• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENGARUH TERAPI RELAKSASI AUTOGENIK TERHADAP DEPRESI PADA LANJUT USIA DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA CIPARAY BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of PENGARUH TERAPI RELAKSASI AUTOGENIK TERHADAP DEPRESI PADA LANJUT USIA DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA CIPARAY BANDUNG"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

56 PENGARUH TERAPI RELAKSASI AUTOGENIK TERHADAP DEPRESI PADA LANJUT USIA DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA CIPARAY

BANDUNG

Dedi Supriadi¹, Evangeline Hutabarat², Vidya Pramesty Putri³ Program Studi Ilmu Keperawatan (S.1) Stikes Jenderal Achmad Yani Cimahi

ABSTRAK

Depresi merupakan kasus yang sering terjadi pada lansia.Prevalensi depresi pada lansia di Indonesia cukup tinggi. Menurut hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung, dimana ada 5 lansia yang menderita depresi, depresi ini dapat menyebabkan beberapa masalah fisik dan perubahan dalam keterlibatan kegiatan sosial. Depresi dapat diatasi dengan memberikan terapi nonfarmakologi seperti terapi relaksasi autogenik.Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap depresi pada lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi experiment dengan rancangan One-Group Pretest Posttest.Sebanyak 31 responden lansia telah ikut berpartisipasi dalam penelitian ini, dengan teknik pengambilan sampel secara consecutive sampling, serta menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang diperoleh di analisis dengan menggunakan analisis univariat dan bivariate T Test. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap depresi pada lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dengan nilai p Value 0,0001 (α 0,05). Dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa setelah menyelesaikan seluruh proses terapi, para responden mengatakan merasa lebih nyaman dengan diri mereka sendiri dan lingkungan mereka. Sementara responden lainnya mengatakan bahwa mereka mulai ikut berperan dan turut serta dalam aktivitas di panti. Disarankan untuk perawat yang bekerja di panti jompo untuk mengembangkan dan menerapkan terapi nonfarmakologi untuk mengurangi dan mencegah depresi pada lansia.

(2)

57

THE INFLUENCE OF AUTOGENIC RELAXATION THERAPY ON DEPRESSION AMONG

ELDERLY AT BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA CIPARAY BANDUNG

ABSTRACT

Depression is common among elderly. Prevalence of depression among elderly in Indonesia is high. According to preliminary study that has done in Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung, there where 5 elderly who suffer from depression, which can lead to physical problems and alteration in social activity involvement as well. Depression could be diminished with applying nonfarmacology nursing intervention such as autogenic relaxation theraphy. This study aimed to analyze the influence of autogenic relaxation theraphy on depression among elderly in Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung. Method used in this research was quasi experiment with one group pre test post test design. 31 respondents has participated in this research, that has collected with concecutive sampling technique, using inclusive and exclusive criterias. Data obtained was analyzed with univariate and bivariate T Test. From this research can be concluded that there is influence of autogenic relaxation theraphy on depression among elderly in Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung with p Value 0,0001 (CI, 0,05). It is also reported after finishing the theraphy sessions, the respondents felt more comfortable with themselves and their environment. While other respondents told that they involved more in activities in the nursing home. It is suggested for nurse who work in nursing home to develop and apply a nonfarmacology nursing intervension in order to alleviate and prevent the depression among elderly Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung.

(3)

58 Pendahuluan

Lansia merupakan suatu proses alami yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap

orang. Menurut UU RI No 13 tahun 1998 lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun ke atas ditinjau dari umur kronologisnya. World Health Organization (WHO) mengatakan

bahwa batasan umur pada lansia dikelompokkan menjadi usia pertengahan (middle age) yaitu usia

45-59 tahun, lanjut usia pertama (elderly) yaitu usia 60-74 tahun, lanjut usia tua kedua (old) yaitu

usia 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) yaitu diatas 90 tahun. Hurlock (1979) mengatakan

lansia terbagi dalam dua tahap yaitu lanjut usia awal (early old age) yaitu usia 60-70 tahun dan

lanjut usia akhir (advanced old age) yaitu usia 70 tahun ke atas (Nugroho, 2008).

Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia atau Aging

Structured Population karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%.

Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar ± 19 juta dengan usia harapan hidup

66,2 tahun. Pada tahun 2010 jumlah lansia sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18%) dan pada tahun 2010

mengalami peningkatan menjadi 23.992.553 jiwa (9,77%) sementara tahun 2011 jumlah lansia

sebesar 20 juta jiwa (9,51%) dengan usia lansia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020

diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71 tahun (Depkes, 2012).

Seiring meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk akan berpengaruh pada

peningkatan Usia Harapan Hidup (UHH) di Indonesia. Berdasarkan laporan Perserikatan

Bangsa-Bangsa 2011, pada tahun 2000-2005 UHH adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia

tahun 2000 adalah 7,74%) angka ini akan meningkat pada tahun 2045-2050 yang diperkirakan

UHH menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,68%) (Depkes,

2012).

Data prevalensi depresi pada lansia di Indonesia cukup tinggi. Kejadian di ruang akut geriatrik

sebanyak 76,3% dengan proporsi pasien geriatrik yang mengalami depresi ringan adalah 44,1%

depresi sedang sebanyak 18%, depresi berat sebanyak 10,8% dan depresi sangat berat sebanyak

3,2% (Soejono, Probosuseno & Sari, 2006 dalam Marta, 2012). Penelitian lain yang dilakukan

oleh Wada et al. (2005) pada lansia yang ada di dua kota di pulau Jawa didapatan bahwa 33,8%

memiliki depresi.

(4)

59 perasaan seperti depresi, harga diri rendah, gangguan fisik dan gangguan perilaku. Gangguan psikologis yang paling banyak dialami oleh lansia adalah depresi (Azizah, 2011).

Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang utama. Hal ini sangat penting karena orang

dengan depresi produktivitasnya akan menurun. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan

kejiwaan pada alam perasaan yang ditandai dengan kemurungan kelesuan, ketiadaan gairah hidup,

perasaan tidak berguna dan putus asa (Hawari, 2011). Menurut Elvira dan Hadisukanto (2010,

dalam Inayati, 2012) : penyebab depresi ada 4 faktor yaitu faktor biologi, faktor genetic, faktor

psikologi dan faktor kepribadian. Kaplan (2010, dalam Inayati, 2012) : gangguan depresi umum

terjadi pada masa lansia dengan prevalensi 25%-50% dari semua penduduk lansia. Beberapa

penelitian menunjukkan depresi pada lansia dapat dihubungkan dengan status ekonomi yang

rendah, keilangan pasangan, penyakit fisik dan isolasi sosial.Depresi dapat menyebabkan lansia

menjadi kurang bersemangat dalam hidupnya.

Penatalaksanaa dalam menangani penderita depresi dapat dilakukan dengan cara terapi medis,

terapi psikologi dan melalui kegiatan promosi kesehatan. Terapi medis dilakukan melalui

pemberian obat-obatan anti depresi. Pemberian terapi ini harus memperhatikan kondisi lanjut usia

yang tengah mengalami proses penuaan. Penuaan yang dialami oleh lansia akan memiliki dampak

pada sensitifitas efek samping obat yang sedang dikonsumsi (Djaali & Sappaile, 2013). Sehingga

terapi non farmakologi yang dapat dilakukan untuk mengatasi depresi pada lansia yaitu dengan

menggunakan cara non farmakologi salah satunya teknik relaksasi autogenik.

Teknik relaksasi autogenik adalah suatu relaksasi yang bersumber dari dalam diri sendiri yang

berupa kata-kata atau beberapa kalimat pendek bisa juga fikiran yang bisa membuat fikiran kita

tentram. Relaksasi merupakan relaksasi yang berasal dari diri kita sendiri dengan menggunakan

kata-kata atau kalimat motivasi seperti “aku tenang dan nyaman” dan “aku damai disini” yang bisa

membuat pikiran kita tenang. Relaksasi autogenik dilakukan dengan membayangkan diri sendiri

berada dalam keadaan damai dan tenang, berfokus pada detak jantung dan pengaturan nafas

(Aryani, 2007).

Menurut Varvogli (2011) dalam Kristiarini (2013), teknik relaksasi autogenik membawa

perintah tubuh melalui autosugesti untuk rileks sehingga pernafasan, tekanan darah, denyut

jantung serta suhu tubuh dapat dikendalikan.Standar latihan relaksasi autogenik bersumber dari

imajinasi visual dan mantra verbal yang membuat tubuh merasa hangat dan santai.Sensasi hangat

ini disebabkan oleh peralihan aliran darah (dari pusat tubuh ke daerah tubuh yang diinginkan),

(5)

60 rileks dan mengikuti secara pasif, keadaan rileks tersebut merangsang saraf simpatik dan

parasimpatik menghasilkan hormon beta-endorfin sebagai respon dari relaksasi sehingga

menimbulkan rasa bahagia dan menurunkan depresi (Saunders, 2006).

Menurut penelitian Kristiani (2013) tentang pengaruh teknik relaksasi autogenik terhadap

skala nyeri pada ibu post operasi section caesarea(SC), penelitian tersebut mendapatkan hasil penelitian yaitu didapatkan nilai p sebesar 0,000. Dengan demikian nilai p lebih kecil dari nilai α (5%) atau 0,05, sehingga Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan

teknik relaksasi autogenik terhadap skala nyeri pada ibu post section caesarea(SC).

Sedangkan menurut penelitian Rizka Amalia Farada tentang pengaruh terapi relaksasi

autogenik terhadap tingkat kecemasan pada ibu primigravida trimester III, hasil penelitian tersebut

didapatkan bahwa p-value (0,01) < α (0,05) yang berarti Ho ditolak, dapat disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang bermakna antara terapi relaksasi autogenik terhadap tingkat kecemasan

pada ibu primigravida trimester III (Farada, 2011).

Hasil studi pendahuluan yaitu di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung

sebanyak 150 lansia terdiri dari 94 lansia berjenis kelamin perempuan dan 56 lansia berjenis

kelamin laki-laki. Dari hasil studi yang dilakukan kepada 10 responden didapatkan hasil bahwa 5

lansia diantaranya mengalami depresi ringan dengan gejala depresi yaitu menarik diri dari aktivitas

biasa, sulit tidur, merasa sedih, merasa tertekan, merasa bosan, merasa kesepian, merasa ditinggal

oleh keluarganya. Dampak yang timbul pada lansia yang mengalami depresi mereka mengalami

gangguan tidur, sulit untuk buang air besar, badan terlihat lesu, pada beberapa lansia yang

mengalami depresi punggung mereka semakin membongkok. Dari pihak panti sendiri upaya yang

dilakukan untuk mengatasi depresi pada lansia yaitu bekerja sama dengan puskesmas setempat

serta meminta pengobatan dari dokter dengan memberikan obat-obatan antidepresan seperti

diazepam dan alpolidol. Untuk pengobatan non-farmakologi pihak panti mengatakan belum

pernah melakukannya pada lansia yang mengalami depresi.Serta untuk terapi relaksasi autogenik

belum pernah diberikan pada lansia yang mengalami depresi.

A.Metode Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre eksperiments dengan jenis

one group pretest posttest design. Peneliti menggunakan jenis ini untuk mencari pengaruh

perlakuan yaitu terapi relaksasi autogenik terhadap depresi pada lansia sebelum dan sesudah

(6)

61 dengan alat ukur yang digunakan yaitu Geriatric Depression Scale (GDS) untuk mengetahui

tingkat depresi pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi autogenik.Burn (1999

dalam Azizah, 2011) mengemukakan bahwa intrumen GDS ini memiliki sensitivitas 84% dan

specificity 95%. Tes reliabilitas alat ini correlates significantly of 0,85. Alat ini terdiri dari 30 poin

pertanyaan dibuat sebagai alat penapisan depresi pada lansia. GDS ini menggunakan format

laporan sederhana yang diisi sendiri dengan menjawab “ya“ atau “tidak“ pada setiap pertanyaan,

yang memerlukan waktu sekitar 5-10 menit untuk menyelesaikannya. GDS sangat baik digunakan

untuk menilai depresi pada lansia yang sehat, dalam kondisi sakit dan lansia dengan gangguan

kognitif ringan hingga sedang.Skor 11-30 dinyatakan depresi. Spesifikasi rancangan perrnyataan

perasaan (mood) depresi seperti tabel berikut :

Tabel 1. Spesifikasi Rancangan Kuesioner GDS

Parameter Favourable Unfavourable

Minat aktifitas 2, 12, 20, 28 27 Perasaan sedih 16, 25 9, 15, 19 Perasaan sepi dan bosan 3, 4

Perasaan tidak berdaya 10, 17, 24

Perasaan bersalah 6, 8, 11, 18, 23 1 Perhatian / konsentrasi 14, 26, 30 29 Semangat atau harapan terhadap

masa depan

13, 22 5, 7, 21

Sampel penelitian ini adalah lansia yang mengalami depresi pada skor 11-30 yang tinggal di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan teknik pengambilan sampel menggunakan metode consecutive samplingsehingga jumlah sampel yang didapat adalah 31 orang. Penelitian ini mengukur skor depresi pada lansia. Uji statistik yang digunakan adalah uji statististik parametrik yaitu UjiShapiro wilkdikarenakan data yang didapat berdistribusi normal.

Hasil Penelitian

Tabel I. Rata-Rata Skor Depresi Pada Lansia Sebelum Diberikan Terapi Relaksasi Autogenik

Variabel Pengukuran Mean SD SE

(7)

62 Hasil analisis pada tabel 1, didapatkanrata-rata skor depresi sebelum terapi relaksasi autogenik

adalah 18,55, skor tersebut dikategorikan kedalam kategori depresi ringan, dengan standar deviasi

4,7111 dan standar eror 0,164.

Tabel 2. Rata-Rata Skor Depresi Pada Lansia Setelah Diberikan Terapi Relaksasi Autogenik

Variabel Pengukuran Mean SD SE

Depresi Sesudah 8.26 3.732 0,670

Hasil analisis pada tabel 2, didapatkanrata-rata skor depresi setelah diberikan terapi relaksasi

autogenik adalah 8,26 skor tersebut dikategorikan kedalam kategori tidak depresi, dengan standar

deviasi 3,732 dan standar eror 0,670.

Tabel 3. Pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap depresi pada lanjut usia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung

Variabel Pengukuran Mean SD SE p Value

Depresi Sebelum 10.290 3.977 0.714 0.0001

Sesudah

Berdasarkan tabel 3.Didapatkan hasil bahwa rata-rata skor depresi sebelum dan sesudah terapi relaksasi autogenik adalah 10,290 dengan standar deviasi 3,977 dan nilai standar eror 0,714. Hasil uji statistic didapatkan Ho ditolak artinya ada pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap depresi pada lansia di Balai Perlindungan Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung dengan p Value 0,0001 (α 0,05).

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisa datadidapatkan nilai pvalue = 0,0001maka dapat disimpulkan

terdapat pengaruh terapi relaksasi autogenik terhadap depresi pada lansia di Balai Perlindungan

Sosial Tresna Werdha Ciparay Bandung. Dengan rata-rata skor depresi sebelum diberikan terapi

relaksasi autogenik adalah 18,55, sedangkan rata-rata sesudah diberikan terapi relaksasi autogenik

adalah 8,26.

Selisih penurunan skor depresi pada lansia sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi

autogenik adalah 10,290.Secara fisiologis, pada kondisi depresi tubuh akan mengaktifasi

hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin yaitu sistem simpatis dan

sistem korteks adrenal. Sistem saraf simpatis memberi sinyal ke medula adrenal untuk melepaskan

(8)

63 hipotalamus mensekresikan suatu zat kimia yang bekerja pada kelejar hipofisis yang terletak tepat

di bawah hipotalamus.

Depresi yang dibiarkan berlarut-larut akan sangat berbahaya bagi kesehatan karena akan

mempengaruhi kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati,

berkurangnya energy yang menuju meningkatkan keadaan mudah lelah dan berkurangnya

aktifitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (2003) dalam Stanley & Beare (2006), yang

menyebutkan masa lansia merupakan masa dimana terjadi perubahan fisiologis tubuh dimana

terjadi penurunan segi fisik, kognitif, peran sosial, kehilangan kekuatan ekonomi dan sosial,

kehilangan pasangan hidup dan teman-teman sebaya yang menimbulkan perubahan peran dan

pengurangan keterlibatan terhadap interaksi sosial. Hal ini tentu sangat membuat stress pada

lansia. Jika seorang lansia mengalami keterlambatan dalam menyesuaikan diri terhadap

stressor-stresor tersebut maka dapat berakibat timbulnya depresi.

Depresi perlu ditangani untuk mencegah depresi ringan menjadi berat dan berujung pada

upaya bunuh diri. Angka statistik dari penelitian menurut Bonsdorf tahun 2006 menyebutkan 20%

penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Depresi dapat ditangani dengan berbagai terapi,

bak terapi farmakologis maupun terapi nonfarmakologis.Terapi nonfarmakologis biasanya

didahulukan sebelum memulai terapi farmakologis (Supartondo dan Setiati, 2008).

Pemberian terapi relaksasi autogenik dilakukan tiga kali dalam seminggu selama 20

menit.Relaksasi autogenik akan membantu tubuh untuk membawa perintah melalui autosugesti

untuk rileks sehingga dapat mengendalikan pernafasan, tekanan darah, denyut jantung serta suhu

tubuh. Imajinasi visual dan mantra-mantra verbal yang membuat tubuh merasa hangat, berat dan

santai merupakan standar latihan relaksasi autogenik (Varvogli, 2011 dalam Kristiani, 2013). Dasar dari latihan autogenik ini adalah untuk mempelajari cara “mengalihkan” pikiran berdasarkan anjuran sehingga kita dapat menyingkirkan respon stress yang mengganggu pikiran

kita. Anjuran pokok dalam teknik relaksasi autogenik ini yaitu kita menyerahkan pada diri

kita.Sebenarnya untuk memungkinkan berbagai daerah didalam tubuh seperti lengan, tungkai dan

kaki menjadi hangat dan berat, ini disebabkan oleh peralihan aliran darah dari pusat tubuh ke

daerah tubuh yang diinginkan, yang menyejukkan dan merelaksasikan otot-otot sekitar sehingga

menjadi rileks.Selain itu terapi relaksasi autogenik ini dapat memberikan rasa nyaman,

mengurangi stress, memberikan ketenangan dalam diri dan mengurangi ketegangan pada tubuh

(9)

64 Menurut Aryani, 2007 untuk mencapai hasil yang optimal dibutuhkan konsentrasi penuh

terhadap kata-kata “mantra” yang dapat membuat rileks. Apabila terapi relaksasi autogenik ini

dilakukan 3 kali seminggu akan mendapatkan hasil yang optimal. Hal ini didukung oleh penelitian

Purbowinoto & Kartinah (2012) tentang Pengaruh Terapi Musik Keroncong terhadap Perubahan

Tingkat Depresi pada Lansia di PSTW Budi Luhur Yogyakarta terhadap 27 orang yang dilakukan

sebanyak 6 kali cukup efektif untuk menurunkan tingkat depresi. Pada saat mendengarkan musik

keroncong dapat membantu mengekspresikan perasaan, membantu rehabilitasi fisik, memberi

pengaruh positif terhadap kondisi suasana hati dan emosi, meningkatkan memori, serta

membangun kedekatan emosional.Sehingga dapat membantu mengatasi stress, mencegah penyakit

dan dapat menurunkan depresi.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Nur Inayati (2012) mengenai Pengaruh Teknik Relaksasi

Benson terhadap Tingkat Depresi Lanjut Usia Awal Umur 60-70 tahun di UPT Pelayanan Sosial

Lanjut Usia Jember. Penelitian ini dilakukan kepada 42 responden, dibagi menjadi 2 kelompok

yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Terapi relaksasi benson ini cukup efektif untuk

menurunkan tingkat depresi, pada saat diberikan terapi pasien merasa tenang dan nyaman, lebih

meningkatkan spiritualnya dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga teknik relaksi yang

tepat. Sehingga ketegangan yang ada dalam diri responden menjadi tenang, rileks, emosi

berkurang dan menurunkan tingkat depresi lansia.

Dalam penelitian ini terbukti bahwa terapi relaksasi autogenik dapat menurunkan depresi pada

lansia.Menurunnya skor depresi yang terjadi pada lansia mengikuti terapi ini disebabkan oleh

kegiatan mendengarkan sugesti yang akan menghasilkan stimulus yang dikirim dari akson-akson

serabut sensori asendens ke neuron-neuron dari reticular activating system (RAS). Stimulus

kemudian di transmisikan ke nuclei spesifik dari thalamus melewati area-area korteks serebral,

sistem limbic dan korpus collosum dan melalui area-area sistem saraf otonom dan sistem

neuroendokrin.Sistem saraf otonom berisi saraf simpatik dan parasimpatik.Sugesti ini dapat

memberikan respon relaksasi.Karakteristik respon relaksasi yang ditimbulkan berupa penurunan

frekuensi nadi, relaksasi otot, ketenangan, ketenangan dan penurunan emosi.

Teknik relaksasi yang diberikan mampu membantu tubuh untuk membawa perintah melalui

autosugesti sehingga menstimulasi arteri perifer kemudian menaikan aliran darah sehingga aliran

darah ke batang otak cukup dan merangsang hipotalamus untuk mempengaruhi kerja saraf otonom

(10)

65 menghasilkan hormon beta-endorphin sehingga timbul perasaan rileks dan senang dan dapat

menurunkan stress serta ketegangan.

Menurut peneliti, adanya penurunan skor depresi yang terjadi pada lansia yang mengikuti

terapi ini disebabkan oleh kegiatan terapi relaksasi autogenik membuat lansia memunculkan

perasaan yang baik dan tenang. Perasaan senang ini akan membuat tubuh bereaksi. Tubuh

merasakan kehangatan, merupakan akibat dari arteri perifer yang mengalami vasodilatasi,

sedangkan ketegangan otot tubuh yang menurun mengakibatkan munculnya sensasi

ringan.Sedangkan menurut Oberg (2009) dalam Kristiani (2013), respon emosi dan efek

menenangkan yang ditimbulkan oleh relaksasi ini mengubah fisiologi dominan simpatis menjadi

dominan sistem parasimpatis.

Hasil evaluasi pada hari ke 3 setelah proses terapi relaksasi autogenik dan melakukan

pengecekan kembali dengan menggunakan kuesioner GDS kepada 31 responden. Lansia

mengutarakan selama terapi banyak perubahan yang dirasakan bagi tubuh, mampu menyesuaikan

dengan stressor-stresor, mampu mengurangi emosi, mulai beradaptasi dengan teman satu wisma

serta lingkungan, permasalahan menjadi ringan karena dalam proses terapi relaksasi autogenik

mereka menjalin komunikasi satu sama lain dan selalu bersama sehingga serta mereka cenderung

mampu melepasakan emosi mereka dengan positif melalu relaksasi. Beberapa lansia yang

menutup diri dan sulit diajak untuk berkumpul secara perlahan menjadi sering berbaur serta saling

bertutur sapa.

Dalam menangani kasus gerontik, perawatan melakukan peran dan fungsinya sebagai care

giver atau pemberian asuhan keperawatan secara langsung.Perawat juga memiliki otonomi yang

luas dalam memberikan intervensi, terutama tindakan mandiri, sebagai sebuah profesi yang

ditunjang dengan pendidikan tinggi.Kondisi ini memberikan praktik keperawatan

komplementer.Salah satu terapi komplementer adalah terapi relaksasi autogenik (Setyoadi &

Kushariyadi, 2011).

Pemberian terapi relaksasi autogenik secara rutin dan teratur dapat membantu meningkatkan,

memulihkan, memelihara kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, spiritual dari setiap individu.

Hal ini akan mempertahankan keseimbangan yang alami dan harmonis dalam kehidupan lansia.

Sehingga pengembangan terapi relaksasi autogenik sebagai salah satu intervensi dalam asuhan

keperawatan untuk mengatasi depresi perlu diperhatikan.Tujuan utama dari pemberian terapi

(11)

66 dilakukan dapat membantu lansia yang depresi dengan meningkatkan mood, perasaan bahagia.

Sebelum diberikan terapi relaksasi autogenik, kondisi lansia lebih banyak diam dan lebih memilih

sendiri dibandingkan berinteraksi dengan lansia lainnya dan sesudah diberikan terapi relaksasi

autogenik lansia terlihat senang berinteraksi dengan lansia lain dan mengatakan bahwa mereka

sudah dapat menyesuaikan diri dengan stresor-stresor yang ada dalam diri lansia. Dalam

penanganan kasus depresi pada lansia terapi relaksasi autogenik dapat dimodifikasi dengan terapi

nonfarmakologis lainnya.

Kesimpulan

1. Nilai rata-rata (mean) skor depresi pada lansia sebelum diberikan terapi relaksasi autogenik

adalah 18,55, kondisi tersebut termasuk ke dalam kriteria depresi ringan.

2. Nilai rata-rata (mean) skor depresi pada lansia sesudah diberikan terapi relaksasi autogenik

adalah 8,26, kondisi tersebut masih termasuk ke dalam kriteria tidak depresi.

3. Secara statistik ada pengaruh terapi relaksasi autogenik dalam menurunkan depresi pada lansia

di tandai dengan rata-rata skor depresi sebelum dan sesudah diberikan terapi relaksasi

autogenik yaitu 18,55 termasuk depresi ringan menjadi 8,26 termasuk tidak depresi dan nilai

(12)

67 Daftar Pustaka

Aryani.(2007). Terapi Modalitas Keperawatan.Jakarta : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Azizah, Lilik. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Depkes, Kemenkes RI. (2012). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia, Jakarta : Bakti Husada.

Djaali & Sappale.(2013). International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE).A Systematic Review: Group Counselling for Older Peoplewith Depression, 455 - 462. Farada, Rizka. (2011). Pengaruh Teknik Relaksasi Autogenik terhadap Tingkat Kecemasan pada

Ibu Primigravida Trimester III di Wilayah Kerja Puskesmas Kotakulon Kabupaten Bondowoso. Skripsi, Jember, Universitas Jember.

Hawari, Dadang. (2011). Manajemen Stres, Cemas dan Depresi.Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Inayati. (2012). Pengaruh Teknik Relaksasi Benson terhadap Tingkat Depresi Lanjut Usia Awal (Early Old Age) Umur 60-70 Tahun di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jember, Skripsi, Jember, Universitas Jember.

Kristiarini, (2013), Pengaruh Teknik Relaksasi Autogenik terhadap Skala Nyeri pada Ibu Post Operasi Sectio Caesare (SC) di RSUD Banyumas, Skripsi, Universitas Jenderal Soedirman.

Marta. (2012). Determinan Tingkat Depresi pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werda Jakarta Selatan.Skripsi. Jakarta, Universitas Indonesia

Nugroho, W. (2008).Keperawatan Gerontik Edisi ke-3.Jakarta : EGC.

Sastroasmoro & Ismalel.(2011). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.Jakarta : CV Sagung Seto.

Setyoadi dan Kushariadi.(2011). Terapi Modalitas pada Pasien Geriatri.Jakarta : EGC.

Stanley, Mickey & Beare, Patricia.(2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Edisi ke-2.Jakarta : EGC.

Supartondo, Setiati, S., dan Soejono, C.H., Penatalaksaan Pasien Geriatri dengan Pendekatan Interdisiplin.Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 107-112.

(13)

Gambar

Tabel I.   Rata-Rata Skor Depresi Pada Lansia Sebelum Diberikan Terapi Relaksasi Autogenik

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa terapi lingkungan plant therapy tidak efektif terhadap tingkat depresi pada lansia di Panti Wisma Tresna Werdha Muhammadiyah Kota

Pengaruh Terapi Kelompok Reminiscence terhadap Depresi pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Provinsi Kalimantan Selatan (Tesis;

Dari hasil penelitian dapat diketahui ada hubungan antara inkontinensia urin dengan tingkat depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha km.6 dan Panti Sosial Dharma Bakti

PENGARUH SENAM ERGONOMIK DENGAN TERAPI MUSIK TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA LANSIA DI BALAI PERLINDUNGAN SOSIAL TRESNA WERDHA (BPSTW) CIPARAY BANDUNG TAHUN 2014..

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan interaksi sosial dengan kejadian depresi pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha (PSTW) Jember.. Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi relaksasi guided imagery terhadap insomnia pada lansia di UPT telayanan Sosial Tresna Werdha

Tujuan umum pada penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan tingkat depresi dengan kualitas tidur pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Tresna Werdha Unit Budi

Berdasarkan hasil penelitian analisis univariat mengenai kualitas tidur lansia sebelum diberikan terapi musik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai