• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemiskinan Pada Masyarakat Petani Sebuah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kemiskinan Pada Masyarakat Petani Sebuah"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Kemiskinan Pada Masyarakat Petani:

Sebuah Analisis Masalah Sosial

Paper Masalah Sosial

Disusun untuk memenuhi Ujian Tengah Semester matakuliah Masalah-Masalah Sosial yang diampu Dra.Agnes Sunartiningsih,M.S.;

Drs.Soetomo,M.Si.; Dr.Hempri Suyatna, M.Si.

Mukhammad Fatkhullah 16/404184/PSP/05857

JURUSAN PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

1 1. Latar Belakang

Salah satu indikator untuk mengukur kesejahteraan suatu masyarakat ialah dengan melihat bagaimana masalah-masalah sosial dalam masyarakat tersebut. Penanganan yang tepat menjadi penting untuk mengangkat kembali masyarakat penyandang masalah sosial menjadi masyarakat yang sejahtera seperti sebelumnya. Oleh karenanya pemerintah melaui berbagai bentuk kebijakan sosialnya memiliki tanggung jawawab yang besar untuk menyelesaikan berbagai macam masalah sosial yang dihadapi oleh rakyatnya. Tentunya, hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari masyarakat itu sendiri selaku penyandang masalah untuk bisa mengaspirasikan persoalannya sehingga dapat dicapai sebuah komunikasi yang baik antar kedua pihak.

Namun, dalam pelaksanaannya alih-alih dapat menyelesaikan persoalan ataupun masalah sosial yang ada, beberapa kebijakan yang dirumuskan justru menimbulkan masalah sosial lainnya. Pada pengertian ini, identifikasi masalah sosial kemudian menjadi penting sebagai sebuah keharusan dalam menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Pasalnya, beberapa gejala atau fenomena yang ditunjukkan oleh individu yang terpisah belum tentu berasal dari variabel yang melekat pada individu tersebut, namun lebih pada struktur dan sistem sosial yang mengatur individu tersebut. Sebaliknya, beberapa masalah dan persoalan yang terkait dengan struktur dan sistem belum tentu sepenuhnya berasal dari sistem yang cacat, bisa jadi karena kurangnya kompetensi pihak yang menjalankan sistem atau berada dalam struktur tertentu, atau bahkan ada perbedaan kepentingan dari beberapa orang yang menjalankan sistem.

Kompleksitas definisi masalah sosial dan bagaimana masalah tersebut begitu rancu jika dibandingkan dengan masalah pada umumnya membuat banyak pihak enggan untuk membuka pembahasan dan diskusi terkait dengan masalah sosial. Akibatnya, perhatian dan tindakan nyata terkait dengan masalah sosial tersebut hanya akan dilakukan jika masalah tersebut benar-benar dirasa perlu untuk diselesaikan. Pada tingkat ini, usaha-usaha yang dilakukan hanya akan benar-benar dilakukan ketika masalah sosial telah menimbulkan dampak yang begitu kompleks, sedangkan penanganan yang diberikan hanya sebatas penanganan yang parsial tanpa melihat akar permasalahan yang sebenarnya. Pada pengertian ini, diagnosis terhadap masalah sosial menjadi kunci utama dalam menanganan masalah sosial. Harapannya, tentu untuk mencari sumber-sumber permasalahan dari suatu masalah sosial untuk kemudian disusun strategi untuk mengatasinya.

(3)

2

kekerasan, kriminalitas, eksploitasi anak, prostitusi, serta perdagangan manusia, masalah kemiskinan agaknya tidak benar-benar digarap dengan serius oleh pemerintah. Hal ini dapat dilihat bagaimana program-program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan mendapatkan reaksi pro dan kontra dalam masyarakat. Parahnya, alih-alih memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin, beberapa program yang ada justru cenderung menimbulkan permasalahan lain dalam masyarakat mulai dari kecemburuan sosial, konflik terselubung, hingga konflik rill yang muncul karena pelaksanaanya yang melenceng atau memang tidak dikonsepkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akibatnya nilai-nilai, hubungan sosial, dan solidaritas sosial pada masyarakat penyandang masalah kemiskinan yang didominasi oleh masyarakat pedesaan mulai terdistorsi. Padahal, di masa lalu nilai-nilai, hubungan sosial, dan solidaritas sosial antar masyarakat di pedesaan ini merupakan salah satu katup penyelamat yang mampu membuat banyak elemen masyarakat miskin tetap bertahan bahkan pada masa-masa krisis.

Melihat bagaimana telah terjadi perubahan pada dimensi-dimensi sosial masyarakat pedesaan, penulis tertarik untuk kembali mengangkat diskusi tentang analisis masalah sosial berupa kemiskinan pada masyarakat petani. Masyarakat petani atau kelompok yang memiliki profesi sebagai sendiri dipilih berdasarkan realitas bahwasanya secara statistik masyarakat miskin memang sebagian besar merupakan orang-orang yang berprofesi sebagai petani.

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa pertanyaan yang kemudian akan menjadi rumusan masalah untuk di jawab pada bahasan selanjutnya, antara lain:

1. Bagaimana fenomena kemiskinan pada masyarakat petani bisa dikatakan sebagai masalah sosial dalam konteks Pembangunan?

2. Bagaimana gejala-gejala kemiskinan pada masyarakat petani sebagai sebuah masalah sosial bisa dilihat dan diamati berdasarkan unit analisis?

3. Bagaimana analisis terhadap identifikasi sumber/faktor/penyebab kemiskinan berdasarkan gejala-gejala yang nampak pada masyarakat petani?

4. Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah sosial kemiskinan pada masyarakat petani?

3. Pembangunan, Kesenjangan, dan Kemiskinan Masyarakat Petani

(4)

3

yang ditunjukkan dari tahun ke-tahun mulai tahun 2009-2013 kondisi ketimpangan terus mengalami lonjakan yang signifikan. Namun pada realitasnya kesenjangan tersebut bahkan bisa lebih besar dari data yang ditunjukkan oleh angka statistik yang ditunjukkan oleh BPS. Pasalnya, kalkulasi indeks gini saat ini hanya didasarkan atas belanja atau konsumsi, bukan pada pendapatan yang diterima perkapita.

Investor tertarik membangun investasi pada sektor bisnis, seperti hotel dan mal. “Pemilik modal besar paling menikmati pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi tergolong tinggi,” kata Bambang kepada Tempo di Yogyakarta, Jumat, 11 Desember 2015 (Maharani, 2015). Sedangkan, sektor pertanian dan industri pengolahan untuk menyerap banyak tenaga kerja tidak dikelola dengan serius. Industri pengolahan itu misalnya industri kreatif. Sedangkan, kemiskinan paling banyak menimpa penduduk yang bekerja di sektor pertanian

Tiga urutan terbesar lapangan usaha pemberi kontribusi struktur ekonomi DIY pada triwulan I-2016 adalah Industri Pengolahan, Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, dan Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum. Ketiga lapangan usaha ini memberikan kontribusi sebesar 35,74 persen (BPS, 2016). Hal ini tentu merupakan sebuah hal yang ironis. Pertanian yang masuk dalam tiga lapangan yang memberikan kontribusi pada struktur ekonomi terbesar pada DIY justru merupakan sektor yang didominasi oleh masyarakat miskin.

Ada kesenjangan antara yang seharusnya/diharapkan terjadi (dassolen) dengan apa yang senyatanya terjadi (dassein) jika melihat ilustrasi yang telah digambarkan di atas. Bagaimana kemudian sektor pertanian yang sangat berkontribusi dibandingkan dengan sektor-sektor lain dipenuhi dengan masyarakat yang menyandang masalah sosial kemiskinan. Pembangunan, kemudian menjadi fenomena yang dapat dikatakan sebagai masalah sosial. Karena, kotribusi yang diberikan oleh para petani ini tidak sejalan dengan apa yang mereka dapatkan.

Akibatnya, berbagai proses pembangunan yang dilakukan di daerah istimewa ini rasa-rasanya tidak memberikan banyak kontribusi pada masyarakat khususnya yang tinggal pada strata sosial yang ada di bawah. Bukti lain yang menunjukkan hal tersebut adalah angka kemiskinan di DIY lebih tinggi 14% di atas rata-rata angka kemiskinan nasional (Mustaqim, 2015). Hal ini karena dalam proses selanjutnya tidak ada warga lokal yang dilibatkan dalam proses ekonomi yang berlangsung, misalkan saja tidak ada warga lokal yang terserap untuk jadi karyawan dalam setiap proyek pembangunanan.

(5)

4

berkutat dengan pemenuhan kebutuhan konsumsi yang tak kunjung terpenuhi. Keadilan sosial dan kesejahteraan kemudian menjadi suatu hal yang utopis untuk dibicarakan.

