• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. IDENTITAS SOSIAL 1. Definisi Identitas Sosial

Taylor, Peplau, Sears (2009) menyatakan bahwa pengetahuan tentang diri berasal dari banyak sumber, dan banyak dari pengetahuan diri kita berasal dari sosialisasi. Sosialisasi adalah bagaimana seseorang mendapat aturan, standar, dan nilai kelompoknya, dan kulturnya.

Selanjutnya Ellemers (1993) menyatakan bahwa teori identitas sosial merupakan identifikasi ingroup, yang merupakan sumber penjelasan terjadinya konflik antar kelompok. Konsep identitas sosial digunakan untuk merujuk ke bagian dari konsep-diri yang berasal dari kategori sosial orang yang terkait. Ellemers, Kortekaas & Ouwerkerk (1999) juga menyatakan bahwa ada 3 komponen yang berkontribusi dalam pembentukan identitas sosial, yaitu cognitive (kesadaran kognitif seseorang mengenai keanggotaan nya dalam sebuah kelompok – self categorization). Kedua, evaluative component (nilai konotasi positif atau negatif yang melekat pada keanggotaan kelompok – group self esteem). Yang ketiga, emotional component (rasa keterlibatan emosional dengan kelompok –

affective commitment).

Menurut Burke & Stets (1998), identitas sosial merupakan kategorisasi-diri dalam hal kelompok, dan lebih terfokus pada makna yang terkait dalam menjadi

(2)

anggota kategori sosial. Dengan penekanan yang lebih besar pada identifikasi kelompok, berfokus pada hasil kognitif seperti ethnosentrisme, atau kohesivitas kelompok.

Kemudian Tajfel (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan bahwa

social Identity adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari

keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang ada dilekatkan dalam keanggotaan itu.

2. Komponen Pembentuk Identitas Sosial

Dinamika identitas sosial lebih lanjut, ditetapkan secara lebih sistematis oleh Tajfel dan Turner pada tahun 1979. Mereka membedakan tiga proses dasar terbentuknya identitas sosial, yaitu social identification, social categorization, dan

social comparison. a. Identification

Ellemers (1993) menyatakan bahwa identifikasi sosial, mengacu pada sejauh mana seseorang mendefinisikan diri mereka (dan dilihat oleh orang lain) sebagai anggota kategori sosial tertentu. Posisi seseorang dalam lingkungan, dapat didefinisikan sesuai dengan “categorization” yang ditawarkan. Sebagai hasilnya, kelompok sosial memberikan sebuah identification pada anggota kelompok mereka, dalam sebuah lingkungan sosial. Ketika seseorang teridentifikasi kuat dengan kelompok sosial mereka, mereka mungkin merasa terdorong untuk bertindak sebagai anggota kelompok, misalnya, dengan menampilkan perilaku antar kelompok yang diskriminatif. Aspek terpenting

(3)

dalam proses identification ialah, seseorang mendefinisikan dirinya sebagai anggota kelompok tertentu. Selanjutnya Ellemers, , Kortekaas & Ouwerkerk (1999) menambahkan bahwa identification terutama digunakan untuk merujuk kepada perasaan komitmen afektif kepada kelompok (yaitu komponen emosional), daripada kemungkinan untuk membedakan antara anggota pada kategori sosial yang berbeda (komponen kognitif).

Menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), identifikasi merupakan identitas sosial yang melekat pada individu, mengandung adanya rasa memiliki pada suatu kelompok, melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada diri individu terhadap kelompok tersebut. Dalam melakukan identifikasi, individu dipacu untuk meraih identitas positif (positive identity) terhadap kelompoknya. Dengan demikian akan meningkatkan harga diri (self esteem) individu sebagai anggota kelompok. Sementara demi identitas kelompok (identitas sosial) nya, seseorang atau sekelompok orang rela melakukan apa saja agar dapat meningkatkan gengsi kelompok, yang dikenal dengan istilah in-group favoritsm effect. Tajfel (dalam Hogg, 2003) juga menyatakan bahwa dalam melakukan identifikasi, individu cenderung memiliki karakteristik ethnocentrism pada kelompoknya.

Hogg & Abrams (1990) juga menyatakan bahwa dalam identifikasi, ada pengetahuan dan nilai yang melekat dalam anggota kelompok tertentu yang mewakili identitas sosial individu. Selain untuk meraih identitas sosial yang positif, dalam melakukan identifikasi, setiap orang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam suatu kelompok.

(4)

b. Categorization

Ellemers (1993) menyatakan bahwa categorization menunjukkan kecenderungan individu untuk menyusun lingkungan sosialnya dengan membentuk kelompok-kelompok atau kategori yang bermakna bagi individu. Sebagai konsekuensi dari categorization ini, perbedaan persepsi antara unsur-unsur dalam kategori yang sama berkurang, sedangkan perbedaan antara kategori (out group) lah yang lebih ditekankan. Dengan demikian, categorization berfungsi untuk menafsirkan lingkungan sosial secara sederhana. Sebagai hasil dari proses

categorization, nilai-nilai tertentu atau stereotip yang terkait dengan kelompok,

dapat pula berasal dari individu anggota kelompok itu juga.

Kategorisasi dalam identitas sosial memungkinkan individu menilai persamaan pada hal-hal yang terasa sama dalam suatu kelompok (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Adanya social categorization menyebabkan adanya self categorization. Self categorization merupakan asosiasi kognitif diri dengan kategori sosial (Burke & Stets, 1998) yang merupakan keikutsertaan diri individu secara spontan sebagai seorang anggota kelompok. Oleh karena itu dalam melakukan kategorisasi, terciptalah conformity, karena memungkinkan individu untuk mempertahankan identitas sosialnya dan mempertahankan keanggotaannya (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).

