• Tidak ada hasil yang ditemukan

Filsafat Manusia dalam pandangan filsafat (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Filsafat Manusia dalam pandangan filsafat (1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PENJELMAAN LIYAN

DALAM TEORI KETERASINGAN BURUH KARL MARX

Oleh ; Madekhan, M S i

Makin banyak buruh berproduksi, semakin sedikit Pula yang ia dapat makan, semakin tinggi nilai yang ia ciptakan, semakin tidak berharga buruh.

Karl Marx (1844)

A. Pengantar

Konsep tentang liyan lahir seiring dengan semaraknya filsafat maskulinistik ala

Paltonian dan Aristotelian. Liyan berarti manusia yang kehilangan esensi partisipasinya. Mereka terpisah, terpinggirkan dari peran-peran pengelolaan tata hidup bersama. Liyan

juga memaksudkan lenyapnya kapasitas partisipatoris, dalam arti bahwa mereka terbelenggu oleh oleh kehadiran kategorialnya sebagai bagian yang dilindungi, dan dikekang. Liyan juga menampilkan realitas keterbelengguan, bahwa dirinya bukan miliknya; tubuhnya bukan kepunyaannya; hidupnya pun bukan berada dalam kekuasaannya1.

Keberadaan Liyan hampir tidak bisa dilepaskan dari begitu banyak realitas dalam sejarah peradaban manusia. Ketika era kolonialisme menampilkan bangsa-bangsa barat atau Eropa sebagai penakluk bangsa-bangsa lain, liyan mewujud pada adanya koloni-koloni penjajahan. Koloni atau negeri jajahan tidak lain mewakili alienasi, keterpisahan, keterpurukan, keterbelakangan negeri jajahan dari atau dibandingkan dengan negeri Eropa (penjajah). Fakta kolonialisme secara jelas mengatakan bahwa liyan adalah sosok-sosok manusia yang berlumuran derita penindasan. Mereka tidak memiliki akses bagi keberadaan manusiawinya. Liyan adalah non-being dalam ranah politik kolonial2. Kolonialisme telah mematri manusia dalam dunia keterasingan dari kesadaran being.

Liyan menjadi semakin relevan ketika Revolusi industri berhasil membentuk fenomena Societas dengan segenap penggolongan dan pelapisan masyarakat. Saat dimana pabrik, pasar, masyarakat produsen-konsumen lahir, seiring itu pula lahir stratifikasi sosial. Masyarakat terbelah menjadi kelompok kaya dengan kelompok miskin, majikan – buruh, dan kelompok yang disebutkan terakhir tidak lain adalah liyan. Liyan adalah mereka yang tersisih, tertindih oleh beban kehidupan, dan terasing dalam kubangan kemiskinan akibat struktur masyarakat yang dipenuhi ketidakadilan, masyarakat kapitalis3.

1 Armada Riyanto et al, 2011, hal. 37 2 Ibid hal 38

(2)

Dalam kondisi masyakat kapitalistik yang lahir dari revolusi industri demikian, muncul dua kutub ideologi, kapitalisme di satu sisi dan sosialisme di sisi lain. Salah satu tokoh pemikir besar yang menurut penulis mampu menterjemahkan konsep liyan adalah Karl Marx. Di sini, penulis beritikat mencoba lebih memahami liyan dengan mengambil salah satu pemikiran sosial Marx, yaitu keterasingan buruh. Tentu dengan penuh kesadaran untuk tidak terjebak menonjolkan individu tertentu sebagai perintis satu disiplin ilmu, penulis semata semata mencoba melakukan refleksi atas relevansi pemikiran sosial kontemporer dengan konsep liyan.

B. Pembahasan

B.1. Keterasingan dalam Sistem Produksi Kapitalis

Marx menggambarkan dehumanisasi yang terjadi di bawah sistem kapitalistik dengan sebutan “keterasingan.” Buruh bekerja bagi kekuasaan asing, bagi pemilik modal. Oleh karena itu pekerjaannya adalah kerja paksa. Keterasingan menurut Marx terjadi saat Ia (buruh) baru krasan di luar pekerjaan dan dalam pekerjaan ia merasa di luar dirinya. Atau Ia pada dirinya sendiri apabila ia tidak bekerja dan apabila Ia bekerja ia tidak pada dirinya4. Pekerjaan di bawah komando dan kendali kapitalis menghasilkan keterasingan manusia dari hakikatnya.

