• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik politik elit desa: perebutan jabatan kepala desa di Rimba Makmur Propinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konflik politik elit desa: perebutan jabatan kepala desa di Rimba Makmur Propinsi Riau"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Konflik politik elit desa: perebutan jabatan kepala desa di Rimba Makmur

Propinsi Riau

Suryaningsih

Program studi Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Abdurrab, Pekanbaru

aseh2309@gmail.com

Abstract

This article explains the conflict over village head position in Rimba Makmur, Riau. Direct village head election in Rimba Makmur has implemented since 2000. This was the first election

since the changing of Unit Pemukimam Transmigrasi (UPT) into ‘desa.’ This research

conducted by qualitative method through interview and documentation data collecting. Research finds conflict over village head risen at the time of the second election held in 2005. One of the failed candidates mobilized ex-settlement in UPT to raise issues related to formation history of these villages. Then, the conflict widespread to regency level in Rokan Hulu and Kampar.

Keywords: conflict, village elit, village head election.

Abstrak

Tulisan ini berupaya untuk memaparkan konflik perebutan jabatan kepala desa di Rimba Makmur Provinsi Riau. Pelaksanaan pemilihan kepala desa (pilkades) secara langsung di Rimba Makmur dilakukan pada tahun 2000. Ini merupakan pelaksanaan pilkades untuk pertama kalinya setelah adanya perubahan dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) menjadi desa. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik perebutan jabatan kepala desa muncul ketika adanya pilkades yang kedua kalinya di Rimba Makmur pada tahun 2005. Salah satu calon yang kalah dalam pemilihan kepala desa tidak menerima kekalahannya. Calon tersebut kemudian menggalang dukungan ke desa-desa eks Unit Pemukiman Transmigrasi yang lain dan mengangkat isu tentang sejarah awal terbentuknya desa-desa ini. Konflik semakin meluas hingga menjadi konflik antar kabupaten, yakni Kabupaten Rokan Hulu dengan Kabupaten Kampar.

Kata kunci: konflik, elit desa, pilkades

(2)

Pengaturan tentang pemilihan kepala desa (pilkades) secara langsung telah diatur sejak zaman Orde Baru melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa. Pasal-pasal yang mengatur tentang kepala desa dalam undang-undang ini masih saling bertentangan satu dengan yang lainnya, sehingga pilkades sarat dengan rekayasa dan kontrol pemerintah supradesa (Dwipayana, 2009). Pada masa reformasi pemerintahan desa diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini pengaturan tentang pemilihan kepala desa tidak berbeda jauh dengan pengaturan dalam undang-undang sebelumnya. Kepala desa masih dipilih langsung oleh penduduk desa dari calon yang memenuhi persyaratan Calon kepala desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak tersebut ditetapkan oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan disahkan oleh Bupati.

Dengan adanya aturan baru tersebut dan adanya pemekaran Kabupaten Kampar, Desa Rimba Makmur melakukan pemilihan kepala desa untuk pertama kalinya pada tahun 2000. Sebelumnya, kepala desa di Rimba Makmur merupakan Pejabat Sementara (PJS) karena wilayah ini baru terbentuk dari Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) IV menjadi Desa Rimba Makmur. Pada awalnya Desa Rimba Makmur merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Kampar, tetapi setelah pemekaran Desa Rimba Makmur masuk dalam wilayah Kabupaten Rokan Hulu.

Pada tahun 2005, Desa Rimba Makmur kembali melakukan pemilihan kepala desa secara langsung. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 diatur bahwa masa jabatan kepala desa paling lama 10 tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan. Ada 2 calon kepala desa yang ikut serta dalam pilkades tersebut, yakni Bapak Haryanto dan Bapak Sukio Budi. Dalam pilkades periode 2005-2011 ini dimenangkan oleh Bapak Sukio Budi. Bapak Haryanto sebagai eks kepala desa periode 2000-2005 yang ikut serta dalam pilkades tahun 2005, tidak menerima kekalahannya. Berbagai upaya beliau tempuh untuk dapat menduduki posisi kepala desa di Rimba Makmur. Konflik semakin meluas hingga ke tingkat kabupaten karena isu yang diangkat oleh Bapak Haryanto dan pendukungnya terkait dengan sejarah awal terbentuknya desa.