Tajfel dan Turner (dalam Hogg, 2003) menyatakan, kategorisasi membentuk identitas sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar kelompok.

(5)

1. Kategorisasi menekankan pada hal-hal yang terasa sama di antara anggota kelompok.

2. Kategorisasi dapat meningkatkan persepsi dalam homogenitas dalam kelompok. Ini lah yang memunculkan streotype dalam kelompok.

3. Dalam melakukan kategorisasi, anggota kelompok cenderung melakukan polarisasi dua kutub secara ekstrim, kami (ingroup) atau mereka (outgroup). Sehingga setiap anggota kelompok berusaha mempertahankan keanggotaannya dengan melakukan conformity.

c. Social Comparison

Ketika sebuah kelompok merasa lebih baik dibandingkan dengan kelompok lain, ini dapat menyebabkan identitas sosial yang positif. Ellemers (1993). Identitas sosial dibentuk melalui perbandingan sosial. Perbandingan sosial merupakan proses yang kita butuhkan untuk membentuk identitas sosial dengan memakai orang lain sebagai sumber perbandingan, untuk menilai sikap dan kemampuan kita. Melalui perbandingan sosial identitas sosial terbentuk melalui penekanan perbedaan pada hal-hal yang terasa berbeda pada ingroup dan

outgroup (Tajfel & Turner, dalam Hogg & Abrams, 1990).

Menurut Hogg & Abrams (1990), dalam perbandingan sosial, individu berusaha meraih identitas yang positif jika individu bergabung dalam ingroup. Keinginan untuk meraih identitas yang positif dalam identitas sosial ini merupakan pergerakan psikologis dari perilaku individu dalam kelompok. Proses

(6)

perbandingan sosial menjadikan seseorang mendapat penilaian dari posisi dan status kelompoknya.

Perbandingan sosial dalam tingkah laku antar kelompok, menurut Tajfel (dalam Hogg, 2003), menekankan pada hal-hal berikut:

1. Penilaian yang ekstrim pada outgroup, dan kelompok minoritas ataupun

subdominant lebih menunjukkan diferensiasi daripada kelompok mayoritas atau dominant.

2. Adanya perbandingan sosial memberikan penekanan tingkah laku yang berbeda antar kelompok (integroup differentiation).

3. Individu yang berada pada kelompok sub-dominant selalu menaikkan harga diri kelompoknya (identitas sosial), dengan cara menurunkan derajat kelompok lain.

3. Karakter Identitas Sosial

Hogg & Vaughan (2002) menyatakan bahwa identitas sosial diasosiasikan dengan tingkah laku kelompok, yang mempunyai karakteristik umum;

ethnocentrism, group favoritsm, intergroup differentiation, conformity to in-group norms, dan in-group stereotype

a. Ethnocentrism

Ethnocentrism adalah sifat khas daripada individu yang menganggap

kelompoknya lebih superior. Sehingga menumbuhkan kecenderungan penilaian memandang in-group secara moral lebih baik dan lebih berharga daripada

(7)

b. In-group favoritsm

In-group favoritsm adalah perilaku yang menyukai dan menilai apa yang ada pada

kelompoknya (in-group) melebihi kelompok lain (outgroup). Individu umumnya kan menilai anggota in-group lebih positif. Dengan adanya in-group favoritsm, individu akan mempunyai solidaritas yang kuat dalam kelompoknya.

c. Intergroup differentiation

Tingkah laku yang menekankan perbedaan antar kelompok yang dimilikinya

(in-group) dan kelompok lain (out(in-group). Perbedaan antar kelompok akan

mempengaruhi persepsi sesorang tentang kelompoknya sendiri dan tentang kelompok lainnya. Menurut Tajfel (dalam Hogg & Vaugha, 2002), kelompok dengan kekuasaan yang lebih kecil lebih menyadari perbedaan kekuatannya dan statusnya.

d. Conformity to in-group norms

Konformitas merupakan kecenderungan untuk memperbolehkan suatu perilaku untuk dilakukan individu sesuai dengan norma yang ada di dalam kelompok

(in-group) nya. Konformitas merupakan kecenderungan seseorang untuk mengikuti

aturan dan tekanan in-group walaupun tidak ada permintaan langsung dari kelompok tersebut agar individu merasa diterima oleh kelompoknya.

e. Group stereotype

Stereotype kelompok merupakan kepercayaan tentang karakteristik kelompok

tertentu. Stereotype kelompok bisa positif, bisa negatif. Stereotype merupakan persepsi terhadap suatu kelompok yang kaku (tidak dapat diubah), dan uniform (seragam, sama-sama dimiliki oleh kelompok sejenis).

(8)

Karena individu mendapatkan identitas sosial mereka melalui kelompok dimana mereka bergabung, mereka menciptakan ketertarikan dalam mempertahankan atau memperoleh profil in-group yang lebih positif daripada kelompok outgroup yang relevan (mirip).

B. SOSIALISASI KELOMPOK 1. Definisi Kelompok

Definisi kelompok menurut Burn (2004), adalah dua orang atau lebih individu yang melakukan interaksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Menurut Hogg & Vaughan (2002), kelompok adalah kumpulan beberapa orang yang memiliki pemahaman yang sama tentang diri mereka, tujuan yang sama, dan mereka yang bertingkah laku sesuai dengan pemahaman mereka.

