• Tidak ada hasil yang ditemukan

Steering Committee Meeting and Socialization Meeting of the Hos- pital Directors, Dean of Faculty of Medicine, and Chairman of the Commission on Ethics

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Steering Committee Meeting and Socialization Meeting of the Hos- pital Directors, Dean of Faculty of Medicine, and Chairman of the Commission on Ethics"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Volume 1(2) , Agustus 2012

Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik

Newsletter PTTK&EK

ISSN: 2301-5764

Pelindung: dr. Siswanto, MHP, DTM; Ketua Redaksi: Dr. Ir. Dewi Permaesih, M.Kes; Ketua Pelaksana: Drs. Damanhuri; Redaksi: Dra. Lucie Widowati, MSi, Apt,; Nuzuliyati Nurhidayati, SKM, MKM; Irlina Raswanti Irawan, SKM, dr. Armedy Ronny Hasugian

Administrasi: Yessy Desviyanti; Maemunah

Selamat datang

Ibu Nafsiah Mboi

GOOD CLINICAL PRACTICE

Sinkronisasi Regulasi

Penelitian Klinis

GOOD LABORATORY PRACTICE

Resensi Buku: Introduction to

Nutrition and Health Research

PUSAT TEKNOLOGI TERAPAN KESEHATAN DAN EPIDEMIOLOGI KLINIK

Jl. DR. Sumeru No. 63 Bogor Phone. 0251 8321763 Fax. 0251 8326348 Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat Phone. 021 4244375 Fax. 021 4244375

Steering Committee Meeting and

Socialization Meeting of the

Hos-pital Directors, Dean of Faculty

of Medicine, and Chairman of the

Commission on Ethics

Evaluasi Dampak Fortifikasi Minyak

Goreng dengan Vitamin A

(2)

KATA PENGANTAR

01 Selamat datang Ibu Nafsiah Mboi Menkes RI 2012-2014

Drs. Damanhuri

02 Good Clinical Practice (GCP) dr. Siswanto, MHP, DTM

06 Sinkronisasi Regulasi Penelitian Klinis

Ully Adhie Mulyani, M.Si, Apt. 08 Steering Committee Meeting and Socialization Meeting of Hospital Directors...

dr. M. Karyana, M.Kes 1o Sekilas tentang Pedoman Metodologi Saintifikasi Jamu…. Dra. Lucie Widowati, MSi, Apt 12 Good Laborat0ry Practice(GLP) Dr. Fitrah Ernawati, MSc 14 Evaluasi Dampak Fortifikasi Minyak Goreng dengan Vit A Dr. Sandjaja, MPH

17 Peningkatan Kemampuan Pegawai dalam BLO Junediyono, SKM, MKM 18 RESENSI BUKU

Introduction to Nutrition and Health Research

Dr. Ir. Basuki Budiman, MScPH 20 Raker PTTK & EK

Junediyono, SKM, MKM

21 Kegiatan Penulisan Artikel Ilmiah Nuzuliyati N, SKM, MKM

22 Sumpah Jabatan PNS dr. Retna M.I; dr. Armaji K.S. 23 Halal Bihalal 1433 H

Drs. Damanhuri 24 Puisi Kemenangan.... drh. Endi Ridwan Pojok Pegawai

Daftar Isi

Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, akhirnya

Newsletter Pusat TTK dan EK Volume 1 (2) dapat kami terbitkan.

Pada terbitan kedua ini disampaikan informasi berbagai kegiatan yang dil-akukan oleh para peneliti, baik berupa penelitian maupun kegiatan penunjang penelitian dan juga resensi buku. Diinformasikan pula kegiatan diluar penelitian yang dilaksanakan oleh struktural.

Kegiatan para peneliti maupun struktural merupakan bahan informasi yang kami sampaikan melalui media ini, karena itu kami mengharapkan laporan, catatan berbagai kegiatan yang sedang atau telah dilaksanakan dengan dilengkapi

foto-foto, maupun artikel tentang topik yang menarik untuk diinformasikan kepada

kita semua .

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada dalam penerbitan ini,

untuk itu kritik dan saran demi perbaikan media kita ini selalu kami harapkan. Selamat membaca.

Segenap Redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Salam,

Redaksi

(3)

Selamat Datang Ibu Nafsiah Mboi

Menteri Kesehatan RI 2012-2014

Tanggal 14 Juni 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Ibu dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH sebagai Menteri Kesehatan RI menggantikan Ibu dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH. yang wafat pada tanggal 2 Mei 2012.

Ibu Nafsiah Mboi adalah dokter spesialis anak yang sekaligus sebagai ahli kesehatan masyarakat. Selain di Indonesia, beliau juga pernah mengenyam pendidikan di Eropa dan Amerika.

Bagi sebagian masyarakat penggiat kesehatan masyarakat dan mereka yang banyak berkecimpung dalam penanggulangan masalah HIV/AIDS, nama Nafsiah Mboi mungkin sudah tidak asing lagi.

Karir sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Kesehatan pada tahun 1964 sampai dengan tahun 1998. Beberapa jabatan yang pernah diemban beliau dalam kurun waktu masa bakti men-jadi PNS adalah:

1. Kepala Rumah Sakit Umum Ende, Flores (1964-1968)

2. Kepala Seksi Perizinan Kantor Wilayah Departemen

Kesehatan Propinsi NTT, Kupang (1979-1980)

3. Kepala Bidang Bimbingan dan Pengendalian

Pelayanan Kesehatan Masyarakat (BPPKM) Kantor

Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi NTT,

Kupang (1980-1985)

Di samping itu, jabatan yang pernah diemban Ibu Nafsiah Mboi adalah :

 Menjadi anggota MPR-RI (1992-1997)

 Bekerja di Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai Ketua Komite Hak Anak PBB (1997-1999)

 Direktur Department of Gender and Women‟s

Health WHO di Geneva, Swiss (1999-2002).

 Sejak 2006, Nafsiah dipercaya menjadi Sekretaris Eksekutif pada Komisi Penanggulangan AIDS

(KPA), dan akhirnya

 Pada Juni 2012 Presiden SBY memberinya amanat sebagai Menteri Kesehatan RI

Ibu Nafsiah Mboi lahir di Sengkang, Sulawesi Selatan, 14 Juli 1940 sebagai putri sulung dari pasangan Andi Walinono dan Rahmatiah Sonda Daeng Badji. Nafsiah Mboi menikah dengan Brigjen Purnawirawan Dr. Ben Mboi, MPH pada tahun 1964 dan dikaruniai 3 orang anak masing-masing adalah Maria Yosefina Tridia Mboi, Gerardus Majela Mboi dan Henri Dunant Mboi. Ben Mboi terpilih menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur pada periode 1978-1988.

Penghargaan yang pernah diraih antara lain: Ramon Mangsaysay Foundation Award for Government Service dari Ramon Mangsaysay Foundation, Filipina

(1986), Satya Lencana Bhakti Sosial dari Presiden RI (1989), Fellow of the Australia-Indonesia Institute (1993), penghargaan dari Asia HRD Congress (2008)

dan penghargaan Soetomo Tjokronogoro dari PB-IDI

(2009).

Pimpinan dan segenap karyawan Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, mengucapkan Selamat datang, Selamat bertugas dan Selamat menahkodai Kapal Besar Kemenkes mencapai pantai yang sehat dan sejahtera.

(4)

GOOD CLINICAL PRACTICE (GCP)

dr. Siswanto, MHP, DTM

Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa sesuai dengan PerMenkes No. 1144 tahun 2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan RI tugas Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK dan

EK) adalah melaksanakan penelitian dan

pengembangan kesehatan, serta menapis teknologi di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik.

Dalam penelitian bidang teknologi terapan kesehatan tersebut secara implisit termasuk penelitian klinis (clinical research). Di dalam penelitian klinis di

dalamnya ada penelitian uji klinis (clinical trial). Untuk

menjaga kualitas ilmiah dan etik suatu uji klinis, secara internasional telah diberlakukan harmonisasi

(standarisasi) sebagaimana tertuang dalam

International Conference on Harmonization of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use, Guideline for Good Clinical Practice

(ICH-GCP). GCP diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB). Pada tahun

2001, Badan POM telah menerbitkan buku “Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) di Indonesia”.

Pedoman ini harus dipakai sebagai acuan terkait tata cara uji klinik sesuai dengan prinsip GCP. Pada dasarnya buku tersebut adalah terjemahan dari ICH-GCP.

Dalam tulisan ini akan kita kupas secara ringkas

apa dan bagaimana GCP. GCP adalah suatu “standar”

kualitas etik dan ilmiah internasional untuk mendisain, melaksanakan, mencatat dan

melaporkan uji klinik yang melibatkan subyek

manusia. Dengan mematuhi GCP diharapkan suatu penelitian uji klinik akan memenuhi standar etik dan ilmiah, sehingga uji klinik tersebut dapat terpercaya. Dengan kata lain, GCP adalah “standarisasi metodologi penelitian uji klinis”. Oleh karena itu, untuk memahami GCP seorang peneliti harus paham

dahulu prinsip-prinsip metodogi penelitian secara

umum, khususnya penelitian intervensi

(eksperimental). Sangat muskil kalau seseorang

mengikuti pelatihan GCP kemudian berharap dapat menguasai metodologi penelitian uji klinis, tanpa belajar terlebih dahulu metodologi penelitian secara komprehensif.

Karena bersifat standarisasi, maka ICH-GCP, sebagaimana diterjemahkan dalam buku CUKB Badan POM, berisikan standarisasi fungsi para pelaku yang terlibat uji klinis dan standarisasi dokumen esensial dalam uji klinis. Sesuai yang terdapat dalam daftar isi, ICH-GCP membahas (1) Daftar istilah, (2) Prinsip ICH-GCP, (3) Komite Etik,

(4) Peneliti, (5) Sponsor, (6) Protokol dan Amandemen

Protokol Uji Klinik, (7) Brosur Peneliti, dan (8) Dokumen Esensial untuk Pelaksanaan Uji Klinik. Melihat daftar isi tersebut, apa yang tertuang dalam ICH-GCP adalah “standarisasi fungsi dari pihak-pihak yang terlibat uji klinis” dan “standarisasi dokumen esensial terkait uji klinis”.

Dalam ICH-GCP memuat tiga belas (13) prinsip GCP (CUKB), yakni:

1 Clinical Trial Conduct. Uji klinik harus

dilaksanakan sesuai dengan prinsip etik yang berasal dari Deklarasi Helsinki, dan sejalan dengan GCP dan ketentuan yang berlaku.

2 Risk Assessment. Sebelum uji klinik

diprakarsai, semua risiko dan ketidaknyamanan yang dapat diduga sebelumnya harus ditimbang terhadap manfaat yang diharapkan bagi subyek uji klinik dan masyarakat.

3 Subject’s Rights and Safety. Hak,

(5)

4 Background information. Informasi nonklinik

dan klinik mengenai suatu produk yang diteliti harus memadai untuk menunjang uji klinik yang diusulkan.

5 Clinical Trial Protocol. Uji klinik harus

berlandaskan ilmiah yang kuat, dan diuraikan dalam protokol dengan rinci dan jelas.

6 Ethics Review and Approval. Suatu uji klinik

harus dilaksanakan sesuai dengan protokol yang sebelumnya telah mendapat persetujuan dari Komite Etik Independen (KE).

7 Medical Care of Trial Subject. Pelayanan medik

yang diberikan kepada, dan keputusan medik yang dibuat atas nama, subyek harus selalu menjadi tanggung jawab seorang dokter yang berkualifikasi atau, jika sesuai, seorang dokter gigi yang memenuhi syarat.

8 Qualification of Clinical Trial Personnel.

Setiap individu yang terlibat dalam pelaksanaan suatu uji klinik harus memenuhi syarat pendidikan, pelatihan, dan pengalaman untuk melaksanakan tugasnya masing-masing.

9 Informed Consent Process. PSP (Informed consent) yang diberikan bebas dari tekanan harus

diperoleh dari setiap subyek sebelum ia ikut serta dalam uji klinik.

10 Data Management. Semua informasi uji klinik

harus direkam, ditangani, dan disimpan dengan

cara yang memungkinkan untuk dilaporkan, diinterpretasi, dan diverifikasi secara akurat.

11 Patient Confidentiality. Kerahasiaan rekaman

yang dapat mengidentifikasi subyek harus dilindungi, demi menghargai hak pribadi dan peraturan kerahasiaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

12 Investigational Product Manufacturing, Handling and Storage. Produk yang diteliti

harus dibuat, ditangani, dan disimpan sesuai dengan Good Manufacturing Practice (Cara

Pembuatan Obat yang Baik) yang berlaku, dan harus digunakan sesuai dengan protokol yang disetujui.

13 Quality Assurance. Sistem dengan prosedur

yang menjamin mutu dari setiap aspek uji klinik harus diberlakukan.

Selanjutnya untuk mendapatkan gambaran secara ringkas terkait isi GCP (CUKB) baik menyangkut tugas dan tanggung jawab pelaku yang terkait uji klinik (Komite Etik, peneliti, dan sponsor), serta outline dari protokol uji klinik dan brosur peneliti, Tabel 1 dapat memberikan deskripsi secara ringkas. Untuk mendapatkan uraian yang lebih rinci, pembaca harus mendalami dokumen asli ICH-GCP atau Buku CUKB terbitan Badan POM.

Tabel 1

Ringkasan uraian GCP (CUKB) baik menyangkut tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan uji klinik maupun uraian dokumen uji klinik (protokol uji klinik dan brosur peneliti).

Sub-judul Uraian dan bahasan

Komite Etik Tanggung jawab Komite Etik

Komposisi, fungsi dan cara kerja Komite Etik Prosedur kerja Komite Etik

Peneliti Kualifikasi peneliti uji klinik

Kepastian sumber daya yang memadai untuk uji klinik Pelayanan medik terhadap subyek uji klinik

Komunikasi dengan Komite Etik Kepatuhan terhadap protokol Penanganan produk yang diteliti

Prosedur randomisasi dan pembukaan ketersamaran PSP (informed consent) dari subyek uji klinik

Perekaman dan pelaporan Laporan perkembangan uji klinik Pelaporan keamanan

(6)

Sub-judul Uraian dan bahasan

Sponsor Jaminan mutu dan pengawasan mutu

Organisasi riset kontrak (Contract Research Organization)

Keahlian medik Disain uji klinik

Manajemen uji klinik, penanganan data dan penyimpanan rekaman Pemilihan peneliti

Pembagian tugas dan fungsi

Kompensasi kepada subyek dan peneliti Keuangan

Pemberitahuan / penyerahan kepada Otoritas Regulatori Konfirmasi review oleh Komite Etik

Informasi tentang produk yang diteliti Pasokan dan penanganan produk yang diteliti Akses terhadap dokumen

Informasi keamanan

Pelaporan efek samping obat Pemantuan (monitoring)

Auditing Ketidakpatuhan Protokol dan Amandemen

Protokol

Uraian sistematika protokol uji klinik Informasi umum

Informasi latar belakang Tujuan dan maksud uji klinik Disain uji klinik

Pemilihan dan penghentian subyek (kriteria inklusi, eksklusi dan penghentian subyek) Pengobatan subyek (intervensi yang diberikan kepada subyek)

Penilain efikasi Penilaian keamanan

Statistik (uraian mengenai uji statistik yang dipakai) Akses langsung pada data / dokumen sumber

Pengawasan mutu dan jaminan mutu Etik penelitian

Penanganan data dan penyimpanan dokumen Keuangan dan asuransi

Kebijakan publikasi Suplemen

Brosur peneliti Uraian sistematika brosur peneliti: Halaman judul

Pernyataan kerahasiaan Daftar isi

Ringkasan Pendahuluan

Sifat fisik, kimia dan farmasetik, serta formulasi bahan uji Studi nonklinik

Efek pada manusia

Ringkasan data dan pedoman untuk peneliti Dokumen esensial untuk

pelaksanaan uji klinik

Dokumen sebelum uji klinik dimulai Dokumen selama pelaksanaan uji klinik

(7)

Dengan membaca ringkasan isi GCP (CUKB) timbul pertanyaan dalam benak kita, apa yang membedakan penelitian uji klinik dibandingkan dengan penelitian kesehatan pada umumnya, atau penelitian kesehatan masyarakat? Atau, apa bedanya GCP (CUKB)

dibandingkan dengan Buku Biru “Pedoman Penyusunan Proposal, Protokol dan Laporan Akhir Penelitian” dari

Badan Litbangkes?

Dengan melihat Tabel 1, perbedaan (atau setidaknya penekanan) pada penelitian uji klinik adalah sebagai berikut:

1. Karena konteksnya adalah harmonisasi (standarisasi), maka GCP pada dasarnya adalah memberikan uraian tata cara agar penelitian sesuai (comply with) dengan

prinsip-prinsip GCP, protokol yang telah disetujui, dan peraturan lainnya, untuk menjamin kualitas ilmiah dan etik suatu uji klinik.

2. Pada GCP diuraikan mengenai pembagian peran, tugas, dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam uji klinik, yakni peneliti (dengan timnya), sponsor (CRO), Komite Etik, Monitor uji klinik, dan lembaga otoritas regulatori (Badan POM). Masing-masing pihak diharapkan menjalankan tugas dan fungsinya secara berimbang untuk menjamin kualitas ilmiah dan etik suatu uji klinik.

3. Pada GCP keamanan dan kesejahteraan subyek menjadi perhatian utama, sehingga terdapat mekanisme pelaporan dan penanganan adverse event dan severe adverse event baik kepada sponsor, Komite

Etik, dan Lembaga Otoritas Regulatori (Badan POM).

4. Karena uji klinik bertujuan menilai efikasi dan keamanan suatu obat (bahan uji), dokumen protokol uji klinik harus menjelaskan dengan rinci terkait (1) disain uji klinik, (2) kriteria inklusi, eksklusi dan penghentian subyek, (3) pengobatan subyek

(intervensi), (4) penilaian efikasi, dan (5) penilaian

keamanan. Dalam uji klinik, kelima bahasan tadi dibuat sub-judul tersendiri. Dalam Buku Biru Pedoman Protokol Badan Litbangkes, kelima bahasan tadi merupakan bagian dari sub-judul “metode penelitian”.

