• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN GEODESI DALAM PENGUATAN PENENTUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN GEODESI DALAM PENGUATAN PENENTUAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN GEODESI DALAM PENGUATAN PENENTUAN SISTEM WILAYAH WAKTU

DI INDONESIA

Agustan a, *

a Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Gedung 2 BPPT Lantai 19, Jl. M.H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat, INDONESIA Email: agustan@bppt.go.id

KATA KUNCI: wilayah waktu, kedudukan matahari, rotasi bumi, geodesi, undang-undang

ABSTRAK:

Sistem penentuan wilayah waktu merupakan suatu kebijakan yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara. Penentuan wilayah waktu di Indonesia saat ini ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1987. Untuk menjaga stabilitas nasional dan segala aspek yang terkait, sebaiknya sistem penentuan wilayah waktu di Indonesia lebih diperkuat dengan undang-undang yang berdasarkan kajian ilmiah, utamanya aspek ilmu kebumian. Ilmu geodesi dalam penentuan posisi geografis dan pengamatan matahari sangat berperan dalam kajian ilmiah untuk menentukan pembagian dan penetapan wilayah waktu di Indonesia. Waktu ditentukan berdasarkan kedudukan matahari yang diusulkan sejak tahun 1792 dan satuannya berdasarkan satu periode rotasi bumi yang didefinisikan sebagai 24 jam. Dari bentuk geometri dan variasi rotasi bumi yang ditentukan melalui perhitungan geodesi, maka pembagian panjang keliling bumi terhadap periode rotasi dapat ditentukan yang menjadi dasar pembagian wilayah waktu. Tulisan ini membahas definisi waktu dan teknik penentuan dan perhitungan berdasarkan sudut pandang ilmu Geodesi dan sampai pada kesimpulan bahwa dengan lokasi Indonesia yang terletak pada daerah khatulistiwa yang membujur sepanjang 46 derajat, maka pembagian wilayah waktu Indonesia menjadi satu wilayah adalah tidak realistis dan sangat berpengaruh terhadap stabilitas nasional. Hasil hitungan kedudukan matahari terbit di seluruh ibu kota provinsi rata-rata tahunan berdasarkan 3 (tiga) wilayah waktu adalah sekitar Pukul 05.57 dan waktu terbenam sekitar Pukul 18.04. Diperlukan penguatan sistem penentuan wilayah waktu Indonesia melalui payung hukum berupa undang-undang agar stabilitas nasional dapat terjamin.

* Penulis (Corresponding author).

1. PENDAHULUAN

Usulan Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (KP3EI) untuk menyatukan zona atau wilayah waktu Indonesia berdasarkan Waktu Indonesia Tengah mulai tanggal 28 Oktober 2012 diyakini akan menghasilkan efisiensi dan efektivitas antara wilayah barat dan timur Indonesia yang terpisah perbedaan waktu dua jam. Usulan ini menjadi wacana yang menarik dan menimbulkan banyak silang pendapat. Akhirnya pemerintah menunda rencana tersebut sampai waktu yang belum ditentukan dengan alasan masih kurangnya sosialisasi di masyarakat.

Sistem penentuan wilayah waktu suatu wilayah atau negara memang menjadi kewenangan pemerintah negara tersebut. Untuk Indonesia, penentuan wilayah waktu yang berlaku saat ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1987 yang menetapkan bahwa wilayah Republik Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah waktu dengan 3 (tiga) waktu tolok yaitu Waktu Indonesia Barat (WIB) dengan acuan 7 (tujuh) jam lebih cepat dari waktu standar Greenwich Mean Time (GMT +7) dan derajah tolok 105° Bujur Timur; Waktu Indonesia Tengah (WITA) dengan acuan GMT +8 dan derajah tolok 120° Bujur Timur; dan Waktu Indonesia Timur (WIT) dengan acuan GMT +9 derajah tolok 135° Bujur Timur.

Konsep tantang waktu disampaikan oleh Censorinus tahun 238 Masehi (Holford-Strevens, 2005) yang memperkenalkan ada 2 (dua) jenis waktu yaitu: dies naturalis, waktu berdasarkan periode rotasi bumi yang berjumlah 24 jam tanpa acuan awal

yang tetap; dan dies civilis, waktu berdasarkan periode rotasi bumi yang berjumlah 24 jam tetapi dengan acuan awal yang tetap, misalnya waktu matahari terbenam sebagai acuan untuk sistem umat Muslim.