(3)

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dalam menganalisis konflik politik elit desa di Rimba Makmur. Teknik pengumpulan data primer yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam (indepth interview) yang dipandu oleh pedoman wawancara secara terstruktur. Wawancara dilakukan terhadap beberapa informan yang dianggap mewakili kelompok-kelompok yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Informan ditentukan dengan purposive sampling, yakni Kepala desa, tokoh masyarakat, masyarakat desa, Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Rokan Hulu, Kasi Pemerintahan kecamatan Tapung Hulu, mahasiswa Rimba Makmur, dan Kepala Sub Bagian Penataan Batas Wilayah Administrasi Provinsi Riau.

Selain itu, data sekunder didapatkan melalui dokumentasi. Dengan teknik ini maka akan dapat ditelusuri dokumen-dokumen tertulis baik melalui surat-surat, berita acara rapat, koran, berita online, maupun selebaran-selebaran yang dianggap memiliki keterkaitan dengan penelitian ini.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil dan pembahasan berisi hasil-hasil temuan penelitian dan pembahasannya. Tuliskan temuan-temuan yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukak dan harus ditunjang oleh data yang memadai. Hasil-hasil penelitian harus mampu menjawab pertanyaan atau hipotesis penelitian di bagian pendauluan.

Desa bukanlah sebuah entitas yang terbebas dari koflik. Pendekatan klasik yang menyatakan bahwa masyarakat desa hidup rukun, tenang dan tentram, menjaga harmoni, dan saling tolong menolong serta suka bergotong royong merupakan hal yang tidak sesuai dengan kenyataan (Cahyono, 2005). Pengaruh modernisasi dan pembangunan ekonomi mempengaruhi orientasi masyarakat desa dari komunalistik ke individualistik dan materialistis. Akan tetapi, interaksi sosial pada komunitas pedesaan masih dipengaruhi oleh masalah-masalah klasik, seperti afiliasi politik dan keyakinan, kekerabatan, kedudukan, harga diri/gengsi, masalah tanah, dan lain-lain (Sajogyo dan Pudjiwati, 2013).

Berbeda dengan praktek demokrasi yang telah diterapkan oleh desa sejak zaman dahulu, mereka telah mempraktekkan cara berpikir secara rasional, independen, dan bertanggungjawab (Cahyono, 2005). Hal ini terlihat dari pemilihan kepala desa secara langsung yang telah diterapkan sejak lama di Indonesia. Adanya kompetisi antar-individu dalam memperebutkan jabatan politik dan pihak yang menang akan menduduki jabatan politik. Pemilihan kepala desa secara langsung ini merupakan penerapan dari demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi. Held (2004) menyatakan bahwa: “....demokrasi langsung atau demokrasi partisipasi, suatu sistem pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah publik dimana warganegara terlibat

secara langsung. Ini adalah tipe demokrasi “asli” yang terdapat di Atena Kuno, diantara

(4)

dominannya peran negara. Setelah tumbangnya rezim ini, reformasi memberikan peluang bagi demokrasi dengan adanya penerapan asas desentralisasi. Hal ini tentu saja mengguncang keberadaan dan peran elit lokal yang telah mapan sepanjang Orde Baru. Pada masa reformasi ini untuk mendapatkan dan mempertahankan posisi sebagai elit lokal dilakukan melalui proses kompetisi yang relatif ketat diantara individu-individu yang mengincar posisi tersebut (Haryanto, 2009). Kontestasi elit dibuka atas nama demokrasi sehingga setiap elit terseret untuk berkompetisi (Santoso, 2012). Santoso berpendapat bahwa ini merupakan setting liberal yang mengharuskan jabatan publik direbut melalui kompetisi telah menggiring elit (siapapun orangnya) untuk memastikan dirinya memenangi kompetisi. Oleh karena itu, elit politik lokal harus memiliki strategi agar dapat meraih dan mempertahankan posisi dan perannya.

Sketsa Desa Rimba Makmur

Pada tahun 1990-an pemerintah pusat gencar melakukan transmigrasi keseluruh pelosok Indonesia, salah satunya di Kabupaten Kampar. Transmigrasi di kabupaten ini berjumlah 63 Unit Pemukiman Transmigrasi. Desa Sinama Nenek Kecamatan Siak Hulu merupakan salah satu wilayah penempatan untuk transmigrasi tersebut. Ada 5 (lima) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di wilayah ini, yaitu:

a. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) I, penempatan tahun 1990 sampai dengan 1991. b. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) III, penempatan tahun 1990 sampai dengan 1991. c. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) IV, penempatan tahun 1990 sampai dengan 1993. d. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) V, penempatan tahun 1992 sampai dengan 1993. e. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) VII, penempatan tahun 1993 sampai dengan 1994.

Kelima Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) ini kemudian dititipkan ke Kecamatan Kunto Darussalam. Penitipan dilakukan untuk mendekatkan akses masyarakat ke pusat pelayanan publik. Masyarakat kelima Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) menempuh jarak yang cukup jauh untuk mengakses pelayanan publik ke Kecamatan Siak Hulu jika dibandingkan dengan ke Kecamatan Kunto Darussalam.

Dalam perkembangannya, Bupati Kampar H. Saleh Djasid meresmikan 63 Unit

Pemukiman Transmigrasi tersebut menjadi “Desa Persiapan”. Peresmian dilakukan di Desa

Batang Batindih Sungai Galuh pada tahun 1994. Kemudian, “Desa Persiapan” diresmikan menjadi “Desa Definitif” pada tahun 1998 oleh Gubernur Riau. Peresmian tersebut diwakili oleh

(5)

Dengan diresmikannya menjadi desa, maka Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) yang ada di Kecamatan Siak Hulu menjadi:

a. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) I disebut sebagai wilayah Desa Rimba Jaya. b. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) III disebut sebagai wilayah Muara Intan.

c. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) IV disebut sebagai wilayah Desa Rimba Makmur. d. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) V disebut sebagai Wilayah Desa Intan Jaya. e. Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) VII disebut sebagai wilayah Tanah Datar.

Pada tahun 1999 lahirlah Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini memberikan peluang untuk melakukan pemekaran daerah. Kabupaten Kampar memanfaatkan peluang yang diberikan oleh undang-undang tersebut dengan memekarkan diri menjadi 3 (tiga) kabupaten, yakni Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, dan Kabupaten Rokan Hulu. Setelah Kabupaten Kampar melakukan pemekaran pada tahun 1999, maka kelima desa ini masuk dalam wilayah Kabupaten Rokan Hulu.

Pertarungan dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Rimba Makmur

Pemilihan kepala desa (pilkades) secara langsung oleh masyarakat Desa Rimba Makmur untuk pertama kalinya dilakukan pada tahun 2000. Pilkades ini dilakukan karena Desa Rimba Makmur telah menjadi bagian dari Kabupaten Rokan Hulu akibat adanya pemekaran Kabupaten Kampar pada tahun 1999. Kabupaten Rokan Hulu sebagai daerah baru mulai melakukan penataan hingga ke tingkat desa. Pejabat sementara kepala desa yang telah habis masa jabatannya digantikan dengan melakukan pilkades baru. Kepala desa yang terpilih dilantik dengan Surat Keputusan (SK) dari Kabupaten Rokan Hulu.

Pada saat Desa Rimba Makmur masih berstatus sebagai Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), kepala desa tidak dipilih secara langsung. Kepala desa merupakan Pejabat Sementara (Pjs) yang ditunjuk langsung oleh pemerintah daerah. Pengangkatan pejabat kepala desa sementara (Pjs) tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kabupaten Kampar Nomor: KPTS.141/Pemdes/438 Tentang Pengangkatan Pejabat Sementara Kepala Desa di Beberapa Lokasi Unit Pemukiman Transmigrasi Dalam Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Kampar tanggal 8 November 1993. Pejabat Sementara Kepala Desa di Rimba Makmur untuk tahun 1993-2000 adalah Bapak Haryono. Hal ini didasarkan pada pasal 7 Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahann Desa yang mengatur bahwa jabatan kepala desa adalah 8 tahun.

(6)

dilakukanlah kembali pilkades di Rimba Makmur. Calon kepala desa yang muncul pada pilkades tahun 2005 ini sama dengan tahun 2000 yang lalu, yakni Bapak M.S Haryono dan Bapak Drs. Sukio Budi. Pertarungan kedua calon ini dimenangkan oleh Bapak Drs. Sukio Budi. Pengangkatan Bapak Drs. Sukio Budi menjadi Kepala Desa Rimba Makmur periode 2005-2011 berdasarkan Surat Keputusan No.: Kpts.140.05/BPPM/11/2005 Tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Kepala Desa Rimba Jaya, Rimba Makmur, Bukit Intan Makmur, Tanah Datar, Kembang Damai Kecamatan Kunto Darussalam Kabupaten Rokan Hulu pada tanggal 26 April 2005.

Kekalahan yang dialami oleh Bapak Haryono sebagai Kepala Desa Rimba Makmur periode 2005-2011 tidak diterima dengan jiwa besar. Berbagai cara dilakukan oleh Bapak Haryono untuk mendapatkan kembali jabatan sebagai kepala desa. Cara-cara yang ditempuhnya adalah sebagai berikut: pertama, menggalang dukungan dari masyarakat. Bapak Haryono beserta pendukungnya berusaha mempengaruhi masyarakat di Rimba Makmur. Pencarian dukungan akhirnya diperluas hingga ke empat desa eks transmigrasi di Kecamatan Kunto Darussalam, yakni Desa Rimba Jaya, Muara Intan, Tanah Datar, dan Intan Jaya. Kedua, pengangkatan isu strategis. Isu yang diangkat untuk kubu Bapak Haryono untuk mendapatkan kembali kursi kepala desa adalah tentang sejarah lima desa eks transmigrasi. Pada masa itu lima desa dititipkan ke Kecamatan Kunto Darussalam, maka lima desa ingin kembali masuk ke wilayah Kabupaten Kampar. Ketiga, mencari dukungan ke Kabupaten Kampar. Dengan adanya isu strategis yang diangkat oleh Kubu Bapak Haryono, maka disampaikanlah ke DPRD Kabupaten Rokan Hulu terkait keinginan untuk kembali masuk ke wilayah Kabupaten Kampar. Usaha tersebut membuah hasil dengan keluarnya Peraturan Gubernur Riau No. 30 Tahun 2005 Tentang Penegasan Status Wilayah Administratif Pemerintahan Desa Intan Jaya, Tanah Datar, Muara Intan, Rimba Jaya, dan Rimba Makmur. Peraturan Gubernur tersebut menyatakan bahwa ke lima desa tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Kampar.

Konflik yang kian meluas: daeri level desa menjadi level kabupaten

Lahirnya Peraturan Gubernur Riau No. 30 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa ke lima desa masuk dalam wilayah Kabupaten Kampar membuat pemerintah Kabupaten Rokan Hulu melakukan uji materi terhadap Undang-undang No. 53 Tahun 1999. Dalam pasal 14 ayat 10 Undang-Undang No. 53 Tahun 1999 dinyatakan bahwa batas wilayah secara pasti dilapangan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini gubernur hanya memberikan usulan berdasarkan hasil penelitian, pengukuran, dan pematokan di lapangan.

(7)

mengalami ketidakjelasan. Masyarakat terbelah menjadi 2 (dua) kubu, yakni Masyarakat Desa Pro Rokan Hulu dengan Masyarakat Pro Kampar. Konflik di lima desa ibarat api dalam sekam. Konflik muncul kembali ke permukaan yang ditandai adanya bentrokan dalam masyarakat saat akan dilakukannya pemilihan Gubernur Riau pada tahun 2008. Akhirnya, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa Pimilihan Gubernur Riau dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Rokan Hulu.

Dengan adanya surat dari Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kampar, dan Sekretaris Daerah Provinsi Riau terkait dengan penegasan status wilayah administrasi lima desa, maka Menteri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Keputusan No. 135.6/824/SJ tanggal 02 Maret 2010. Dalam surat keputusan tersebut dinyatakan bahwa lima desa masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Kunto Darussalam Kabupaten Rokan Hulu.

Masyarakat desa Pro Kampar tidak menerima atas keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut. Atas nama Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mereka melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Akhirnya, gugatan mereka dikabulkan oleh PTUN Jakarta dengan keluarnya Surat keputusan No. 65/G/2010/PTUN Jakarta tanggal 11 November 2010. Dalam keputusan tersebut SK Mendagri No. 135.6/824/SJ dinyatakan batal dan status lima desa masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tapung Hulu Kabupaten Kampar.

Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu kemudian melakukan permohonan banding ke PTUN Jakarta. Permohonan banding ini diterima oleh PTUN Jakarta dengan keluarnya Surat Keputusan No. 17/B/2011/PTUN Jakarta tanggal 02 Agustus 2011. Surat keputusan tersebut membatalkan putusan No. 65/G/2010/PTUN Jakarta dan memberlakukan kembali SK Menteri Dalam Negeri No. 135.6/824/SJ yang menyatakan lima desa masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Rokan Hulu.

Dengan adanya putusan PTUN ini, maka BPD lima desa Pro kampar melakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Permohonan tersebut diterima oleh Mahkamah Agung dengan keluarnya Surat Keputusan No. 395K/TUN/2011 tanggal 10 September 2012. Dalam keputusan ini Mahkamah Agung membatalkan SK Mendagri No. 135.6/824/SJ dan mewajibkan untuk mencabut keputusannya. Dengan adanya keputusan ini lima desa masuk dalam wilayah Kabupaten Kampar.

(8)

Undang-Undang No. 53 tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dampak konflik Pilkades Rimba Makmur

Dengan meluasnya konflik elit di Rimba Makmur, maka masyarakat yang terkena imbasnya. Masyarakat yang terkena imbas dari konflik tersebut juga meluas, bukan hanya masyarakat yang berada di Desa Rimba Makmur tetapi masyarakat yang berada di 4 (empat) desa eks transmigrasi lainnya. Dampak konflik tersebut, yakni: pertama, masyarakat terpecah menjadi 2 (dua) kubu, yaitu kubu Pro Rohul dan kubu Pro Kampar. Munculnya rasa fanatik dalam membela kubunya masing-masing serta rasa untuk saling mengalahkan pihak lawan.

Kedua, munculnya dualisme kepemimpinan kepala desa. Dualisme kepemimpinan ini

tidak hanya terjadi di Desa Rimba Makmur tetapi juga terjadi di 4 (empat) desa eks transmigrasi lainnya. Dengan adanya dualisme kepemimpinan ini, masyarakat menjadi bingung. Di dalam 1 (satu) rumah mereka bisa memiliki dua KTP (KTP Rokan Hulu dan KTP Kampar). Selain itu, masyarakat juga menjadi bingung ketika ada bantuan Beras Miskin (Raskin). Kabupaten Rokan Hulu masih memberikan bantuan ini, akan tetapi tidak semua warga miskin mendapatkannya. Pihak Desa Pro Rohul hanya memberikan Raskin kepada masyarakat yang menyatakan Pro pada Rokan Hulu.

Ketiga, sulitnya mendapatkan akses pelayanan pendidikan. Sekolah-sekolah yang ada di

lima desa merupakan pembangunan dari Kabupaten Rokan Hulu, begitu pula dengan guru-guru yang mengajar. Bagi anak-anak yang orang tuanya Pro terhadap Kampar, maka akan mendapatkan perlakukan yang berbeda di sekolah. Hal ini juga berlaku bagi guru, jika salah satu dari keluarganya Pro terhadap Kampar maka mereka akan dimutasi ke tempat yang sangat jauh.

Keempat, dampak psikologis. Konflik yang berkepanjangan menimbulkan dampak

psikologis dalam diri masyarakat. Masyarakat tidak lagi memiliki rasa aman dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Tekanan-tekanan dari suatu kelompok membuat masyarakat lima desa takut dan cemas. Selain itu, perpecahan menimbulkan rasa saling curiga diantara sesama warga masyarakat. Jika konflik berubah menjadi kekerasan maka banyak menimbulkan korban dari kedua belah pihak (Kampar Maupun Rokan Hulu).

4. PENUTUP

(9)

kepemimpinan di lima desa yang ditandai dengan adanya Kantor Kepala Desa Versi Kampar dan Kantor Kepala Desa Versi Rokan Hulu.

Semakin berlarut-larut dan meluasnya konflik ini menimbulkan dampak negatif terhadap masyarakat. Masyarakat menjadi terpecah belah menjadi 2 kubu, yakni kubu Pro Kampar dan kubu Pro Rokan Hulu. Hal tersebut diperparah dengan adanya dua kepemimpinan kepala desa, yaitu Kepala Desa versi Kabupaten Rokan Hulu dan Kepala Desa versi Kabupaten Kampar. Dualisme kepemimpinan ini semakin membuat bingung masyarakat dalam pengurusan KTP, Kartu Keluarga (KK), surat tanah dan lain sebagainya. Ketika konflik berubah menjadi kekerasan, maka menimbulkan korban jiwa, rasa takut, tidak aman, dan kecemasan

5. DAFTAR PUSTAKA

AA Ari GN Dwipayana. (2009). Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan

Desa. Bahan Kuliah Manajemen Masyarakat Adat PLOD UGM (tidak

dipublikasikan).

Haryanto. Elit Politik Lokal Dalam Perubahan Sistem Politik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, No. 2, November 2009 (131-148).

Heru Cahyono. (2005). Konflik Elit Politik di Pedesaan. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar.

Held, David. (2004). Demokrasi dan Tatanan Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Purwo Santoso. (2012). Melepas Bingkai Pemikiran Patologis: Membaca Ulang

Dinamika Elit Lokal Dalam Pemerintah Daerah. Makalah. Tidak Dipublikasikan.

Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. (2013). Soiologi Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Referensi

Dokumen terkait

Parfum Laundry Cikampek Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI JENIS PRODUK NYA:.. Chemical Untuk Laundry Kiloan/Satuan

Budi Mulia sudah lepas dari dermaga dan pukul 18.30 WITA jangkar sudah berada diatas air, kapal maju pelan menuju Buoy hijau untuk bertemu dengan motor pandu,

Diketahui bahwa t tabel dalam penelitian ini untuk derajat kebebasan df = 57–3 dengan signifikasi 5% adalah 2,004. Sedangkan penghitungan t hitung sebagaimana terlihat

Kabupaten Rokan Hulu terdiri dari 16 kecamatan dan 148 desa/kelurahan, dari 148 desa/kelurahan yang ada di Kabupaten Rokan Hulu, Kecamatan Rokan IV Koto, Kecamatan Rambah Samo,

Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten

Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Bupati Rokan Hulu Nomor 28 Tahun 2019 tentang Standar Biaya Kegiatan Pemerintah Desa di Kabupaten Rokan Hulu Sebagaimana telah di ubah dengan

Kredit bermasalah yang tinggi dapat menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena harus membentuk cadangan penghapusan yang besar, sehingga mengurangi

Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten