• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI A. IDENTITAS SOSIAL 1. Definisi Identitas Sosial - Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI A. IDENTITAS SOSIAL 1. Definisi Identitas Sosial - Dinamika Pembentukan Identitas pada Kelompok Straight Edge di Kota Medan"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. IDENTITAS SOSIAL 1. Definisi Identitas Sosial

Taylor, Peplau, Sears (2009) menyatakan bahwa pengetahuan tentang diri berasal dari banyak sumber, dan banyak dari pengetahuan diri kita berasal dari sosialisasi. Sosialisasi adalah bagaimana seseorang mendapat aturan, standar, dan nilai kelompoknya, dan kulturnya.

Selanjutnya Ellemers (1993) menyatakan bahwa teori identitas sosial merupakan identifikasi ingroup, yang merupakan sumber penjelasan terjadinya konflik antar kelompok. Konsep identitas sosial digunakan untuk merujuk ke bagian dari konsep-diri yang berasal dari kategori sosial orang yang terkait. Ellemers, Kortekaas & Ouwerkerk (1999) juga menyatakan bahwa ada 3 komponen yang berkontribusi dalam pembentukan identitas sosial, yaitu cognitive (kesadaran kognitif seseorang mengenai keanggotaan nya dalam sebuah kelompok – self categorization). Kedua, evaluative component (nilai konotasi positif atau negatif yang melekat pada keanggotaan kelompok – group self esteem). Yang ketiga, emotional component (rasa keterlibatan emosional dengan kelompok – affective commitment).

(2)

anggota kategori sosial. Dengan penekanan yang lebih besar pada identifikasi kelompok, berfokus pada hasil kognitif seperti ethnosentrisme, atau kohesivitas kelompok.

Kemudian Tajfel (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan bahwa social Identity adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari

keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang ada dilekatkan dalam keanggotaan itu.

2. Komponen Pembentuk Identitas Sosial

Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar terbentuknya identitas sosial, yaitu social identification, social categorization, dan social comparison.

a. Identification

(3)

dalam proses identification ialah, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Selanjutnya Ellemers, , Kortekaas & Ouwerkerk (1999) menambahkan bahwa identification terutama digunakan untuk merujuk kepada perasaan komitmen afektif kepada kelompok (yaitu komponen emosional), daripada kemungkinan untuk membedakan antara anggota pada kategori sosial yang berbeda (komponen kognitif).

Menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), identifikasi merupakan identitas sosial yang melekat pada individu, mengandung adanya rasa memiliki pada suatu kelompok, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Dalam melakukan identifikasi, individu dipacu untuk meraih identitas positif (positive identity) terhadap kelompoknya. Dengan demikian akan meningkatkan harga diri (self esteem) individu sebagai anggota kelompok. Sementara demi identitas kelompok (identitas sosial) nya, seseorang atau sekelompok orang rela melakukan apa saja agar dapat meningkatkan gengsi kelompok, yang dikenal dengan istilah in-group favoritsm effect. Tajfel (dalam Hogg, 2003) juga menyatakan bahwa dalam melakukan identifikasi, individu cenderung memiliki karakteristik ethnocentrism pada kelompoknya.

(4)

b. Categorization

Ellemers (1993) menyatakan bahwa categorization menunjukkan kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu. Sebagai konsekuensi dari categorization ini, perbedaan persepsi antara unsur-unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out group) lah yang lebih ditekankan. Dengan demikian, categorization berfungsi untuk menafsirkan lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan kelompok,

dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga.

Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Adanya social categorization menyebabkan adanya self categorization. Self categorization merupakan asosiasi kognitif diri dengan kategori sosial (Burke & Stets, 1998) yang merupakan keikutsertaan diri individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok. Oleh karena itu dalam melakukan kategorisasi, terciptalah conformity, karena memungkinkan individu untuk mempertahankan identitas sosialnya dan mempertahankan keanggotaannya (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).

(5)

1. Kategorisasi menekankan pada hal-hal yang terasa sama di antara anggota kelompok.

2. Kategorisasi dapat meningkatkan persepsi dalam homogenitas dalam kelompok. Ini lah yang memunculkan streotype dalam kelompok.

