• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Identitas Nasional

1. Definisi Identitas Nasional

Konsep mengenai Identitas Nasional merupakan sebuah konsep yang multidimensional dimana dikembangkan dan dianalisis oleh berbagai disiplin ilmu dan relevan dengan berbagai bidang penelitian. Psikologi merupakan salah satu cabang ilmu yang mengkaji Identitas Nasional sebagai kajian psikologi sosial.

Identitas Nasional merupakan salah satu bentuk dari identitas sosial (Michener dan Delamater, 1999; Bostock Dan Smith, 2001). Identitas Nasional dianggap sebagai konsep utama dari identifikasi individu pada kelompok sosial dalam dunia modern (Davidov, 2009). Kelekatan anggota kelompok terhadap negara mereka diekspresikan dengan rasa memiliki, cinta, loyalitas, kebanggaan, dan perlindungan terhadap kelompok dan tanah air-nya (Davidov,2009).

Tajfel dan Turner (1986) menyatakan bahwa secara umum Identitas Nasional menggambarkan perasaan yang subjektif terhadap suatu bangsa, yang pada dasarnya bersifat positif. Sejalan dengan pendapat tersebut, Blank, Schmidt dan Westle (2001) menggambarkan Identitas Nasional sebagai perasaan kedekatan yang kuat terhadap negara sendiri.

(2)

Berdasarkan definisi Identitas Nasional menurut beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa Identitas Nasional merupakan salah satu bentuk dari identitas sosial yang mencerminkan identifikasi, perasaan dan penilaian yang positif dari individu terhadap bangsa dan negaranya.

2. Identitas Nasional Sebagai Bentuk dari Identitas Sosial

Banyak peneliti yang berasusmsi bahwa identifikasi nasional sama dengan identifikasi kolektivitas (identifikasi sosial) yang lain (Gibson, 2003). Müller-Peters (1998) mendefinisikan Identitas Nasional sebagai bentuk khusus dari identitas kolektif atau sosial, dan dalam hal ini kelompok sosial yang dimaksud adalah bangsa.

Martin dan Nakayama (2010) kemudian mengemukakan konsep dimana terdapat beberapa bentuk-bentuk utama dari identitas sosial dalam konteks komunikasi interkultural. Identitas Nasional merupakan salah satu bentuk dari identitas sosial dalam konteks tersebut.

Teori identitas sosial sendiri awalnya dipelopori oleh Henri Tajfel pada tahun 1957 dalam upaya menjelaskan prasangka, diskriminasi, perubahan sosial dan konflik antar kelompok. Menurut Tajfel (1978), social identity

(identitas sosial) adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut.

Social identity berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam suatu kelompok tertentu (Tajfel & Turner, 1979).

(3)

Branscombe, Ellemers, Spears, dan Doosje (1999) mengemukakan tiga komponen dalam identitas sosial, yaitu cognitive component (self categorization), evaluative component (group self esteem), dan emotional component (affective component).

1) Cognitive component (Self categorization)

Kesadaran kognitif akan keanggotaannya dalam kelompok. Individu mengkategorisasikan dirinya dengan kelompok tertentu yang akan menentukan kecenderungan mereka untuk berperilaku sesuai dengan keanggotaan kelompoknya. Komponen ini juga berhubungan dengan

self stereotyping yang menghasilkan identitas pada diri individu dan anggota kelompok lain yang satu kelompok dengannya. Self stereotyping dapat memunculkan perilaku kelompok (Hogg, 1988). 2) Evaluative component (group self esteem)

Merupakan nilai positif atau negatif yang dimiliki oleh individu terhadap keanggotaannya dalam kelompok. Evaluative component ini menekankan pada nilai-nilai yang dimiliki individu terhadap keanggotaan kelompoknya.

3) Emotional component (affective component)

Merupakan perasaan keterlibatan emosional terhadap kelompok.

Emotional component ini lebih menekankan pada seberapa besar perasaan emosional yang dimiliki individu terhadap kelompoknya (affective commitment). Komitmen afektif cenderung lebih kuat dalam kelompok yang dievaluasi secara positif karena kelompok lebih

(4)

berkontribusi terhadap social identity yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa identitas individu sebagai anggota kelompok sangat penting dalam menunjukkan keterlibatan emosionalnya yang kuat terhadap kelompoknya walaupun kelompoknya diberikan karakteristik negatif.

3. Fungsi Identitas Nasional

Menurut Smith (1991) terdapat tiga fungsi dari Identitas Nasional, yaitu:

1) Identitas Nasional memberikan jawaban yang memuaskan terhadap rasa takut akan kehilangan identitas melalui identifikasi terhadap bangsa.

2) Identitas Nasional menawarkan pembaharuan pribadi dan martabat bagi individu dengan menjadi bagian dari keluarga besar suatu bangsa 3) Identitas Nasional memungkinkan adanya realisasi dari perasaan

persaudaraan, terutama melalui simbol-simbol dan upacara.

4. Bentuk-bentuk Identitas Nasional: Nasionalisme (Nationalism) dan Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism)

Nasionalisme (Nationalism) dan Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) menggambarkan bentuk yang lebih spesifik dari Identitas Nasional (Blank dan Schmidt, 2003). Nasionalisme (Nationalism) merupakan sebuah idealisasi bangsa, keyakinan terhadap superioritas bangsa sendiri, penilaian positif tehadap bangsa serta penolakan terhadap sikap dan

(5)

emosi negatif dan ambivalen pada bangsa. Schmidt (2003) mengemukakan tiga indikator Sikap Nasionalisme (Nationalism), yaitu :

1) Penilaian positif terhadap bangsa sendiri secara general (generalized positive assessment of the nation). Penilaian positif ini mencakup hal-hal berupa penekanan sikap ambivalen terhadap bangsa, sebuah penerimaan penuh dari otoritas nasional, negara, dan politik.

2) Perasaan superioritas (feelings of superiority). Indikator ini mencakup perasaan individu bahwa bangsa dan negaranya lebih superior daripada bangsa dan negara lain (a feeling of national superiority). Selain itu, terdapat juga relevansi yang tinggi dari perbandingan sosial dengan kelompok yang tidak dianggap sebagai bagian dari bangsa,

3) Kecenderungan Idealisasi terkait dengan bangsa (nation-related tendencies of idealization). Indikator ini mencakup konsep mengenai idealisasi bangsa (idealization of the nation), idealisasi terhadap bangsa ini juga mencakup idealisasi terhadap sejarah bangsa sendiri. Sementara itu, Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) merupakan bentuk lain dari Identitas Nasional yang menolak konsep idealisasi bangsa. Orang-orang dengan Identitas Nasional Patriotisme Membangun

(Constructive Patriotism) akan mencerminkan pandangan kritis dan

konstruktif terhadap bangsanya, mereka akan memberikan dukungan terhadap sistem selama sistem tersebut sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam sikap Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) juga terdapat penerimaan terhadap emosi negatif pada bangsa. Secara lebih rinci,

(6)

Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) digambarkan memiliki indikator-indikator berikut ini (Schmidt, 2003):

1) Aspek demokrasi dari Patriotisme Membangun (democratic aspects of

patriotism). Aspek demokrasi ini mencakup penolakan terhadap

penerimaan penuh dari suatu otoritas nasional, penolakan terhadap budaya otoriter dan dukungan terhadap budaya demokrasi. Dukungan terhadap sistem berakhir segera setelah tujuan bangsa tidak lagi sesuai dengan keyakinan nilai-nilai humanis.

2) Kritik membangun terhadap negara (constructive critic of one’s country). Individu dapat menganggap bahwa bangsa ini tidak ideal yang ditinjau dari hati nurani. Hati nurani di sini mengacu pada pembentukan opini bangsa yang independen dari elit dalam kelompok. Dalam Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) juga terdapat penerimaan emosi negatif terhadap bangsa sendiri.

Dalam sikap Nasionalisme (Nationalism) terdapat penekanan afiliasi nasional kedalam konsep diri individu. Sementara itu, Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism) tidak terlalu menekankan afiliasi nasional terhadap konsep diri individu. Sikap Nasionalisme (Nationalism) juga memiliki kecenderungan untuk menganggap kelompok sendiri lebih homogen dan mendefinisikan kelompoknya melalui garis keturunan, ras, atau afiliasi budaya, sedangkan dalam sikap Patriotisme Membangun (Constructive Patriotism), terdapat penolakan terhadap pendefinisian kelompok sendiri berdasarkan kriteria objektif tersebut (Schmidt, 2003).

(7)

5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Identitas Nasional

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan Identitas Nasional bangsa Indonesia, meliputi primordial, sakral, tokoh, bhineka tunggal ika, konsep sejarah, perkembangan ekonomi, dan kelembagaan (Surbakti, 1999).

1) Primordial

Ikatan kekerabatan (darah dan keluarga) dan kesamaan suku bangsa, daerah, bahasa, dan adat-istiadat merupakan faktor-faktor primordial yang dapat membentuk negara-bangsa. Primordialisme tidak hanya menimbulkan pola perilaku yang sama, tetapi juga melahirkan persepsi yang sama tentang masyarakat negara yang dicita-citakan. Walaupun ikatan kekerabatan dan kesamaan budaya itu tidak menjamin terbentuknya suatu bangsa (karena mungkin ada faktor yang lain yang lebih menonjol), namun kemajemukan secara budaya mempersulit pembentukan satu nasionalitas baru (negara bangsa) karena perbedaan ini akan melahirkan konflik nilai.

2) Sakral

Kesamaan agama yang dianut oleh suatu masyarakat, atau ikatan ideologi yang kuat dalam masyarakat, juga merupakan faktor yang dapat membentuk negara-bangsa.

3) Tokoh

Kepemimpinan dari seorang tokoh yang disegani dan dihormati secara luas oleh masyarakat dapat menjadi faktor yang menyatukan suatu bangsa-negara. Pemimpin ini menjadi panutan sebab warga masyarakat

(8)

mengidentifikasikan diri kepada sang pemimpin, dan ia dianggap sebagai "penyambung lidah" masyarakat.

4) Sejarah

Persepsi yang sama tentang asal-usul (nenek moyang) dan tentang pengalaman masa lalu, seperti penderitaan yang sama akibat dari penjajahan tidak hanya melahirkan solidaritas (sependeritaan dan sepenanggungan), tetapi juga tekad dan tujuan yang sama antar kelompok suku bangsa. Solidaritas, tekad, dan tujuan yang sama itu dapat menjadi identitas yang menyatukan mereka sebagai bangsa, sebab dengan membentuk konsep ke-kita-an dalam masyarakat.

5) Bhinneka Tunggal Ika

Prinsip bersatu dalam perbedaan (unity in diversity) merupakan salah satu faktor yang dapat membentuk bangsa-negara. Bersatu dalam perbedaan artinya kesediaan warga masyarakat untuk bersama dalam suatu lembaga yang disebut Negara, atau pemerintahan walaupun mereka memiliki suku bangsa, adat-istiadat, ras atau agama yang berbeda.

6) Perkembangan Ekonomi

Perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan spesialisasi pekerjaan yang beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Semakin tinggi mutu dan semakin bervarariasi kebutuhan masyarakat, semakin tinggi pula tingkat saling bergantung di antara berbagai jenis pekerjaan. Setiap orang bergantung pada pihak lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin kuat suasana saling bergantung antar

(9)

anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi, maka semakin besar pula solidaritas dan persatuan dalam masyarakat.

7) Kelembagaan

Proses pembentukan bangsa berupa lembaga-lembaga pemerintahan dan politik, seperti birokrasi, angkatan bersenjata, dan partai politik. Setidak-tidaknya terdapat dua sumbangan birokrasi pemerintahan (pegawai negeri) bagi proses pembentukan bangsa, yakni mempertemukan berbagai kepentingan dalam instansi pemerintah dengan berbagai kepentingan di kalangan penduduk sehingga tersusun suatu kepentingan nasional, watak kerja, dan pelayanannya yang bersifat impersonal; tidak saling membedakan untuk melayani warga negara. Angkatan bersenjata berideologi nasionalistis karena fungsinya memelihara dan mempertahankan keutuhan wilayah dan persatuan bangsa, personilnya direkrut dari berbagai etnis dan golongan dalam masyarakat. Selain soal ideologi, mutasi dan kehadirannya di seluruh wilayah negara merupakan sumbangan angkatan bersenjata bagi pembinaan persatuan bangsa Keanggotaan partai politik yang bersifat umum (terbuka bagi warga negara yang berlainan etnis, agama, atau golongan), kehadiran cabang-cabangnya di wilayah negara, dan peranannya dalam menampung dan memadukan berbagai kepentingan masyarakat menjadi suatu alternatif kebijakan umum merupakan kontribusi partai politik dalam proses pembentukan bangsa.