Johson & Johnson (dalam Hogg & Vaughan, 2002) mengidentifikasi tujuh penekanan utama dari kelompok, yaitu :

1. Sekumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain

2. Unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu , yang menganggap dirinya adalah bagian dari kelompok.

3. Sekumpulan individu yang saling ketergantungan.

4. Sekumpulan individu yang berkumpul untuk meraih tujuan.

5. Sekumpulan individu yang mecoba memuaskan kebutuhan mereka, melalui asosiasi bersama.

(9)

7. Sekumpulan individu yang mempengaruhi satu sama lain.

Kesimpulan dari berbagai definisi di atas ialah, kelompok merupakan dua atau lebih individu, yang saling berinteraksi, memiliki tujuan, menganggap dirinya adalah bagian dari kelompok, dan berperilaku sesuai dengan norma kelompok.

2. Faktor yang Mendorong Seseorang Berkelompok

Menurut Burn (2004), faktor yang mendorong seseorang berkelompok adalah sebagai berikut :

1. Kelompok sebagai sumber untuk merasa berarti dan belonging. Maslow mengatakan bahwa kebutuhan untuk belonging, rekognisi, dan penghargaan dari orang lain (esteem), harus terpenuhi sebelum kita meraih tujuan pokok, yaitu self

actualization. Tentu saja kebutuhan ini terpenuhi oleh keterlibatan kita dengan

orang lain.

2. Kelompok sebagai sumber identitas.

Kelompok dimana kita bergabung merupakan bagian penting mengenai siapa kita dan bagaimana kita mendefinisikan diri kita.

3. Kelompok merupakan sumber informasi.

Kelompok juga menyediakan informasi untuk kita mengenai dunia, dan tentang diri kita. Dan untuk bertahan serta memenuhi kebutuhan kita, kita memerlukan informasi dari kelompok.

(10)

Individu bergabung dalam kelompok untuk memenuhi kebutuhan, belonging, serta informasi mereka. Individu juga membutuhkan kelompok untuk menyelesaikan permasalahan, serta kelompok juga merupakan agen dalam meningkatkan produktivitas.

5. Kelompok merupakan agen perubahan.

Yalom (dalam Burn, 2004) mengatakan bahwa kelompok mampu menolong individu untuk berubah melalui instiling hope (jika orang lain dapat berubah, maka saya pun demikian).

6. Kelompok membantu kita untuk bertahan.

Manusia terbentuk dan hidup dalam kelompok. Beberapa teori mengatakan bahwa hidup dalam kelompok meningkatkan kesempatan manusia untuk bertahan.

Dengan melihat banyaknya manfaat yang diperoleh dari berkelompok, tidak heran bahwa kelompok tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari.

3. Definisi Sosialisasi Kelompok

Definisi sosialisasi kelompok menurut Levine dan Moreland (dalam Hogg & Vaughan, 2002) adalah hubungan yang dinamis antara kelompok dan anggotanya yang menggambarkan perjalanan anggota melalui sebuah kelompok melalui komitmen dan perubahan peran di sepanjang rentang kehidupan kelompok. Sosialisasi kelompok merupakan perubahan pada hubungan antara kelompok serta anggotanya (Burn, 2004).

Sheldon Stryker dan Ann Statham (dalam Myers, 2008) menyatakan bahwa sosialisasi terjadi ketika seorang pendatang menjadi bagian dari pola aktivitas

(11)

pada kelompok. Menurut Dion (dalam Myers, 2008), sosialisasi terjadi saat individu cukup belajar untuk berkontribusi secara keahlian dan secara kompeten dalam kelompok. Setiap budaya kelompok berubah ketika seorang anggota bergabung ke dalam kelompok karena mungkin dipengaruhi oleh anggota lain untuk mengadopsi cara baru dalam berkomunikasi dan berfungsi sebagai sebuah kelompok. Sosialisasi adalah proses yang mempengaruhi individu dan kelompok secara keseluruhan.

4. Proses sosialisasi kelompok

Tiga proses yang terjadi dalam menguraikan group socialization menurut Johnson & Johnson (dalam Burn, 2004) adalah evaluation, commitment, dan role

transition. a. Evaluation

Evaluasi mengacu pada perbandingan atau pertimbangan manfaat yang terus menerus dipertimbangksn oleh individu pada masa lalu, masa sekarang, serta masa depan, dengan manfaat hubungan alternatif yang potensial (Thibaut & Kelley (dalam Hogg & Vaughan, 2002). Secara simultan, kelompok mengevaluasi individu mengenai kontribusi mereka pada kehidupan kelompok. Dalam proses ini, terdapat asumsi bahwa individu memiliki goal dan need, yang menciptakan harapan. Dan harapan akhirnya menghasilkan penerimaan sosial (social

approval). Mengantisipasi harapan aktual atau kegagalan dari penolakan sosial

dan tindakan memodifikasi perilaku atau menolak individu atau kelompok.

