BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelaksanaan Program Keselamatan Kerja
Program keselamatan kerja merupakan suatu rencana kerja dan pelaksanaan
prosedur yang memfasilitasi pelaksanaan keselamatan kerja dan proses pengendalian
resiko dan paparan bahaya termasuk kesalahan manusia dalam tindakan tidak aman,
meliputi :
1. Membuat program untuk mendeteksi, mengkoreksi, mengontrol kondisi
berbahaya, lingkungan beracun dan bahaya-bahaya kesehatan.
2. Membuat prosedur keamanan.
3. Menindaklanjuti program kesehatan untuk pembelian dan penyimpanan bahan
berbahaya.
4. Pemeliharaan sistem pencatatan kecelakaan agar tetap waspada.
5. Pelatihan K3 untuk semua level manajemen.
6. Rapat bulanan P2K3.
7. Tetap menginformasikan perkembangan yang terjadi dibidang K3 seperti alat
pelindung diri, standar keselamatan yang baru.
2.1.1 Tujuan Program Keselamatan Kerja
Tujuan program keselamatan kerja adalah memberdayakan keselamatan kerja
guna mencapai kecelakaan nihil.
Sasaran program keselamatan kerja antara lain :
1. Meningkatkan pengertian, kesadaran pemahaman dan penghayatan keselamatan
kerja semua unsure pimpinan dan pekerja pada satu perusahaan.
2. Meningkatkan fungsi manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dan panitia
pembina keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Agar terbentuknya manajemen keselamatan kerja pada setiap perusahaan
4. Mendorong pembinaan keselamatan kerja pada sektor informal dan masyarakat
umum.
2.1.2 Pengembangan Karyawan dan Program Pendidikan/ Pelatihan
Adanya program tertulis tentang pendidikan dan pelatihan bagi para karyawan
dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang keselamatan kerja
dan bahaya tindakan tidak aman, antara lain :
1. Adanya jadwal pelaksanaan program pendidikan dan pelatihan bagi semua
karyawan di pabrik.
2. Pengembangan metode keselamatan kerja dan bahaya tindakan tidak aman pada
Menurut Sastrohadiwiryo (2002), pelatihan juga merupakan proses membantu
tenaga kerja untuk memperoleh efektifitas dalam pekerjaan yang sekarang atau yang
akan datang melalui pengembangan kebiasaan tentang pikiran, tindakan, kecakapan,
pengetahuan dan sikap yng layak.
Kemudian, Santoso (2002), juga mengungkapkan bahwa pelatihan keselamat
kerja sangan penting mengingat kebanyakan kecelakaan pada karyawan yang belum
terbiasa bekerja secara selamat. Penyebabnya adalah ketidaktahuan tentang bayaha
atau cara mencegahbya meskipun tahu tentang adanya suatu resiko.
Menurut Soehatman Ramli (2010), pengembangan pelatihan yang baik dan
efektif dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain :
1. Analisa jabatan atau pekerjaan
Dalam tahapan ini dilakukan identifikasi dan analisa semua pekerjaan atau
jabatan yang ada dalam perusahaan kemudian akan dibuat daftar pekerjaan yang
dilakukan oleh setiap pekerja.
2. Identifikasi pekerjaan atau tugas kritis
Melakukan identifikasi tentang pekerjaan yang tergolong berbahaya dan beresiko
tinggi dari semua pekerjaan yang dilakukan oleh setiap pekerja.
3. Mengkaji data-data kecelakaan
Informasi kecelakaan yang pernah terjadi merupakan masukan penting dalam
penyimpangan atau kelemahan dalam system menejemen keselamatan kerja dan
ini dilakukan oleh panitia pembina pelatihan.
4. Survei kebutuhan pelatihan
Melakukan survei mengenai kebutukan pelatihan dan jenis pelatihan yang
diperlukan untuk meningkatkan keterampilan pekerja sehingga pekerja dapat
melakukan pekerjaan dengan aman dan selamat dimasing-masing tempat kerja.
5. Analisa kebutuhan pelatihan
Melakukan analisa keselamatan kerja untuk mengetahui apa saja potensi bahaya
yang ada dalam suatu pekerjaan. Dari analisa keselamatan kerja dapat
diidentifikasi jenis bahaya dan tingkat resiko dari setiappekerjaan.
6. Menentukan sasaran dan target pelatiahn
Pelatihan diharapkan akan memperbaiki atau meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku dari masing-masing pekerja. Sasaran dan target
pelatihan harus ditetapkan dengan tepat sebagai masukan untuk merancang format
dan silabus pelatihan.
7. Mengembangkan objektif pembelajaran
Pelatihan harus dapat menjangkau semua tingkat dan perbedaan pekerja yang ada
dalam suatu perusahaan.
8. Melaksanakan pelatihan
Pelatihan keselamatan kerja dapat dilakukan secara eksternal melalui lembaga
9. Melakukan evaluasi
Hasil pelatihan harus dievaluasi untuk menentukan efektifitasnya. Evaluasi
dilakukan terhadap seluruh aspek pelatihan seperti materi pelatihan dan dampak
terhadap pekerja setelah kembali ketempat kerja masing-masing.
10.Melakukan perbaikan
Langkah terakhir dalam proses pelatihan adalah melakukan perbaikan
berdasarkan hasil evaluasi yang telah dilakukan.
Dalam melaksanakan pelatihan keselamatan kerja terdapat beberapa teknik yang
dapat dilakukan ( Ridley, 2008), antara lain :
1. Perkuliahan dan percakapan
2. Video dan film
3. Peran yang langsung dimainkan oleh peserta pelatihan
4. Studi kasus
5. Diskusi kelompok
6. Latihan dan praktek diluar kelas
7. Pelatihan langsung ditempat kerja
2.1.3 Manfaat Pelatihan Keselamatan Kerja
Menurut Widuri (1992) setiap program pelatihan keselamatan kerja ada
manfaatnya, demikian juga dengan pelatihan keselamatan kerja, yaitu :
1. Meningkatkan ilmu dan keterampilan pekerja
3. Mengurangi absensi dan penggantian pekerja
4. Mengurangi beban pengawasan
5. Mengurangi waktu yang terbuang
6. Mengurangi biaya lembur
7. Mengurangi biaya pemeliharaan mesin
8. Mengurangi keluhan-keluhan
9. Meningkatkan kepuasan pekerja
10.Meningkatkan produksi
11.Komunikasi yang baik
12.Kerjasama yang baik
2.1.4 Indikator Keberhasilan Pelatihan Keselamatan Kerja
Untuk mengetahui efektifitas dari suatu pelatihan keselamatan kerja dapat
diukur dengan memperhatikan indicator keberhasilan pelatihan ( Widuri, 1992),
yaitu :
1. Prestasi kerja karyawan
2. Kedisiplinan keryawan
3. Absensi karyawan
4. Tingkat kerusakan produksi, alat-alat dan mesin
5. Tingkat kecelakaan karyawan
6. Tingkat pemborosan bahan baku, tenaga dan waktu
8. Tingkat upah karyawan
9. Prakarsa karyawan
10.Kepemimpinan dan kepuasan manajerial.
2.2. Prosedur Keselamatan Kerja
Prosedur, peraturan dan pedoman tertulis harus diterapkan ditiap unit kerja di
pabrik pengolahan teh dan berlaku bagi setiap orang dalam upaya mencapai
keselamatan kerja untuk menanggulangi tindakan tidak aman pekerja.
1. Prosedur keselamatan kerja tertulis pada masing-masing unit kerja
2. Peraturan khusus dibuat untuk tempat-tempat beresiko, disesuaikan dengan
kondisi lokal dan standard nasional riset kesehatan. Perhatian diberikan kepada :
a. Unit- unit dengan curahan kaustik dan bahan kimia lainnya yang banyak.
b. Tempat penyimpanan cairan yang mudah terbakar.
c. Tempat penyimpanan bahan-bahan yang mudah menguap dan mudah
terbakar.
d. Perizinan penyimpanan, penggunaan dan pengamanan benda-benda
radioaktif.