(10)

Robinson (2009) menemukan bahwa tingkat pendapatan juga dapat mempengaruhi Identitas Nasional seseorang. Salah satu interpretasi dari hubungan ini adalah bahwa pendapatan yang lebih tinggi kemudian menyebabkan modernisasi yang lebih besar, yang pada gilirannya akan meningkatkan nasionalisme melalui pendidikan, industrialisasi dan urbanisasi. Selain itu, usia dan jenis kelamin diketahui juga merupakan prediktor Identifikasi Nasional. Laki-laki secara signifikan lebih mengidentifikasikan dirinya dengan negara. Dari segi usia, rata-rata usia memiliki hubungan non-linier untuk nasionalisme. Identitas Nasional lebih tinggi pada orang-orang yang berusia dewasa keatas (Robinson, 2009). Rajiman, Davidov, Schmidt dan Hochman (2008) menemukan bahwa pada beberapa negara, pendidikan dan orientasi politik mempengaruhi Identitas Nasional Individu. Individu yang berpendidikan rendah dan memiliki orientasi politik sayap kanan cenderung lebih nasionalis.

Blank, Schmidt dan Westle (2001) menemukan pengaruh usia dalam perbedaan tingkat Identitas Nasional individu. Identitas Nasional secara konsisten dan signifikan meningkat sejalan dengan peningkatan usia. Hasil ini ditemukan dari penelitian yang dilakukan di Austria, Jerman Barat, Jerman Timur, Inggris, Italia, Amerika dan Rusia. Usia dapat memoderator tingkat identifikasi nasional individu berdasarkan pengalaman hidupnya dengan bangsa. Dan usia dapat menjadi indikator untuk kemungkinan dan realisasi pengalaman internasional individu. Kemungkinan individu yang lebih tua untuk memiliki pengalaman internasional lebih sedikit jika dibandingkan

(11)

dengan individu yang lebih muda, sehingga memungkinkan mereka untuk memiliki hubungan yang lebih kuat dengan bangsa dan negaranya dibandingkan individu yang lebih muda (Blank, Schmidt dan Westle, 2001).

6. Identitas Nasional Bangsa Indonesia

Proses pembentukan Identitas Nasional bangsa Indonesia cukup panjang, dimulai dari kesadaran adanya perasaan senasib sepenanggungan “bangsa Indonesia” akibat penjajahan Belanda, kemudian memunculkan komitmen bangsa (tekad dan kemudian menjadi kesepakatan bersama). Dalam perkembangan selanjutnnya dirumuskan beberapa Identitas Nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 dalam pasal 35-36C, yaitu:

1) Bahasa Nasional atau Bahasa Persatuan yaitu Bahasa Indonesia 2) Bendera Negara yaitu Sang Merah Putih

3) Lagu Kebangsaan yaitu Indonesia Raya 4) Lambang Negara yaitu Pancasila

5) Semboyan Negara yaitu Bhinnika Tunggal Ika 6) Dasar Falsafah Negara yaitu pancasila

7) Konstituti (Hukum Dasar) Negara yaitu UUD1945

8) Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

9) Konsepsi Wawasan Nusantara

(12)

B. Kota Medan

1. Gambaran Kota Medan

Medan merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Utara dan salah satu dari kota besar dan multietnis di kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota Medan dinyatakan terbentuk pada 1 Juli 1590 dan saat ini dipimpin oleh Rahudman Harahap sebagai walikota.

Luas wilayah administrasi kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat 1 Sumatera Utara nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996 tentang pendefitpan 7 kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 35 tahun 1992 tentang pembentukan beberapa kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 kecamatan yang mencakup 151 kelurahan (Pemko, 2012).

2. Penduduk Kota Medan

Menurut Badan Pusat Statistik, yang dapat dikatakan sebagai penduduk Kota Medan adalah mereka yang:

1) Tinggal di wilayah Kota Medan secara menetap sudah enam bulan atau lebih.

2) Tinggal di wilayah Kota Medan kurang dari enam bulan tetapi bermaksud menetap.

(13)

3) Sedang bepergian ke luar Kota Medan kurang dari enam bulan dan tidak bermaksud menetap di wilayah tujuan.

4) Bertempat tinggal di wilayah Kota Medan dengan mengontrak/ sewa/ kos.

Sedangkan yang tidak termasuk dalam kategori penduduk Kota Medan adalah mereka yang:

1) Tengah berkunjung dan tidak bermaksud menetap di Kota Medan. 2) Tengah bepergian ke luar Kota Medan selama enam bulan atau lebih. 3) Sudah pindah dan bermaksud menetap di wilayah tujuan.

4) Sudah bertempat tinggal di luar Kota Medan dengan mengontrak/ sewa/ kos.

Jumlah penduduk Kota Medan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data kependudukan 2011, jumlah penduduk kota Medan sementara adalah 2.117.224 jiwa, yang terdiri atas 1.046.560 laki-laki dan 1.070.664 perempuan. Dari data tersebut, penduduk terbanyak berada di Kecamatan Medan Deli dengan jumlah 170.013 jiwa, sementara berdasarkan jumlah penduduk terkecil berada di wilayah Kecamatan Medan Maimun sebanyak 60.030 (BPS, 2012).

Sebagai pusat perdagangan baik regional maupun internasional, sejak awal Kota Medan telah memiliki keragaman suku (etnis), dan agama. Keberagaman tersebut menciptakan budaya masyarakat yang pluralis dan beragamnya nilai–nilai budaya. Adanya pluralisme ini juga merupakan peredam untuk munculnya isu-isu primordialisme yang dapat mengganggu

(14)

sendi-sendi kehidupan sosial (Pemko, 2012). Distribusi penduduk Kota Medan berdasarkan etnis pada tahun 1930, 1980, 2000 dan 2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Distribusi Etnis di Kota Medan Tahun 1930, 1980, 2000 dan 2010 Etnis 1930 1980 2000 2010 Angkola-Mandailing Karo Dairi Simalungun Pesisir Toba Nias Minangkabau Melayu Jawa Tionghoa Aceh Banjar Sunda Batak lainnya Lainnya 6.12 0.19 - - - - - 7.29 7.06 24.89 35.63 - - 1.58 2.93 14.31 11.91 3.99 - - - - - 10.93 8.57 29.41 12.8 2.19 - 1.90 14.11 4.13 9.36 4.10 8.6 6.59 33.03 10.65 2.78 20.93 3.95 10.16 4.62 0.42 1.41 1.10 17.12 1.10 7.83 5.76 33.19 9.47 2.70 0.47 - -4.65 Jumlah 100 100 100

Sumber: 1930 dan 1980: Pelly, 1983; 2000 dan 2010: BPS Sumut

Keberagaman etnis yang ada di Kota Medan kemudian diikuti pula oleh keberagaman Agama atau kepercayaan. Selain enam agama yang diakui oleh pemerintah, Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu, Kota Medan juga memiliki beberapa kepercayaan yang sampai saat ini masih memiliki penganut, seperti Parmalim (Silaen, 2013). Jumlah penduduk Kota Medan berdasarkan agama dapat dilihat pada tabel berikut:

(15)

Tabel 2

Jumlah Penduduk Kota Medan Berdasarkan Agama yang Dianut Tahun 2010 Agama Jumlah (%) Islam Protestan Katolik Hindu Budha Khong Hu Chu Lainnya Tidak Terjawab Tidak Ditanyakan 67.80 20.27 1.79 0.44 8.81 0.02 0.02 0.03 0.82 Kota Medan 100

Referensi

Dokumen terkait

Dari 79 sampel yang diambil, persentase keandalan data klinis pasien bedah pada rekam medis rawat inap di RS Bhayangkara Tk III Hoegeng Imam Santoso Banjarmasin adalah

— Not considered part of Handshake Protocol — Sent using Change Cipher Spec Protocol. • Client sends finished message under new algorithms, keys,

One form of the 80x86 MOV instruction (see appendix D) uses the binary encoding 1011 0rrr dddd dddd to pack three items into 16 bits: a five-bit operation code (10110), a

Gula merupakan komponen penting dalam media kultur untuk pertumbuhan dan perkembangan in vitro , sebab gula merupakan sumber energi yang biasa didapat tanaman dari

si gadis koin (senja), gembrot cino yg rajin makan (niken) dan lek har asli rungkut (didin) yang sama-sama berjuang dalam menyelesaikan skripsi dan selalu bersama-sama

Skripsi yang berjudul “ Efektivitas Penanaman Arachis pintoi terhadap Perbaikan Kesuburan Tanah untuk Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine max.. L.) ”, merupakan salah

Penelitian ini dilakukan pemanfaatan ampas dari jenis kacang-kacangan untuk dibuat tempe gembus dengan konsentrasi ragi / laru tempe, sehingga dapat diterima oleh konsumen dan

Selain itu strategi yang digunakan guru pendidikan agama Islam dalam membentuk perilaku peduli siswa yaitu guru selalu membiasakan siswa saat berada disekolah