pandangan otoriter yang lain bahwasanya

riba fadhl dalam hadits adalah pokok (asal mula) terjadinya riba yang lain, sehingga sudah dapat disimpulkan bahwa tidak ada lagi penjelasan atau penjabaran mengenai riba (berbeda dengan bunga bank).28

Berlainan dengan pandangan pragmatis yang diusung para tokoh pemikir Islam di atas, pandangan konservatif yang diusung oleh M. Umer Chapra mengartikan bunga bank adalah riba baik diartikan sebagai interest maupun usury. Setiap imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman sebagai imbalan (retuern) untuk pembayaran tertunda atas pinjaman adalah riba, karena itu dilarang oleh agama. Riba yang demikian disebut riba al-nasi’ah.

Isitilah nasi’ah berasal dari kata nasa’a, yang berarti menunda atau menunggu yang mengacu kepada waktu yang membolehkan penerima pinjaman membayar kembali pinjamannya yang merupakan imbalan dari “tambahan” atau “premium” yang diberikannya.29 Dengan pengertian lain, riba nasi’ah adalah imbalan yang diberi oleh

penerima pinjaman kepada pemberi pinjaman, karena penerima pinjaman telah diberi penundaan waktu untuk mengembalikan pinjaman itu.

Sebagai penganut pandangan konservatif, Umer Chapra menegaskan dengan mengemukakan bahwa riba nasi’ah mengacu pula pada bunga pinjaman yang dikenal dalam sistem perbankan modern. Chapra memastikan bahwa tidak ada perbedaan di antara semua aliran hukum Islam bahwa riba nasi’ah adalah haram. Sifat larangan tegas, mutlak, dan tidak dapat ditafsirkan lain (strict, absolute, and unambiguous). Tidak dimungkinkan untuk memperdebatkan bahwa riba mengacu pada usury dan bukan pada bunga (interest), karena Nabi SAW melarang pengambilan yang berupa pemberian, jasa, atau kebaikan

27Ibid., 95-96.

28 Fazlul Rahman, Riba and Interest, Islamic Studies, No.1, March 1964, 30.

(14)

sebagai suatu syarat bagi pinjaman yang dimaksud, banyak atau sedikit, asalkan itu sebagai tambahan atas pokok pinjaman.30

Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah. Sebuah bank akan memberikan atau meminjamkan modal yang ditentukan tempo pelunasannya dengan bunga per tahun atau per bulan, 7%, 5%, 2.5% dan sebagainya. Transaksi ini adalah tindakan memakan harta orang lain dengan cara batil. Fokus perhatian bank adalah meminjam uang dari nasabah dan meminjamkannya kepada pihak lain (kreditur) yang membutuhkan. Al-Zuhaili mengutip pendapat Ali Salus bahwa bank memberikan bunga kepada nasabah dan menarik bunga dari pada kreditur. Perbedaan antara kedua bunga tersebut adalah pada sumber kucuran uang. Dengan demikian tugas bank adalah memperjualbelikan utang. Selain itu, tugas bank kedua adalah menciptakan utang atau meminjamkan sesuatu yang belum benar-benar ia pinjam sendiri dari orang lain (belum dikuasai sendiri) atau dengan kata lain meminjamkan sesuatu yang tidak dimilikinya.31

Adiwarman Karim menganggap riba melanggar prinsip transaksi dalam Islam. Dalam buku Bank Islam, Adiwarman memasukkan riba sebagai hal yang melanggar prinsip La Tazhlimuuna wa la Tuzhlimuun. Sehingga bunga bank konvensional akan membuat para kreditur kesulitan untuk membayar pinjaman yang dia peroleh dari bank karena adanya beban bunga.

Banyak buku dan artikel ekonomi Islam yang muncul selama seperempat abad terakhir. Literatur ini berkonsentrasi utama pada aturan umum dan prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam. Penulisan itu dilakukan pada sebuah yang uji validitas dan argumen filosofis yang membahas tentang riba. Uji tesis yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari Muhammad Arif, Ashiq Hussain, dan Muhammad Azzem mengungkapkan beberapa hipotesa berupa:

1. Zakat itu dikumpulkan dan disebarkan sesuai dengan perintah agama Islam. Zakat adalah sebuah dana yang menjadi suatu cabang khusus di dapartemen eksekutif pemerintahan. Zakat adalah sebuah nilai konstan berdasar rasio nilai bersih. Tidak terdapat batasan dalam pengumpulan dan penyaluran zakat kepada satu dari delapan

asnaf.

2. Riba tidak ada. Tidak ada bunga pinjaman. Mudharabah adalah cara kerja sama yang sah. Ini adalah sebuah cara untuk memberikan suntikan dana dalam rangka kerja sama

30Ibid., 58.

(15)

di sektor produksi di mana para pengusaha bekerja sama dengan rab al-mal dan pendapatan bersih akan dibagi sesuai dengan kesepakatan.

3. Kondisi perekonomian telah dibagi ke dalam berbagai sektor. Pengembangan pasar dan institusi untuk memproduksi barang, konsumsi barang dan instrumen keuangan sebagai pencatatan (SUKUK).

4. Keuntungan maksimal dianggap sebagai tujuan utama dari perekonomian.

Secara singkat, penyusun mengutip hasil dari beberapa varian pola uji tesis dari: Model sektor konsumsi dan sektor invenstasi dan menemukan hasil sebagai berikut:

Model ekonometrik yang diperkirakan oleh 2SLS. Hasil dari konsumsi fungsi adalah: C = a + b GDP

C = - 28858.35 + 0.825 GDP

(0.125) (16.29) R2 = 0,98

Hasil dari fungsi pendapatan adalah: Y = c + d I

Y = 768317.7 + 5.29 I R2= 0,79

Perkiraan model menunjukkan bahwa pemasukan memiliki hubungan positif dengan investasi lalu konsumsi tergantung pada pendapatan. Dengan demikian konsumsi dan invesatsi positif masuk dalam kategori riba dalam ekonomi bebas saat ini.32

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Dari berbagai uraian yang telah penyusun paparkan di atas, dapat penyusun tarik beberapa kesimpulan sebagai penutup dari makalah ini sebagai berikut:

1. Riba secara definisif harfiyah adalah penambahan, atau berkembang. Dalam artian istilah, riba adalah penambahan lebih dari suatu harga (utang) pokok yang ditetapkan karena adanya penudaan pembayaran.

2. Pengharaman riba melalui al-Qur’an diturnkan secara bertahap, tidak serta merta turun dalam satu perintah karena praktik riba telah mengakar dalam masyarakat Arab dan sudah ada pra Islam.

3. Secara garis besar riba ada 2 macam; Riba al-Fadhl dan riba al-nasi’ah. Namun dalam pemahaman secara praktik dan menelisik definisi serta ‘illat riba, para ulama akhirnya memiliki pendapat yang berbeda mengenai jenis-jenis Riba. Penyusun sendiri mengambil

32 Muhammad Arif, Ashiq Hussain, dan Muhammad Azzem, Riba Free Economy Model, International Journal of

(16)

empat jenis riba setelah melakukan telaah literatur dan perbandingan pemikiran ulama fiqh klasik dengan ulama kontemporer.

Referensi

Dokumen terkait

Ruang baku pinjam (saling meminjam) terbentuk dari unit informasi Adanya jasa dimana ruang ini terbentuk karena aktivitas penyewaan tempat kerja ataupun peminjaman

[r]

2.1 Konsep Perencanaan dan Pelaksanaan Program Ditjen Cipta Karya Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan.. berkelanjutan, konsep perencanaan

Secara umum, media center yang adalah Pusat Informasi dan Komunikasi Publik yang menjadi tempat untuk mengakses informasi, berkomunikasi dan mendapatkan layanan sosial

permasalahan sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik serta minimnya pengetahuan warga tentang pengelolaan sampah plastik dengan metode ecobrick, tim

pemerasan yang dilakukan oleh tahanan maupun narapidana kepada tahanan lainnya, dengan alasan bahwa pihak keluarga yang bersangkut tidak membesuk, selain itu adanya

kemiskinan, kemiskinan merupakan musuh dari tujuan utama otonomi daerah, dimana pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya

Persamaan antara laporan terdahulu dan laporan yang dilakukan penulis kini yakni tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan pemahaman dengan menerapkan asuhan