3. Adanya prosedur penganggulangan terjadinya kontaminasi, misalnya oleh
bahan-bahan radioaktif.
4. Semua peralatan berbahaya untuk pengolahan daun teh disimpan di tempat yang
5. Cara pemakaian alat kerja/ mesin pengolahan harus sesuai dengan peraturan dan
prosedur yang telah ditetapkan.
6. Tempat penyimpanan semua peralatan berbahaya diberi tanda secukupnya sesuai
dengan peraturan.
7. Tersedia alat-alat keadaan gawat darurat pada setiap unit pengolahan teh.
8. Perlengkapan keamanan karyawan, antara lain :
a. Pegangan pada setiap tangga ataupun jalan yang licin
b. Toilet dan kamar mandi karyawan yang dilengkapi dengan sabun, gayung,
dan air yang bersih.
c. Tempat beristirahat karyawan
d. Tersedianya poliklinik
9. Rambu-rambu/ tanda-tanda dipasang diseluruh pabrik pengolahan dengan jelas
dan mudah dimengerti/ diikuti, misalnya: arah, tanda pengaman, pintu keluar,
toilet, mesin-yang sedang rusak atau sedang dalam perbaikan, tanda larangan
bercanda didaerah berbahaya pada saat bekerja dan tanda larangan merokok.
10.Inspeksi keamanan diseluruh pabrik pengolahan dilakukan secara teratur dan hasil
yang diperoleh didokumentasikan pada unit keselamatan.
11.Semua pekerja paham dengan program keselamatan.
12.Ada bukti hasil inspeksi pencegahan bahaya tindakan tidak aman oleh P2K3
(Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Inspeksi ini harus dilakukan
13.Adanya contoh-contoh kejadian kecelakaan akibat tindakan tidak aman yang
diperlihatkan kepada pekerja melalui gambar yang ditempelkan di tempat-tempat
yang srtategis dan biasa dilalui oleh para karyawan.
14.Adanya alat-alat pengaman dan pelindung diri yang digunakan karyawan pada
saat bekerja.
Alat pelindung diri (APD) adalah peralatan keselamatan yang harus digunakan
oleh personil apabilaberada pada suatu tempat kerja yang berbahaya (Cahyono,
2004). Menurut Suma’mur (2009), alat pelindung diri adalah suatu alat dipakai
untuk melindungi diri terhadap bahaya-bahaya kecelakaan kerja.
Alat-alat pelindung diri beraneka ragam macamnya. Jika digolongkan
berdasarkan bagian- bagian tubuh yang dilindunginya, makan jenis-jenis alat
pelindung diri adalah sebagai berikut:
a. Alat Pelindung Kepala
Alai ini terdiri dari alat pengikat rambut, penutup rambut, topi dari
berbagai bahan. Tujuan pemakai alat pelindung kepala adalah untuk
melindungi kepala dari bahaya terbentur dengan benda tajam atau benda
keras, baik yang sifatnya jatuh, melayang atau meluncur termasuk
melindungi diri dari panas radiasi bahan-bahan kimia korosif. Jenis
pekerjaan yang memerlukan alat pelindung kepala misalnya pekerjaan
dibawah mesin-masin maupun pekerjaan disekitar konduktor energi
terbuka. Contoh alat pelindung kepala adalah topi plastic, topi
b. Alat Pelindung Mata
Alat pelindung mata digunakan untuk melindungi mata dari kemungkinan
kontak dengan bahaya karena percikan atau kemasukan debu-debu,
gas-gas, uap, cairan korosif, partikel-partikel melayang atau terkena radiasi
gelombang elektromagnetik. Alat pelindung mata terdiri dari 3 macam,
yaitu :
i. Kacamata biasa
ii. Kacamata googles yaitu kacamata yang tertutup semua, tetapi terdapat
lubang
lubang kecil sebagai ventilasi
iii. Tameng muka
c. Alat Pelindung Telinga (Hearing Protection)
Alat pelindung telingan bekerja sebagai penghalang antara bising dan
telinga dalam. Alat ini diperlukan apabila tingkat kebisingan ditempat
kerja sudah mencapai 85dB diatas 8 jam sehari.
Alat pelindung telinga terdiri dari 4 macam, yaitu :
i. Kapas
ii. Sumbat telinga (Ear Plugs) mempunyai daya atenuasi suara
sebesar 25-30dB.
iii. Tutup telinga (Ear Muff) mempunyai daya atenuasi suara sebesar
10-15 dB lebih besar dari sumbat telinga.
d. Alat pelindung pernapasan (Respiratory Protection)
Alat pelindung pernapasan diperlukan ditempat kerja dimana udara
didalamnya tercemar. Secara umum ada 2 macam alat pelindung
pernapasan, yaitu :
i. Respirator atau Purifying Respirator
Alat ini berfungsi untuk membersihkan udara yang dihirup oleh
pekerja. Alat ini digunakan untuk melindungi pekerja dari bahaya
pernapaan debu, kabut, asap, gas dan uap.
ii. Breathing Apparatus atau Air Supply Respirator
Alat ini berfungsi untuk memberikan udara bersih atau oksigen kepada
pekerja yang menggunakannya.
e. Alat pelindung tangan dan Jari-jari (Hand Gloves)
Alat pelindung tangan ini paling banyak digunakan, karena kecelakaan
yang paling banyak terjadi pada tangan dari keseluruhan kecelakaan yang
ada. Menurut bentuknya, sarubg tangan dapat dibedakan menjadi :
i. Sarung tangan biasa (Gloves)
ii. Sarung tangan yang dilapisi dengan plat logam (Grantlet) yang
digunakan dilengan.
iii. Mitth, sarung tangan untuk 4 jari yang terbungkus.
f. Alat pelindung kaki (Foot Cover)
Sepatu keselamatan kerja dipakai untuk melindungi kaki dari kejatuhan
benda berat, percikan asam dan basa yang korosif, cairan panas dan
kulit, sepatu karet, sepatu bot karet, sepatu anti slip, sepatu dilapisi baja,
sepatu plastic, sepatu dengan sol kayu/ gabus, pelindung betis, tungkai dan
mata kaki.
g. Alat pelindung tubuh
Alat pelindung tubuh berupa pakaian dapat berbentuk apron yaitu pakaian
pelindung tubuh yang menutupi sebagian tubuh, mulai dari dada sampai
lutut dan berbentuk overalls yaitu pakaian pelindung tubuh yang menutupi
seluruh bagian tubuh.
Pemakaian APD bertujuan untuk melindungi tenaga kerja dan juga
merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dn penyakit akibat
kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat dihilangkan atau
dikendalikan.
2.3 Tindakan Tidak aman
2.3.1 Pengertian Tindakan Tidak Aman
Menurut Heinrich (1931) tindakan tidak aman adalah tindakan atau perbuatan
dari seseorang atau beberapa orang pekerja yang memperbesar kemungkinan
terjadinya kecelakaan terhadap pekerja.
Tindakan tidak aman yang sering dijumpai, diantaranya adalah :
a. Menjalankan yang bukan tugasnya, gagal memberikan peringatan
c. Melepaskan alat pengaman atau membuat alat pengaman tidak berfungsi
d. Menggunakan alat yang rusak
e. Tidak memakai APD
f. Memuat sesuatu secara berlebihan
g. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya
h. Mengangkat berlebihan
i. Posisi kerja yang tidak tepat
j. Melakukan perbaikan pada waktu mesin sedang berjalan
k. Bersenda gurau
l. Bertengkar
m. Berada dalam pengaruh obat-obatan ataupun alkohol
Heinrich (1931), kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan :
1. Kondisi kerja
2. Kelalaian manusia
3. Tindakan tidak aman
4. Kecelakaan
5. Cedera
Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika
salah satu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan
sebelumnya, jika satu bangunan roboh maka kejadian ini akan memicu kejadian
beruntun yang menyebabkan runtuhnya bangunan lainnya. Menurut Henrich, kunci
untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman (
poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan ). Menurut penelitian yang
dilakukannya, tindakan tidak aman ini menyumbang 98% penyebab kecelakaan.
Kemudian, bagaimana penjelasan dengan menghilangkan tindakan tidak aman ini
dapat mencegah kecelakaan kerja ? kembali lagi ke analogi tindakan tidak aman
sebelumnya, jika kartu nomor 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomor 1 dan 2 pun
jatuh, ini tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu. Dengan adanya jarak antara
kartu kedua dan keempat, dan jika pun kartu kedua terjatuh, ini tidak akan sampai
menimpa kartu nomor 4. Akhirnya kecelakaan nomor 4 dan cidera nomor 5 dapat
dicegah. Dengan penjelasan Teori Domino ini, maka kecelakaan kerja dapat
dijelaskan dengan logis dan bukan menganggap bahwa kecelakaan kerja akibat
bernasib sial ataupun keberuntungan.
Penyebab utama terjadinya kecelakaan akibat tindakan tidak aman ini, antara lain
karena sikap dan perilaku karyawan yang bersangkutan, yaitu :
1. Tidak tahu adanya bahaya : karena tidak pernah diberitahu oleh pimpinan
tentang bahaya dan resiko ditempat kerjanya sehingga tidak tanggap terhadap
bahaya dan juga tidak mempunyai keterampilan menghindari bahaya tersebut.
2. Tidak mau tahu akan adanya ancaman bahaya : karena tidak mempunyai
perhatian pada K3 sehingga berperilaku sembrono mungkin juga karena
Tidak mampu menghadapi bahaya karena tidak pernah dilatih K3 sehingga
tidak berpengalaman melaksanakan pekerjaan dengan cara aman dan selamat yang
akhirnya menimbulkan tindakan-tindakan tidak aman. Tindakan tidak aman
menimbulkan resiko kecelakaan kerja, kerusakan material bahkan kematian. Matriks
penilaian resiko digunakan untuk menilai tindakan tidak aman.
2.3.2. Matriks Penilaian Resiko
Menurut Ramli. S. (2010), Penilaian resiko kecelakaan kerja berdasarkan
panduan matriks penilaian resiko terbagi atas 3, yaitu peluang, akibat dan kriteria
penilaian. Peluang dibagi atas 5 kriteria, yaitu :
A. Almost Certain/ Hampir pasti terjadi
Suatu kejadian yang akan terjadi pada semua kondisi. Misalnya kejadian yang
berulang kali terjadi setiap tahun.
B. Likely/ Mungkin terjadi
Suatu kejadian mungkin akan terjadi pada hampir semua kondisi. Misalnya
terjadi sekali dalam satu tahun sampai tiga tahun.
C. Moderate/ sedang
Suatu kejadian akan terjadi pada beberapa kondisi tertentu. Misalnya terjadi
D. Unlikely/ Kecil Kemungkinan
Suatu kejadian akan terjadi pada beberapa kondisi tertentu namun kecil
kemungkinannya. Misalnya terjadi sekali dalam sepuluh tahun.
E. Rerely/ Jarang Sekali
Suatu kejadian akan terjadi pada beberapa kondisi yang khusus/ luar biasa/
setelah bertahun-tahun. M.isalnya terjadi paling tidak sekali dalam sejarah
perusahaan.
Penilaian akibat terbagi atas 5 kriteria, yaitu :
1. Insicnifikan/ Tidak Signifikan
Tidak ada cidera, kerugian material sangat kecil.
2. Minor
Memerlukan perawatan P3K, on-site release langsung dapat ditangani,
kerugian materi sedang.
3. Moderate/ Sedang
Memerlukan perawatan medis, on-site release langsung dapat ditangani
4. Major
Cidera yang mengakibatkan cacat/ hilang fungsi tubuh secara total, off side
release tanpa efek merusak, kerugian materi besar.
5. Catastropic/ Bencana
Menyebabkan kematian, off-side release bahan toksik dan efeknya merusak,
kerugian materi sangat besar.
Matriks penilaian akhir dari resiko kecelakaan kerja terdiri dari 4 kriteria,
yaitu :
1. E (Extreme Risk)/ Resiko Ekstrim
Memerlukan penanganan segera atau penghentian kegiatan atau keterlibatan
manajemen puncak, perbaikan ancaman sebab akibat peluang (ASAP).
2. H (High Risk)/ Resiko Tinggi
Memerlukan pihak manajemen, penjadwalan perbaikan secepatnya.
3. M (Moderate Risk)/ Resiko Sedang
Penanganan oleh manajemen area terkait, penjadwalan sesiau resiko.
4. L (Low Risk)/ Resiko Rendah
Menurut Rasmussen, ada tiga jenjang ketegori kesalahan yang dapat
terjadi pada manusia, yaitu :
1. Salah sebab kemampuan (skill-based error)
Adalah kesalahan manusia yang disebabkan oleh karena ketidak mampuan
seseorang secara fisik atau tidak memilki keterampilan yang dibutuhkan untuk
menjalankan suatu tugas tertentu. Seseorang bisa saja tahu apa saja yang
seharusnya dilakukan tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukannya.
2. Salah sebab aturan (rule-based error)
Adalah suatu kesalahan manusia kerena tidak melakukan aktifitas yang
seharusnya dilakukan atau melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan apa
yang seharusnya dilakukan.
3. Salah sebab pengetahuan (knowledge-based error)
Adalah kesalahan manusia yang disebabkan karena ia tidak memiliki
pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan membuat
keputusan untuk bertindak atau melakukan suatu aktivitas.
Menurut Reason (1990), kesalahan manusia (human error) dapat
dikategorikan menjadi sebagai berikut :
1. Mistakes
Kesalahan ini disebabkan oleh kegagalan atau tidak lengkapnya proses
mencapai sesuatu, terlepas dari apakan tindakan yang dilakukan itu sesuai
atau tidak dengan kerangka keputusan yang telah direncanakan.
2. Lapse
Adalah kesalahan dalam mengingat dan tidak selalu harus tampil dalam
perilaku aktual dan kadangkala hanya dirasakan oleh pribadi yang
bersangkutan.
3. Slips
Adalah kesalahan akibat penerapan yang tidak sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, terlepas dari apakah
rencana tersebut benar atau tidak.
2.2.3 Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak aman pekerja
1. Pelatihan
Salah satu cara yang baik untuk mempromosikan keselamatan ditempat kerja
adalah dengan memberikan pelatihan bagi pekerja. Pelatihan keselamatan awal harus
menjadi bagian proses orientasi pekerja baru. Pelatihan selanjutnya diarahkan pada
pembentukan pengetahuan yang baru, spesifik, dan lebih dalam serta memperbaharui
pengetahuan yang sudah ada (Goestsch, 1996).
Pelatihan memberikan manfaat ganda dalam promosi keselamatan. Pertama
pelatihan memastikan pekerja tahu bagaimana cara bekerja dengan amandan mengapa
hal itu penting. Kedua pelatihan menunjukkan bahwa manajemen memiliki komitmen
Pelatihan merupakan komponen utama dalam setiap program keselamatan
kerja. Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman pekerja terhadap
hazard dan risiko. Dengan adanya peningkatan kesadaran terhadap risiko, pekerja
dapat menghindari kondisi tertentu dengan mengenali pajanan dan memodifikasinya
dengan mengubah prosedur kerja menjadi lebih aman (Leamon, 1990)
1. Peraturan
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mengkomunikasikan standar,
norma dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001a). peraturan
memiliki peran besar dalam menentukan perilaku mana yang dapat diterima dan
tidak dapat diterima (Roughton, 2002).
Notoatmodjo (1993) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku
adalah dengan menggunakan kekutan atau kekuasaan misalnya peraturan-peraturan
dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini
menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan
berlangsung lama kerena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari
oleh kesadaran sendiri.
Secara umum, kewajiban manajeman dalam peraturan keselamatan dapat
dirangkum sebagai berikut :
a. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan
b. Manajeman harus memastikan bahwa setiap pekerjanya memahami
peraturan tersebut.
c. Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan
secara objektif dan konsisten.
(Goestsch, 1996).
Manajemen yang tidak memenuhi kriteria diatas dianggap teledor. Memiliki
peraturan saja tidak cukup, demikian juga memiliki peraturan dan meningkatkan
kesadaran pekerja terhadap peraturan. Manajemen harus memutuskan peraturan yang
sesuai, mengkonsumsi peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan
tersebut ditempat kerja. Penegakan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan
(Goestsch, 1996).
Peraturan keselamatan akan lebih efektif jika dibuat dalam bentuk tertulis
dikomunikasikan dan didiskusikan dengan seluruh pekerja yang terlibat. Hubungan
antara peraturan keselamatan dengan konsekuensi yang diterima akibat pelanggaran
dapat didiskusikan dengan para pekerja. Pekerja kemudian diminta untuk
menandatangani pernyataan bahwa mereka telah membaca dan memahami peraturan
tersebut dan juga telah mendapatkan penjelasan tentang konsekuensi yang akan
mereka terima bila melanggarnya. Ketika pekerja dilibatkan dalan perumusan
peraturan, maka akan lebih memahami dan mau mengikuti peraturan tersebut
Petunjuk untuk membangun peraturan keselamatan :
a. Kurangi jumlah peraturan. Terlalu banyak peraturan menyebabkan
overload.
b. Tulis peraturan dalam bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Langsung
pada poin pentingnya saja dan hindari penggunaan kata-kata yang
memiliki makna ambigu atau sulit dipahami.
c. Tulis hanya peraturan penting untuk memastikan keselamatan di tempat
kerja.
d. Libatkan pekerja dalam merumuskan peraturan yang berlaku bagi area
operasi tertentu.
e. Rumuskan hanya peraturan yang hanya dan akan ditegakkan.
f. Gunakan akal sehat dalam merumuskan peraturan.
(Goestsch, 1996).
2. Pengawasan
Kelemahan dari peraturan keselamatan adalah hanya berupa tulisan yang
menyebutkan bagaimana seseorang bisa selamat, tetapi tidak mengawasi tindakan
aktivitasnya. Pekerja akan cenderung melupakan kewajibannya dalam beberapa hari
atau minggu (Roughton, 2002). Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan untuk
menegakkan peraturan ditempat kerja.
Menurut Roughton (2002), beberapa tipe individu yang harus terlibat dalam
a. Pengawas (Supervisor)
Setiap pengawas yang ditunjuk harus mendapatkan pelatihan terlebih
dahulu mengenai bahaya yang mungkin akan ditemui juga
pengendaliannya.
b. Pekerja
Ini merupakan salah satu cara untuk melibatkan pekerja dalam proses
keselamatan. Setiap pekerja harus mengerti mengenai potensi bahaya dan
cara melindungi diri dan rekan kerjanya dari bahaya tersebut. Mereka
yang terlibat dalam pengawasan menumbuhkan pelatihan dalam
mengenali dan mengendalikan potensi hazard.
c. Safety Professional
Safety Professional harus menyediakan bimbingan dan petunjuk tentang
metode inspeksi. Safety Professional dapat diandalkan untuk bertanggung
jawab terhadap kesuksesan atau permasalahan dalam program penegahan
dan pengendalian bahaya.
3. Safety Promotion
Membuat Safety Promotion secara visual merupakan cara yang efektif untuk
mempromosikan keselamatan. Sebagai contoh, rambu keselamatan yang tampak
secara visual bagi operator mesin dapat mengingatkannya untuk menggunakan
pengaman mesin. Rambu diletakkan di dekat mesin tersebut, jika operator tidak dapat
selalu diingatkan untuk menggunakan cara aman setiap kali mengoperasikan mesin
(Goestsch, 1996).
Hal-hal yang dapat meningkatkan efektifitas Safety Sign adalah :
a. Ganti rambu, poster, dn alat batu visual lainnya secara periodic. Pesan
visual yang terlalu lama digunakan, lama kelamaan akan menyatu dengan
latar dan tidak dikenali lagi.
b. Libatkan pekerja dalam membuat pesan yang akan ditampilkan pada pesan
atau poster.
c. Buat pesan visual yang sederhana dan dengan pesan yang jelas.
d. Buat pesan-pesan visual yang cukup besar agar mudah dilihat dalam jarak
tertentu.
e. Tempatkan pesan-pesan visual pada tempat-tempat tertentu yang akan
menghasilkan efek maximum.
f. Gunakan permainan warna agar pesan visual dapat menarik perhatian.
(Goestsch, 1996).
4. Hukuman dan Penghargaan
Hukuman adalah konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai
bentuk bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dapat menekan
atau melemahkan perilaku (Geller, 2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk
menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai control terhadap
Penghargaan adalah konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau
kelompok dengan tujuan mengembangan, mendukung dan memelihara perilaku yang
diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan
yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya
diri, penghargaan diri, pengendalian diri, optimism, dan rasa memiliki (Geller, 2001).
Menurut Groeneweg (2007), meskipun hukuman dan penghargaan memiliki
pengaruh yang kuat dalam mengendalikan perilaku manusia, tetapi bukanlah tanpa
masalah. Penghargaan hanya jika penerimanya menganggap bahwa penghargaan
tersebut bernilai pada saat diterima. Menghukum perilaku yang diluar kendali pekerja
(slip) juga tidak efektif. Bahkan kemungkinan pelanggaran diketahui atau dilaporkan
kurang efektif dalam mengubah perilaku, karena masih ada kesempatan pelanggaran
tidak diketahui atau dilaporkan. Jika ditempat kerja terdapat kesempatan ini, orang
akan secara otomatis memilih perilaku yang tidak diharapkan tanpa memperdulikan
hukuman atau penghargaan yang akan mereka terima. Keefektifan pendekatan ini
biasanya hanya untuk jangka pendek.
Menurut widle, penekanan pada hukuman dapat memotivasi perilaku
seseorang dalam keselamatan, namun bukti dari keefektifitasnya tidak diketahui
dengan pasti. Adapun kelemahan dari hukuman ini adalah :
a. Efek atribusi
Sebagai contoh, menilai seseorang sebagai karakteristik yang tidak
benar-benar memiliki karakteristik itu. Menilai seseorang tidak
bertanggung jawab akan membuat mereka berperilaku seperti itu.
b. Penekanan pada pengendalian proses pembentukan perilaku. Sebagai
contoh, menggunakan alat pelindung diri atau mematuhi batas kecepatan
kerja daripada menekan pada hasil akhir yang ingin dicapai yaitu
keselamatan. Pengendalian proses tidak praktis untuk didisain dan
diimplementasikan serta tidak dapat merangkum seluruh perilaku yang
tidak diharapkan dari pekerja dalam setiap waktu.
c. Hukuman membawa efek samping negatif, hukuman menimbulkan
disfungsi iklim organisasi yang ditandai oleh dendam, tidak mau bekerja
sama, sikap antagonis, bahkan sabotase. Hasilnya, perilaku yang tidak
diharapkan mungkin akan muncul.
2.5. Kerangka Konsep Penelitian
Tindakan tidak aman pekerja Penerapan program keselamatan