• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGENDALIAN HOSPES PERANTARA

SCHISTOSOMIASIS

Anis Nurwidayati1

1

Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala Jl. Masitudju No 58 Labuan Panimba, Labuan 94352, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

Abstract

Schistosomiasis is snails intermediated disease that infects humans and other mammals. Schistosomiasis distributed in various parts of Asia, Africa and America. Schistosomiasis in Indonesia is only found in the highlands of Napu, Lindu and Bada, Central Sulawesi. Intermediate snail of schistosomiasis in Indonesia is Oncomelania hupensis lindoensis. Schistosomiasis control strategies in many countries are generally conducted by controlling intermediate snail using mechanic ways, molluscicide, and biological control. Development of vaccines and better diagnostic techniques are expected to help reduce infection in humans. Some basic research about molecular aspect of schistosomiasis have been conducted to understand the interactions between snails and parasites, as well as the identification of genes that are expected to lead the snail resistant to infection.

Key words: Schistosomiasis, snail, molluscicides

STRATEGIC CONTROL OF SCHISTOSOMIASIS INTERMEDIATE HOST

Abstrak

Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit yang diperantarai oleh keong yang

menginfeksi manusia dan hewan mamalia lain. Schistosomiasis tersebar di berbagai wilayah

kawasan Asia, Afrika dan Amerika. Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di dataran

tinggi Napu, Lindu dan Bada, Sulawesi Tengah. Keong perantara schistosomiasis di Indonesia

adalah Oncomelania hupensis lindoensis. Strategi pengendalian schistosomiasis di berbagai

negara pada umumnya dilakukan dengan pengendalian keong perantaranya, baik secara

mekanik, kimia dan biologi. Pengembangan vaksin dan teknik diagnosis yang lebih baik

diharapkan dapat membantu pengurangan infeksi pada manusia. Beberapa penelitian dasar bidang molekuler telah dilakukan untuk memahami interaksi antara keong dan parasit, serta identifikasi gen yang diharapkan dapat menyebabkan keong resisten terhadap parasit.

Kata kunci: Schistosomiasis, keong, moluskisida

Naskah masuk: tanggal 23 Maret 2015; Review I: tanggal 23 Maret 2015; Review II: tanggal 3 Desember 2015; Layak terbit: tanggal 31 Desember 2015

(2)

PENDAHULUAN

Schistosomiasis merupakan penyakit parasit paling mematikan kedua setelah malaria. Penyakit ini menimbulkan dampak kerugian ekonomi dan masalah kesehatan

masyarakat di banyak negara berkembang.1

Schistosomiasis menginfeksi 230 juta orang di 77 negara dengan 600 juta orang berisiko terinfeksi. Penyakit ini tersebar di negara-negara berkembang baik tropik maupun subtropik yaitu China, Jepang, Philipina,

Indonesia, Vietnam, Laos, Thailand,

Kamboja.2

Beberapa spesies cacing schistosoma yang menginfeksi manusia telah diketahui, yang mana tergantung pada jenis keong

perantara yang berbeda – beda.

Schistosoma haematobium menyebabkan schistosomiasis urinaria di Afrika, Timur Tengah dan Mediterania bagian timur.

Empat spesies cacing yang lain

menyebabkan schistosomiasis intestinal,

yaitu S. intercalatum terjadi di sepuluh

negara di kawasan hutan hujan di Afrika, S.

mansoni ditemukan di lebih dari 52 negara di Afrika, Karibia, Mediterania bagian timur,

Amerika Latin; S. japonicum dan S. mekongi

ditemukan di Asia dan kawasan pasifik.3

Keong Biomphalaria alexandrina

merupakan hospes perantara spesifik dari S.mansoni di wilayah Mesir. Keong

perantara schistosomiasis di kawasan Asia

yaitu Oncomelania hupensis di China,

Neotricula aperta di kawasan Sungai

Mekong (Vietnam, Laos, Thailand),

Oncomelania quadrasi di Filipina, Oncomelania hupensis lindoensis di

Indonesia.2

Schistosomiasis di Indonesia

merupakan penyakit zoonosis yang

disebabkan cacing trematoda darah

Schistosoma japonicum dengan hospes

perantara keong Oncomelania hupensis

lindoensis. Schistosomiasis sering disebut juga sebagai demam keong di daerah

endemis di Indonesia. Schistosomiasis di

Indonesia hanya ditemukan di Provinsi Sulawesi Tengah yaitu di dataran tinggi Lindu, Kabupaten Sigi dan dataran tinggi Napu dan dataran tinggi Bada, Kabupaten

Poso.4

(3)

Secara klinis schistosomiasis dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :

Stadium I, dimulai sejak masuknya serkaria ke dalam kulit sampai cacing menjadi

dewasa, termasuk perpindahan

schistosomula (cacing Schistsoma muda)

melalui paru – paru ke sistem portal.4 Pada

stadium ini dapat dibedakan menjadi tiga gejala, yaitu :

a. Gejala kulit dan alergi

Berupa ruam pada kulit, kemerahan dengan rasa gatal dan panas di tempat serkaria masuk. Gejala ini timbul beberapa jam setelah infeksi. Gejala ini akan hilang dalam waktu 2-3 hari. Setelah itu muncul gejala alergi berupa demam, urtikaria serta pembengkakan.

b. Gejala paru – paru

Berupa batuk kadang disertai dahak, kadang dengan sedikit bercampur darah.

c. Gejala toksemia

Mulai muncul antara minggu ke dua

sampai minggu ke delapan setelah

infeksi.Gejalanya berupa demam tinggi, lemah, malaise, anoreksi, mual, muntah, sakit kepala dan nyeri tubuh, diare, sakit perut, hati dan limpa membesar dan nyeri

pada perabaan.4

Stadium II, dimulai saat peletakan telur dalam pembuluh darah dan dikeluarkannya menembus mukosa usus. Gejala berupa lemas, malaise, demam, berat badan menurun, mulai terjadi pembengkakan hepar (hepatomegali), pembengkakan limpa (spleenomegali). Gejala ini timbul pada 6-8

bulan setelah infeksi.4

Stadium III, terjadi pada stadium lanjut, lebih dari delapan bulan setelah infeksi. Kelainan berupa pembentukan jaringan ikat menetap akibat terperangkapnya telur di jaringan hati. Gejala berupa sakit perut, disentri, pelebaran pembuluh darah perut,

pembengkakan / asites, anemia.4

Pengobatan penduduk merupakan

kegiatan pokok pada pengendalian

schistosomiasis. Adapun kriteria pemberian

pengobatan schistosomiasis adalah

sebagai berikut:

Pengobatan massal dilaksanakan bila prevalensi skistosomiasis di desa > 1%. Pengobatan ini dilaksanakan setiap 6 bulan

diberikan kepada penduduk umur 5 tahun ke atas. Pada balita hanya diberikan pada

individu yang positif. Pengobatan ditunda

pada wanita hamil, wanita menyusui dan

yang sakit berat.2

Pengobatan selektif dilakukan bila prevalensi di bawah 1 %. Pengobatan diberikan setiap 6 bulan pada penduduk yang positif dan serumah.

Pengobatan perorangan diberikan pada fasilitas pelayanan kesehatan berdasarkan

pemeriksaan klinis atau laboratorium.

Obat yang digunakan yaitu

praziquantel dengan dosis 30 mg/kg BB/dosis diberikan 2 dosis dalam satu hari, total 60 mg/kg/BB. Jarak pemberian dosis pertama dengan dosis kedua adalah 4-6 jam. Obat diminum sesudah makan. Selain obat praziquantel disediakan juga obat

penawar karena obat praziquantel

menimbulkan efek samping antara lain, demam, sakit kepala, pusing, mual, dan lain-lain5.

Dalam tulisan ini penulis ingin

mendeskripsikan tentang berbagai strategi

pengendalian keong perantara

schistosomiasis di beberapa negara. Informasi yang dihasilkan diharapkan dapat menjadi masukan bagi upaya pengendalian

keong perantara schistosomiasis di

Indonesia. Tulisan ini bertujuan untuk

menjabarkan beberapa strategi

pengendalian keong perantara

schistosomiasis, meliputi pengelolaan lingkungan, penggunaan moluskisida baik moluskisida kimia dan tanaman serta pengendalian secara biologis.

METODOLOGI

Metode penulisan ini menggunakan penelusuran literatur dengan menelaah buku, artikel dan jurnal ilmiah khususnya dalam hal pengendalian keong perantara schistosomiasis.

HASIL

Penyebab schistosomiasis di

Indonesia adalah cacing trematoda

Schistosoma japonicum. Telur S. japonicum

(4)

penderita, kemudian dalam air menetas menjadi mirasidium yang akan menembus

tubuh keong Oncomelania hupensis

lindoensis. Dalam tubuh keong mirasidium akan mengalami perkembangan menjadi sporokista, kemudian menjadi serkaria yang akan keluar dari tubuh keong. Infeksi terjadi melalui serkaria yang menembus

kulit manusia dan atau mamalia.

S.japonicum dewasa hidup di vena hepatika

dan vena mesenterika.4

Prevalensi kasus schistosomiasis di

Lindu tahun 2008-2013 yaitu 1,4%, 2,32%, 3,21%, 2,67%, 0,76%, 0,71%. Proporsi

kasus schistosomiasis di Napu tahun 2008

– 2013 yaitu 2,44%, 3,8%, 4,78%, 2,15%,

1,44%, 2,24%. Survei keong tahun 2012

menunjukkan infection rate masih tinggi

yaitu 1,79% di Napu dan 2,53% di Lindu.6

Hospes perantara schistosomiasis

adalah keong O.h.lindoensis yangbersifat

amfibious. Keong perantara ini hidup tersebar luas di daerah endemis tetapi tidak

merata, terbatas pada tempat-tempat

tertentu yang disebut daerah fokus. Hospes

definitif schistosomiasis adalah manusia

dan hewan mamalia. Terdapat 13 mamalia

yang diketahui terinfeksi oleh

schistosomiasis antara lain : sapi (Bos sundaicus), kerbau (Bubalusbubalis), kuda (Equus cabalus), anjing (Canis familiaris), babi (Sus sp), musang (Vivera tangalunga), rusa (Cervus timorensis), berbagai jenis tikus (Rattus exulans, R. marmosurus, R. norvegicus, R. palellae).7

BAHASAN

Pengendalian Keong Perantara

Schistosomiasis di Indonesia

Pengendalian keong perantara

schistosomiasis Oncomelania hupensis lindoensis, merupakan salah satu usaha

pemutusan mata rantai penularan

schistosomiasis. Mengingat pentingnya

peran keong O.h.lindoensis dalam rantai

penularan schistosomiasis, maka

pengendalian keong perantara ini harus

dilakukan. Pengendalian terhadap keong

perantara ini dimaksudkan untuk menekan

serendah-rendahnya populasi keong O. h

lindoensis dan menekan angka infection-rate pada keong perantara menjadi 0%

sehingga tidak menjadi masalah lagi dalam

penularan schistosomiasis di Indonesia.5

Untuk melakukan pengendalian keong schistosomiasis harus mempertimbangkan sifat keong yang amfibious dan jenis daerah tempat hidup keong. Pada umumnya daerah tersebut berupa daerah yang selalu basah sepanjang tahun, becek, dibawah pohon besar atau dibawah semak-semak, padang rumput bekas sawah yang selalu basah. Cara pengendalian keong perantara schistosomiasis di Indonesia dapat dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Pengendalian secara kimiawi menggunakan

zat kimia untuk membunuh keong.

Pengendalian secara mekanis dimaksudkan

untuk merubah habitat yang

menguntungkan bagi kehidupan keong perantara menjadi daerah yang tidak menguntungkannya dan akhirnya keong itupun mati. Pengendalian secara mekanik

