• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Mewujudkan Kepemimpinan Profeti Profeti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Mewujudkan Kepemimpinan Profeti Profeti"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 13 April 2013

STRATEGI MEWUJUDKAN KEPEMIMPINAN PROFETIK TRANSFORMATIF MELALUI PENDIDIKAN DEMOKRASI MENUJU

CIVIL SOCIETY1

Ali Imron2

Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Pertumbuhan demokratisasi pada negara-negara maju berdampak signifikan pada munculnya semangat demokrasi pada negara-negara berkembang. Motivasi demokrasi pada masa gelombang ketiga demokrasi ini membawa perubahan pada aspek kehidupan masyarakat, baik pada level makro, middle range, maupun mikro. Pada level makro, terjadi perubahan pada sistem sosial, terutama paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan mulai bergeser dari sistem pendidikan humanisme ke arah pendidikan bercorak kapitalis liberalis yang cenderung dehumanis. Pada level middle range, terjadi perubahan mendasar dalam konteks interaksi sosial yang justru mengikis solidaritas dan integrasi sosial. Sedangkan dalam level mikro, perubahan-perubahan sosial yang terjadi memunculkan individu-individu yang amoral dan semakin meninggalkan nilai-nilai profetik. Perubahan tersebut semakin amat terasa ketika dihadapkan pada model kepemimpinan yang saat ini lebih mengutamakan pada kekuasaan dan melupakan dimensi-dimensi moral dan spiritual. Nilai-nilai utama demokrasi yang menjunjung tinggi humanisme sosial mulai ditinggalkan dan kepentingan masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan akan partisipasi sosial dan kesejahteraan sosial semakin dikesampingkan, sehingga cita-cita luhur demokrasi dalam mengkonstruksi civil society (masyarakat madani) menjadi terhambat. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan dalam bentuk pendidikan demokrasi sebagai upaya mengkonstruksi kepemimpinan profetik transformatif dalam ruang civil society. Model pendidikan demokrasi yang dimaksud menitiberatkan pada upaya membangun jiwa kepemimpinan yang dilandasi nilai-nilai profetik dalam rangka mewujudkan masyarakat madani.

Kata Kunci : kepemimpinan, profetik transformatif, pendidikan demokrasi, civil society

1

Disampaikan dalam Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke-49 Universitas

Negeri Yogyakarta, “Mencari Model Kepemimpinan Profetik Transformatif: Menuju Indonesia Berdaulat” yang diselenggarakan di Yogyakarta, 13 April 2013.

2

(2)

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 13 April 2013

Pendahuluan

Pertumbuhan demokratisasi pada negara-negara maju berdampak signifikan pada munculnya semangat demokrasi pada negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang seolah tergiring pada spirit demokrasi yang mengagungkan pada kebebasan sipil dan kesejahteraan sosial. Motivasi demokrasi pada masa gelombang ketiga demokrasi ini membawa perubahan pada aspek kehidupan masyarakat, baik pada level makro, middle range, maupun mikro. Pada level makro, terjadi perubahan pada sistem sosial, terutama paradigma pendidikan. Paradigma pendidikan mulai bergeser dari sistem pendidikan humanisme ke arah pendidikan bercorak kapitalis liberalis yang cenderung dehumanis. Pola pendidikan keluarga sudah mulai berubah pada pola pendidikan industrial sebagai konsekuensi dari globalisasi dan modernisasi. Peran vital orangtua sebagai aktor yang utama dan pertama pada sosialisasi nilai dan norma moral sebagai esensi dari pendidikan, saat ini sudah mulai tergantikan oleh konstruksi pendidikan modern yang justru menanggalkan aspek moralitas karena mendewakan keunggulan kognitif. Pada level middle range, terjadi perubahan mendasar dalam konteks interaksi sosial yang justru mengikis solidaritas dan integrasi sosial. Komunitas-komunitas lokal yang berjuang untuk merevitalisasi nilai-nilai kultural yang indigeneous harus tergerus oleh gesekan roda-roda globalisasi yang mengunggulkan nilai-nilai kapital. Solidaritas dan integrasi sosial yang dibangun berdasarkan modal-modal sosial sudah mulai tergantikan oleh modal-modal ekonomi.

Sedangkan dalam level mikro, perubahan-perubahan sosial yang terjadi memunculkan individu-individu yang amoral dan semakin meninggalkan nilai-nilai profetik. Nilai-nilai-nilai moral yang awalnya terkonstruksi melalui sosialisasi dalam keluarga justru berbalik arah dan berubah menjadi sangat liberalis. Aspek penghargaan dan penghormatan terhadap orang lain sudah tidak lagi tampak dan seolah tenggelam dalam hiruk pikuk modernitas. Perubahan-perubahan dari berbagai level tersebut semakin amat terasa ketika pendidikan ala globalisasi dan modernisasi justru memunculkan model kepemimpinan yang lebih mengutamakan pada dimensi kekuasaan dan melupakan aspek-aspek moral dan spiritual. Nilai-nilai utama demokrasi yang menjunjung tinggi humanisme sosial mulai ditinggalkan dan kepentingan masyarakat berupa pemenuhan kebutuhan akan partisipasi sosial dan kesejahteraan sosial semakin dikesampingkan, sehingga cita-cita luhur demokrasi dalam mengkonstruksi civil society (masyarakat madani) menjadi terhambat.

(3)

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 13 April 2013

Gurita Globalisasi dan Lemahnya Nilai-nilai Profetik

Globalisasi sebagai pintu utama masuknya kolonialisasi dengan menguasai pondasi kehidupan manusia melalui lintas batas bangsa meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti aspek ekonomi, ideologi dan politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosial dan budaya, serta agama. Sebagai sebuah proses, globalisasi melakukan transformasi nilai-nilai yang bergandengan dengan kapitalisme untuk memperkuat dominasi kapital. Penumpukan asset-aset kapital oleh globalisasi dan modernisasi menjadikan pondasi sistem atau struktur berubah total. Sebagai contoh bangunan struktur ekonomi. Sistem ekonomi Indonesia misalnya, yang dahulu dibangun dengan susah payah oleh pendiri bangsa dengan pondasi nilai-nilai pancasila yang memiliki tujuan utama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, namun seiiring dengan kran globalisasi dan modernisasi, pondasi itu rapuh dan tergantikan oleh peran modal asing dalam bentuk privatisasi dan komersialisasi.

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada bidang ideologi dan politik. Ideologi pancasila yang dipakai sebagai dasar berpijak dalam menjalankan roda perpolitikan di Indonesia juga sudah beralih pada ideologi kapitalis liberalis dengan orientasi utama adalah profit politik. Kondisi ini akan berdampak pada munculnya penyimpangan-penyimpangan politik, seperti Korupsi Kolusi, dan Nepotisme; praktik politik uang; premanisme politik; dan kartelisasi politik. Praktik deviasi ini justru menghasilkan pemimpin yang bertipe korup, arogan,

group centris, bahkan “menindas” rakyatnya sendiri.

Aspek sosial, budaya, dan agama juga tidak jauh berbeda. Nilai-nilai tradisi dan kultural yang bersumber pada kearifan lokal sudah tidak lagi menggema. Nilai-nilai yang fundamental tersebut saat ini justru mengekor pada arus kuasa globalisasi (Giddens, 2009: 10). Nilai-nilai profetik yang bersumber dari nilai fundamen agama juga tidak lagi berfungsi efektif. Nilai-nilai tersebut justru dijadikan sebagai klaim penguasa atau kelompok dominan melalui wacana dan narasi representasi semu (Spivak, 1990: 20). Demokrasi yang memiliki nilai-nilai esensial untuk memenuhi hak-hak sipil justru berubah memiliki makna bahkan dimaknai sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

Kepemimpinan Profetik dalam Perspektif Kuntowijoyo

Kepemimpinan profetik yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada nilai-nilai kenabian yang tertulis di Al Qur’an. Kuntowijoyo (1993: 45), menyatakan bahwa kepemimpinan profetik membawa misi humanisasi, liberalisasi dan transendensi. Pertama, misi humanisasi, yaitu mengajak pada kebaikan (ta’muruna bil ma’ruf). Kedua, Misi liberalisasi yang membebaskan manusia dari belenggu keterpurukan dan penindasan (tanhauna anil munkar). Ketiga, misi transendensi sebagai manifestasi dari misi humanisasi dan liberasi, yaitu kesadaran ilahiyah yang mampu menggerakkan hati dan bersikap ikhlas terhadap segala yang telah dilakukan (tu’minuna billah). Tugas pemimpin profetik,

(4)

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 13 April 2013

epitemologi dan metodologi, serta mengajarkan ilmu pengetahuan. Keempat, penguasaan informasi dan masalah-masalah baru yang dinamis.

Kuntowijoyo (2007: 50), juga menyampaikan kriteria utama kesuksesan pemimpin yang berjiwa profetik. Kriteria tersebut, pertama, kesadaran akan peran dan fungsinya sebagai pemimpin. Untuk mencapai kriteria tersebut, pemimpin haruslah mempunyai visi dan misi yang kuat sehingga pemimpin akan memiliki legitimasi yang kokoh. Kedua, kepemimpinan dalam hal ilmu, dimana seorang pemimpin haruslah mempunyai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan akan mampu menjadikan dirinya memiliki kemampuan menentukan keputusan atau kebijakan. Ilmu akan mampu mencegah seorang pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Ketiga, pemimpin harus amanah yang diukur dari kredibilitas dan integritasnya. Keempat, fungsi regenerasi, yaitu pemimpin harus mampu mewariskan sifat-sifat kepemimpinan profetik. Pada dasarnya pemimpin tidak terbentuk secara tiba-tiba, namun dibentuk dalam waktu dan proses yang berkelanjutan.

Pendidikan Demokrasi dan Perwujudan Civil Society

Demokrasi berasal dari kata “demos”, yang berarti rakyat, dan “kratos”, yang berarti pemerintahan. Demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Menurut Robert Dahl (1985: 30), sebuah demokrasi idealnya mengandung unsur, (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi

semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang

untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan

kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat; dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa

dalam kaitannya dengan hukum.

(5)

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 13 April 2013

pendidikan dan harus dihindari cara-cara yang doktriner. Keempat, pendidikan demokrasi akan efektif melalui proses belajar mengajar yang memberi pengalaman cara hidup yang demokratis kepada peserta didik. Dengan demikian, diharapkan dengan pengalamannya akan menimbulkan kebiasaan serta loyalitas yang demokratis. Kelima, organisasi-organisasi pelajar, mahasiswa, pemuda merupakan laboratorium pendidikan demokrasi untuk belajar, mengalami, dan menghayati hidup yang demokratis. Keenam, partisipasi dalam bebagai kegiatan pembelajaran.

Implementasi nilai-nilai demokrasi dalam koridor pendidikan demokrasi akan berdampak positif pada perwujudan masyarakat yang madani (civil society). Masyarakat yang demokratis akan mencerminkan masyarakat yang menghargai pluralitas, menjamin kemandirian warga negara dan meningkatkan kapasitas politik warga negara (Tocquevillle dalam Hyden, 1997: 46). Dengan demikian, hak-hak warga negara akan terjamin tanpa mengganggu hak-hak warga negara yang lain. Harmonisasi kehidupan masyarakat akan tercermin dari pemenuhan hak-hak sipil, penguatan partisipasi aktif warga negara, serta perlindungan yang sama di bidang hukum.

Pemimpin yang bercorak profetik akan selalu menjaga norma-norma demokrasi karena sudah mengalami proses pendidikan demokrasi yang efektif. Pemimpin yang berjiwa profetik akan senantiasa menjamin keberlangsungan pemenuhan hak-hak warga negara, menjamin partisipasi aktif warga negara dalam pembangunan dan kontrol terhadap kebijakan pemimpin, serta melindungi semua warga negara secara hukum.

Penutup

(6)

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 13 April 2013

Daftar Pustaka

Dahl, R. (1985). Tentang Demokrasi, Jakarta: Yayasan Obor.

Giddens, A. (2009). Konsekuensi-konsekuensi Modernitas, Jakarta: Gramedia.

Hyden, G. (1997). “Civil Society, Social Capital, and Development: Dissection of a Complex Discourse”, Studies in Comparative International Development, Vol. 32, Issue. 1.

Kuntowijoyo. (1993). Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan.

(2007). Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil percobaan pembuatan pernis dari damar abu dan asalan menunjukan bahwa pernis yang dihasilkan mempunyai sifat yang baik dan sama dengan contoh pernis kualitas pasaran

Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi konsensus moral yang digunakan sebagai sistem etika

Salah seorang warga mendapatkan dana BUMDes, padahal tidak layak mendapatkan bantuan, karna tidak memenuhi syarat dan juga warga ini mempunyai ekonomi lumayan

Mengacu pada latar belakang di atas adapun tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan, motivasi dan lingkungan kerja secara parsial terhadap

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Kota Jambi menempati peringkat pertama dalam kinerja pembangunan secara keseluruhan, diikuti oleh dari Tanjab Barat dan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah memberikan rahmatNya, sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Peningkatan Pemahaman

Harga tentu saja salah satu unsur yang sangat menentukan kondisi berbelanja dan Sujarwo memperlihatkan gejala yang sangat khas bahwa di satu pihak sosok pembeli tidak

 Membantu pasien untuk mengurangi jam tidur siang pasien dengan meningkatkan aktivitas yang dapat menjaga pasien tetap terjaga.  Memberikan tindakan yang memberi