Namun dalam masyarakat kapitalis kenyataan itu terselubung oleh karena semua hubungan kerja berdasarkan perjanjian yang secara formal diadakan dengan bebas. Akan tetapi kebebasan itu hanyalah semu dan tidak benar. Paksaan kelas pemilik modal terhadap kelas buruh dialihkan saja pada keharusan-keharusan (norma-norma) produksi komoditi. Keharusan untuk terus memproduksi lebih banyak nilai tukar menetapkan baik kepada baik kepada pemilik modal maupun kepada buruh apa yang harus dilakukan. Jadi apa yang sebenarnya merupakan penindasan kelas yang satu oleh kelas yang satunya, dikeramatkan dalam bentuk komoditi.

Dalam penerjemahan Anthony Giddens, fakta ekonomi kontemporer menurut Marx dalam Kapital: bahwa makin maju kapitalisme, akan semakin miskin pula si buruh.5 Yang menjadi pokok pembahasan Marx, bahwa di dalam kapitalisme obyek-obyek materiil yang diproduksi disejajarkan dengan si buruh itu sendiri. Si buruh bahkan menjadi komoditi yang lebih murah dengan semakin banyaknya barang yang dihasilkan. Pada akhirnya, buruh menjadi manusia yang terasing, terdehumanisasi dari hakekat manusiawi-nya, menjadi liyan. Pekerjaan yang sungguh-sungguh manusiawi adalah pekerjaan dimana manusia tidak berada di bawah komando dari luar, melainkan pekerjaan yang menjadi sarana perealisasian dirinya, menjadi being.

B.2. Liyan dalam Keterasingan Buruh

Naskah Marx tentang keterasingan buruh terpicu dari adanya dalil-dalil para ahli ekonomi politik tentang kekayaan pribadi (private property) dan dasar pikiran ekonomi

(3)

pertukaran (the concept of exchange value). Marx mengeluarkan kritik terhadap ekonomi politik, pertama terhadap asumsi bahwa kondisi produksi yang dijadikan ciri khas kapitalisme. Menurut Marx, dari terma ekonomi politik telah nampak bahwa para pekerja ditenggelamkan dalam tingkatan komoditi. Bahwa kesengsaraan kaum buruh semakin menemukan bentuknya seiring membesarkan kekuatan dan volume produksi mereka. Hasil dari berjalannya persaingan, selalu saja terjadi akumulasi modal di tangan segilintir orang tertentu.Terbukalah kemudian pola-pola monopoli yang lebih mengerikan; akhirnya perbedaan dua kelompok: kaum kapitalis dan tuan tanah, buruh agraris dan buruh industri, akhir lenyap. Hingga kemudian mayarakat terbagi menjaadi dua kelas sosial, yakni pemilik kekayaan (Property owners) dan kaum buruh yang tiada berpunya kekayaan (propertyless worker).

a. Keterasingan Liyan terhadap Hasil Pekerjaan

Ketika para ahli ekonomi berbicara tentang kapital, komoditi, harga dan seterusnya, mereka berpikit itu memiliki jiwa-jiwa tersendiri di luar pengaruh penanganan manusia. Augusat Comte (1798-1857) misalnya, dalam buku Raymond Aron (1965)6, Comte menyakini antagonis kelas dan kemiskinan kaum buruh dinilai sebagai akibat sampingan yang disebabkan oleh kekurangan-kekurangan teknis. Mereka sementara saja! Tandas Comte. Masalah transisi! Ibarat penyakit kanak-kanak yang dengan sendirinya akan dapat diatasi kelak pada waktunya. Inti hakikat masyarakat Industri ialah rasionalisasi metode kerja, konsentrasi buruh secara besar-besaran, dan tertumpuknya modal besar dalam tangan segilintir kecil orang. Dengan optimisme akan masa depan masyarakat industri, Comte membenarkan hak milik perseorangan atas sarana-sarana produksi, juga untuk mengumpulkan kekayaan besar.