3. Dalam melakukan kategorisasi, anggota kelompok cenderung melakukan polarisasi dua kutub secara ekstrim, kami (ingroup) atau mereka (outgroup). Sehingga setiap anggota kelompok berusaha mempertahankan keanggotaannya dengan melakukan conformity.

c. Social Comparison

Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Ellemers (1993). Identitas sosial dibentuk melalui perbandingan sosial. Perbandingan sosial merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan kita. Melalui perbandingan sosial identitas sosial terbentuk melalui penekanan perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan outgroup (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).

(6)

perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status kelompoknya.

Perbandingan sosial dalam tingkah laku antar kelompok, menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), menekankan pada hal-hal berikut:

1. Penilaian yang ekstrim pada outgroup, dan kelompok minoritas ataupun subdominant lebih menunjukkan diferensiasi daripada kelompok mayoritas atau dominant.

2. Adanya perbandingan sosial memberikan penekanan tingkah laku yang berbeda antar kelompok (integroup differentiation).

3. Individu yang berada pada kelompok sub-dominant selalu menaikkan harga diri kelompoknya (identitas sosial), dengan cara menurunkan derajat kelompok lain.

3. Karakter Identitas Sosial

Hogg & Vaughan (2002) menyatakan bahwa identitas sosial diasosiasikan dengan tingkah laku kelompok, yang mempunyai karakteristik umum; ethnocentrism, group favoritsm, intergroup differentiation, conformity to

in-group norms, dan in-group stereotype

a. Ethnocentrism

(7)

b. In-group favoritsm

In-group favoritsm adalah perilaku yang menyukai dan menilai apa yang ada pada

kelompoknya (in-group) melebihi kelompok lain (outgroup). Individu umumnya kan menilai anggota in-group lebih positif. Dengan adanya in-group favoritsm, individu akan mempunyai solidaritas yang kuat dalam kelompoknya.

c. Intergroup differentiation

Tingkah laku yang menekankan perbedaan antar kelompok yang dimilikinya (in-group) dan kelompok lain (outgroup). Perbedaan antar kelompok akan mempengaruhi persepsi sesorang tentang kelompoknya sendiri dan tentang kelompok lainnya. Menurut Tajfel (dalam Hogg & Vaugha, 2002), kelompok dengan kekuasaan yang lebih kecil lebih menyadari perbedaan kekuatannya dan statusnya.

d. Conformity to in-group norms

Konformitas merupakan kecenderungan untuk memperbolehkan suatu perilaku untuk dilakukan individu sesuai dengan norma yang ada di dalam kelompok (in-group) nya. Konformitas merupakan kecenderungan seseorang untuk mengikuti aturan dan tekanan in-group walaupun tidak ada permintaan langsung dari kelompok tersebut agar individu merasa diterima oleh kelompoknya.

e. Group stereotype

Stereotype kelompok merupakan kepercayaan tentang karakteristik kelompok

(8)

Karena individu mendapatkan identitas sosial mereka melalui kelompok dimana mereka bergabung, mereka menciptakan ketertarikan dalam mempertahankan atau memperoleh profil in-group yang lebih positif daripada kelompok outgroup yang relevan (mirip).

B. SOSIALISASI KELOMPOK 1. Definisi Kelompok

Definisi kelompok menurut Burn (2004), adalah dua orang atau lebih individu yang melakukan interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Hogg & Vaughan (2002), kelompok adalah kumpulan beberapa orang yang memiliki pemahaman yang sama tentang diri mereka, tujuan yang sama, dan mereka yang bertingkah laku sesuai dengan pemahaman mereka.

Johson & Johnson (dalam Hogg & Vaughan, 2002) mengidentifikasi tujuh penekanan utama dari kelompok, yaitu :

1. Sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain

2. Unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu , yang menganggap dirinya adalah bagian dari kelompok.

3. Sekumpulan individu yang saling ketergantungan.

4. Sekumpulan individu yang berkumpul untuk meraih tujuan.

5. Sekumpulan individu yang mecoba memuaskan kebutuhan mereka, melalui asosiasi bersama.

(9)

7. Sekumpulan individu yang mempengaruhi satu sama lain.

Kesimpulan dari berbagai definisi di atas ialah, kelompok merupakan dua atau lebih individu, yang saling berinteraksi, memiliki tujuan, menganggap dirinya adalah bagian dari kelompok, dan berperilaku sesuai dengan norma kelompok.