dapat dilakukan antara lain dengan

penimbunan habitat keong perantara,

pengeringan/pembakaran habitat keong

perantara. Pengendalian juga dapat

dilakukan dengan mengubah cara

mengolah sawah, misalnya dengan

intensifikasi pertanian, memakai bibit

unggul, pengolahan sawah sepanjang

tahun, perbaikan irigasi, mekanisasi

pertanian.5

Pengendalian keong O.h. lindoensis

di Sulawesi Tengah secara kimiawi saat ini

digunakan zat kimia Niclosamide

(Bayluscide). Zat kimia ini bersifat racun terhadap keong, telur dan anak keong

perantara schistosomiasis maupun

terhadap telur dan serkaria cacing

S.japonicum. Penyemprotan moluskisida dilakukan di habitat keong secara periodik dan rutin. Dosis yang dianggap efektif saat

ini adalah 0,2 gram/m2.5

Pengendalian Keong Perantara

Schistosomiasis di Negara Lain

Pengendalian dengan Pengelolaan Lingkungan

Faktor lingkungan yang

mempengaruhi penyebaran keong yang

diperkirakan dapat dimodifikasi untuk

(5)

a. Komposisi kimia air

Kimia air yang dimaksud adalah konsentrasi kalsium, jumlah total kimia terlarut dalam air dan oksigen terlarut. Kepadatan semua spesies keong sangat rendah dalam air dengan kadar garam tinggi, kepadatan keong tinggi di air dengan kadar garam sedang, dan kembali rendah di air dengan konsentrasi kalsium rendah. Efek konsentrasi NaCl dan aspek salinitas terhadap keong air tawar telah diteliti oleh Madsen tahun 1990. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa salinitas yang tinggi

menyebabkan berkurangnya kepadatan

keong perantara schistosomiasis,

sedangkan tahap bebas dari schistosoma

masih dapat bertahan hidup.8

Kadar oksigen menjadi faktor penting dalam distribusi spesies dalam habitat. Keong membutuhkan kadar oksigen yang cukup banyak untuk bertahan hidup. Keberadaan tanaman di permukaan air dapat mengurangi kemampuan keong

dapat mendapatkan oksigen.8

b. Suhu

Suhu dapat membatasi kelangsungan hidup keong Biompahalaria glabrata. Keong B.glabrata akan mati pada musim dingin dan suhu pada malam hari mencapai di

bawah titik beku.10 Penelitian oleh Coelho

dan Bezerra menunjukkan pengaruh suhu

pada perkembangan infeksi S. mansoni

pada keong B. glabrata. Penelitian tersebut

menunjukkan hubungan secara langsung antara suhu dan tingkat infeksi pada keong, yaitu pada suhu yang lebih rendah

menunjukkan tingkat infeksi S. mansoni

pada keong yang lebih rendah. Suhu yang

diujikan adalah 15, 20, dan 30°C.11

Penelitian serupa oleh Yang et al tahun

200712 di China menunjukkan korelasi

positif antara suhu dengan perkembangan S. japonicum dalam keong Oncomelania hupensis. Perkembangan stadium S. japonicum dalam keong paling cepat terjadi pada suhu 30°C.

c. Tanaman Air

Keragaman spesies keong air tawar paling tinggi pada umumnya berasosiasi dengan tanaman air, baik di permukaan maupun yang melayang dalam air. Terdapat simbiosis antara keong dengan tanaman air yang berlangsung pada waktu yang lama.

Tanaman air menyediakan naungan bagi keong dari radiasi matahari dan aliran air, sebagai sumber makanan, dan tempat

meletakkan telur keong.13

d. Pengendalian secara mekanik

Pengendalian secara mekanik yang dilakukan di Indonesia dapat berupa upaya, diantaranya perbaikan dan pembuatan saluran air, pembersihan saluran air dari rumput untuk memperlancar aliran air, pengeringan daerah fokus keong, dan pemanfaatan lahan fokus keong menjadi

lahan produktif.13

Pengendalian dengan Moluskisida a. Moluskisida kimia

Moluskisida disebut sebagai sebuah upaya pengendalian populasi keong yang

efektif dan berperan penting dalam

pengendalian schistosomiasis. Moluskisida

yang digunakan dalam pengendalian keong

perantara schistosomiasis adalah

niclosamide. Niclosamide merupakan

garam ethanoalmine dengan rumus kimia

2’5-dichloro-4’-nitrosalicylanilide, yang

diproduksi dengan nama komersial

Bayluscide. Penggunaan moluskisida

sintetik memiliki kekurangan yaitu

kecenderungan bersifat toksik terhadap

lingkungan, ikan, biota mikroskopis

(zooplankton dan fitoplankton), dan

mempengaruhi vegetasi di habitat keong

perantara schistosomiasis.14

b. Moluskisida berbahan tanaman

Kekurangan moluskisida sintetik

mendorong penelitian tentang tanaman

yang berpotensi sebagai moluskisida

alternatif selain niklosamide. Penggunaan tanaman bermoluskisida diharapkan lebih sederhana, murah, dan lebih ramah

lingkungan. Berbagai tanaman yang

memiliki kandungan sebagai moluskisida ditemukan dari anggota family Solanaceae,

Phytolaccaceae, Fabaceae, Rubiaceae,

dan Euphorbiaceae.15 Berbagai spesies

tanaman yang memiliki kandungan

(6)

majus, Canna Indica, Jatropha curcas, Dyzygotheca elegantissima, Anagalis arvensis, Solanum dubium, G.officinalis, A.stylosa, Euphorbia splendens.16,17

Penelitian tentang biji jarak merah di Napu, Sulawesi Tengah didapatkan hasil yaitu ekstrak metanolik biji jarak merah

memiliki potensi sebagai moluskisida.18 Uji

Phorbol Esters (PE) dari biji jarak pagar

terhadap keong (Physa fontinalis)

menunjukkan peningkatan tingkat kematian keong uji seiring dengan peningkatan

konsentrasi PE rich fraction, dengan nilai

LC50=0,33 mg/L. Pengujian phorbol esters standard pada konsentrasi 1 mg/L PEs menghasilkan kematian keong sebesar

100%.19 Rug dan Ruppei (2000)

melaporkan bahwa minyak kasar biji jarak pagar dan ekstrak methanol dari minyak

jarak pagar menunjukkan toksisitas

terhadap keong (Biomphalaria glabrata) dengan nilai LC50 sebesar 50 mg/L dan 5 mg/L. nilai LC 100 sebesar 100 mg/L untuk minyak kasar dan 25 mg/L untuk ekstrak

methanol dari minyak. Liu (1997)

melaporkan bahwa ekstrak methanol biji jarak pagar menyebabkan kematian keong O. hupensis sebesar 50% pada konsentrasi

10 mg/L.20,21

Pengendalian Secara Biologi

Penelitian untuk mencari alternatif

pengendalian keong perantara

shistosomiasis menggunakan agen biologi telah banyak dilakukan di berbagai negara,

diantaranya menggunakan itik, keong

kompetitor, bakteri, trematoda parasit, dan lain sebagainya. Agen biologi yang paling

banyak diteliti adalah itik (Cairina

moschata), ikan Tilapia spp., Sargochromis codringtonii, Astronotus ocellatus, krustasea golongan Ostracoda sebagai predator

keong perantara schistosomiasis mansoni,

serta keong Bullinus tropicus, Pomacea

haustrum, Helisoma duryi sebagai kompetitor keong perantara schistosomiasis mansoni di Zimbabwe dan Brazil. Bakteri Bacillus pinotti telah diteliti bersifat patogen

terhadap keong Biomphalaria glabrata.22,23

Pengendalian secara biologi yang lain adalah penggunaan trematoda parasit pada keong Biomphalaria glabrata, yaitu Ribeiroia guadeloupensis.24

Ikan dari jenis Trematocranus

placodon telah digunakan untuk

pengendalian keong perantara

schistosomiasis secara biologi, dan diperkirakan keong merupakan makanan

yang disukai ikan tersebut.25 Penelitian ini

menunjukkan potensi penggunaan ikan

tilapia untuk pengendalian keong

Biomphalaria yang merupakan hospes

perantara S.mansoni.26

KESIMPULAN

Pengendalian keong perantara

schistosomiasis merupakan aspek penting

dan efektif dalam pengendalian

schistosomiasis. Pengendalian keong dapat dilakukan dengan berbagai strategi, mulai

manipulasi faktor lingkungan keong,

pengelolaan daerah fokus keong,

penggunaan moluskisida kimia dan hayati, serta secara biologi.

SARAN

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang efektivitas strategi yang dapat

diaplikasikan di daerah endemis

schistosomiasis di Indonesia, sebagai alternatif upaya pengendalian keong selain yang telah dikerjakan selama ini oleh

Program Pengendalian Schistosomiasis di

Sulawesi Tengah.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Kepala Balai Litbang P2B2

Donggala atas dukungan dalam

penyusunan tulisan. Terimakasih kepada Mitra Bestari dan Dewan Redaksi Buletin Spirakel atas saran dan masukan untuk penyempurnaan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Engels D L, Chitsulo A, Montresor and L Savioli. The global epidemiological

situation of schistosomiasis and new

(7)

2. World Health Organization. Schistosomiasis Fact Sheet. Geneva. 2010. Available at: http://www.who.int.

3. Utzinger J, SH Xiao, J Keiser, Z J. Chen and M Tanner. Current progress in development and use of artemether for chemoprophylaxis of major human

Schistosoma parasites. Curr. Med.

Chem. 2001; 8: 1841-1860.

4. Hadidjaja P. Schistosomiasis di

Sulawesi Tengah, Indonesia. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 1985.

5. Direktorat Pengendalian Penyakit

Bersumber Binatang. Petunjuk Teknis

Pemberantasan Schistosomiasis.

Jakarta. 2015.

6. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi

Tengah. Prevalensi Schistosomiasis di

Sulawesi Tengah. Program

Pemberantasan Schistosomiasis. Palu.

2012.

7. Sudomo M. Penyakit parasitik yang kurang diperhatikan di Indonesia. In: Orasi Pengukuhan Profesor Riset

Bidang Entomologi dan Moluska.

Badan Litbangkes. Jakarta, 2008; 1–61.

8. Madsen, H. The effect of sodium chloride concentration on growth and

egg laying of Helisoma duryi,

Biomphalaria alexandrina and Bulinus truncates. J. Moll. Stud. 1990;56:181-7.

9. Brown, D. Freshwater snails of Africa and their medical importance. 2nd Edn. London: Taylor and Francis Ltd. 1994.

10. Pitchford RJ. Temperature and

schistosome distribution in south Africa. South African J.Sci. 1981; 77: 252-67.

11. Coelho JR and Bezerra FS. The effect of temperature change on the infection

rate of Biomphalaria glabrata with

Schistosoma mansoni. Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 2006; 101: 223-4.

12. Yang GJ, Utzinger J, Sun LP, Hong QB, Vounatsou P, Tanner M and Zhou XN. Effect of temperature on the development of Schistosoma japonicum

within Oncomelania hupensis, and

hibernation of O.hupensis. Parasitol.

Res. 2007; 100: 695-700.

13. Thomas JD. An evaluation of the

interaction between freshwater

pulmonate snail hosts of human schistosomes and macrophytes. Phil. Trans. R. Soc. 1987; 315: 75-125.

14. Ojewole JAO. Indigenous plants and Schistosomiasis control in South Africa: molluscicidal activity of some zulu

medicinal plants. Boletin Latino

americano y del Caribe de Plantas Medicinales y Aromaticas. 2004; 3(2): 8-22.

15. Lemma A, Yau P. Studies on the

molluscicidal properties of Endod

(Phytolacca dodecandra). II:

Comparative toxicity of various

molluscicides to fish and snails. Ethiop.

Med. J. 1974; 12:109-13.

16. Rawi SM, Al-Hazmi, Nassr Mal MSF.

Comparative Study Of The

molluscicidal activity of some plant extracts on the snail vector of Schistosoma mansoni, Biomphalaria alexandrina. International Journal of Zoological Research. 2011;7(2):169-89.

17. Bakry FA. Use of some plant extracts to

control Biomphalaria alexandrina snails

with emphasis on some biological effects. World Applied Science Journal. 2009;3 (1):1335-45.

18. Nurwidayati A, Veridiana NN, Octaviani, Yudith L. Efektivitas ekstrak biji jarak merah (Jatropha gossypiifolia L), jarak pagar (J.curcas), dan jarak kastror

(Riccinus communis) famili

Euphorbiaceae terhadap hospes

perantara Schistosomiasis, keong

Oncomelania hupensis lindoensis. Balaba. 2014; 10(1).

19. Devappa RK, Rajesh SK, Kumar V, Makkar HPS, Becker K. Activities of Jatropha curcas phorbol esters in various bioassays. Ecotoxicol. Environ.

Saf. 2011; 11(02):68-73. Doi:

10.1016/j.ecoenv.2011.11.002.

20. Rug M, Ruppei A. Toxic activities of the

plant Jatropha curcas against

intermediate snail hosts and larvae of

schistosomes. Trop. Med. Intern. Hlth.

(8)

21. Liu SY, Sporer F, Wink M, Jourdane J,

Henning R, Li YL, Ruppei, A.

Anthraquinones in Rheum palmatum

and Rumex dentatus (Polygonaceae),

and phorbol esters in Jatropha curcas

(Euphorbiaceae) with molluscicidal

activity against the schistosome vector

snails Oncomelania, Biomphalaria, and

Bulinus. Trop. Med. Int. Health. 1997; 2: 179-88.

22. Chimbari MJ, Ndela B. A preliminary

assessment of the potential of the muschovy duck (Cairina maschata) as

a biocontrol agent of schistosomiasis

intermediate host snails. Journal of

Parasitology Research. 2012. Available from:

http://dx.doi.org/10.1155/2012/353768.

23. Souza. Molluscicide control of snail

vectors of Schistosomiasis. Mem Inst

Oswaldo Cruz. 1995; 90(2):165-8.

Available from:

http://www.scielo.br/pdf/mioc/v90n2/vol 90%28f2%29_029-032.pdf.

24. Pointier JP and Jourdane J. Biological

control of the snail hosts of

schistosomiasis in areas of low transmission: the example of the Carribean area. Acta Tropica. 2000; 77: 53-60.

25. Evers BN, Masden H, McKaye KM and

Stauffer JR. The schistosome

intermediate host, Bulinus nyassanus,

is a preferred food for the cichlid fish, Trematocranus placodon, at Cape

Maclear, Lake Malawi. Ann. Trop. Med.

Parasitol. 2006; 100:75-85.

26. Kloos H, Pasoos LK, Lo Verde P,

Oliveira RC and Gazzinelli A.

Distribution and Schistosoma mansoni

infection of Biomphalaria glabrata in

different habitats in a rural area in the Jequitinhonha Valley, Minas Gerais,

Environmental and epidemiological

Gambar

Gambar 1. Persebaran daerah endemis schistosomiasis di Indonesia  (Sumber: Balai Litbang P2B2 Donggala)

Referensi

Dokumen terkait

Batuan dapat terpanaskan oleh timbunan (burial) atau terobosan dapat juga menimbulkan perubahan tekanan, sehingga sukar dikatakan metamorfisme hanya disebabkan ole

Oleh sebab itu, bangsa yang hebat dan bangsa yang berjaya mempunyai disiplin yang tinggi dalam apa juga perkara yang mereka lakukan dan memberi tumpuan kepada pengamalan

Jika sifat amanah ini tidak dimiliki oleh rasul, maka tugasnya yang sangat berat sebagai rasul tidak mungkin dapat terlaksana..  Allah

Sebelumnya daerah pantai Jenu merupakan salah satu daerah yang terkena dampak limbasan ombak besar yang mengakibatkan kerusakan tanah sampai mencapai jalan raya Pantura

6) Menimbang bahwa atas dasar kerangka pemikiran demikian, jikalau cabang produksi minyak dan gas bumi, yang adalah juga kekayaan alam yang terkandung di dalam

Tabel : 4.3.7 Banyaknya Perkara Yang Diputus Oleh Pengadilan Negeri Denpasar Dirinci Menurut Golongan Kejahatan Tahun

Alat bantu cetakan batako dirancang untuk mengurangi resiko Musculoskeletal Disorders berupa troli dengan cetakan batako pada troli sehingga pekerja tidak perlu mengangkat

Hal ini, antara lain, terlihat dari besarnya peranan pihak swasta didalam penyediaan fasilitas pendidikan dasar (SD sebesar 373 unit dari 789 unit), pendidikan menengah