Hal-hal yang dianggap Comte pada dasarnya sehat dan progresif, dicela dan ditolak Marx. Bagi Marx justru pertentangan kelas dan pemilikan atas modal besar sarana-sarana produksi oleh individu merupakan penyakit permanen dan kronis yang ada hubungan langsung dengan inti hakekat dan sifat dasar sistem sendiri, dan mesti mengakibatkan kehancuran. Marx bersikap pesimis terhadap perkembangan masyarakat industri. Devaluasi terhadap keberadaan manusia semacam ini menempatkan manusia – kaum buruh- sebagai “ongkos-ongkos” bagi si pemilik modal sehingga artinya dipersamakan dengan pengeluaraan-pengeluaran penting lainya. Devaluasi atas dunia ini semakin meningkat, secara langsung paralel dengan meningkatnya dunia kebendaan.

Kenyataan ini mengimplikasikan bahwa objek yang dihasilkan kaum buruh yakni produk itu sendiri — sekarang saling berseberangan dengan buruh. Marx mempermasalahkan hal ini karena hubungan antara buruh dan produk yang dihasilkan melahirkan keterasingan. Produk hasil kerja kaum buruh tiada lain buruh yang telah membaur dengan sebuah objek : sehingga produk – di bawah kapitalisme – merupakan suatu objektifitasi terhadap kemanusian buruh itu sendiri. Buruh menjadi kaum liyan

yang telah kehilangan kesadaran untuk mencapai pengetahuan akan kebijaksanaan. Proses produksi, atau lebih tepatnya proses objektifitasi atau perjalanan manusia buruh menuju liyan, dengan demikian mengambil bentuk: suatu kehilangan dan penghambaan kepada objek. Si buruh menjadi budak dari objek. Keterasingan buruh dengan objeknyadigambarkan dalam dalil ekonomi politik sebagai: semakin besar buruh

(4)

memproduksi, semakin kecil mereka konsumsi, semakin tinggi nilai yang mereka hasilkan semakin rendah derajat mereka, semakin bagus produk – semakin buruklah sang buruh, semakin beradab produk semakin barbar pula si buruh, semakin kuat produk semakin tak berdaya pekerja, semakin suatu karya memancarkan kecerdasan maka si buruh pun semakin tercerabut dari kecerdasannya, semakin jatuh ke lembah penghambaan diri kepada alam.

b. Keterasingan Liyan Dalam Proses Produksi

Pada bagian sebelumnya kita telah menyinggung satu persoalaan keterasingan buruh dari satu aspek: hubungan buruh dengan hasil pekerjaannya. Kiranya, keterasingan bukan hanya terkandung dalam hasil kerja ansich. Namun juga dalam proses produksi. Di dalam “aktifitas produksi” itu sendiri. Alur penalaran keterasingan yang disebut terakhir ini yakni jika hasil kerja para buruh adalah keterasingan, maka produksi itu pun merupakan keterasingan yang aktif -- keterasingan dari kegiatan. Buruh di sini menjelma sebagai liyan ketika tugas kerja tidak memberi kepuasaan hati yang hakiki, yang memungkinkan si buruh untuk secara bebas mengembangkan daya kerja badaniah – dan batiniahnya, sebab yang dibebani dengan kekuatan dari keadaan-keadaan eksternal saja, justru adalah tenaga kerja. Bekerja lebih sarana mencapai mencapai tujuan daripada tujuan itu sendiri: hal ini diperlihatkan oleh kenyataan, bahwa segera setelah tidak ada lagi paksaan fisik atau jenis paksaan lain, liyan berlari menjauhi bekerja, bagaikan menjauhkan diri dari penyakit menular.

Marx melukiskan keterasingan si buruh dengan aktifitas kerjanya dalam kerangka kemauan bekerja mereka. Para buruh bekerja bukan atas dasar sukarela, ketentraman hanya di saat istirahat (tidak) kerja saja, sebaliknya mereka merasa tidak kerasan ketika di tempat kerja. Kerja kemudian tidak menjadi sebuah pemuasaan akan kebutuhan mereka sendiri, namun lebih sebagai pemuasaan kebutuhan orang lain. Akhirnya, karakter eksternal kerja si buruh sebagai liyan ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa aktifitas kerja mereka bukanlah pekerjaan mereka sendiri. Namun pekerjaan untuk pihak lain. Ketika bekerja, mereka bukanlah nyawa milik mereka sendiri, namun nyawa-nyawa yang telah dimiliki oleh orang lain. Jiwa kaum buruh sebagai liyan tidak lebih sebagai obyek dalam societas modern, dimana menempatkan buruh ketertindasan oleh majikan dan keterpurukan oleh pengasingan mereka dari partisipasi mereka sebagai warga societas modern.

c. Keterasingan Liyan sebagai Makhluk Rumpun

Kita menginjak pada karakteristik keterasingan buruh ketiga, satu bentuk konsekuensi keberadaan dua keterasingan terdahulu – keterasingan makhluk rumpun. Karl Marx memandang manusia sebagai species-being, atau makhluk rumpun bukan semata dari aspek kemasyarakatan yang diwujudkan, namun juga dari perlakuan kekinian sebagai rumpun kehidupan, mondial, dan insan merdeka, atau meminjam istilah Sokrates: manusia sebagai “jiwa bebas”7.

(5)

Makhluk rumpun, sebagaimana dunia hewan, memiliki basis fisik dimana mereka hidup dari alam organik. Karena manusia keberadaanya lebih mendunia daripada binatang, keberadaan binatang, tetumbuhan, mineral, udara, cahaya dan sebagainya adalah satu bagian dari kesadaran manusia. Bagian alam organik terakhir ini dari aspek teoritis merupakan objek-objek ilmu pengetahuan dan seni, keseluruhannya diberlakukan sebagai alam organik spiritual manusia.

Maka manusia – liyan – ketika terperangkap dalam keterasingan, pertama dia terasing dari alam. Kedua mengasingkan manusia dari kediriannya, dari fungsi keaktifannya, dari aktifitasnya sehingga kemudian mengasingkan manusia dari rumpunnya. Secara ontologis manusia hidup dalam sutu pola hubungan yang aktif dengan alam. Teknologi dan budaya, merupakan ekspresi dan hasil dari pola hubungan ini dan merupakan sifat-sifat utama yang membedakan manusia dengan hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkan kegiatan produktif manusia ke tingkat adaptasi pada alam dari pada penguasaan terhadap alam secara aktif. Hal ini memutuskan pribadi manusia dalam kaitannya sebagai makhluk rumpun (Gattungswesen) dari apa yang membuat rumpun manusia berbeda dengan rumpun binatang.

Marx memperjelas bahwa hewan lekat dalam dirinya serangkaian aktifitas kehidupan. Hewan tidak membedakan atau memisahkan aktifitas mereka dari kediriannya. Tetapi yang memprihatinkan, manusia mengarahkan aktifitas hidupnya sebagi objek kemauan (will) dan kesadaran (consciousness). Dia memiliki suatu kesadaraan akan aktifitas hidup. Dan itu belumlah menjadi sebuah dasar penentu untuk mengidentifikasi kemanusiaan mereka secara jelas. Kesadaran aktifitas hidup manusia membedakan mereka dari aktifitas hidup hewan. Apakah dengan demikian, manusia dipandang sebagai makhluk rumpun? Atau bagaimana kalau manusia sekedar menjadi makhluk berkesadaraan diri, Misalnya hidupnya sendiri diberlakukan sebagai objek bagi dirinya, memang dia adalah makluk rumpun. Namun apakah hanya dengan alasan tersebut, aktifitas mereka dikatakan aktifitas merdeka. Buruh yang terasing menyangkal atau tidak memiliki peraturan antara kesadaran diri dan kesadaran aktifitas hidupnya. Di dalam diri manusia – si liyan ini, karena dia merupakan sosok berkesadaran diri yang melaksanakan aktifitas hidupnya, maka kemakhlukannya hanyalah sebuah alat keberadaannya.

C. Penutup

Di tengah peradaban yang dikendalikan oleh ideologi kapitalisme saat ini, upaya menghadirkan teori keterasingan buruh dari Karl Marx bisa menjadi salah satu cara memahami keberadaan liyan di sekitar kita. Ideologi kapitalisme yang kemudian bermetamorfosis dalam bentuk era modernisasi, era globalisasi, dan era informasi dengan patron liberalisasi ala Dunia Barat, setidaknya telah melahirkan kaum liyan dalam berbagai wujudnya. Liyan hari ini bukan hanya buruh pabrik, TKI/TKW, bahkan ratusan juta petani di Indonesia adalah liyan yang terasing dari laju kemajuan, sekedar menjadi objek statistik kemiskinan dalam bahasan kelas dominan.

(6)

dipandang dari jasad sebagai objek yang bisa dieksplotasi. Menyaksikan kondisi warganya di negeri asing, negara kita – meminjam istilah Marx – masih menjadi pelayan pemilik modal untuk mengeksploitasi buruh.

Akhirnya, mengutip pendapat Sartre, bahwa realitas buruk wajah societas yang penuh dengan penindasan dan ketidakadilan, hanya bisa diperbaiki ketika societas tidak terbagi dalam kelas-kelas masyarakat. Societas yang ideal itu mengandaikan manusia itu bisa memenuhi kebutuhannya tanpa harus diperbudak oleh kaum yang berkuasa (kelas dominan). Sebagaimana idealitas Marx atas masyarakat tanpa kelas (classless society).

Tentu untuk membawa liyan menjadi “aku”, berkonsekuensi pada perjuangan untuk menegakkan hak-hak kaum tertindas. Ketika liyan memiliki kesadaran akan kebebasan mereka yang mutlak, mereka akan memperjuangkan hak-haknya dengan berbagai cara. Demonstrasi para buruh untuk menuntut kenaikan upah, dalam kadar tertentu hendaknya dipandang sebagai perjuangan buruh untuk menolak menjadi liyan.

Bahan Bacaan:

Aron, Raymond, Main Currents in Sociological Thought, New Brunswick, New Jersey, 1999.

Giddens, Anthony, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI Press, Jakarta, 1985. Ramly, Andy M, Peta Pemikiran Karl Marx, LKIS, Yogyakarta, 2004.

Riyanto, Armada, Aku dan Liyan, Kata Filsafat dan Sayap, Widya Sasana Publication, Malang, 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Pemantauan lingkungan kerja dan ergonomi yang berkaitan dengan kesehatan kerja belum terlaksana karena tidak ada SDM yang berkompeten di bidang ergonomi, tapi

Selain Interview, Observasi juga dilakukan untuk pengumpulan data dengan meninjau langsung kelapangan tempat penelitian, peneliti melakukan survei pada lokasi dengan

Masalah utama yang ada di Desa Peron adalah petani aren dalam pemasaran hasil masih tergantung dengan tengkulak, kurangnya diversifikasi dari aren menjadi produk-produk yang

Evaluasi yang dilakukan menun- jukkan bahwa program amnesti pajak yang dilaksanakan di Indonesia perio- de 1 Juli 2016 sampai dengan 31 Maret 2017 cukup berhasil, walaupun

Untuk menambahkan daftar penyakit dan gejala pada penyakit kelinci, agar diagnosis pada penyakit kelinci dapat lebih maksimal. Dalam penelitian selanjutnya system

Turbin air yang bekerja berdasarkan arus pasang (Tidal Current Turbine) ... Kincir Air Waterwheel) ... Pasang dan Tipe Pasang... Telang II – Banyuasin ... Agro-Sosioekonomi Telang

KBS01 menjelaskan bahwa masih bingung cara yang disubstitusikan persamaan yang mana, lalu KBS03 mencoba persamaan (1) tapi KBS03 ragu.. Selanjutnya peneliti membenarkan hasil

Manfaat Daun Katuk Bagi Kesehatan berikut Ulasan mengenai Obat Tradisioal Daun Katuk, memang Pada umumnya banyak orang yang tidak tau akan tanaman ini, saya