Penentuan wilayah waktu Indonesia memiliki sejarah panjang yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi global. Dalam skala global, sistem pembagian wilayah waktu dunia dimulai dengan menentukan “lokasi” acuan dimulainya perhitungan waktu. Dalam the International Meridian Conference tahun 1884 di Washington D. C. disepakati Royal Observatory di Kota Greenwich dijadikan sebagai bujur (meridian) 0 (nol) dan menjadi awal penentuan hari secara universal (universal day) saat tengah malam (Howse, 1985).

(2)

wilayah waktu Indonesia telah ditetapkan sebanyak 3 kali, yaitu melalui:

1. Keputusan Presiden No. 152 Tahun 1950,

2. Keputusan Presiden No. 249 Tahun 1963, dan 3. Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1987

Keppres No. 152 / 1950 Keppres No. 249 / 1963 Keppres No. 41 / 1987

Nama dan Daerah Waktu Tolok

Bujur Tolok

Nama dan Daerah Waktu Tolok

Bujur Tolok

Nama dan Daerah Waktu Tolok

Tabel 1. Sejarah Pembagian Wilayah Waktu Indonesia (Modifikasi dari Sunarjo dan Sukanto, 2007)

Tabel 1 memperlihatkan bahwa saat awal berdirinya Indonesia, wilayah waktu terbagi menjadi 6 (enam) wilayah dengan tulisan ini merangkum beberapa kaidah geodesi terkait penentuan waktu berdasarkan kedudukan matahari dan beberapa pandangan terkait sistem pembagian wilayah waktu berdasarkan aspek kebumian, lingkungan, kesehatan dan ekonomi.

2. PENENTUAN WAKTU DAN GEODESI

Penentuan waktu diturunkan dari pengamatan rotasi bumi pada sumbunya dengan mengacu pada benda yang dianggap tetap, misalnya bintang atau matahari. Waktu yang dibutuhkan dalam satu kali rotasi bumi berdasarkan satu acuan itu dikenal dengan istilah “hari” (day). Dalam bidang astronomi geodesi, terdapat 3 (tiga) definisi dasar terkait dengan waktu (Thomson, 1981), yaitu:

(3)

2. Interval waktu (time interval), adalah selang waktu antara 2 epok, atau selisih waktu antara 2 kejadian yang diukur dalam satu skala waktu.

3. Skala waktu (time scale), satuan yang digunakan untuk merepresentasikan lamanya suatu kejadian.

Secara ilmiah, skala waktu ini bervariasi atau tidak mempunyai nilai yang tetap, tergantung pada sistem waktu yang digunakan. Sistem waktu diperlukan untuk ‘menghubungkan’ skala waktu yang biasa digunakan (tahun, bulan, hari, jam, menit, detik) dengan fenomena fisik maupun geometrik yang diukur atau diamati. Moritz dan Mueller (1987) menjelaskan tentang sistem waktu yang digunakan yaitu: sistem waktu bintang dan matahari (sidereal and universal time) yang berdasarkan rotasi harian Bumi; sistem waktu dinamik yang berdasarkan pada pergerakan benda-benda langit (celestial bodies) dalam sistem matahari; dan sistem waktu atom yang berdasarkan pada osilasi elektromagnetik yang dikontrol atau dihasilkan oleh transisi kuantum dari suatu atom. Ketiga sistem waktu ini berbeda pada acuan kapan hari baru dimulai, misalnya sistem waktu matahari (universal time) jam 00:00 dimulai saat tengah malam.

Gambar 1. Ilustrasi Geometri Sistem Waktu (sumber gambar: Wikipedia:

http://en.wikipedia.org/wiki/Ecliptic_longitude)

Rotasi bumi pada kenyataannya tidak teratur terkait dengan bidang edar yang berbentuk ellips yang mengakibatkan adanya variasi spasial dari posisi sumbu rotasi bumi terhadap badan bumi yang dikenal dengan gerakan kutub (polar motion); dan akibat adanya variasi temporal dari kecepatan rotasi bumi yang menyebabkan variasi dalam panjang hari (length of day, LOD). Fenomena ini yang menyebabkan saat matahari terbit dan terbenam bervariasi sepanjang tahun di tiap lokasi di permukaan bumi dan dapat diestimasi dengan hitungan-hitungan astronomi geodesi. Misalnya untuk formula matahari terbit (sunrise equation) dapat dituliskan sebagai:

sunrise=SNcosω0

SN=(LSTGMST0−φ) 150

cosω0=

sin(−0.830

)−sinλ ×sinδ cosλ ×cosδ sinδ=sinλ ×sin23.450

dengan: SN = solar noon, saat matahari berkulminasi pada garis meridian;

ω

0 = sudut matahari, LST = waktu sidereal lokal (local sidereal time); GMST0 = waktu sidereal di Greenwich saat 00:00 Universal Time;

φ

= sudut garis bujur (ecliptic longitude);

λ

= lokasi garis lintang (latitude); dan

δ

= sudut deklinasi matahari.

Berdasarkan algoritma astronomi dengan konsep dasar persamaan di atas, waktu terbit dan terbenam matahari dapat dihitung berdasarkan posisi geografis. Dalam perhitungan astronomi, wilayah waktu menentukan besaran perbedaan waktu antara meridian acuan (Greenwich) dengan meridian lokal saat posisi matahari yang sama. Untuk merealisasikan hubungan antara meridian acuan (Greenwich) dengan meridian lokal diperlukan standarisasi sistem waktu dan skala waktu. Menurut kesepakatan internasional, sistem waktu yang digunakan adalah sistem waktu atom dengan mengacu pada skala waktu UTC (Coordinated Universal Time). UTC adalah skala waktu terkoordinir yang dijaga oleh The Bureau International des Poids et Mesures atau BIPM (sebelumnya dikenal sebagai BIH, The Bureau International de l'Heure) yang berlokasi di Paris Observatory. Sistem dan skala waktu ini dijaga dan dipelihara melalui jaringan Global Navigation Satellite System (GNSS) dan teknik Very Long Baseline Interferometry (VLBI) yang merupakan teknik yang dipelajari dalam geodesi. Selain itu standar pembagian wilayah waktu juga disepakati dengan lebar wilayah tiap 150 berbeda satu jam dihitung dari bujur nol (Greenwich), ke arah timur lebih cepat (positif) dan ke arah barat lebih lambat satu jam (negatif). Kemudian diimplementasikan dalam wilayah waktu internasional (international time zone).

Berdasarkan aturan tersebut, Indonesia yang terletak pada bujur 950 BT dan 1410 BT dilalui oleh 3 bujur acuan lokal yaitu 1050 BT, 1200 BT dan 1350 BT dengan perbedaan GMT+7, GMT+8 dan GMT+9. Dengan mengadopsi hitungan astronomi geodesi, variasi waktu terbit dan terbenam matahari pada lokasi tertentu dapat dihitung. Sebagai gambaran, variasi perbedaan posisi matahari yang menentukan waktu terbit dan terbenam matahari dalam satu wilayah waktu (lebar wilayah 150), maka dilakukan perhitungan posisi untuk batas luar dan garis tengah wilayah Waktu Indonesia Barat. Wilayah waktu ini berdasarkan Keppres No. 41/1987 mempunyai Bujur Tolok pada 1050 sehingga batas wilayah waktu ini berdasarkan hitungan geometri adalah 7.50 ke arah barat dan 7.50 ke arah timur, sehingga batasnya adalah 97.50 BT dan 112.50 BT. Hasilnya dapat dilihat pada halaman berikut.

(4)

Gambar 2. Variasi Waktu Terbit Matahari pada Wilayah Waktu Indonesia Barat sepanjang Tahun 2012

Gambar 3. Variasi Waktu Terbenam Matahari pada Wilayah Waktu Indonesia Barat sepanjang Tahun 2012

Sebaliknya, dari Gambar 3 di atas, terlihat bahwa dalam satu wilayah waktu (lebar 150) juga terdapat variasi waktu terbenamnya matahari. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa pada daerah paling barat wilayah Waktu Indonesia Barat, waktu matahari terbenam jika mengacu pada Keppres No. 41/1987 lebih lambat, sekitar 29 menit, dan kebalikannya pada daerah paling timur, waktu matahari terbenam lebih cepat sekitar 29 menit dibanding daerah yang dilalui oleh garis tolok (garis bujur atau meridian acuan).

(5)

Matahari Terbit (Keppres 41/1987)

Matahari Terbenam (Keppres 41/1987)

Satu Wilayah Waktu (GMT+8)

No. Kota Lintang Bujur Min Max Mean Min Max Mean

Terbit (Mean)

Terbenam (Mean) 1 Banda Aceh 05.35N 95.20E 6:24:17 6:55:53 6:35:35 18:19:56 18:57:15 18:42:50 7:35:35 19:42:50 2 Medan 03.40N 98.38E 6:10:00 6:40:54 6:22:55 18:09:36 18:41:32 18:30:03 7:22:55 19:30:03 3 Padang 01.0S 100.20E 5:58:10 6:29:03 6:15:45 18:07:13 18:37:55 18:22:40 7:15:45 19:22:40 4 Pekanbaru 0.30N 101.15E 5:55:48 6:26:31 6:11:55 18:02:03 18:32:47 18:18:53 7:11:55 19:18:53 5 Bengkulu 03.50S 102.12E 5:47:33 6:19:36 6:08:08 18:01:59 18:33:00 18:14:56 7:08:08 19:14:56 6 Jambi 01.38S 103.30E 5:45:20 6:16:18 6:03:22 17:55:13 18:25:55 18:10:15 7:03:22 19:10:15 7 Lampung 05.30S 104.30E 5:36:35 6:13:36 5:59:26 17:54:50 18:26:25 18:06:10 6:59:26 19:06:10 8 Tanjungpinang 0.1N 104.45E 5:42:23 6:13:07 5:58:44 17:49:04 18:19:47 18:05:41 6:58:44 19:05:41 9 Palembang 03.0S 104.50E 5:38:38 6:10:05 5:58:36 17:52:00 18:22:54 18:05:25 6:58:36 19:05:25 10 Pangkalpinang 2.1S 106.10E 5:33:18 6:04:27 5:52:11 17:44:44 18:15:30 17:59:02 6:52:11 18:59:02 11 Serang 6.8S 106.10E 5:27:25 6:08:44 5:52:16 17:45:38 18:21:06 17:58:57 6:52:16 18:58:57 12 Jakarta 06.09S 106.49E 5:26:48 6:06:04 5:50:42 17:45:10 18:18:38 17:57:24 6:50:42 18:57:24 13 Bandung 06.54S 107.36E 5:22:44 6:03:17 5:47:13 17:41:00 18:15:44 17:53:55 6:47:13 18:53:55 14 Pontianak 0.0N 109.15E 5:23:28 5:54:13 5:39:56 17:30:22 18:01:05 17:46:53 6:39:56 18:46:53 15 Yogyakarta 7.49S 110.22E 5:10:01 5:53:21 5:35:48 17:28:05 18:05:31 17:42:27 6:35:48 18:42:27 16 Semarang 7.0S 110.26E 5:10:31 5:52:25 5:35:38 17:28:41 18:04:43 17:42:18 6:35:38 18:42:18 17 Surabaya 7.17S 112.45E 5:01:32 5:43:55 5:26:52 17:19:40 17:56:11 17:33:32 6:26:52 18:33:32 18 Palangkaraya 02.16S 113.56E 5:03:24 5:34:33 5:22:20 17:14:57 17:45:43 17:29:12 6:22:20 18:29:12 19 Banjarmasin 03.20S 114.35E 5:59:00 6:30:31 6:19:12 18:12:47 18:43:44 18:26:01 6:19:12 18:26:01 20 Denpasar 08.39S 115.13E 5:49:09 6:35:08 6:16:10 18:07:02 18:47:04 18:22:48 6:16:10 18:22:48 21 Mataram 08.35S 116.07E 5:45:26 6:31:19 6:12:25 18:03:20 18:43:15 18:19:03 6:12:25 18:19:03 22 Samarinda 0.30S 117.9E 5:48:09 6:18:55 6:04:56 17:55:41 18:26:23 18:11:53 6:04:56 18:11:53 23 Mamuju 02.41S 118.50E 5:43:20 6:14:35 6:02:35 17:55:26 18:26:14 18:09:26 6:02:35 18:09:26 24 Makasar 05.10S 119.20E 5:37:14 6:13:42 5:59:50 17:55:04 18:26:35 18:06:35 5:59:50 18:06:35 25 Palu 0.9S 119.85E 5:39:41 6:10:33 5:57:09 17:48:31 18:19:13 18:04:04 5:57:09 18:04:04 26 Kendari 03.96S 122.60E 5:25:04 5:58:22 5:46:13 17:40:29 18:11:37 17:53:00 5:46:13 17:53:00 27 Gorontalo 0.5U 123.00E 5:28:37 5:59:19 5:44:31 17:34:26 18:05:11 17:51:30 5:44:31 17:51:30 28 Kupang 10.19S 123.39E 5:13:34 6:05:01 5:43:09 17:31:07 18:16:29 17:49:44 5:43:09 17:49:44 29 Manado 01.29N 124.51E 5:23:24 5:54:05 5:38:27 17:27:31 17:58:23 17:45:29 5:38:27 17:45:29 30 Ternate 0.8N 127.38E 6:11:24 6:42:06 6:26:59 18:16:35 18:47:23 18:33:59 5:26:59 17:33:59 31 Ambon 03.43S 128.12E 6:03:38 6:35:29 6:24:07 18:17:55 18:48:55 18:30:56 5:24:07 17:30:56 32 Manokwari 0.54S 134.0E 5:43:29 6:14:18 6:00:33 17:51:33 18:22:14 18:07:28 5:00:33 17:07:28 33 Jayapura 02.28S 140.38E 5:20:55 5:51:40 5:34:57 17:22:55 17:54:00 17:42:01 5:34:57 16:42:01

Tabel 2. Perhitungan Waktu Kedudukan Matahari di Ibu Kota Provinsi Tahun 2012

Tabel 2 di atas memperlihatkan bahwa dengan membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga wilayah waktu, maka kedudukan matahari terbit adalah bervariasi antara pukul 05.01 (Surabaya) dan 06.55 (Banda Aceh) dan waktu terbenam bervariasi dari pukul 17.14 (Palangkaraya) dan 18.57 (Banda Aceh); dengan rata-rata keseluruhan waktu terbit sekitar pukul 05.57 dan waktu terbenam sekitar pukul 18.04. Semua waktu tersebut adalah mengacu pada waktu lokal berdasarkan Keppres No. 41/1987. Tetapi apabila dijadikan dalam satu wilayah waktu dengan acuan GMT+8 maka rentang variasi rata-rata waktu matahari terbit dan terbenam menjadi lebih lebar, antara pukul 05.00 di Manokwari dan pukul 07.35 di Banda Aceh.

3. DISKUSI

(6)

Amerika Serikat yang membujur dari sekitar 650 BB sampai 1700 BB (termasuk Alaska) membagi wilayahnya ke dalam 9 (sembilan) wilayah waktu, mulai dari GMT-4 sampai GMT-11 dan juga menerapkan sistem daylight saving time (DST), sebuah sistem yang mengubah acuan waktu berdasarkan lamanya sinar matahari pada musim panas dan musim dingin. Negara-negara yang terletak pada lintang tinggi (> 23.50 belahan utara atau selatan) mengalami 4 musim dan waktu sinar matahari sangat bervariasi, misalnya waktu musim panas, lamanya waktu siang lebih dari 12 jam sehingga acuan waktu dipercepat terhadap UTC. Amerika Serikat menetapkan sistem wilayah waktu berdasarkan The Code of Laws of the United States of America (US Code), sebuah undang-undang federal yang mengatur segala aspek bernegara. Demikian juga dengan Australia yang membagi wilayahnya menjadi 3 (tiga) wilayah waktu dan menerapkan DST, Kanada terbagi dalam 6 (enam) wilayah waktu, dan Rusia yang membagi wilayahnya menjadi 11 wilayah waktu (mulai dari GMT+3 sampai GMT+12).

Berbeda dengan kelompok Amerika, Australia, Kanada dan Rusia, sebaliknya Cina (mempunyai lebar wilayah 600) dan India (mempunyai lebar wilayah 290) hanya menggunakan satu wilayah waktu dengan alasan kepraktisan dan kesatuan wilayah.

Walaupun menggunakan satu wilayah waktu, kedua negara ini mengatur sistem jam kerja.

Selain faktor politik dan ekonomi, sebaiknya faktor lain yang berpengaruh terhadap aktivitas manusia juga harus diperhatikan, misalnya faktor kesehatan (biologi), lingkungan dan energi. Dari Tabel 2 terlihat hitungan apabila diterapkan satu wilayah waktu di Indonesia, maka waktu terbit matahari di wilayah paling barat Indonesia menjadi lebih lambat, sekitar pukul 07.35 untuk Banda Aceh, tetapi di Manokwari matahari sudah terbit pada pukul 05.00. Fenomena ini tentu saja berpengaruh pada aspek sosial kemasyarakatan (termasuk waktu sholat 5 waktu bagi umat Muslim), kesehatan, lingkungan dan energi. Apabila diterapkan satu wilayah waktu, maka penduduk di wilayah bagian barat Indonesia, misalnya di Banda Aceh harus memulai aktivitas sehari-hari dalam kondisi yang masih gelap.

Terkait dengan kesehatan, Kantermann et al. (2007) menyimpulkan bahwa aktivitas manusia terkait dengan cahaya dan perubahan pola hidup terkait cahaya bisa berefek negatif terhadap circadian clock manusia dan berpengaruh buruk terhadap kesehatan.

Gambar 4. Sistem Circadian Clock Manusia

(7)

Aspek lingkungan juga terpengaruh apabila aktivitas dimulai atau diakhiri saat intensitas cahaya matahari masih lemah. Hecq et al. (1993) menyimpulkan bahwa perubahan pola aktivitas terkait intensitas cahaya berpengaruh terhadap tingkat mobilitas, penggunaan bahan bakar, dan polusi. Hal ini dapat dimaklumi karena energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar. Sullivan dan Flannagan (2002) juga melakukan penelitian tentang intensitas kecelakaan jalan raya dengan intensitas cahaya matahari terkait dengan perubahan waktu dan menyimpulkan terdapat korelasi antara keduanya.

Terkait dengan ekonomi, Stein dan Daude (2007) melakukan penelitian terkait perbedaan wilayah waktu dan foreign direct investment (FDI), dan menyimpulkan bahwa adanya perbedaan wilayah waktu berdampak buruk atau negatif terhadap FDI dan sektor perdagangan pada umumnya. Untuk menghadapi kendala ini, mereka menyarankan untuk menggunakan teknologi informasi seluas mungkin.

Lebih lanjut, Sunarjo dan Sukanto (2007) menyebutkan latar belakang dan prinsip penentuan 3 (tiga) wilayah waktu ditinjau dari segala sudut, baik teknis, sosial maupun agama adalah sebagai berikut:

1. Secara nautis telah sepantasnya Wilayah Indonesia yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan meliputi ± 460 terbagi dalam 3 Wilayah Waktu. Karena Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau, maka tidak mungkin untuk mendapatkan batas wilayah waktu yang merupakan garis lurus.

2. Diusahakan agar satu kepulauan besar atau provinsi tidak terbagi dalam wilayah waktu yang berbeda. 3. Diusahakan agar derajat tolok membagi wilayah

waktu dalam 2 bagian yang simetris, supaya waktu di ujung barat dan timur tidak berbeda jauh dengan waktu tolok di tempat-tempat dengan banyak aktivitas dan tidak berbeda jauh dengan waktu sejati.

4. Ditinjau pula dari sudut lalu lintas dan komunikasi antar daerah, dan juga faktor kepadatan penduduk. 5. Peninjauan dari segi sosio-psikologis dan agama

dengan maksud untuk mencapai keseragaman, efisiensi serta perkembangan pembangunan.

4. KESIMPULAN

Wacana untuk menyatukan wilayah waktu Indonesia yang geografis Indonesia yang terbentang sepanjang 460 dan secara fisik dilewati oleh tiga meridian acuan wilayah waktu (1050 BT, 1200 BT dan 1350 BT) akan berpengaruh negatif terhadap aspek sosial kemasyarakatan, energi, lingkungan dan keselamatan. Untuk meningkatkan produktivitas ekonomi terkait pasar saham dan perdagangan regional, sebaiknya teknologi informasi

digunakan seluas mungkin serta dengan mengatur jam kerja secara proporsional untuk sektor terkait.

Secara ilmiah, peran ilmu geodesi dibutuhkan untuk menjaga sistem dan skala waktu di Indonesia, misalnya dengan memanfaatkan jaringan Global Navigation Satellite System (GNSS) dan Very Long Baseline Interferometry (VLBI). Untuk lebih menguatkan penentuan wilayah waktu Indonesia ke dalam tiga wilayah waktu, sebaiknya kebijakan tersebut ditetapkan melalui undang-undang, sehingga menjamin kepastian bagi masyarakat dan menjaga stabilitas nasional.

References:

Hecq, W., Borisov, Y., Totte, M. (1993) Daylight saving time effect on fuel consumption and atmospheric pollution. Science of the Total Environment, vol. 133 issue 3, p. 249-274.

Holford-Strevens, L. (2005) The History of Time: A Very Short Introduction, 160p., Oxford University Press.

Howse, D. (1985) 1884 and Longitude Zero, Vistas in Astronomy, Vol. 28, pp.11-19.

Kantermann, T., Juda M., Merrow, M., and Roenneberg, T. (2007) The human circadian clock's seasonal adjustment is disrupted by daylight saving time, Current Biology 17: 22. 1996-2000 Nov.

Moritz, H. and Mueller, I.I. (1987) Earth rotation. Theory and Observation. Ungar, New York.

Stein, E. and Daude, C. (2007) Longitude matters: Time zones and the location of foreign direct investment, Journal of International Economics, Elsevier, vol. 71(1), pages 96-112, March.

Sullivan J. M. and Flannagan M. J. (2002) The role of ambient light level in fatal crashes: inferences from daylight saving time transitions, Accident Analysis & Prevention, vol. 34, pp. 487-498.

Sunarjo dan Sukanto, E. (2007) Riwayat Waktu di Indonesia dan Perkembangannya, Lokakarya Pengolahan Data Tanda Waktu, Bidang Geofisika Potensial dan Tanda Waktu, Badan Meteorologi dan Geofisika.

Thomson, D. B. (1981) Introduction to Geodetic Astronomy, Lecture Notes 49, 197p., Department of Geodesy and Geomatics Engineering, University of New Brunswick, Fredericton, N .B., Canada.

Gambar

Tabel 1. Sejarah Pembagian Wilayah Waktu Indonesia
Gambar 1.  Ilustrasi Geometri Sistem Waktu
Gambar 2. Variasi Waktu Terbit Matahari pada Wilayah Waktu Indonesia Barat sepanjang Tahun 2012
Tabel 2. Perhitungan Waktu Kedudukan Matahari di Ibu Kota Provinsi Tahun 2012
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari pengujian posisi bola ini adalah sebagai perbaikan metode sebelumnya dalam melakukan perhitungan jarak antara robot dengan objek, dalam hal ini

Tujuan dari pengujian posisi bola ini adalah sebagai perbaikan metode sebelumnya dalam melakukan perhitungan jarak antara robot dengan objek, dalam hal ini

Akhirnya dengan menggunakan gambaran perhitungan tersebut saya mencoba membuat horoskop (peta posisi berbagai planet dalam zodiak pada kelahiran seseorang) dan

Dalam momentum Masyarakat Ekonomi ASEAN , perempuan juga berperan besar untuk menentukan posisi Indonesia dalam persaingan tingkat ASEAN.Pemberdayaan perempuan adalah

Dalam penentuan awal bulan Qamariyah dengan metode rukyat al hilal, perukyah tidak akan terlepas dari hisab (perhitungan) untuk menentukan di mana posisi hilal, baik