Dalam konteks ini, kesenjangan sosial pada masyarakat yang dipercaya merupakan dampak dari pembangunan yang kurang bisa dirasakan oleh kaum marjinal dalam masyarakat kemudian menjadi masalah sosial lain tidak lain merupakan dampak dari masalah sosial kemiskinan yang terus menjerat masyarakat miskin untuk terus tinggal didalamnya.

4. Fenomena dan Gejala Kemiskinan pada Masyarakat Petani

Masalah sosial sebagai realita objektif dapat diartikan bahwasanya masalah tersebut dalam masyarakat menimbulkan kerugian baik fisik maupun nonfisik pada segmen tertentu dalam suatu masyarakat.

Pertama, kemiskinan merupakan masalah sosio kultural yang menghalangi sejumlah

anggota masyarakat untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi mereka secara penuh. Pada konteks ini, kemiskinan sebagai belenggu yang membuat masyarakat petani terus berkutat pada persoalan konsumsi dibanding pada kegiatan yang lebih produktif. Kedua, kemiskinan pada masyarakat petani menunjukkan kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang senyatanya terjadi. Pertanian sebagai salah satu sektor yang menymbang pada pembangunan infrastruktur terbesar dan merupakan sektor unggulan di DIY didominasi oleh masyarakat miskin. Ketiga, masalah kemiskinan sebagai suatu masalah yang menjadi pemicu atau pemantik bagi masalah-masalah sosial lainnya seperti kekerasan, kriminalitas, eksploitasi anak, prostitusi, serta perdagangan manusia

Kemiskinan merupakan suatu fenomena yang dapat diukur melalui seperangka indikator tertentu, dan biasanya unit analisis kemiskinan itu sendiri adalah pada masing-masing individu. Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan World Bank.

(6)

5

5. Identifikasi Sumber-sumber Kemiskinan pada Masyarakat Petani 5.1.Dimensi Kemiskinan Kultural pada Masyarakat Petani

Menurut Oscar Lewis (1959 dalam (Suparlan, 1984), masalah kemiskinan menyangkut sikap mental, pola perilaku, dan predisposisi yang berpangkal pada state of mind yang tak bersenyawa dengan spirit perubahan, kemajuan, dan peningkatan status serta kualitas kehidupan. Pada lingkungan masyarakat miskin seringkali muncul sikap pemberontakan tersembunyi terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, tetapi di lain pihak juga terdapat sikap-sikap masa bodoh dan pasrah kepada nasibnya sendiri dan pasrah serta tunduk kepada mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan sosial. Begitu mudah mereka mengikuti petunjuk tetapi dengan mudah melupakannya, apalagi kalau dirasakan sebagai beban hidup atau tidak menguntungkan mereka.

Kemiskinan di masyarakat seringkali diakibatkan oleh adanya budaya gadai menggadai dan hutang menghutang untuk dapat hidup serta tidak adanya kesetiaan terhadap satu jenis pekerjaaan. Pola hidup pada masyarakat ketika panen raya, adat istiadat yang konsumtif seperti berbagai pesta rakyat atau upacara perkawinan, kelahiran dan bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan dikarenakan prestise dan keharusan budaya juga turut melanggengkan kemiskinan di masyarakat. Lebih lanjut, kebudayaan tersebut dapat dilihat melalui beberapa ciri antara lain:

1. Kurang efektifnya partisipasi dan integrasi kaum miskin ke dalam lembaga-lembaga utama masyarakat. Mereka berpenghasilan rendah namun mengakui nilai-nilai yang ada pada kelas menengah ada pada diri mereka. Mereka sangat sensitif terhadap perbedaan-perbedaan status namun tidak memiliki kesadaran kelas. 2. Di tingkat komunitas, dapat ditemui rumah-rumah bobrok, penuh sesak,

bergeerombol dan rendahnya tingkat organisasi di luar keluarga inti dan luas. 3. Di tingkat keluarga, ditandai oleh masa kanak-kanak yang singkat dan kurang

pengasuhan oleh orang tua, cepat dewasa, hidup bersama/kawin bersyarat, tingginya jumlah perpisahan antara ibu dan anaknya, cenderung matrilineal dan otoritarianisme, kurangnya hak-hak pribadi, solidaritas semu.

4. Di tingkat individu, ditandai dengan kuatnya perasaan tak berharga, tak berdaya, ketergantungan dan rendah diri (fatalisme).

(7)

6

generasi berikutnya melalui proses sosialisasi—baik secara langsung maupun tak langsung—yang panjang, fenomena kemiskinan kemudian menjadi sebuah permasalahan yang bersumber dari kultur atau kebudayaan pada masyarakat tertentu. Dalam konteks ini adalah masyarakat petani yang kemudian mengakar kedalam sistem kepercayaan dan kebiasaan yang dianut dan terus direproduksi.

5.2.Dimensi Kemiskinan Struktural pada Masyarakat Petani

Jika melihat dari definisinya, kemiskinan structural adalah suatu masalah sosial yang disandang oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Alfian, 1980). Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa kemiskinan struktual adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmamuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja (Suharto, 2005).

Dorodjatun Kuntjoro Jakti yang menghimpun sejumlah hasil penelitian kependudukan dan masalah kemiskinan dalam “Kemiskinan di Indonesia” (1986), melihat masalah kemiskianan muncul sebagai dampak dari kebijakan pembangunan khususnya pembangunan desa-kota yang tidak seimbang, sehingga berdampak pada berkembangnya fenomena kemiskinan—khususnya di perkotaan (Astika, 2010).

Pada pengertian ini, kemiskinan structural dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial yang berasar dari luar diri penyandang masalah kemiskinan. Faktor-faktor tersebut meliputi rendahnya tingkat pendidikan yang disebabkan oleh kurangnya kemudahan untuk mendapatkan akses pedidikan, rumitnya birokrasi dalam mengurus segala urusan administratif sehingga menyebabkan masyarakat petani kurang memiliki bargaining position, serta kurangnya akses terhadap informasi, serta kebijakan pemerintah dalam mengendalikan harga pokok hasil pertanian.

(8)

7

5.3.Dinamika, Perubahan Sosial, dan Fleksibilitas Idividual

Kendati berada dalam kondisi yang serba kekurangan, masyarakat petani memiliki mekanisme survival tersendiri untuk tetap bertahan hidup dalam bentuk tatanan, kebiasaan dan cara hidup sehari-hari. James C. Scott (1983) menggambarkan beberapa tampilan penting dari kehidupan sosial ekonomi dan organisasi kultural pada masyarakat petani, khususnya yang berkenaan dengan orang miskin. Scott menyoroti respon-respon mereka terhadap penetrasi negara dan pasar selama periode kolonial. Scott juga melihat kontrol negara dalam bentuk pajak yang telah ditetapkan, naik turunnya harga untuk komoditas-komoditas utama—khususnya beras, registrasi tanah dan komodifikasinya, kepemilikan tanah, spesialisasi ekonomi dan individualisme serta polarisasi klas. Scott menggambarkan transformasi tanah menjadi komoditas yang dijual telah mempunyai efek yang sangat mendalam. Kontrol terhadap tanah semakin terlepas dari tangan-tangan orang desa; petani secara progresif kehilangan hak-hak kebebasan hak guna hasil dan menjadi penyewa atau petani pekerja berupah; nilai-nilai yang diproduksi semakin diukur dengan fluktuasi pasar yang bersifat impersonal Negara sendiri menjadi agen yang mengeksploitasi sumber daya petani. Berbagai bentuk administrasinya dilakukan dengan cara menghitung serta mensurvei para petani dan tanah hanya bertujuan untuk pajak.

Pada pengertian ini, Scott melihat bahwasanya petani adalah kaum yang lemah dan hanya mampu melakukan resistensi kecil-kecilan serta sekedar subsisten atau hanya mampu menghidupi ekonominya di hari itu saja (King, 2011). Kendali berada dalam tekanan dan dominasi sruktural, Scott juga menunjukkan suatu hubungan etika moral resiprositas terhadap suatu institusi kunci yang berperan dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan anggota komunitas yang kemudian disebut dengan “ikatan patron-client. Ikatan tradisional inilah yang disorot Scott sebagai salah satu moral dalam

masyarakat petani yang dalam dunia kontemporer disebut-sebut sebagai jaminan sosial yang mampu melindungi masyarakat petani terhadap berbagai kerentanan dan ketidakberdayaan dalam menghadapi permasalahan yang ada.

(9)

8

komunitas khususnya pada masyarakat miskin di sektor pertanian. Akibatnya tentu bisa dikatakan bahwasanya masyarakat petani di era ini berada dalam kondisi yang lebih mengkhawatirkan dan memprihatinkan jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat yang kala itu diteliti oleh Scott. Ironisnya, diluar permasalahan tersebut gemerlap pembangunan kian bersinar terang tanpa menyisakan sisa-sisa kehangatan untuk petani miskin. Itulah yang kemudian kita sebut ketimpangan dan kesenjangan.

6. Mengatasi Masalah Sosial Kemiskinan pada Masyarakat Petani

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya identifikasi masalah kemiskinan pada masyarakat petani dapat dilihat secara individual melalui beberapa indikator. Ada beberapa ukuran kemiskinan yang telah diterapkan di Indonesia dewasa ini, diantaranya adalah ukuran dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dan World Bank. Kriteria menurut BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurangdari 2.100 kalori perkapita perhari. Sedangkan kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera apabila pertama, tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. Sedangkan masalah sosial tersebut dapat berasal dari dua sumber. Pertama, masalah sosial kemiskinan bersumber dari individu melalui pemikiran-pemikiran dan pola pikir tradisional yang cenderung fatalis, kurang bisa menangkap peluang, mudah menyimpan rasa curiga tau kurang optimis, serta cenderung menggantungkan dirinya pada orang lain. Kedua, masalah sosial kemiskinan pada petani bersumber dari sistem sosial yang ada. Sistem tersebut mencakup kendala-kendala structural yang dihadapi masyarakat petani untuk bangkit dengan merebut ataupun mengumpulkan sumber-sumber produksi karena terbatasnya akses dan aturan birokrasi yang terlalu rumit.

(10)

9

Tabel 1.1 Identifikasi Gejala dan Sumber Masalah Sosial Sumber

Gejala Individu Sistem

Individu 1 2

Sistem 3 4

Melihat bagaimana masalah sosial bersumber dari sistem kebudayaan dan struktur sosial yang ada, maka pendekatan dan penyelesaian masalahnya pun harus dilakukan melalui pendekatan yang sama. Selama ini, program-program pengentasan kemiskinan hanya dilakukan melalui pendekatan individual, bukan komunal lantaran gejala kemiskinan Nampak pada diri perseorangan. Untuk itu, ada beberapa langkah yang harus dilakukan:

1. Karena masyarakat petani selalu bergantung dengan alam untuk terus hidup, maka masyarakat petani dikatakan sebagai masyarakat yang rentan. Hal ini, dikarenakan bencana alam dan situasi/kondisi cuaca yang tidak menentu kapanpun bisa menyebabkan mereka gagal panen dan kehilangan sumber-sumber penghidupan mereka. Oleh karenanya, masyarakat petani membutuhkan asuransi sosial terhadap hasil-hasil pertaniannya. Asuransi tersebut, meliputi solusi pemecahan masalah ketika terjadi bencana alam, penyakit menular, ataupun hasil-hasil pertanian mengalami gagal panen. Sehingga, siklus kehidupan masyarakat petani bisa tetap berjalan tanpa harus terlilit hutang yang akan semakin menjeratnya kedalam jurang kemiskinan dan mulai bisa berfokus pada pengembangan usaha pertanian padat modal.

2. Masalah kemiskinan pada masyarakat petani juga tidak terlepas dari ketidakberdayaan, dimana masyarakat petani miskin kurang bisa berdaya untuk menyuarakan haknya. Hal ini, tentu dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan dan bargaining position dalam masyarakat. Oleh karenanya, pengadaan akses terhadap pendidikan pada masyarakat petani miskin menjadi penting. Selain itu, pendistribusian lahan pertanian pada buruh petani yang selama ini hanya menggarap sawah milik juragan tahan juga menjadi salah satu solusi untuk mengatasi ketidakberdayaan ini. Karena dengan begitu, petani bisa dengan leluasa mengatur alokasi dan mendapatkan hasil yang lebih banyak berdasarkan banyak lahan yang digarapnya.

(11)

10

memberikan setidaknya bantuan dalam bentuk subsidi pada berbagai kebutuhan konsumsi masyarakat petani miskin. Sehingga, hasil-hasil dari pertanian dapat dimanfaatkan untuk sedikit demi sedikit dialokasikan dan didistribusikan pada pengembangan modal dan inovasi pertanian. Tidak hanya akan merangsang peningkatan pendapatan, namun akan mengeluarkan masyarakat petani dari jeratan lingkaran setan kemiskinan.

4. Ketiga langkah tersebut, hendaknya dilakukan tidak secara personal. Namun, secara komunal melalui pemberdayaan komunitas petani. Dimana bentuk-bentuk bantuan bukan merupakan bantuan rill dalam bentuk uang, namun dalam bentuk kemudahan akses yang ditujukan khusus untuk masyarakat petani. Sehingga sedikit demi sedikit kesejahteraan petani akan meningkat.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Buku & Jurnal

Alfian, M. G. T. S. S., 1980. Kemiskinan Struktural Suatu Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.

Astika, K. S., 2010. Budaya Kemiskinan di Masyarakat: Tinjauan Kondisi Kemiskinan dan Kesadaran Budaya Miskin di Masyarakat. Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume I, p. 24.

Iqbal, H., 2008. Implementasi Kebijakan Program Bantuan Langsung Tunai Tahun 2008, Semarang: Universitas Diponogoro.

Nasution, F. S., 2014. Corporate Social Responsibility (SCR) dan Ketergantungan Masyarakat Miskin, Bengkulu: Departemen Sosiologi Universitas Bengkulu.

Suharto, E., 2005. Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.

Suparlan, D. P., 1984. Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Obor Indonesia.

Suyanto, B., 2013. Anatomi Kemiskinan dan Strategi Penanganannya. Malang: In-TRANS Publishing.

Publikasi Online

BPS, 2016. Pertumbuhan Ekonomi di Yogyakarta Triwulan I Tahun 2016. [Online] Available at: http://yogyakarta.bps.go.id/Brs/view/id/417

[Accessed 1 October 2016].

King, V. T., 2011. Ulasan Buku: Moral Ekonomi Petani: Antara Subsistensi dan Resistensi. [Online]

Available at: http://etnohistori.org/moral-ekonomi-petani-antara-subsistensi-dan-resistensi.html

[Accessed 4 October 2016].

Maharani, S., 2015. BPS Ungkap Kesenjangan Ekonomi di Yogyakarta Tinggi. [Online] Available at: https://m.tempo.co/read/news/2015/12/12/058727170/bps-ungkap-kesenjangan-ekonomi-di-yogyakarta-tinggi

[Accessed 2 October 2016].

Mustaqim, A., 2015. Bandara Kulon Progo Bisa Pertajam Ketimpangan Sosial. [Online] Available at: http://jateng.metrotvnews.com/read/2015/11/21/193235/bandara-kulon-progo-bisa-pertajam-ketimpangan-sosial

[Accessed 3 October 2016].

Ruslan, K., 2014. Kesanjangan Ekonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta Kian Mengkhawatirkan. [Online]

Available at: http://www.kompasiana.com/kadirsaja/kesanjangan-ekonomi-di-daerah-istimewa-yogyakarta-kian-mengkhawatirkan_552964356ea8344e0b8b456f

Gambar

Tabel 1.1 Identifikasi Gejala dan Sumber Masalah Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Kedua UKM kerupuk, yaitu UD Dua Kelapa dan Sinar jaya telah berupaya untuk melakukan pemenuhan persyaratan CPPB-iRT dimulai dari proses identifikasi gap sampai

Kegiatan Ipteks Tepat Guna Bagi Masyarakat Pelaku Usaha Keripik Pisang Desa Bojonggedang masih jauh dari sempurna hal ini terbukti dari adanya hambatan yang

Berdasarkan tabel 6 yang tergolong dalam sektor basis adalah sektor basis adalah sektor industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor

Penyelenggara Pelayanan Publik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peran Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Propinsi Jawa Timur Dalam Penyelesaian Laporan Atas

Jadi dapat disimpulkan bahwa dosis efektif ekstrak daun tembelekan 1500mg/kgBB yang memiliki aktivitas antiinflamasi lebih baik pada penurunan radang kaki tikus

Definisi operasional disusun untuk menghindari kesalahpahaman dalam istilah-istilah yang digunakan pada penelitian ini. Beberapa definisi operasional pada penelitian

gampang diurus, dulu kan ibu punya banyak waktu untuk mengurus saya dan adek-adek karena ibu tidak bekerja, kalau setelah bapak meninggal kan ibu harus bekerja untuk keluarga jadi

Jika diaplikasikan ke dalam sudut pandang orang Jawa yang pada umumnya melihat nilai estetika tari klasik dengan menggunakan prinsip Joged Mataram maka faktor pengulangan dalam