2. Faktor yang Mendorong Seseorang Berkelompok

Menurut Burn (2004), faktor yang mendorong seseorang berkelompok adalah sebagai berikut :

1. Kelompok sebagai sumber untuk merasa berarti dan belonging. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan untuk belonging, rekognisi, dan penghargaan dari orang lain (esteem), harus terpenuhi sebelum kita meraih tujuan pokok, yaitu self actualization. Tentu saja kebutuhan ini terpenuhi oleh keterlibatan kita dengan orang lain.

2. Kelompok sebagai sumber identitas.

Kelompok dimana kita bergabung merupakan bagian penting mengenai siapa kita dan bagaimana kita mendefinisikan diri kita.

3. Kelompok merupakan sumber informasi.

Kelompok juga menyediakan informasi untuk kita mengenai dunia, dan tentang diri kita. Dan untuk bertahan serta memenuhi kebutuhan kita, kita memerlukan informasi dari kelompok.

(10)

Individu bergabung dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan, belonging, serta informasi mereka. Individu juga membutuhkan kelompok untuk menyelesaikan permasalahan, serta kelompok juga merupakan agen dalam meningkatkan produktivitas.

5. Kelompok merupakan agen perubahan.

Yalom (dalam Burn, 2004) mengatakan bahwa kelompok mampu menolong individu untuk berubah melalui instiling hope (jika orang lain dapat berubah, maka saya pun demikian).

6. Kelompok membantu kita untuk bertahan.

Manusia terbentuk dan hidup dalam kelompok. Beberapa teori mengatakan bahwa hidup dalam kelompok meningkatkan kesempatan manusia untuk bertahan.

Dengan melihat banyaknya manfaat yang diperoleh dari berkelompok, tidak heran bahwa kelompok tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari.

3. Definisi Sosialisasi Kelompok

Definisi sosialisasi kelompok menurut Levine dan Moreland (dalam Hogg & Vaughan, 2002) adalah hubungan yang dinamis antara kelompok dan anggotanya yang menggambarkan perjalanan anggota melalui sebuah kelompok melalui komitmen dan perubahan peran di sepanjang rentang kehidupan kelompok. Sosialisasi kelompok merupakan perubahan pada hubungan antara kelompok serta anggotanya (Burn, 2004).

(11)

pada kelompok. Menurut Dion (dalam Myers, 2008), sosialisasi terjadi saat individu cukup belajar untuk berkontribusi secara keahlian dan secara kompeten dalam kelompok. Setiap budaya kelompok berubah ketika seorang anggota bergabung ke dalam kelompok karena mungkin dipengaruhi oleh anggota lain untuk mengadopsi cara baru dalam berkomunikasi dan berfungsi sebagai sebuah kelompok. Sosialisasi adalah proses yang mempengaruhi individu dan kelompok secara keseluruhan.

4. Proses sosialisasi kelompok

Tiga proses yang terjadi dalam menguraikan group socialization menurut Johnson & Johnson (dalam Burn, 2004) adalah evaluation, commitment, dan role transition.

a. Evaluation

Evaluasi mengacu pada perbandingan atau pertimbangan manfaat yang terus menerus dipertimbangksn oleh individu pada masa lalu, masa sekarang, serta masa depan, dengan manfaat hubungan alternatif yang potensial (Thibaut & Kelley (dalam Hogg & Vaughan, 2002). Secara simultan, kelompok mengevaluasi individu mengenai kontribusi mereka pada kehidupan kelompok. Dalam proses ini, terdapat asumsi bahwa individu memiliki goal dan need, yang menciptakan harapan. Dan harapan akhirnya menghasilkan penerimaan sosial (social approval). Mengantisipasi harapan aktual atau kegagalan dari penolakan sosial

(12)