5. Di samping dokumen protokol penelitian, uji klinik

juga mewajibkan adanya “brosur peneliti”. Brosur peneliti adalah suatu kumpulan data klinik dan nonklinik mengenai produk yang diteliti yang relevan dengan studi produk tersebut. Tujuannya adalah menyediakan informasi bagi peneliti dan pihak lain yang terlibat terkait dengan produk yang diteliti, sehingga semua pihak paham tentang sifat fisikokimia, profil farmakokinetik, efek farmakodinamik, dosis, efek samping, dan informasi lainnya, terkait produk yang diteliti.

Dengan membaca tulisan ringkas ini, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya GCP adalah “standarisasi metode penelitian uji klinik”. Karena sifatnya standarisasi, maka guna pendalaman lebih detail terkait metodologi penelitian uji klinik, seorang peneliti harus mempelajari metodologi penelitian uji klinis dari referensi (buku-buku) penelitian uji klinis

(clinical trial) lainnya.

Daftar Bacaan:

1. Mihajlovic-Madzarevic, V. Clinical Trials Audit Preparation, A Guide for Good Clinical Practice

(GCP) Inspection. Wiley. 2010

2. WHO. Handbook for Good Clinical Practice (GCP), Guidance for Implementation. Wolrd Health Organization. 2002.

3. ---. International Conference on Harmonisation of Technical Requirements for Registration of Pharmaceuticals for Human Use, Guideline for Good Clinical Practice. 1996.

4. ---. Panduan Penyusunan Proposal, Protokol, dan Laporan Akhir Penelitian. Badan Litbangkes. 2012

5.

---. Pedoman Cara Uji Klinik yang Baik

(CUKB). Badan Pengawas Obat dan Makanan.

2001.

(8)

Penelitian klinis adalah penelitian yang secara langsung maupun tidak langsung melibatkan manusia maupun sekelompok manusia sebagai subyek. Termasuk kedalam penelitian klinis adalah:

1 Patient-oriented research yakni penelitian yang melibatkan manusia sebagai manusia secara langsung (menggunakan bahan/materi yang berasal dari manusia, mempelajari tingkah laku manusia maupun mempelajari/meneliti sampel dari jaringan manusia) dimana peneliti berinteraksi langsung dengan subyek manusia, maupun menggunakan materi yang dapat dikaitkan dengan manusia yang hidup (bukan studi invitro). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mekanisme penyakit, intervensi terapi, uji klinik, maupun pengembangan teknologi terapan kesehatan.

2 Studi epidemiologi dan tingkah laku manusia

3 Outcomes research and health services research.

Peran subyek (manusia) dalam penelitian klinik sangat penting dan harus dilindungi. Demi kepentingan perlindungan subyek penelitian, data personal subyek dan kerahasiaan data subyek penelitian harus diutamakan.

Pemerintah pun perlu melindungi warga negara nya dari penelitian klinis yang melanggar etika ilmiah, hukum dan norma sosial. Dalam hal ini pemerintah berperan penting sebagai regulatory body. Di tingkat

pemerintah, sedikitnya ada 2 institusi yang berperan terkait pelaksanaan penelitian klinis di Indonesia, yakni Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1179A Tahun 1999 tentang Kebijakan Nasional Penelitian dan Pengembangan Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 791 Tahun 1999 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, memberikan tugas kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia sebagai Koordinator Penelitian d a n Pen ge mb a ng a n Ke seh a tan N a si on a l. Implikasinya, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan memiliki peran yang sangat penting

sebagai “pemandu” dan “dirigen” pada ranah

penelitian kesehatan di Indonesia, termasuk penelitian klinis.

Deskripsi peran Badan litbangkes lebih detail dijelaskan pada Permenkes 1144 tahun 2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan. Permenkes tersebut menjelaskan bahwa Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik yang berada dibawah Badan Litbangkes

mempunyai tugas pelaksanaan pembinaan,

koordinasi, dan fasilitasi teknis pelaksanaan

penelitian dan pengembangan kesehatan bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik.

Pada pasal 717 dijelaskan bahwa Bidang Teknologi Terapan Kesehatan mempunyai tugas melaksanakan penelitian, pengembangan, dan penapisan teknologi kesehatan serta penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang teknologi terapan kesehatan meliputi farmasi, gizi, makanan, kedokteran klinik, pengkajian dan penapisan teknologi kesehatan (health technology assessment), uji obat dan vaksin, dan uji obat bahan

alam, serta bidang teknologi terapan kesehatan lainnya.

Visi Pusat TTK dan EK Menjadi institusi unggulan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi terapan kesehatan dan epidemiologi klinik.

Misi Pusat TTK dan EK :

1 Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian teknologi terapan kesehatan dalam bidang kedokteran dan farmasi

SINKRONISASI REGULASI

PENELITIAN KLINIS

(9)

2 Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian teknlogi terapan kesehatan dalam bidang gizi dan makanan

3 Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui penelitian dan epidemiologi klinis yang memenuhi standar dan etika

4 Menghasilkan temuan ilmiah baru (novel) yang diakui secara internasional

5 Menjadi acuan pengetahuan/informasi di bidang penelitian klinis, termasuk saintifikasi jamu

6 Menjadikan Badan Litbangkes menjadi kordinator penelitian klinis di Indonesia

7 Menjadikan Indonesia sebagai salah satu simpul penelitian klinis di Asia Tenggara.

Sebagai regulatory body, Pusat TTK dan EK mengembangkan konsep registrasi penelitian klinis untuk memetakan segala kegiatan penelitian klinis tidak hanya terbatas pada uji klinis. Fungsi dari registrasi penelitian klinis diantaranya adalah (1) mendata dan memetakan penelitian klinis, (2) menyediakan informasi terkait rekruitmen subyek penelitian.

Terkait pelaksanaan uji klinis, Badan Pengawasan Obat dan Makanan berwenang untuk mengatur dan meregulasi uji klinis. Fungsi dari BPOM adalah menjamin keamanan, khasiat dan mutu obat dan makanan yang beredar, melalui konsep pengawasan pre dan post market. Pada pengawasan pre market, BPOM melakukan evaluasi terhadap dokumen keamanan, khasiat dan mutu dari produk yang akan didaftarkan sebelum beredar yang memenuhi aspek kualitas dan integritas. Sebelum dipasarkan, dilakukan pengujian terhadap produk-produk obat dan makanan. Uji klinis produk obat yang belum dipasarkan di Indonesia didaftarkan ke BPOM dengan tujuan untuk mendapatkan ijin edar di Indonesia. Kegiatan uji klinis

ini diawasi dan diotorisasi oleh BPOM. Peran BPOM dalam pengawasan pelaksanaan uji klinik adalah untuk memastikan :

1 Kesesuaian uji klinik terhadap prinsip CUKB

2 Obat uji yang digunakan memenuhi persyaratan mutu, dan

3 Pengelolaan obat uji di sentra uji klinik sesuai dengan ketentuan yang berlaku

Mekanisme otorisasi dan inspeksi uji klinik yg diterapkan oleh BPOM dikembangkan berdasarkan standar WHO dan standar internasional, dan di tuangkan kedalam pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB).

Dengan penerapan cara uji klinik yang baik, maka dapat dipastikan penelitian klinis yang dilaksanakan dapat mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai subyek, melindungi hak asasi manusia, aman, dan berlangsung wajar dengan menjunjung prinsip bioetika yang kokoh, serta terjaminnya hasil penelitian dengan nilai keilmiahan yang tinggi dan diperoleh data yang valid.

Sinkronisasi dan harmonisasi peran intitusi pemerintah perlu untuk dilakukan, untuk melindungi manusia Indonesia, kekayaan hayati Indonesia dan kekayaan intelektual peneliti Indonesia. Badan Litbangkes dengan rancangan Permenkes registrasi penelitian klinis, kebijakan terkait material transfer agreement (MTA), etika penelitian, dan BPOM dengan

GCP nya; berupaya untuk membangun suasana penelitian klinis yang kondusif di Indonesia. Maka regulatory body di tingkat pemerintah pusat perlu

bersinergi dan berharmonisasi dalam membuat, menerapkan dan mengevaluasi aturan terkait pelaksanaan penelitian klinis di Indonesia.

(10)

On May 23, 2012, another Indonesia Research Partnership on Infectious Disease (INA-RESPOND) Steering Committee (SC) meeting was held at the Lumire Hotel, Jakarta. The meeting was opened by the Chairman of the Governing Board, dr. Siswanto, MHP, DTM accompanied by the Chairman of the Steering Board, dr. Muhammad Karyana, MPH, was attended by almost all members of the SC.

These regular meetings are held once every 1-2 months. The meeting aimed to finalize important docu-ments of the INA-RESPOND. Some of the docudocu-ments discussed at this meeting were the INA-RESPOND Stra-tegic Plan Objectives, Specimen Ownership, Access, and Usage Standard Operating Procedure (SOP), and Publi-cations SOP. The INA-RESPOND Strategic Plan Objec-tives were developed from each INA-RESPOND goal, and to ensure that the objective is reached, each member of the SC was assigned to and are responsible for 1-2 objectives.

In addition, the meeting also discussed the IRB approval document to appoint NIHRD IRB as the IRB of Record. The approval document is necessary because INA-RESPOND is the first infectious disease research network in Indonesia which involves many institutions, so an agreement is needed to decide whether to have the NIHRD IRB as the IRB that is assigned to conduct review on the study protocol and oversee the implementation or the IRB from each institution who will carry it out. Some of the advantages of having NIHRD IRB as the IRB of Record include time, efficiency and minimal possibility of variation in the protocol.

At end of the first day, the mechanism for distributing funds and goods from the National Institutes of Health (NIH), US to the institutions involved in the network was discussed by inviting Mr. Suharianto from The Directorate of Debt Manage-ment, Ministry of Finance as the speaker.

Steering Committee

Steering Committee

M

M

eeting

eeting

(May 23, 2012)

(May 23, 2012)

and

and

Socialization Meeting of the Hospital Directors, Deans of

Socialization Meeting of the Hospital Directors, Deans of

Faculty of Medicine, and Chairman of the Commission on

Faculty of Medicine, and Chairman of the Commission on

Ethics (May 24, 2012)

Ethics (May 24, 2012)

dr. Muhammad. Karyana, M.Kes & Sekretariat INA Respond

dr. Muhammad. Karyana, M.Kes & Sekretariat INA Respond

(11)

The meeting on May 23, 2012 successfully finished the documents, and the attendants got a lot of information and inputs that could be applied to the management of the funding.

On the second day, the meeting was attended by the university and hospital representatives of

INA-RESPOND: Faculty Medicine of Hasanuddin

University/Dr. Wahidin Soedirohusodo Hospital, Faculty Medicine of Udayana University/ Sanglah Hospital, Faculty Medicine of Airlangga University/ Dr. Soetomo Hospital, Faculty Medicine of Diponegoro University/ Dr. Kariadi Hospital, Faculty Medicine of Gadjah Mada University/ Dr. Sardjito Hospital, Faculty Medicine of Padjadjaran University/Dr. Hasan Sadikin Hospital, Faculty Medicine of Indonesia University/Cipto Mangunkusumo Hospital, and Prof Dr. Sulianti Saroso Infectious Disease Hospital.

The event was opened by Mrs. Ria Sukarno, SKM, MCN who read a speech from the Head of NIHRD, Dr. Trihono, MSc. It was noted that this meeting coincided with the two-year cooperative effort between the two countries which was first pioneered by Dr. Endang R. Sedyaningsih, Dr. PH (deceased), who had expressed her hope that the University and Hospital members of INA-RESPOND could give their support to the Network.

Next, dr. Siswanto, MHP, DTM described the NIHRD research agenda. Starting from the new organizational structure (which was established in January 2011), its role as the coordinator of health research, and the research scope of NIHRD, as well as research collaborations, both national and international. dr. Muhammad Karyana, MPH at the next opportunity explained in detail about the INA_REPOND Network: the vision, mission, objectives and targets.

The morning presentation session ended with a presentation of the first Network protocol, The Etiolo-gies of Acute Febrile Requiring Hospitalization Study, presented by the Principal Investigator, dr. M. Hus-sein Gasem, SpPD-KPTI, PhD.

Prof Dr. Soedomo and dr. Herman Kosasih at the afternoon presentation session talked about the IRB and the IRB approval letter to appoint NIHRD IRB as INA-RESPOND IRB. The meeting participants agreed to support INA-RESPOND network and its first research. Moreover, they also agreed to appoint NIHRD IRB as the IRB of Record.

dr. Siswanto, MHP, DTM closed the meeting by giving action items to the institutions as well as the INA-RESPOND Secretariat, which will soon have its office on the 5th Floor of LABDU.

(12)

Dalam era lima tahun terakhir, pelayanan jamu oleh dokter praktik mandiri sudah berlangsung. Hasil pemetaan dokter praktik jamu se Jawa Bali (2010), menunjukkan adanya 108 dokter praktik jamu baik dengan pelayanan alaternatif maupun sebagai komplementer, dan umumnya sudah berjalan beberapa tahun sebelumnya. Masyarakat memilih pengobatan tradisional atas kesadarannya sendiri dan dokter menerima permintaan pasien, sementara payung hukum dari pelayanan jamu di pelayanan kesehatan belum diterbitkan. Peraturan yang telah diterbitkan adalah Permenkes No.1109/Menkes/PER/IX/2007

sebagai payung hukum untuk pelayanan

Complementary and Alternative Medicine (CAM).

Pelayanan CAM merupakan pelayanan non

konvensional untuk upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Pelayanan jamu sebagai alternatif pengobatan perlu payung hukum, sebagai upaya menjaga keamanan dokter yang memberikan pelayanan jamu.

Beberapa negara telah mengintegrasikan obat tradisional dalam fasyankes. Harmonisasi ASEAN, menuntut negara-negara ASEAN telah mulai melaksanakan integrasi pelayanan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan formal. Hal tersebut menjadi topik utama pada setiap pertemuan tingkat ASEAN tentang pengobatan tradisional. WHO Regional Meeting on the Use of Herbal Medicine in PHC, di Rangoon, Maret 2009 menghasilkan: kesepakatan penggunaan Herbal Medicine di Yankesdas ; 2nd Conference on Traditional Medicine in ASEAN Countries di Hanoi Vietnam, 2010 menghasilkan : kesamaan pandangan negara ASEAN perlunya “Integration of Traditional Medicine into the National Health Care Systems ”; 3rd Conference on Traditional Medicine in ASEAN Countries di Solo 31 Okt-2Nov 2011, menghasilkan “Tawangmangu Declaration”, sepakat penggunaan Obat Tradisional yang berdasarkan Evidence Base di Fasyankes.

Evidence base merupakan bukti ilmiah klinis,

dan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi agar obat atau obat tradisional dapat digunakan dalam fasyankes, selain persyaratan lain yaitu dimilikinya Body of Knowledge dan standar

pelayanan.

Untuk mendapatkan evidence base obat, ada

beberapa tahap yang perlu dilakukan yaitu, uji preklinik, uji klinik fase 1, fase 2 dan fase 3 dengan cara Good Clinical Practice (GCP), serta uji klnik fase

4 untuk mendapatkan data cost benefit analysis.

Obat tradisional yang telah ditetapkan dapat digunakan dalam fasyankes adalah fitofarmaka, karena sudah lulus uji klinik. Terdapat 6 produk fitofarmaka di Indonesia yaitu Nodiar, Reumaneer; Stimuno, X-gra; Tensigard Agromed, Noni Tahitian Juice. Padahal Indonesia mempunyai 30.000 jenis tanaman obat, termasuk 9000 tanaman obat yang d i a n g g a p m e m p u n y a i kh a s i a t. Me n g a p a perkembanga nnya b egitu l amb at? Un tuk mendapatkan suatu produk fitofarmaka, bagi industri obat tradisional bukanlah hal yang mudah, karena membutuhkan pendanaan yang cukup besar, juga memerlukan waktu yang sangat panjang, 5 sampai 10 tahun. Kondisi lain, adalah apa yang diharapkan oleh industri, bahwa dokter meresepkan produk fitofarmaka kepada pasien, masih jauh dari harapan. Kedokteran konvensional belum sepenuhnya menerima produk fitofarmaka.

Maka upaya terobosanpun dilakukan, dengan diterbitkan Permenkes No. 003/PER/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu, yang bertujuan akan mengangkat jamu dalam pelayanan kesehatan formal. Dengan adanya Saintifikasi Jamu, maka evidence base kemanfaatan jamu diharapkan diperoleh dengan segera, melalui penelitian berbasis pelayanan, yang dilakukan oleh dokter yang sudah mendapatkan kompetensi sebagai pelaku penelitian pelayanan, melalui pendidikan dan latihan 50 jam.

S

EKILAS

TENTANG

P

EDOMAN

M

ETODOLOGI

S

AINTIFIKASI

J

AMU

UNTUK

E

VALUASI

K

EAMANAN

DAN

K

EMANFAATAN

J

AMU

(13)

Jamu yang digunakan merupakan jamu yang sudah digunakan secara empiris di masyarakat, karena dinilai secara umum telah mendapatkan bukti keamanan, setelah digunakan lebih dari 3 generasi. Jenis ini yang dipilih masuk dalam Vademicum Tanaman Obat Saintifikasi Jamu, dan akan menjadi panduan bagi pengembangan formula produk Saintifikasi Jamu (SJ).

Bagaimanakah mengenai metodologi penelitian untuk jamu yang akan dilakukan dalam upaya mendapatkan evidence base? Apakah harus sama

dengan obat konvensional? Tuntutan ini diajukan oleh kalangan kedokteran konvensional, bahwa tetap harus mengikuti kaidah etik penelitian klinik obat, mengingat yang digunakan untuk mendapatkan evidence base adalah manusia, sementara kalangan seminat obat tradisional tetap berharap adanya perbedaan perlakuan dalam uji klinik jamu. Hal yang masih selalu menjadi diskusi di lingkungan Badan Litbangkes yaitu pada lingkup peneliti seminat obat tradisional, Komnas SJ, Komisi Ilmiah serta Komisi Etik Kesehatan.

Berdasarkan kondisi tersebut, dan dalam rangka mencari kesesuaian metodologi uji kemanfaatan jamu, khususnya untuk mendapatkan bukti klinis formula Saintifikasi Jamu, Kelompok Kerja Metodologi yang berada dalam Komisi Nasional (Komnas) Saintifikasi

Jamu, telah menyusun Pedoman Metodologi

Saintifikasi Jamu untuk Evaluasi Keamanan dan Kemanfaatan Jamu. Tujuan umum penyusunan

pe-doman tersebut adalah untuk memberikan panduan pelaksanaan mendapatkan evidence base jamu untuk

evaluasi keamanan dan kemanfaatan jamu, bagi kepentingan kesehatan masyarakat. Pada pedoman ini dijelaskan mengenai perbedaan yang mendasar dalam mempertimbangkan mengenai perlu atau tidaknya kaidah uji klinik obat pada studi klinik jamu. Pertama, kandungan senyawa dalam jamu sangat kompleks sehingga menyebabkan kesulitan menjelaskan meka-nisme kerja dan profil farmakokinetik. Kedua, secara empirik keamanan penggunaan jamu pada manusia sudah teruji secara turun-temurun, tetapi secara ilmiah belum diakui.

Di lain pihak bukti ilmiah dituntut oleh tenaga kesehatan profesional. Ketiga, produk akhir program Saintifikasi Jamu adalah jamu saintifik yang bersifat jamu generik, yang dapat dipakai oleh masyarakat luas.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka uji klinik kemanfaatan dan keamanan jamu pada Program Saintifikasi Jamu disebut sebagai Studi Klinik Jamu. Studi klinik jamu adalah pembuktian ilmiah tentang keamanan dan kemanfaatan jamu berdasarkan bukti empirik yang sudah ada di masyarakat. Sementara, uji klinik jamu untuk mengarah pada produk pabrikan (produk fitofarmaka) tetap disebut uji klinik, dan harus sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Pada studi klinik jamu, penelitian mengikutsertakan subyek manusia dengan mengukur efek dari intervensi/terapi terhadap parameter klinik dan peningkatan kualitas hidup melalui baik diukur secara obyektif maupun subyektif.

Parameter obyektif Survival (kematian)

Variabel obyektif (hasil pemeriksaan yang terukur)

Parameter subyektif

Kualitas hidup secara umum (Quality of Life) Kualitas hidup terkait dengan penyakitnya (misalnya skor rematik, skor dispepsia, dan skor lainnya sesuai dengan penyakit yang diteliti)

Data naratif dari hasil wawancara mendalam Produk jamu saintifik yang dihasilkan akan berupa jamu generik yang dapat dimanfaatkan dalam sistem kesehatan masyarakat, dan dapat dikembangkan lebih jauh menjadi formula untuk produk fitofarmaka. Tentunya industri tetap harus memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan yang berlaku, untuk mendaftarkan produknya kepada Badan POM.

(14)

Salah satu tugas dan fungsi Pusat Teknologi Terapan Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (Pusat TTK dan EK) adalah melaksanakan penelitian kesehatan. Sebagaimana kita ketahui bahwa didalam penelitian kesehatan mencakup penelitian klinis dan clinical trial sebagai bagian dari penelitian klinis. Kegiatan tersebut sangat terkait dengan kegiatan laboratorium sebagai sarana pendukung dalam melakukan penelitian klinis atau clinical trial. Data yang dihasilkan oleh suatu laboratorium harus dapat dipercaya dan mempunyai keakuratan yang tinggi, oleh karena itu suatu laboratorium sepatutnya memenuhi persyaratan yang di tentukan oleh Good Laboratory Practice (GLP) .

Prinsip GLP adalah membantu menerangkan atau memberi petunjuk dan syarat-syarat bagaimana manajemen yang baik mulai dari perencanaan, proses, pencatatan hasil, monitoring dan pengorganisasian dalam suatu laboratorium/organisasi. Dalam tulisan ini, lebih banyak mengemukanan mengenai management yang baik dari suatu laboratorium klinik.

Bagian yang harus diperhatikan dalam praktik laboratorium yang baik adalah bahwa semua bagian memberikan kontribusi pada hasil pengujian, diantaranya:

1. Organisasi

Untuk mendapatkan suatu laboratorium pengujian yang efisien dan efektif sesuai dengan GLP diperlukan suatu organisasi dan manajemen dengan uraian yang jelas mengenai susunan, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta wewenang bagi para pelaksananya. Struktur organisasi harus menunjukkan garis kewenangan, ruang lingkup, tanggung jawab, uraian kerja, serta hubungan timbal balik semua personil yang mengelola, melaksanakan atau memverifikasi pekerjaan yang dapat mempengaruhi mutu hasil pengujian. Manajer atau pimpinan laboratorium mengambil seluruh tanggung jawab dalam labora-torium yang berfungsi sebagai pengambil keputusan tentang kebijakan atau pun sumber daya yang ada dilaboratorium. Labor-atorium juga harus menunjuk manajer mutu yang diberi tanggung jawab dan wewenang untuk meyakinkan bahwa sistem manajemen mutu diterapkan dan diikuti sepanjang waktu. Di samping itu, laboratorium harus mempunyai manajer

teknis yang mempunyai tanggung jawab atas seluruh operasional teknis serta menetapkan sumber daya yang dibu-tuhkan untuk meyakinkan bahwa operasional laboratorium telah memenuhi persyaratan mutu.

2. Tenaga Kerja (Personil)

Penempatan personil dalam organisasi laboratorium harus disesuaikan dengan kualifikasi dan pengalaman yang tepat. Laboratorium harus memiliki ketentuan untuk menjamin agar seluruh personilnya bebas dari pengaruh komersial baik secara internal maupun eksternal, pengaruh keuangan serta tekanan lainnya yang dapat mempengaruhi mutu kerjanya. Laboratorium harus didukung oleh personil yang mempunyai tanggung jawab terhadap penerapan sistem manajemen mutu dan personil teknis dalam kegiatan operasional laboratorium. Personil tersebut harus mempunyai wewenang dan uraian kerja yang jelas serta harus ditunjang dengan sumber daya yang diperlukan untuk melakukan tugasnya

3. Keselamatan (Safety)

Personil laboratorium harus berlatih cara kerja yang aman sesuai dengan peraturan keselamatan laboratorium dan sesuai pula dengan peraturan nasional atau internasional da-lam bidang keseda-lamatan dan kesehatan. Semua personil harus memenuhi semua peraturan keselamatan untuk meminimal-kan risiko bagi diri pekerja sendiri serta kawan kerja. Kesehatan para personil harus selalu dimonitor sesuai pera-turan atau keperluan. Personil yang diketahui berpenyakit tid-ak diperkenankan berada ditempat kerja agar tidtid-ak mem-perburuk keadaan atau menularkan penyakit.

4. Sistem Mutu

Untuk dapat mempertahankan konsistensi data hasil uji yang abash, laboratorium pengujian hendaknya merencanakan semua kegiatannya secara sistematik, sehingga memberikan kepercayaan kepada pelanggan bahwa data yang dihasilkan tersebut telah memenuhi persyaratan mutu. Hal ini dapat dicapai, bila laboratorium menetapkan, menerapkan dan memelihara sistem mutu sesuai ruang lingkup kegiatannya.

GOOD LABORATORY PRACTICE

(15)

Sistem mutu harus mempunyai informasi tentang a.Ruang lingkup; b.Organisasi dan staf; c.Operasi, kalibrasi dan jadwal perawatan peralatan dan instrumentasi; d.Spesifikasi dan instruksi penyimpanan bahan kimia dan reagen; e.Inventarisasi prosedur test dan analisa secara komplit dan rinci; f.Inventarisasi penuh dan rinci tentang semua SRM (Standard Reference Material) baik yang disertifikasi maupun khusus untuk laboratorium (in house) guna validasi analisa dan kalibrasi peralatan; g.Dokumentasi, penyimpanan dan arsip.

5. Kondisi Akomodasi dan Lingkungan

Laboratorium harus mempunyai ukuran, konstruksi, lokasi dan sistem pengendalian yang memadai agar dapat memenuhi tugas dan fungsi laboratorium. Desain yang tidak tepat dan fasilitas laboratorium yang kurang terawat dapat mengurangi mutu data hasil uji dan atau kalibrasi, operasional kegiatan laboratorium, kesehatan dan keselamatan personil la-boratorium. Laboratorium yang melakukan pengujian bahan bahan spesifik memerlukan perhatian khusus dalam hal lingkungan agar hasil uji tidak tercemar.

6. Metode Pengujian, Kalibrasi dan Validasi a. Metode Pengujian dan Kalibrasi

Suatu laboratorium harus mempunyai metode pengujian dan/atau kalibrasi tertentu untuk melaksanakan pengujian dan/atau kalibrasi.

b. Validasi Metode

Laboratorium harus memvalidasi metode pengujian dan/atau kalibrasi, termasuk metode pengambilan contoh, sebelum metode tersebut digunakan. Validasi metode tersebut harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai tujuan tertentu.

7. Peralatan

Laboratorium harus dilengkapi dengan peralatan dan instrumentasi yang diperlukan agar pengujian dapat dilaksanakan. Peralatan pengujian, termasuk perangkat keras dan perangkat lunak, harus dilindungi dari penyetelan atau pengoperasian yang dapat menyebabkan tidak validnya hasil pengujian.

8.. Pengambilan Sampel (Sampling)

Pengambilan sampel didefinisikan sebagai prosedur pengambilan suatu bagian dari substansi,bahan, atau produk untuk keperluan pengujian dari sampel yang mewakili kumpulannya.

9. Penanganan Barang yang Diuji

Laboratorium harus mempunyai prosedur dan fasilitas

yang memadai untuk menghindari kerusakan atau kehilangan barang yang diuji selama penyimpanan, penanganan dan preparasi.

10. Jaminan Mutu Hasil Pengujian

Pengendalian mutu (quality control) adalah bagian dari jaminan mutu (quality assurance). Pengendalian mutu merupakan suatu proses pengendalian atau pemeriksaan untuk memastikan bahwa sistem mutu berjalan secara efektif.

11. Pelaporan Hasil

Laporan pengujian merupakan suatu laporan akhir terhadap kegiatan pengujian dan didistribusikan kepada pelanggan serta disimpan sebagai arsip laboratorium. Setiap hasil pengujian yang dilakukan oleh laboratorium harus dilaporkan secara akurat, jelas, tidak menimbulkan keraguan dan objektif, serta sesuai dengan instruksi yang spesifik dalam metode pengujian.

12. Dokumentasi dan Rekaman

Laboratorium harus mempunyai dan mengembangkan sistem dokumentasi dan rekaman sesuai dengan kebutuhannya dalam menerapkan praktek berlaboratorium yang baik (GLP). Rekaman dapat berupa hard copy atau media elektronik. Seluruh rekaman data yang berhubungan dengan pengujian harus mudah dibaca, didokumentasikan, dan dipelihara sedemikina rupa sehingga rekaman tersebut dapat mudah diperoleh kembali dengan cepat sampai batas waktu yang ditentukan. Selain itu, rekaman tersebut harus disimpan pada lokasi yang memadai untuk mencegah kerusakan, kehilangan dan harus dijamin aman serta rahasia. Biasanya rekaman disimpan selama 5 tahun, dan kemudian di-musnahkan sesuai prosedur yang ditetapkan oleh laboratorium

13. Inspeksi dan Assesment

Inspeksi dan assesment laboratorium diperlukan untuk menjamin bahwa laboratorium memenuhi persyaratan nasional dan internasioal dalam melaksanakan GLP. Inspektor/ assessor harus seorang ahli yang sesuai, berpengalaman dan memahami petunjuk dalam GLP serta independen dari laboratorium yang dinilai.

Sumber Pustaka:

Hand Book. Good Laboratory Practice (GLP), WHO, Second edition.

Praktek Laboratorium yang baik. Warta Kimia Analitik. No 15. Th 2005.

(16)

Jurnal Lancet tahun 2008 tentang gizi, kesehatan ibu dan anak, menyatakan bahwa kekurangan vitamin A sebagai kekurangan mikronutrien yang paling penting. Kekurangan vitamin A ini berkontribusi pada lebih dari 600.000 kematian anak per tahun di seluruh dunia.1 Kekurangan vitamin A pada anak ini bermula

dari sejak dalam kandungan karena ibu hamil yang kurang vitamin A tidak dapat memberikan cukup vitamin A kepada janinnya, 6 bulan pertama bayi saat ASI menjadi sumber makanan utama yang kandungan vitamin A ASI yang rendah, makanan pendamping ASI yang tidak cukup kandungan vitamin A, saat bayi menyusui terutama saat ASI mulai berkurang. Status vitamin A pada ibu dan balita berhubungan erat, karena ibu yang kekurangan vitamin A tidak dapat memberikan cukup vitamin A kepada janinnya dalam bentuk simpanan vitamin A dalam hati mereka selama bulan-bulan terakhir kehamilan dan akan memiliki jumlah vitamin A yang tidak cukup dalam air susunya, menghasilkan tingginya risiko kekurangan vitamin A pada bayinya yang baru lahir.2

Program suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi pada anak balita berusia di atas 6-59 bulan telah menunjukkan dapat mengurangi angka kematian sampai -23 persen.3 Hasil program tersebut memacu

implementasi program suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi dua kali setahun di banyak negara berkembang. Walaupun program suplementasi vitamin A di Indonesia berjalan cukup baik, tetapi masih sekitar 30 persen balita tidak terjangkau dengan distribusi kapsul vitamin A.4 Strategi untuk meningkatkan status

vitamin A pada bayi berusia di bawah 6 bulan nampaknya lebih banyak kendala karena selama masa kehamilan, ibu juga mengalami kurang vitamin A.5

Lebih jauh, ada kelompok umur lain yang juga rawan kekurangan vitamin A, yang tidak terjangkau oleh program kapsul vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan, termasuk di dalamnya anak usia sekolah dan wanita usia subur (termasuk wanita hamil). Fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A bisa menjadi strategi yang potensial untuk meningkatkan status vitamin A pada seluruh populasi termasuk kelompok yang rawan vitamin A tersebut.

Peningkatan status vitamin A pada kelompok rawan tersebut nampaknya akan memberikan dampak positif lainnya, seperti prevalensi kerusakan penglihatan, ketahanan terhadap infeksi6, prevalensi

anemia7, dan kemungkinan pertumbuhan

anak-anak.8,9 Vitamin A telah menunjukkan dapat

mening-katkan mobilisasi zat besi dari persediaan untuk erythropoeiesis, yang dapat meningkatkan konsentrasi hemoglobin tanpa benar-benar mempengaruhi perse-diaan zat besi sehingga secara tidak langsung

menurunkan prevalensi anemia.10

Dengan melihat tingginya prevalensi kekurangan vitamin A pada anak-anak usia pra sekolah, maka pemerintah Indonesia telah mengadakan program nasional kapsul vitamin A pada tahun 1978. Meskipun program tersebut sudah dilakukan dan cakupannya relatif tinggi, namun proporsi anak-anak yang tidak terjangkau program tersebut relatif cukup besar, oleh karena itu tetap terpapar risiko kekurangan vitamin A.11 Distribusi

vitamin A dilaksanakan dua kali setahun, biasanya pada bulan Februari dan Agustus. Data Riskesdas menunjukkan bahwa cakupan kapsul vitamin A dosis tinggi adalah 71,5 persen pada tahun 2007 dan 69,8 persen pada tahun 2010.

EVALUASI DAMPAK FORTIFIKASI

MINYAK GORENG DENGAN VITAMIN A

(17)

Untuk melengkapi strategi tersebut, fortifikasi vitamin A yaitu penambahan vitamin A dalam bahan makanan tertentu diproyeksikan sebagai salah satu strategi untuk memenuhi kebutuhan semua kelompok populasi yang rawan kurang vitamin A seperti anak usia sekolah, wanita hamil, menyusui dan WUS dengan penambahan vitamin A dalam makanan sehari-hari mereka. Untuk melakukan fortifikasi pangan tertentu tersebut harus memenuhi persyaratan ilmiah, teknologi industri, dosis yang sesuai, penerimaan masyarakat, harga dan pemasaran, keberlangsungan program. Banyak calon bahan makanan yang tersedia di pasaran tetapi tidak semua cocok dengan berbagai kriteria tersebut. Setelah melalui banyak penelitian dari berbagai aspek tersebut di atas, pilihan yang paling pas untuk fortifikasi vitamin A adalah minyak goreng curah dengan dosis 45 IU.

Pada saat ini standar nasional Indonesia (SNI) minyak goreng belum memasukkan vitamin A. Tetapi dalam waktu dekat, SNI minyak goreng yang sudah memasukkan vitamin A akan dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN), sehingga diharapkan fortifikasi wajib vitamin A dalam minyak goreng akan dilakukan, seperti layaknya yodisasi garam dan fortifikasi tepung terigu.

Fortifikasi minyak goreng ini dan potensial dampaknya terhadap status vitamin A dari populasi masyarakat Indonesia perlu dinilai dalam studi evaluasi efektivitas yang ketat. Studi ini diperlukan untuk memberikan data bagi pemerintah Indonesia, membuktikan kebenaran standar untuk kewajiban fortifikasi minyak goreng curah, maupun dampaknya dalam meningkatkan status vitamin A masyarakat terutama golongan rawan. Walaupun sudah ada penelitian awal tentang dampak fortifikasi minyak yang dilakukan dalam studi efikasi di Sulawesi Selatan, dan menunjukkan dampak positif, tetapi sampelnya masih terbatas pada anak sekolah. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam untuk mengukur dampak dari suplementasi vitamin A dalam minyak goreng pada semua kelompok rawan kekurangan vitamin A, tanpa melakukan intervensi pemberian minyak goreng, sebelum program fortifikasi wajib vitamin A dalam minyak goreng diterapkan secara nasional.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, Ba-dan Litbang Kesehatan, Kemenkes RI. melalui Riset

Khusus (Rikhus) melakukan studi tentang “Evaluasi dampak fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A”.

Hipotesis pada penelitian ini adalah fortifikasi vitamin A minyak goreng curah meningkatkan rata-rata kadar serum vitamin A atau retinol dalam air susu ibu paling sedikit 10 persen pada wanita usia subur, ibu menyusui, bayi, anak prasekolah, dan anak usia sekolah di bawah 9 tahun. Pada penelitian awal ber-tujuan untuk mengukur dampak fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng curah pada anak balita, anak usia sekolah, wanita usia subur, dan wanita menyusui. Penelitian dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis, tersebar di 24 desa peri-urban di 8 kecamatan peri-urban dengan proporsi keluarga miskin (Gakin) yang tinggi. Pemilihan daerah peri-urban dengan asumsi distribusi minyak goreng curah yang difortifikasi cukup tinggi di lokasi penelitian. Sampel adalah keluarga miskin (Gakin) yang mempunyai anak umur 6-11, 12-23, 24-59 bulan, anak sekolah umur 5-10 tahun, ibu menyusui dan wanita usia subur (WUS). Penelitian dilakukan selama 2 tahun. Tahun pertama (2011) adalah studi dasar untuk mengetahui data dasar status vitamin A sebelum minyak goreng curah yang difortifikasi dijual di masyarakat luas pada pertengahan 2011. Tahun 2012 adalah studi akhir untuk mengetahui dampaknya dengan indikator utama kadar serum vitamin A dan kadar vitamin A dalam ASI. Selain itu indikator penunjang adalah CRP, AGP, ferritin, transferrin, RBP, morbiditas, konsumsi makanan, konsumsi minyak goreng individu, kadar vitamin A yang dalam minyak goreng di rumah tangga dan di warung. Jumlah sampel pada data dasar tahun 2011 sebanyak 1722.

(18)

Daftar Pustaka

1. Black RE, Allen LH, Bhutta ZA, et al. Maternal and child undernutrition: global and regional exposures and health consequences. Lancet 2008;371(9608):243 -60.

2. Dijkhuizen MA, Wieringa FT, West CE, Muherdiyantiningsih, Muhilal. Concurrent micronutrient deficiencies in lactating mothers and their infants in Indonesia. The American journal of clinical nutrition 2001;73:786-91.

3. Beaton GH, Martorell R, L'Abbe KA, et al. Effectiveness of vitamin A supplementation in the control of young child morbidity and mortality in developing countries. Final report to CIDA: University of Toronto, Canada; 1992.

4. Pangaribuan R, Erhardt JG, Scherbaum V, Biesalski HK. Vitamin A capsule distribution to control vitamin A deficiency in Indonesia: effect of supplementation in pre-school children and compliance with the programme. Public health nutrition 2003;6(2):209-16.

5. Ayah RA, Mwaniki DL, Magnussen P, et al. The effects of maternal and infant vitamin A supplementation on vitamin A status: a randomised trial in Kenya. The British journal of nutrition 2007;98(2):422-30.

6. Ross AC, Stephensen CB. Vitamin A and retinoids in antiviral responses. FASEB J 1996;10(9):979-85.

7. Suharno D, West CE, Muhilal, Karyadi D, Hautvast JG. Supplementation with vitamin A and iron for nutritional anaemia in pregnant women in West Java, Indonesia. Lancet 1993;342:1325-8.

8. Ramakrishnan U, Aburto N, McCabe G, Martorell R. Multimicronutrient interventions but not vitamin A or iron interventions alone improve child growth: Results of 3 meta-analyses. Journal of Nutrition 2004;134(10):2592-602.

9. Donnen P, Brasseur D, Dramaix M, et al. Vitamin A supplementation but not deworming improves growth of malnourished preschool children in eastern Zaire. J Nutr 1998;128(8):1320-7.

10. Zimmermann MB, Biebinger R, Rohner F, et al. Vitamin A supplementation in children with poor vitamin A and iron status increases erythropoietin and hemoglobin concentrations without changing total body iron. The American journal of clinical nutrition 2006;84(3):580-6.

11. Berger SG, de Pee S, Bloem MW, Halati S, Semba RD. Malnutrition and morbidity are higher in children who are missed by periodic vitamin A capsule distribution for child survival in rural Indonesia. J Nutr 2007;137(5):1328-33.

(19)

Kamis 3 Mei 2012, jam 08.30 kami berangkat dari Percetakan Negara No. 29, menggunakan kendaraaan L 300 dan satu bus menuju Lembah Hijau Resort di Ciloto. Ini merupakan rombongan pegawai Pusat TTK dan EK yang ada di Jakarta. Sesampainya di lokasi, beberapa saat kemudian rombongan pegawai Pusat TTK dan EK Bogorpun berdatangan. Pagi itu, kami mempunyai semangat yang sama untuk melaksanakan Building Learning Organization. Semangat itu, tertanam dalam jiwa peneliti, litkayasa, pejabat struktural, staf dan pekarya.

Setelah makan siang, acara dimulai dengan pembukaan oleh dr. Siswanto, MHP, DTM selaku Kepala Pusat TTK dan EK, disertai dengan paparan “Membangun Pusat TTK dan EK, sambil berlayar

membangun perahu”. Pastinya arahan tidak sempurna

bila tidak disertai tanya jawab. Kesempatan ini merupakan pertama kalinya sebagian besar pegawai PTTK dan EK Jakarta dan Bogor berkumpul. Wajah wajah baru bermunculan. Itu siapa.., tidak tahu. Ice breakingpun dilakukan. Setiap pegawai maju ke depan untuk memperkenalkan diri masing-masing..

Setelah makan malam, acara diisi dengan Emo-tional Spiritual Quotient oleh Dr. Yan, dari Balai Besar Pelatihan Kesehatan Ciloto. Banyak yang bisa di-peroleh, dimaknai, dan direnungi tentang hakekat un-tuk apa hidup dan kemana kita setelah hidup. Pada sesi terakhir, terdengar isak tangis dan butiran air mata terlihat menetes dari beberapa pegawai, termasuk kami. Ada perasaan lega. Nuansa berbeda terjadi pada kegiatan selanjutnya, malam keakraban, diisi dengan makan bersama, nyanyi bersama, dan tertawa bersama.

Melupakan sejenak rutinitas kegiatan kantor..

Hari berikutnya berupa outdoor activity. Pagi

sebelum sarapan, dilakukan senam pagi. Membiasakan hidup sehat... Setelah sarapan, seluruh peserta kumpul untuk mengikuti LO dengan berbagai permainan.

Semua atribut yang selama ini melekat dilepas, tidak ada peneliti, struktural, staf, litkayasa dan pekarya, semua sama. Peserta dibagi menjadi beberapa tim.

Macam permainan : 1) melintasi halang rintang dengan mata tertutup, dan tidak boleh menyentuh bambu, kalau menyentuh dan jatuh, maka akan mengenai kawat yang sudah terhubung dengan ember berisi air yang digantung, dan air akan tumpah mengenai teman satu tim, 2) Volly menggunakan bola dari balon berisi air, bola dilempar oleh tim lawan memakai kain yang dipegang oleh 2 peserta, bola yang jatuh di tanah dianggap kalah, 3) melintas jaring laba-laba, 4) flying fox, 5) memindahkan lingkaran rotan dari satu titik ke titik yang lain, secara estafet.

Setelah istirahat dan makan siang, permainan dilanjutkan dengan: 6) melintas rintangan menggunakan bakiak secara kelompok, kekompakan tim harus tetap dijaga, 7) buldozer, beberapa peserta masuk kedalam kain terpal, dan harus berjalan maju, 8) memasukan bola plastik berwarna sama ke dalam keranjang dengan mata tertutup, tidak boleh ada bola yang terinjak, peserta hanya mendengarkan arahan

dari tim, 9) permainan “melintas sungai” menggunakan

ban bekas, 10) membuat rumah-rumahan dari bahan bambu dan atap rumbia, selama proses pembuatan berlangsung, anggota tim harus menjaga dari gangguan tim lain yang menyerang menggunakan balon air. Seru..!!. basah kuyup tetapi mengasyikkan.

Terakhir, permainan tidak lagi berkompetisi

antar kelompok, semua berkumpul, untuk

menyelesaikan sebuah permainan yaitu menyalakan obor, yang ditaruh diatas bambu, dengan ketinggian 5 meter. Bekal yang diberikan hanya dua utas tali rafia, dan dua buah lilin. Berbagai ide muncul. Oborpun menyala, disusul dengan kembang api, serta luncuran sebuah banner yang bertuliskan All for one, one for all.

Semua untuk satu, satu untuk semua, Pusat TTK dan EK.

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEGAWAI

D

MELALUI

BUILDING LEARNING ORGANIZATION

Lembah Hijau Resort, 3

5 Mei 2012

(20)

Seperti yang tercermin dalam judul, buku ini berisi tuntunan atau pedoman melaksanakan riset dalam bidang Gizi dan Kesehatan. Isi buku dibagi dalam lima bagian besar dan 18 bab. Bagian I dan II terdiri dari lima bab; bagian III dua bab dan pada bagian IV dan V masing-masing satu bab.

Penulis buku ini adalah seorang profesor, pengajar pascasarjana di beberapa universitas di Amerika Serikat (USA). Ia paham betul dengan kebutuhan mahasiswa magister. Dengan demikian sistemaitka penulisan buku ini sangat akademik dan sistematis. Buku ini tidak hanya sangat berguna bagi mahasiswa pascasarjana tingkat magister dan doctoral, tetapi juga bermanfaat bagi peneliti pemula, khususnya yang berminat dalam penelitian gizi dan kesehatan.

Pada awal buku ini menguraikan tentang pengertian riset dan proses riset dilaksanakan dalam

rangka menemukan “kebenaran”. Penjelasannya sangat rinci, bertahap dan “gamblang” (jelas, mudah

dimengerti). Bahkan dijelaskan pula bagaimana cara

mendapatkan „masalah riset‟. Pengertian yang sangat

mendasar dalam penelitian pun diuraikan. Misal, penyimpulan secara induktif dan deduktif. Cara induktif

diberi contoh sebagai berikut. „Pada suatu riset yang melibatkan 50 orang vegetarian, diketahui semuanya ternyata introvert.’ Dengan demikian, orang boleh membuat hipotesa bahwa “semua vegetarian adalah

introvert”. Cara deduktif dicontohkan sebagai berikut.

Semua asam lemak omega-3 menurunkan kadar trigliserida darah. Asam dokosaheksanoik (DHA) adalah asam lemak omega-3. Oleh karena itu, DHA dapat menurunkan kadar trigliserida darah’.

Pelajaran yang menarik dari buku ini, yang jarang dilakukan oleh kebanyakan peneliti di Indonesia, adalah cara mengumpulkan kepustakaan. Diuraikan bagaimana hasil penelusuran pustaka dibuat ringkasan dalam tabel dan disusun menurut topik. Kemudian pustaka tersebut harus dikritisi

(critical appraisal). Diuraikan bagaimana cara

mengkritisi suatu publikasi/jurnal dan menuliskannya dalam kajian/ tinjauan (review) pustaka.

Isi buku ini juga menguraikan dengan rinci tentang analisis statistik dan interpretasinya, konsep dasar tentang pengukuran variabel riset, validitas, reliabilitas, presisi dan akurasi, pengukuran dan pengendalian bias/ error. Bahasa yang digunakan

lugas dan sederhana sehingga mudah dipahami. Beragam rancangan dan tipe riset dapat dipelajari dalam buku ini. Validitas eksternal dan internal serta cara pengendaliannya dapat dipelajari dalam bagian III buku ini. Dalam bagian ini juga diuraikan berbagai rancangan/ desain riset termasuk rancangan eksperimen baik pre- maupun true-experiment, rancangan acak kelompok (RAK,

Randomized Group Design), faktorial, Solomon

four-group, quasi eksperimen. Di samping itu, diuraikan riset deskriptif dan kualitatif, survai, observasional

(kros-seksional, kasus-kontrol, kohor), serta

metaanalisis dan pool analisis. Pada bagian akhir diuraikan cara penulisan proposal/protokol, cara penyajian data dan publikasi. Buku ini dilengkapi dengan indeks subyek untuk memudahkan pembaca menuntaskan topik yang dipelajari.

Resensi Buku:

Introduction to Nutrition and Health Research

(

Koh TE and Owen WL.)

(21)

Buku ini dapat menjadi buku pegangan yang sangat baik bagi peneliti dalam membuat proposal dan melaksanakan penulisan, membuat laporan dan makalah untuk publikasi. Bahasa Inggrisnya sangat “bersahabat” dan uraiannya jelas sehingga mudah dipahami. Hal ini dapat dimaklumi karena penulis adalah professor yang sudah lama mengajar.

Topik statistik mungkin tidak “up to date” karena buku ini pertama kali diterbitkan tahun 2000. Namun demikian, jika petunjuk/ uraiannya diikuti, peneliti akan menghasilkan sesuatu yang sangat berharga. Metode analisis statistik yang dijelaskan cukup memadai. Penajaman analisis statistik dapat dipelajari dalam buku statistik lainnya yang sesuai dengan perkembangan terbaru.

Judul buku yang diresensi:

Introduction to Nutrition and Health Research.

Koh TE and Owen WL.

Kluwer Academic Publ. Massachusetts, USA. 2000. p. 363 + xvi; bibliografi and index.

Berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) nomor 742/E/2012, tentang Hasil Akreditasi Majalah Ilmiah tertanggal 7 Agustus 2012, dinyatakan bahwa Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan (PGM) dengan ISSN: 0125-9717 sebagai Majalah Ilmiah TERAKREDITASI,

dengan nomor akreditasi

434/AU2/P2MI-LIPI/08/2012, untuk masa berlaku : Agustus 2012 - Agustus 2015.

Terhitung sejak Tahun 2012, LIPI tidak lagi menge-lompokkan Akreditasi Jurnal Ilmiah dengan gradasi A, B, atau C. LIPI hanya mengelompokkan dalam dua versi yaitu TERAKREDITASI dan TIDAK TERAKREDITASI.

Berikut adalah daftar Jurnal Ilmiah bidang Kedokter-an dKedokter-an KesehatKedokter-an yKedokter-ang Terakreditasi oleh LIPI selain Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan (update Agustus 2012)

1. Gizi Indonesia

2. Buletin Penelitian Kesehatan

3. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

4. Indonesian Journal of Cancer

5. The Indonesian Biomedical Journal Kabar Terbaru….

JURNAL PENELITIAN GIZI DAN MAKANAN

TERAKREDITASI

Bapak/Ibu peneliti… mari berlomba-lomba menulis di Jurnal PGM, tempat untuk berbagi ilmu.., dan

agar jurnal ini tetap lestari…

Selamat berkarya..!!

(22)

Penyakit kanker dikenal sebagai salah satu penyebab kematian utama bersama dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Berdasarkan data Riskesdas 2007, 5,7% kematian disebabkan oleh kanker dan merupakan penyebab kematian nomor 7.1

Faktor diet dan zat gizi berperan dalam terjadinya variasi kejadian kanker. Angka kejadian kanker di suatu negara mempunyai korelasi yang kuat dengan aspek diet, seperti konsumsi lemak/kapita. Penelitian pada binatang juga memperlihatkan manipulasi diet dapat mempengaruhi tumorigenesis.2 Makanan yang

kita makan mengandung baik penghambat maupun enhancer dari karsinogenesis. Daging merah atau hidro-karbon yang mengandung polisiklik aromatik yang ter-dapat dalam makanan ter-dapat menyebabkan karsinogen-esis. Sebaliknya antioksidan (seperti vit C, vit E, & sele-nium) & senyawa fitokimia (seperti likopen, indole dan sulforaphane) dapat berfungsi sebagai penghambat karsinogenesis.3

Sayur-sayuran dari family Cruciferae seperti bro-koli, Brussel sprouts, kubis dan bunga kol mengandung senyawa isotiosianat berupa sulforaphane. Sulforaphane telah diketahui merupakan agen yang poten untuk mencegah kanker karena dapat meng-hambat proses karsinogenesis.3,4

Dari studi meta-analisis yang dilakukan oleh Kohlmeier dan Su, seperti yang dikutip oleh Morillo6,

melaporkan bahwa konsumsi 10 gram/hari sayur-sayuran dari golongan crucifera dapat menurunkan risi-ko kanker risi-kolorektal sebesar 8%. Zhang dkk. melaporkan konsumsi lebih dari 5 porsi/minggu dapat menurunkan kejadian lymphoma non-hodgkin sebesar 33% (OR: 0,67) sedangkan Cohen dkk. mendapatkan bahwa konsumsi > 3 kali/minggu dapat mencegah terjadinya kanker prostat (OR: 0,59).5

Cara pemasakan brokoli yang salah bisa me-nyebabkan kandungan sulforaphane menjadi hilang. Beberapa saran untuk memaksimalkan anti kanker dari brokoli adalah memakan brokoli secara mentah atau dengan memanaskan brokoli dalam batas suhu tertentu. Mengukus, dimasak dalam microwave, atau digoreng cepat (stir-frying) merupakan metode memasak yang dapat mempertahankan manfaat maksimal dari brokoli

BROKOLI SI PENANGKAL KANKER

dr. Tetra Fajarwati, M.Gizi

dan merebus berpotensi mengurangi sifat anti kanker dari brokoli.6 Ilmuwan dari Universitas of Illinois,

Amerika Serikat merekmendasikan cara untuk me-maksimalkan kekuatan anti kanker dalam brokoli yai-tu dengan memasak brokoli selama 10 menit dalam suhu 60 derajat celcius. Dengan cara memasak seperti itu enzim yang bisa merusak sulforaphane bisa dinonaktifkan tanpa merusak kandungan sulforaphane, sehingga kandungan anti kanker sulforaphane menjadi maksimal. Untuk praktisnya sebaiknya kukus brokoli selama 3-4 menit sampai tera-sa sedikit lunak.7

Dr.Emily Ho merekomendasikan konsumsi bro-koli dan sayuran lain dua kali/hari untuk mencegah terjadinya kanker. Jumlah minimal yang dianjurkan adalah setengah cangkir (± 45 gram) per hari atau mengkonsumsi 2 cangkir brokoli, 2 kali seminggu

Gambar

Tabel 1 Ringkasan uraian GCP (CUKB) baik menyangkut tugas dan tanggung jawab pihak-pihak yang terlibat dalam

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Regresi Linier Sederhana adalah bentuk regresi dengan model yang bertujuan untuk mempelajari hubungan antara dua variabel, yakni variabel terikat dan

Bahwa sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ke empat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa

Sehubungan dengan telah dilakukan evaluasi administrasi, teknis dan harga serta evaluasi dokumen kualifikasi, maka sesuai dengan jadwal LPSE akan dilakukan

Perusahaan dengan Kualifikasi Gred 2, memiliki IUJK dan SBU bidang/sub.Bidang: Bidang Jasa Survey Sub Bidang Jasa Pembuatan Peta ( 16002 ), dengan terlebih

[r]

17 Membuat kain dengan mesin tenun teropong yang

Workshop perusahaan/industri production house lengkap dengan peralatan multimedia dan studio untuk pembuatan video, perusahaan industri adverstising lengkap dengan peralatan

Sehubungan dengan Hasil Evaluasi yang telah dilakukan Pokja V ULP Kabupaten Maluku Tengah pada tanggal 14 September 2017 atas Paket Pekerjaan Belanja Modal Gedung SD Al Hilaal