(12)

Evaluasi menghasilkan komitmen individu pada kelompok dan kelompok pada individu dengan cara yang relatif mudah. Bagaimanapun, pada waktu tertentu, ketidakseimbangan komitmen mungkin terjadi. Misalnya individu lebih komit terhadap kelompok atau kelompok lebih komit pada individu. Hasilnya, anggota lebih berkomitmen dengan kekuatan yang lebih besar. Namun ini juga tidak stabil, karena terdapat tekanan pada keseimbangan komitmen. Komitmen menghasilkan persetujuan pada nilai dan tujuan kelompok, ikatan yang positif antara individu dan kelompok, kemauan untuk mengerahkan usaha pada individu atau pada kelompok, dan hasrat untuk melanjutkan keanggotaan.

c. Role transition

Role transition mengacu pada ketidaklanjutan dalam hubungan peran antara

individu dan kelompok. Ketidakberlanjutan ini, menjadi sebuah penutup dari sebuah kontinum dari variasi sementara dalam komitmen dan didahului oleh kriteria keputusan kelompok dan individu untuk terjadinya sebuah transisi.

Ada tiga jenis peran yang umum :

1. Non-member, yaitu calon anggota yang tidak bergabung atau ex-member yang telah meninggalkan kelompok.

2. Quasi member, yaitu new member yang belum mencapai status full member dan

marginal member yang telah kehilangan statusnya.

3. Full member, yaitu anggota yang paling lekat diidentifikasikan dengan kelompok dan anggota yang memiliki hak istimewa serta tanggung jawab yang berhubungan dengan keanggotaan.

(13)

Role transition dapat terjadi sangat halus dan mudah, dimana individu dan

kelompok sama-sama berkomitmen dan berbagi kriteria keputusan yang sama. Bagaimanapun, ketidakseimbangan komitmen dan kriteria keputusan yang tidak dibagi dapat menyebabkan konflik mengenai apakah role transition tidak harus, atau harus terjadi.

5. Fase Group Socialization

Untuk melengkapi proses ini, Moreland & Levine (dalam Hogg & Vaughan, 2002) memberikan penjelasan detil mengenai perjalanan individu dalam kelompok. Terdapat lima fase berbeda dari sosialisasi kelompok, melibatkan evaluasi kembali dan pengaruh kelompok serta individu, semua digambarkan dan disimpulkan oleh transisi peran (role transition) yang jelas.

1. Investigation

Kelompok merekrut calon anggota kelompok. Proses ini juga bisa melibatkan proses formal yang melibatkan wawancara dan angket. Juga bisa berlangsung secara informal. Investigation yang sukses mengarah pada role transition yang menandai masuknya individu ke dalam kelompok (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Kemudian individu juga meninjau dan mencari kelompok yang sesuai dengan kebutuhan mereka (Burn, 2004).

2. Socialisation

Membaurnya anggota baru dengan kelompok, membuat kelompok mengajarkan anggota baru mengenai cara-cara dalam kelompok. Sebagai gantinya, anggota baru berusaha untuk mengakomodasi kelompok melalui pandangan nya.

(14)

Sosialisasi mungkin tidak terstruktur dan informal, namun juga bisa cukup formal. Proses sosialisasi yang berhasil, ditandai oleh penerimaan (acceptance) (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Dengan kata lain, kelompok dan individu saling memeriksa satu sama lain sebelum menjadi anggota penuh (Burn, 2004).

3. Maintaince

Ketidakpuasan peran dapat mengarahkan transisi peran yang yang tidak diharapkan, dan tidak direncanakan, yang disebut divergence. Hal ini merupakan ciri khas yang cukup umum pada kelompok (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Kelompok dan individu bernegosiasi sebagai usaha untuk menemukan peran khusus yang memaksimalkan kepuasan individu dan dapat meraih tujuan kelompok. Jika hal ini tidak terpenuhi, akan menurunkan komitmen kelompok terhadap individu, dan individu terhadap kelompok (Burn, 2004). 4. Resocialisation

Pada beberapa kasus “unexpected divergence”, ada sedikit usaha pada saat resosialisasi (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan, 2002). Individu kembali ingin berubah dalam kelompok (accomodation), sementara kelompok berusaha membuat anggota untuk bergaul dengan cara mereka (assimilation). Sekali lagi, jika individu memiliki “bottom line” dalam kasus ini, hal yang terjadi adalah exit criteria (Burn, 2004).

5. Remembrance

Setelah individu meninggalkan kelompok, kedua belah pihak (individu dan kelompok) terlibat akan kenangan (Moreland & Levine, dalam Hogg & Vaughan,

(15)

2002). Pada fase ini, individu dan kelompok, dan sebaliknya mengevaluasi pengalaman mereka. Kenangan tentang ex-member mungkin menjadi pengetahuan bagi kelompok. Dalam beberapa kasus, ex-member memelihara hubungan dengan kelompok, dan beberapa komitmen bersama yang rendah terus berlanjut (Burn, 2005).

Gambar 1

Proses Psikologis dalam Group Socialization

Sumber: Levine dan Moreland, 1994; Hal 307

Gambar 2

Model Proses Group Socialization

(16)

Setiap budaya kelompok berubah ketika seorang anggota bergabung ke dalam kelompok karena mungkin dipengaruhi oleh anggota lain untuk mengadopsi cara baru dalam berkomunikasi dan berfungsi sebagai sebuah kelompok. Sosialisasi adalah proses yang mempengaruhi individu dan kelompok secara keseluruhan.

C. STRAIGHT EDGE 1. Definisi Straight Edge

Menurut Haenfler (2006), straight edge adalah ideologi, serta perilaku abstain dari alkohol, obat-obatan, tembakau, dan perilaku seks berganti-ganti pasangan, atau disebut "(promiscuous)" yang sangat identik dengan punk rocker.

Straight edge adalah subkultur pemuda yang menolak tekanan umum untuk

meminum alkohol, menggunakan narkoba, dan seks berganti-ganti pasangan. Mengkomunikasikan identitas mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dan hidup bersih melalui komitmen mereka terhadap perilaku abstain (Juliana, 2010).

Foucault (dalam Nilan, 2006) menyatakan bahwa straight edge bukan hanya sebuah istilah untuk sebuah subkultur anak muda tapi untuk genre musik hardcore. Straight edger menikmati reputasi mereka untuk menghadiri pertunjukan musik hardcore yang agresif dan moshing (menari hardcore) hingga lelah. Titik perbedaan adalah walaupun melakukan aktifitas hardcore, tetapi 'kami tidak bangun dengan mabuk keesokan harinya’. Menerapkan aturan straight edge untuk diri sendiri, memelihara aturan tersebut, dan melatih pengawasan diri.

(17)

Jadi berdasarkan beberapa pendapat di atas, kesimpulannya, straight edge adalah perilaku abstinance terhadap rokok, alkohol, dan promiskuitas yang diciptakan oleh genre hardcore. Dimana dalam eksekusinya, kembali kepada self

control masing-masing individu. 2. Sejarah Straight Edge

I’m a person just like you / But I’ve got better things to do / Than sit around and fuck my head / Hang out with the living dead / Snort white shit up my nose / Pass out at the shows / I don’t even think about speed / That’s something I just don’t need / I’ve got the straight edge

I’m a person just like you / But I’ve got better things to do / Than sit around and smoke dope / ’Cause I know that I can cope / I laugh at the thought of eating ’ludes / Laugh at the thought of sniffing glue / Always gonna keep in touch / Never want to use a crutch / I’ve got the straight edge.

“Straight Edge” by Minor Threat, 1981

Lirik di atas berasal dari band hardcore Minor Threat. Lirik tersebut menghasilkan gerakan yang telah meyakinkan ribuan orang muda untuk berhenti (atau tidak pernah memulai) menggunakan obat-obatan, alkohol, dan produk tembakau. Media populer, budaya mainstream, dan ilmuwan sosial bahkan sudah sering men-stereotipkan bahwa pemuda adalah makhluk yang hedonis, identik dengan seks bebas, dan terperosok dalam penyalahgunaan zat.

Penggunaan zat pada remaja telah membangun masalah sosial yang serius, yang memperkuat citra pemuda sebagai "in crisis" (Goode, dalam Haenfler, 2006). Namun, sXe mempromosikan gaya hidup bebas obat-dan alkohol, bertanggung jawab secara seksual yang dianggap menarik bagi ribuan pemuda di seluruh dunia. Gaya hidup mereka yang konservatif dikombinasikan dengan

(18)

cita-cita progresif punk dan musik keras yang secara tajam, kontras dengan image umum pemuda yang liar.

Straight edge pada awalnya muncul di Pantai Timur Amerika Serikat dari

subkultur punk di awal tahun 1980-an. Pemilik Club di Washington, DC, tidak mengizinkan anak-anak di bawah umur untuk masuk ke dalam club karena takut anak dibawah umur akan memesan minuman keras (karena hukum usia minum saat itu 18 tahun). Sebagian besar keuntungan dari sebuah club/pub adalah dari penjualan alkohol, dan karena itu lebih cenderung untuk melayani orang dewasa. Pemilik juga takut tertangkap, di denda, dan mungkin dicabut lisensi kepemilikan minuman keras mereka, karena membiarkan peminum di bawah umur. Namun hal ini tidak bisa ditoleransi oleh anak-anak yang ingin menonton pertunjukan di club. Untuk mengakomodasi penggemar bawah umur yang ingin masuk ke club, club menandai tangan anak punk hardcore DC yang masih di bawah umur, dengan tanda X besar sebagai sinyal untuk pekerja club agar tidak melayani mereka untuk memesan alkohol. Simbol X dengan cepat menjadi simbol penentangan. Pemuda mengubah X dari stigma (yaitu, tidak memiliki "kebebasan" minum alkohol) menjadi sebuah simbol kebanggaan, seolah-olah mengatakan, "bukan hanya karena kami tidak boleh minum, tapi kami tidak ingin minum. "

Saat pemuda secara hukum diperbolehkan untuk minum, mereka mulai menandai tangan mereka sendiri. Praktek ini dipopulerkan pada sampul album sebuah band di DC, yaitu The Teen Idles’ 1980 Minor Disturbance 7. Dengan menampilkan gambar seorang anak punk yang menyilangkan tangan membentuk X, serta tanda X di punggung tangan.

(19)

Meskipun sXe berakar pada keinginan praktis anak-anak untuk melihat band yang mereka cintai, gerakan ini muncul terutama sebagai respon terhadap kecenderungan nihilistik scene punk, termasuk penyalahgunaan obat dan alkohol, seks bebas, kekerasan, dan merusak diri sendiri sikap "hidup cepat, mati muda ". Para pemuda yang melahirkan lingkungan sXe, menghargai sikap punk hardcore yang "mempertanyakan segala sesuatu", mentalitas, energi, gaya agresif, dan sikap do-it-yourself, tapi sXe tidak tertarik pada lingkungan hedonisme dan mantra "tidak ada masa depan". Anggota straight edge mengadopsi ideologi "hidup bersih", menghindari alkohol, tembakau, obat-obatan terlarang, dan seks berganti-ganti pasangan.

Bagi kebanyakan anak sXe, menjadi bersih dan bijaksana adalah pernyataan terbesar dari etos punk hardcore, tindakan perlawanan yang menantang, baik budaya dewasa dan pemuda yang mainstream. Menjadi “straight” (lurus), memberikan pemuda sebuah “edge” (batasan) (Azerrad, dalam Haenfler:9, 2009)

Straight edge berhutang budi pada Minor Threat, band DC yang membuat landasan gerakan ini. Lagu mereka pada tahun 1981 "Straight Edge" memberikan gerakan sesuai dengan namanya, dan bagian reff lagu "Out of Step" 1983, untuk melengkapi kepercayaan mereka: “i dont smoke, i dont drink, i dont fuck, at least

i can fucking think" (Saya tidak merokok, tidak minum, tidak melakukan sex,

paling tidak saya mampu berfikir). MacKaye, dianggap oleh banyak orang sebagai pendiri sXe, yang sebenarnya tidak memiliki niat untuk memulai sebuah gerakan sosial.

(20)

Ideologi kemudian berkembang untuk ditambahkan dalam perluasan

straight edge. Seperti dikutip dalam Juliana (2010), misalnya, coll-Edge

diciptakan untuk berpura-pura menjadi straight edge, dengan berkomitmen hanya sampai masuk perguruan tinggi saja, melanggar slogan subkultur "true till death" (Haenfler, 2004). Militancy, sekelompok straight edger yang melakukan kekerasan terhadap orang lain yang minum atau merokok, yang akhirnya menjadi identitas umum mereka (Williams & Copes, dalam Juliana 2010). Terakhir, posi-straight edge untuk mengidentifikasi posi-straight edger yang memodifikasi posi-straight edge sebagai gaya hidup pada pikiran positif (Good Clean Fun, dalam Juliana, 2010). Ideologi baru yang tercipta menciptakan identitas sering tumpang tindih dengan satu sama lain (Williams & Copes, dalam Juliana 2010), namun tidak semua anggota mengadaptasi identitas Straight Edge mereka dengan modifikasi ini dibuat oleh "generasi kedua" tadi (Tsitos, dalam Juliana, 2010).

Menjadi punk berarti menjadi seorang individu, yang mengadopsi label apapun atau mengikuti kepercayaan apa pun yang bertentangan dengan ekspresi individual. Anak punk hardcore yang sebelumnya diejek karena tidak menggunakan alkohol dan obat-obatan, kini memiliki komunitas yang tidak hanya menerima tetapi juga memperjuangkan hidup bersih. Straight edge tetap hampir tak terpisahkan dari musik hardcore. Hardcore adalah genre yang luas namun mulai umum sebagai versi yang lebih cepat dari punk.

Selama tahun 90-an, punk dan hardcore menjadi semakin berbeda, dengan gaya dan model mereka sendiri. Dimana punk memakai pakaian flamboyan dan potongan rambut aneh, hardcore lebih menyukai penampilan rapi, terlihat kaku.

(21)

Band straight edge berfungsi sebagai pembentuk utama ideologi kelompok dan identitas kolektif. Hardcore masih menunjukkan tempat yang paling penting bagi sXers untuk berkumpul, berbagi ide, dan membangun solidaritas.

Prinsip dasar sXe cukup sederhana: anggota benar-benar abstain, dari narkoba, alkohol, dan penggunaan tembakau dan biasanya menunda aktivitas seksual untuk memelihara hubungan, menolak seks bebas. Aturan sXe ini mutlak, tidak ada pengecualian dan kesalahan kecil yang terjadi berati penganut kehilangan klaim atas identitas sXe nya. Pantangan berarti banyak hal untuk sXers, termasuk resistance, self actualization, dan social transformation. Anggota berkomitmen seumur hidup untuk hidup bersih dan, meskipun kelompok kurang memiliki kepemimpinan formal dan struktur, sXers dengan tekun bertahan menjadi "true" untuk identitas mereka.

3. Nilai Utama Kelompok Straight Edge

Resistance in a time of mass self-destruction / Makes the few who walk the straight edge / A growing force of change / Committed, though gripped by the plague of a nation / Consumed by its intoxication and confined by crippling greed / In my rage / I walk the path of true change / Commitment sworn in the name /Of those who will walk the straight edge / Convictions held to my grave.

“Force of Change” by Strife, 1997

Sepanjang sejarah sXe, tren dalam gerakan telah datang dan pergi sama cepatnya dengan keluar masuknya anggota sXer. Kesulitan identifikasi serangkaian prinsip-prinsip inti yang mencakup waktu dan geografi, dikarenakan perubahan nilai-nilai, setiap scene memiliki rasa sendiri, dan bahkan individu dalam scene yang sama memiliki interpretasi yang berbeda mengenai sXe.

(22)

Straight edger menyadari bahwa sXe berarti sesuatu yang berbeda untuk setiap orang, dengan asumsi identitas, dan seperti kelompok lain, tingkat dedikasi anggota individunya bervariasi. Sementara individu bebas untuk mengikuti filosofi dalam berbagai cara, seringkali mereka menambahkan interpretasi mereka sendiri, ada seperangkat nilai-nilai yang banyak mendasari gerakan ini: positifisme / hidup bersih, komitmen seumur hidup pada gerakan straight edge dan nilai-nilainya, menunda seks sebagai pemeliharaan hubungan, aktualisasi diri, menyebarkan pesan subkultur, dan keterlibatan karena terus maju (progresif).

Slogan T-shirt, lirik lagu, tato, dan simbol-simbol lainnya terus mengingatkan sXers pada misi dan dedikasi mereka: " It’s OK Not to Drink," "True Till Death," dan "One Life Drug Free" adalah beberapa di antara pesan yang terkenal secara umum. Simbol "X," yang merupakan simbol universal sXe, muncul pada awal tahun 1980, ketika pemilik klub musik menandai tangan penonton konser yang masih di bawah umur dengan simbol X untuk memastikan bahwa bartender tidak akan melayani mereka alkohol (Lahickey dalam Haenfler, 2006). Pemuda memakai simbol X pada ransel mereka, kemeja, dan kalung, juga tato pada tubuh mereka, dan benda lainnya. Simbol X menyatukan pemuda di seluruh dunia, mengkomunikasikan seperangkat nilai-nilai dan pengalaman. Straight edge menemukan kekuatan, persahabatan, kesetiaan, dan dorongan dari teman-teman sXe mereka, dan menghargai mereka di atas segalanya.

Banyak pemuda sXe hidup bersama. Dengan munculnya email dan internet, anak-anak sXe berkomunikasi melalui 'komunitas virtual' di berbagai negara (Williams 2003, dalam Haenfler, 2006). Sense of community yang kuat pada

(23)

musik hardcore, dan dilambangkan dengan avatar atau tampilan visual X, merupakan perekat yang telah mengikat gerakan sXe dan nilai-nilainya selama dua puluh tahun.

4. Perilaku Kelompok Straight Edge

Straight edge mempertahankan adat istiadat dan budaya nya melalui keterlibatan dalam musik hardcore dengan cara membeli musik straight edge, dan menghadiri pertunjukan straight edge (konser dengan panggung kecil) (Juliana, 2010).

Dalam mengkomunikasikan komitmen mereka, dan untuk mengidentifikasi diri mereka kepada sesama straight edger, pemuda Straight Edge mengambil simbol “X” atau "XXX" sebagai tiga pantangan mereka: tidak minum, tidak merokok, dan tidak melakukan seks berganti-ganti pasangan. Simbol ini juga dapat ditemukan pada pakaian, tato tubuh, dan tampilan nama di dunia maya (Juliana, 2010).

5. Faktor yang Menyebabkan Anggota Exit dari Straight Edge

Sama seperti kelompok atau pergerakan, identitas kolektif Straight Edge tidaklah stabil stabil. Justru berubah-ubah, tidak pasti, dan dapat bersifat sementara (Snow, dalam Juliana 2010). Meskipun awalnya sXers memiliki gagasan bahwa mereka akan "true til’ death” (“benar hingga mati") partisipasi mereka tidak berlangsung seumur hidup, seperti komitmen yang mereka janjikan. (Lahickey, dalam Juliana 2010).

(24)

Dalam merefleksikan identitas kolektifnya, straight edger dapat mengalami pengalaman yang disebut Giddens (dalam Juliana, 2010), sebagai “fateful

moment”, di mana mereka mencapai titik kesadaran diri dan mengevaluasi

kembali " inner wishes (keinginan batin)" mereka. Momen ini bisa menjadi titik transisi di mana sXer mungkin menyadari “ketidakpuasan” pada scene straight edge (Haenfler, 2004).

Haenfler (2004) juga berargumen bahwa pada masa muda, gerakan straight

edge membantu individu melalui waktu yang penting dan sulit ketika pertama kali

ter-ekspos minuman keras, obat-obatan, dan perilaku seksual. Straight edger yang sudah dewasa menghabiskan bertahun-tahun di dalam subkultur, dan mungkin mulai merasa dibatasi dalam pilihannya, sehingga sebagian besar sXers mencela identitas kolektif mereka dalam tahun-tahun terakhir masa muda mereka.

Menurut Polletta & Jasper (dalam Juliana, 2010), penyebab signifikan dalam berhentinya partisipasi sXe adalah, bahwa makna dari identitas kolektif tidak lagi terkait dengan identitas pribadi sXer. Dengan kata lain, "[mereka]” berhenti percaya bahwa gerakan 'mewakili’ [mereka] (Lahickey, dalam Juliana 2010).

Straight edge merupakan desired self, pergeseran ideologi kemudian dicari

karena melemahnya sense of belonging, sehingga menambah tekanan teman sebaya, dan konotasi konstriktif dari Straight Edge, sehingga pada akhirnya berakhir pada keluarnya individu dari kelompok straight edge (Juliana, 2010).

D. Dinamika Kompenen Identitas Sosial pada Kelompok Straight Edge

Kelompok tidak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari. Bergabungnya individu dalam sebuah kelompok tidak terlepas dari proses

(25)

adaptasi terhadap perilaku, norma, dan budaya kelompok itu sendiri. Termasuk pula dalam kelompok straight edge.

Moreland & Levin (dalam Burn, 2004) mengasumsikan, seiring berjalannya waktu, perubahan juga terjadi pada hubungan antara kelompok dan tiap-tiap anggotanya, ini disebut group socialization. Tiga proses yang terjadi dalam menguraikan group socialization menurut Burn (2004) adalah evaluation,

commitment, dan role transition.

Adapun tahapan sosialisasi kelompok menurut Levine dan Moreland (dalam Burn, 2004) terdiri dari 5 tahap, yaitu investigation, socialization, maintance, presocialization, dan remembrance. Proses dimulai saat individu mencari kelompok yang mampu memenuhi kebutuhannya, bersosialisasi dengan nilai kelompok, dan mempertahankan kepuasan dirinya akan kelompok. Penyesuaian terus terjadi, dan ketidakpuasan baik individu terhadap kelompok, ataupun kelompok pada individu, menyebabkan anggota kelompok untuk keluar dari kelompok.

Jika kelompok menawarkan manfaat bagi individu, misalkan saja tempat berlindung dari peer pressure, akan menumbuhkan “commitment” pada individu untuk bergabung dan tetap bertahan pada kelompok. Namun menurut Burn (2004), jika kelompok pada akhirnya menawarkan sesuatu yang tidak menguntungkan, pada akhirnya akan menurunkan komitmen anggota untuk bertahan pada kelompok. Perubahan yang terjadi peran pada individu, disebut dengan role transition yang terjadi sejalan dengan menurunnya komitmen pada anggota. Peralihan peran sangat dinamis mulai dari bukan anggota (non member),

(26)

menjadi anggota penuh (full member), menjadi anggota yang belum sepernuhnya diterima (quasi-members) atau sebaliknya dari full member menjadi non member.

Pergeseran peran dalam kelompok straight edge jika ditinjau dari pernyataan, Levine dan Moreland (dalam Hogg 2002) melalui model proses sosialisasi kelompok dapat mendeskripsikan dan memahami individu dalam kelompok. Teori model proses sosialisasi kelompok ini berfokus pada dinamika hubungan antara individu dan anggota kelompok. Model sosialisasi kelompok dapat digunakan untuk kelompok formal ataupun informal, kelompok besar atau kecil, serta untuk kelompok yang bersifat jangka panjang atau sementara.

Perubahan peran pula yang mendiskripsikan ketidakstabilan peran dan identitas pada member straight edge. Sesuai dengan pernyataan Snow (dalam Juliana, 2010), identitas straight edge tidak stabil. Justru berubah-ubah, tidak pasti, dan dapat bersifat sementara. Terlepas dari itu, walaupun beberapa straight

edger mengalami perubahan ideologi ataupun pergeseran ideologi terkait dengan

identitas straight edge yang terkesan “membatasi”, namun ada pula member

straight edge yang merasa semakin terikat dengan kuat pada identitasnya.

Dengan kata lain, sosialisasi membantu kita menemukan identitas diri kita. Juliana (2010) menyatakan bahwa pemuda (sadar atau tidak sadar) mencari identitas di lingkungan straight edge. Dengan kata lain, partisipasi subkultur menyebabkan pemuda secara umum mengubah identitas mereka.

Straight Edge menciptakan tempat untuk eksperimen identitas, bagi

pemuda untuk mengeksplorasi pertanyaan, "Siapakah aku?" (Haenfler, 2004). Tajfel (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menambahkan bahwa dengan

(27)

berpartisipasi dalam aktifitas kelompok, terbentuklah social identity, dimana ini merupakan bagian dari konsep diri individu yang berasal dari keanggotaannya dalam satu kelompok sosial (atau kelompok-kelompok sosial) dan nilai serta signifikasi emosional yang dilekatkan dalam keanggotaan itu.

Snow (dalam Juliana, 2010) menyatakan bahwa identitas sosial tidaklah stabil. Sosialisasi kelompok dapat merubah peran (role) individu pada kelompok, dan keberhasilan dalam memperoleh identitas sosial dalam kelompok. Maka proses sosialisasi dan proses pencarian identitas tidak bisa dipisahkan dalam pencarian identitas sosial. Pengetahuan tentang diri berasal dari banyak sumber, dan banyak dari pengetahuan diri kita berasal dari sosialisasi (Taylor, Peplau, Sears, 2009).

(28)

E. Kerangka Berfikir MUSIK Musik Underground Musik Hardcore Straight Edge Kelompok Hardcore PERSAMAAN KARAKTERISTIK Menghadiri konser hardcore Menari ala hardcore Memakai identitas gaya hidup yang negatif,

self destructive,

penyalahgunaan obat dan alkohol, seks bebas, "live fast, die young” sikap “do-it-yourself”

Pantangan terhadap rokok, alkohol, dan

seks bebas Memakai identitas

sXe (lambang X,

serta baju sXe) Menganut gaya Proses Sosialisasi Kelompok Levine & Moreland (2004) (evaluation, commitment, role Komponen Identitas Sosial Tajfel (1990) (identification, categorization, social comparison) Ethnocentrism In group favoritsm Intergroup differentiation Group Streotype Terbentuknya Identitas Sosial Pada Kelompok

Straight Edge

Referensi

Dokumen terkait

melibatkan berbagai faktor yang saling berpengaruh satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak usia dini.

Dinamika komitmen terhadap organisasi dalam mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan tergambar pada penjelasanan berikut ini: Apabila seorang perawat telah memiliki rasa

b) Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang pada dasarnya melibatkan tingkah laku individu maupun kelompok. Pendidikan akan membentuk seperangkat tingkah laku,

Sarafino (1994) menetapkan adanya 3 dimensi dalam dukungan sosial yaitu: dukungan sosial yang melibatkan adanya keakraban dan penerimaan yang memberikan keyakinan dan dukungan

Menurut Jhahro, mengatakan bahwa gaya kognitif reflektif merupakan gaya kognitif yang dimiliki individu, dimana individu tersebut akan selalu mempertimbangkan

Stress menurut Santrock (2003) adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang

Melalui skala CES-D individu dikatakan mengalami simtom-simtom depresi melalui keempat faktor, yaitu: Depressed effect/negative affect merupakan perasaan-perasaan,

Information (2006), ada 4 elemen yang berkaitan dengan konflik individu dalam membentuk identitas seksualnya sebagai gay, yaitu: (1) perasaan akan persepsi pembentukan