Evaluasi menghasilkan komitmen individu pada kelompok dan kelompok pada individu dengan cara yang relatif mudah. Bagaimanapun, pada waktu tertentu, ketidakseimbangan komitmen mungkin terjadi. Misalnya individu lebih komit terhadap kelompok atau kelompok lebih komit pada individu. Hasilnya, anggota lebih berkomitmen dengan kekuatan yang lebih besar. Namun ini juga tidak stabil, karena terdapat tekanan pada keseimbangan komitmen. Komitmen menghasilkan persetujuan pada nilai dan tujuan kelompok, ikatan yang positif antara individu dan kelompok, kemauan untuk mengerahkan usaha pada individu atau pada kelompok, dan hasrat untuk melanjutkan keanggotaan.

c. Role transition

Role transition mengacu pada ketidaklanjutan dalam hubungan peran antara

individu dan kelompok. Ketidakberlanjutan ini, menjadi sebuah penutup dari sebuah kontinum dari variasi sementara dalam komitmen dan didahului oleh kriteria keputusan kelompok dan individu untuk terjadinya sebuah transisi.

Ada tiga jenis peran yang umum :

1. Non-member, yaitu calon anggota yang tidak bergabung atau ex-member yang telah meninggalkan kelompok.

2. Quasi member, yaitu new member yang belum mencapai status full member dan marginal member yang telah kehilangan statusnya.

(13)

Role transition dapat terjadi sangat halus dan mudah, dimana individu dan

kelompok sama-sama berkomitmen dan berbagi kriteria keputusan yang sama. Bagaimanapun, ketidakseimbangan komitmen dan kriteria keputusan yang tidak dibagi dapat menyebabkan konflik mengenai apakah role transition tidak harus, atau harus terjadi.

5. Fase Group Socialization

Untuk melengkapi proses ini, Moreland & Levine (dalam Hogg & Vaughan, 2002) memberikan penjelasan detil mengenai perjalanan individu dalam kelompok. Terdapat lima fase berbeda dari sosialisasi kelompok, melibatkan evaluasi kembali dan pengaruh kelompok serta individu, semua digambarkan dan disimpulkan oleh transisi peran (role transition) yang jelas.

1. Investigation

Kelompok merekrut calon anggota kelompok. Proses ini juga bisa melibatkan proses formal yang melibatkan wawancara dan angket. Juga bisa berlangsung secara informal. Investigation yang sukses mengarah pada role transition yang menandai masuknya individu ke dalam kelompok (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Kemudian individu juga meninjau dan mencari kelompok yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Burn, 2004).

2. Socialisation

(14)

Sosialisasi mungkin tidak terstruktur dan informal, namun juga bisa cukup formal. Proses sosialisasi yang berhasil, ditandai oleh penerimaan (acceptance) (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Dengan kata lain, kelompok dan individu saling memeriksa satu sama lain sebelum menjadi anggota penuh (Burn, 2004).

3. Maintaince

Ketidakpuasan peran dapat mengarahkan transisi peran yang yang tidak diharapkan, dan tidak direncanakan, yang disebut divergence. Hal ini merupakan ciri khas yang cukup umum pada kelompok (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Kelompok dan individu bernegosiasi sebagai usaha untuk menemukan peran khusus yang memaksimalkan kepuasan individu dan dapat meraih tujuan kelompok. Jika hal ini tidak terpenuhi, akan menurunkan komitmen kelompok terhadap individu, dan individu terhadap kelompok (Burn, 2004). 4. Resocialisation

Pada beberapa kasus “unexpected divergence”, ada sedikit usaha pada saat resosialisasi (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Individu kembali ingin berubah dalam kelompok (accomodation), sementara kelompok berusaha membuat anggota untuk bergaul dengan cara mereka (assimilation). Sekali lagi, jika individu memiliki “bottom line” dalam kasus ini, hal yang terjadi adalah exit criteria (Burn, 2004).

5. Remembrance

(15)

2002). Pada fase ini, individu dan kelompok, dan sebaliknya mengevaluasi pengalaman mereka. Kenangan tentang ex-member mungkin menjadi pengetahuan bagi kelompok. Dalam beberapa kasus, ex-member memelihara hubungan dengan kelompok, dan beberapa komitmen bersama yang rendah terus berlanjut (Burn, 2005).

Gambar 1

Proses Psikologis dalam Group Socialization

Sumber: Levine dan Moreland, 1994; Hal 307

Gambar 2

Model Proses Group Socialization

(16)

Setiap budaya kelompok berubah ketika seorang anggota bergabung ke dalam kelompok karena mungkin dipengaruhi oleh anggota lain untuk mengadopsi cara baru dalam berkomunikasi dan berfungsi sebagai sebuah kelompok. Sosialisasi adalah proses yang mempengaruhi individu dan kelompok secara keseluruhan.

C. STRAIGHT EDGE

1. Definisi Straight Edge

Menurut Haenfler (2006), straight edge adalah ideologi, serta perilaku abstain dari alkohol, obat-obatan, tembakau, dan perilaku seks berganti-ganti pasangan, atau disebut "(promiscuous)" yang sangat identik dengan punk rocker.

Straight edge adalah subkultur pemuda yang menolak tekanan umum untuk

meminum alkohol, menggunakan narkoba, dan seks berganti-ganti pasangan. Mengkomunikasikan identitas mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dan hidup bersih melalui komitmen mereka terhadap perilaku abstain (Juliana, 2010).

(17)

Jadi berdasarkan beberapa pendapat di atas, kesimpulannya, straight edge adalah perilaku abstinance terhadap rokok, alkohol, dan promiskuitas yang diciptakan oleh genre hardcore. Dimana dalam eksekusinya, kembali kepada self control masing-masing individu.

2. Sejarah Straight Edge

I’m a person just like you / But I’ve got better things to do / Than sit around and fuck my head / Hang out with the living dead / Snort white shit up my nose / Pass out at the shows / I don’t even think about speed / That’s something I just don’t need / I’ve got the straight edge

I’m a person just like you / But I’ve got better things to do / Than sit around and smoke dope / ’Cause I know that I can cope / I laugh at the thought of eating ’ludes / Laugh at the thought of sniffing glue / Always gonna keep in touch / Never want to use a crutch / I’ve got the straight edge.

“Straight Edge” by Minor Threat, 1981

Lirik di atas berasal dari band hardcore Minor Threat. Lirik tersebut menghasilkan gerakan yang telah meyakinkan ribuan orang muda untuk berhenti (atau tidak pernah memulai) menggunakan obat-obatan, alkohol, dan produk tembakau. Media populer, budaya mainstream, dan ilmuwan sosial bahkan sudah sering men-stereotipkan bahwa pemuda adalah makhluk yang hedonis, identik dengan seks bebas, dan terperosok dalam penyalahgunaan zat.

(18)

cita-cita progresif punk dan musik keras yang secara tajam, kontras dengan image umum pemuda yang liar.

Straight edge pada awalnya muncul di Pantai Timur Amerika Serikat dari

subkultur punk di awal tahun 1980-an. Pemilik Club di Washington, DC, tidak mengizinkan anak-anak di bawah umur untuk masuk ke dalam club karena takut anak dibawah umur akan memesan minuman keras (karena hukum usia minum saat itu 18 tahun). Sebagian besar keuntungan dari sebuah club/pub adalah dari penjualan alkohol, dan karena itu lebih cenderung untuk melayani orang dewasa. Pemilik juga takut tertangkap, di denda, dan mungkin dicabut lisensi kepemilikan minuman keras mereka, karena membiarkan peminum di bawah umur. Namun hal ini tidak bisa ditoleransi oleh anak-anak yang ingin menonton pertunjukan di club. Untuk mengakomodasi penggemar bawah umur yang ingin masuk ke club, club menandai tangan anak punk hardcore DC yang masih di bawah umur, dengan tanda X besar sebagai sinyal untuk pekerja club agar tidak melayani mereka untuk memesan alkohol. Simbol X dengan cepat menjadi simbol penentangan. Pemuda mengubah X dari stigma (yaitu, tidak memiliki "kebebasan" minum alkohol) menjadi sebuah simbol kebanggaan, seolah-olah mengatakan, "bukan hanya karena kami tidak boleh minum, tapi kami tidak ingin minum. "

(19)

Meskipun sXe berakar pada keinginan praktis anak-anak untuk melihat band yang mereka cintai, gerakan ini muncul terutama sebagai respon terhadap kecenderungan nihilistik scene punk, termasuk penyalahgunaan obat dan alkohol, seks bebas, kekerasan, dan merusak diri sendiri sikap "hidup cepat, mati muda ". Para pemuda yang melahirkan lingkungan sXe, menghargai sikap punk hardcore yang "mempertanyakan segala sesuatu", mentalitas, energi, gaya agresif, dan sikap do-it-yourself, tapi sXe tidak tertarik pada lingkungan hedonisme dan mantra "tidak ada masa depan". Anggota straight edge mengadopsi ideologi "hidup bersih", menghindari alkohol, tembakau, obat-obatan terlarang, dan seks berganti-ganti pasangan.

Bagi kebanyakan anak sXe, menjadi bersih dan bijaksana adalah pernyataan terbesar dari etos punk hardcore, tindakan perlawanan yang menantang, baik budaya dewasa dan pemuda yang mainstream. Menjadi “straight” (lurus), memberikan pemuda sebuah “edge” (batasan) (Azerrad, dalam Haenfler:9, 2009)

Straight edge berhutang budi pada Minor Threat, band DC yang membuat landasan gerakan ini. Lagu mereka pada tahun 1981 "Straight Edge" memberikan gerakan sesuai dengan namanya, dan bagian reff lagu "Out of Step" 1983, untuk melengkapi kepercayaan mereka: “i dont smoke, i dont drink, i dont fuck, at least i can fucking think" (Saya tidak merokok, tidak minum, tidak melakukan sex,

(20)

Ideologi kemudian berkembang untuk ditambahkan dalam perluasan straight edge. Seperti dikutip dalam Juliana (2010), misalnya, coll-Edge

diciptakan untuk berpura-pura menjadi straight edge, dengan berkomitmen hanya sampai masuk perguruan tinggi saja, melanggar slogan subkultur "true till death" (Haenfler, 2004). Militancy, sekelompok straight edger yang melakukan kekerasan terhadap orang lain yang minum atau merokok, yang akhirnya menjadi identitas umum mereka (Williams & Copes, dalam Juliana 2010). Terakhir, posi-straight edge untuk mengidentifikasi posi-straight edger yang memodifikasi posi-straight edge sebagai gaya hidup pada pikiran positif (Good Clean Fun, dalam Juliana, 2010). Ideologi baru yang tercipta menciptakan identitas sering tumpang tindih dengan satu sama lain (Williams & Copes, dalam Juliana 2010), namun tidak semua anggota mengadaptasi identitas Straight Edge mereka dengan modifikasi ini dibuat oleh "generasi kedua" tadi (Tsitos, dalam Juliana, 2010).

Menjadi punk berarti menjadi seorang individu, yang mengadopsi label apapun atau mengikuti kepercayaan apa pun yang bertentangan dengan ekspresi individual. Anak punk hardcore yang sebelumnya diejek karena tidak menggunakan alkohol dan obat-obatan, kini memiliki komunitas yang tidak hanya menerima tetapi juga memperjuangkan hidup bersih. Straight edge tetap hampir tak terpisahkan dari musik hardcore. Hardcore adalah genre yang luas namun mulai umum sebagai versi yang lebih cepat dari punk.

(21)

Band straight edge berfungsi sebagai pembentuk utama ideologi kelompok dan identitas kolektif. Hardcore masih menunjukkan tempat yang paling penting bagi sXers untuk berkumpul, berbagi ide, dan membangun solidaritas.

Prinsip dasar sXe cukup sederhana: anggota benar-benar abstain, dari narkoba, alkohol, dan penggunaan tembakau dan biasanya menunda aktivitas seksual untuk memelihara hubungan, menolak seks bebas. Aturan sXe ini mutlak, tidak ada pengecualian dan kesalahan kecil yang terjadi berati penganut kehilangan klaim atas identitas sXe nya. Pantangan berarti banyak hal untuk sXers, termasuk resistance, self actualization, dan social transformation. Anggota berkomitmen seumur hidup untuk hidup bersih dan, meskipun kelompok kurang memiliki kepemimpinan formal dan struktur, sXers dengan tekun bertahan menjadi "true" untuk identitas mereka.

3. Nilai Utama Kelompok Straight Edge

Resistance in a time of mass self-destruction / Makes the few who walk the straight edge / A growing force of change / Committed, though gripped by the plague of a nation / Consumed by its intoxication and confined by crippling greed / In my rage / I walk the path of true change / Commitment sworn in the name /Of those who will walk the straight edge / Convictions held to my grave.

“Force of Change” by Strife, 1997

(22)

Straight edger menyadari bahwa sXe berarti sesuatu yang berbeda untuk setiap orang, dengan asumsi identitas, dan seperti kelompok lain, tingkat dedikasi anggota individunya bervariasi. Sementara individu bebas untuk mengikuti filosofi dalam berbagai cara, seringkali mereka menambahkan interpretasi mereka sendiri, ada seperangkat nilai-nilai yang banyak mendasari gerakan ini: positifisme / hidup bersih, komitmen seumur hidup pada gerakan straight edge dan nilai-nilainya, menunda seks sebagai pemeliharaan hubungan, aktualisasi diri, menyebarkan pesan subkultur, dan keterlibatan karena terus maju (progresif).

Slogan T-shirt, lirik lagu, tato, dan simbol-simbol lainnya terus mengingatkan sXers pada misi dan dedikasi mereka: " It’s OK Not to Drink," "True Till Death," dan "One Life Drug Free" adalah beberapa di antara pesan yang terkenal secara umum. Simbol "X," yang merupakan simbol universal sXe, muncul pada awal tahun 1980, ketika pemilik klub musik menandai tangan penonton konser yang masih di bawah umur dengan simbol X untuk memastikan bahwa bartender tidak akan melayani mereka alkohol (Lahickey dalam Haenfler, 2006). Pemuda memakai simbol X pada ransel mereka, kemeja, dan kalung, juga tato pada tubuh mereka, dan benda lainnya. Simbol X menyatukan pemuda di seluruh dunia, mengkomunikasikan seperangkat nilai-nilai dan pengalaman. Straight edge menemukan kekuatan, persahabatan, kesetiaan, dan dorongan dari teman-teman sXe mereka, dan menghargai mereka di atas segalanya.

(23)

musik hardcore, dan dilambangkan dengan avatar atau tampilan visual X, merupakan perekat yang telah mengikat gerakan sXe dan nilai-nilainya selama dua puluh tahun.

4. Perilaku Kelompok Straight Edge

Straight edge mempertahankan adat istiadat dan budaya nya melalui keterlibatan dalam musik hardcore dengan cara membeli musik straight edge, dan menghadiri pertunjukan straight edge (konser dengan panggung kecil) (Juliana, 2010).

Dalam mengkomunikasikan komitmen mereka, dan untuk mengidentifikasi diri mereka kepada sesama straight edger, pemuda Straight Edge mengambil simbol “X” atau "XXX" sebagai tiga pantangan mereka: tidak minum, tidak merokok, dan tidak melakukan seks berganti-ganti pasangan. Simbol ini juga dapat ditemukan pada pakaian, tato tubuh, dan tampilan nama di dunia maya (Juliana, 2010).

5. Faktor yang Menyebabkan Anggota Exit dari Straight Edge

(24)

Dalam merefleksikan identitas kolektifnya, straight edger dapat mengalami pengalaman yang disebut Giddens (dalam Juliana, 2010), sebagai “fateful moment”, di mana mereka mencapai titik kesadaran diri dan mengevaluasi

kembali " inner wishes (keinginan batin)" mereka. Momen ini bisa menjadi titik transisi di mana sXer mungkin menyadari “ketidakpuasan” pada scene straight edge (Haenfler, 2004).

Haenfler (2004) juga berargumen bahwa pada masa muda, gerakan straight edge membantu individu melalui waktu yang penting dan sulit ketika pertama kali

ter-ekspos minuman keras, obat-obatan, dan perilaku seksual. Straight edger yang sudah dewasa menghabiskan bertahun-tahun di dalam subkultur, dan mungkin mulai merasa dibatasi dalam pilihannya, sehingga sebagian besar sXers mencela identitas kolektif mereka dalam tahun-tahun terakhir masa muda mereka.

Menurut Polletta & Jasper (dalam Juliana, 2010), penyebab signifikan dalam berhentinya partisipasi sXe adalah, bahwa makna dari identitas kolektif tidak lagi terkait dengan identitas pribadi sXer. Dengan kata lain, "[mereka]” berhenti percaya bahwa gerakan 'mewakili’ [mereka] (Lahickey, dalam Juliana 2010).

Straight edge merupakan desired self, pergeseran ideologi kemudian dicari

karena melemahnya sense of belonging, sehingga menambah tekanan teman sebaya, dan konotasi konstriktif dari Straight Edge, sehingga pada akhirnya berakhir pada keluarnya individu dari kelompok straight edge (Juliana, 2010).

D.Dinamika Kompenen Identitas Sosial pada Kelompok Straight Edge

(25)

adaptasi terhadap perilaku, norma, dan budaya kelompok itu sendiri. Termasuk pula dalam kelompok straight edge.

Moreland & Levin (dalam Burn, 2004) mengasumsikan, seiring berjalannya waktu, perubahan juga terjadi pada hubungan antara kelompok dan tiap-tiap anggotanya, ini disebut group socialization. Tiga proses yang terjadi dalam menguraikan group socialization menurut Burn (2004) adalah evaluation, commitment, dan role transition.

Adapun tahapan sosialisasi kelompok menurut Levine dan Moreland (dalam Burn, 2004) terdiri dari 5 tahap, yaitu investigation, socialization, maintance, presocialization, dan remembrance. Proses dimulai saat individu mencari kelompok yang mampu memenuhi kebutuhannya, bersosialisasi dengan nilai kelompok, dan mempertahankan kepuasan dirinya akan kelompok. Penyesuaian terus terjadi, dan ketidakpuasan baik individu terhadap kelompok, ataupun kelompok pada individu, menyebabkan anggota kelompok untuk keluar dari kelompok.

(26)

menjadi anggota penuh (full member), menjadi anggota yang belum sepernuhnya diterima (quasi-members) atau sebaliknya dari full member menjadi non member.

Pergeseran peran dalam kelompok straight edge jika ditinjau dari pernyataan, Levine dan Moreland (dalam Hogg 2002) melalui model proses sosialisasi kelompok dapat mendeskripsikan dan memahami individu dalam kelompok. Teori model proses sosialisasi kelompok ini berfokus pada dinamika hubungan antara individu dan anggota kelompok. Model sosialisasi kelompok dapat digunakan untuk kelompok formal ataupun informal, kelompok besar atau kecil, serta untuk kelompok yang bersifat jangka panjang atau sementara.

Perubahan peran pula yang mendiskripsikan ketidakstabilan peran dan identitas pada member straight edge. Sesuai dengan pernyataan Snow (dalam Juliana, 2010), identitas straight edge tidak stabil. Justru berubah-ubah, tidak pasti, dan dapat bersifat sementara. Terlepas dari itu, walaupun beberapa straight edger mengalami perubahan ideologi ataupun pergeseran ideologi terkait dengan

identitas straight edge yang terkesan “membatasi”, namun ada pula member straight edge yang merasa semakin terikat dengan kuat pada identitasnya.

Dengan kata lain, sosialisasi membantu kita menemukan identitas diri kita. Juliana (2010) menyatakan bahwa pemuda (sadar atau tidak sadar) mencari identitas di lingkungan straight edge. Dengan kata lain, partisipasi subkultur menyebabkan pemuda secara umum mengubah identitas mereka.

Straight Edge menciptakan tempat untuk eksperimen identitas, bagi

(27)

berpartisipasi dalam aktifitas kelompok, terbentuklah social identity, dimana ini merupakan bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang dilekatkan dalam keanggotaan itu.

(28)

E. Kerangka Berfikir gaya hidup yang negatif,

self destructive,

penyalahgunaan obat dan alkohol, seks bebas, "live fast, die young”

Gambar

Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait